Risalah Toleransi Derrida




Benarkah konsep dan wawasan toleransi yang dipahami saat ini sebagai jalan untuk menciptakan keselarasan dan kerukunan antar ummat beragama telah memenuhi semangat keadilan? Almarhum Jacques Derrida meragukannya. Dalam kajian filosofis dan linguistik filsuf akbar abad ini tersebut, definisi linguistik dan aproriasi keagamaan dan politik toleransi sebenarnya secara inheren mengandung benih-benih kekerasan dan ketidakadilan.

Menurut Derrida, meski diterima oleh wawasan politik sekuler, justru muasal dan bubuhan keagamaannya yang membuat toleransi menyimpang dari semangat yang ingin dimaksudkan oleh kata toleransi itu sendiri. Dan karenanya Derrida pun meniatkan ikhtiar etis-politis filsafatnya dalam rangka melampaui semangat keagamaan sekaligus mengoreksi penalaran dan argumentasi Kantian tentang toleransi.

Yang pertama, alias wawasan keagamaan toleransi, menjadikan toleransi sebagai laku dan sikap paternalistis, seperti yang tergambarkan dengan jelas dalam sikap dan perkataan Ibrahim kepada para tamu asing yang berkunjung ke rumahnya: “Kuijinkan engkau semua berada di rumahku (wilayahku), tapi ingat kalau ini adalah rumahku (kekuasaanku).” Sementara yang kedua, alias toleransi dalam wawasan Kantian, pengertian dan penerimaan toleransi telah dibubuhi dengan segugus persyaratan, sebagaimana tercermin dalam esai panjangnya Immanuel Kant yang berjudul Towards Perpetual Peace itu.

Untuk mengoreksi dan melampaui dua wawasan tersebut, Derrida menawarkan konsep dan wawasan kesanggrahan (hostipitality) sebagai ganti toleransi. Ia mengoreksi Kant yang masih memahami toleransi sebagai kesanggrahan bersyarat itu.

Menyangkut gugus pertama, alias toleransi dalam semangat teologiko-politik, Derrida menganjurkan untuk melakukan ikhtiar pembongkaran matriks Kristiani yang menyebabkan toleransi menjadi sebuah konsep politik dan etik yang justru malah tidak netral dari semangat yang menjadi klaim toleransi itu sendiri.

Muasal dan fokus keagamaannya, demikian menurut Derrida, malah menjadikan kata dan pengertian toleransi diaproriasi alias dipahami lebih sebagai sisa sikap paternalistis. Di mana “orang lain” tidak dipandang secara setara dan sepadan, melainkan sebagai bawahan. Begitu juga Immanuel Kant dalam pandangan Derrida belum keluar dari bubuhan teologiko-politik tersebut ketika memahami toleransi.

Kant dalam pandangan Derrida di satu sisi memahami toleransi sebagai janji emansipatoris jaman modern. Tetapi, di sisi lain, di dalam wawasan dan pemikiran Kant tentang toleransi masih terkandung komponen Kristiani yang amat kuat, yang malah menjadikan klaim toleransi itu sendiri tidak netral.

Karena itulah, lanjut Derrida, seringkali sejarah konsep dan laku toleransi memihak sekaligus diaproriasi lebih sebagai dalih, alasan, dan argumentasi pihak dan kekuasaan yang lebih kuat atas “yang lain” dan “yang asing”. Toleransi dalam sejarahnya terkontaminasi oleh semangat bubuhan teologiko-politik kekuasaan yang memandang “orang lain” sebagai pelengkap semata, seperti perkataan Ibrahim kepada tamu-tamunya itu: “Aku ijinkan engkau semua berada di rumahku (wilayahku). Tapi ingat kalau ini adalah rumahku (kekuasaanku)”.

Pemahaman dan aproriasi alias penerimaan toleransi yang seperti itu menurut Derrida juga tak lepas dari semangat yang inheren dalam agama itu sendiri, ketika agama menginjeksikan isu-isu yuridis dan mengikatkan dirinya ke dalam lingakaran hukum, yang memang secara inheren mengandung kekerasan alias intoleran dan cenderung menolak keterbukaan terhadap keberlainan atawa alteritas, pihak yang sepenuhnya lain.

Seperti yang dikupas secara linguistik oleh Derrida, sejauh menyangkut agama sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dapat diidentifikasi atau pun yang identik dengan dirinya sendiri untuk apa yang disebut agama.

Secara historis, agama merupakan ciptaan Romawi kuno yang kemudian diapropriasi oleh Kristianitas. Dengan mengutip perbendaharaan linguistiknya Cicero, kata religio itu sendiri berasal dari “religare” yang merupakan modifikasi dari kata “legere” yang artinya memanen dan mengumpulkan. Sementara itu dalam perbendaharaan istilahnya Tertulianus, si muallaf Kristen dari Afrika Utara abad kedua, mengatakan bahwa kata religio berasal dari “religare” yang artinya mengikat atau simbolisasi ikatan kewajiban alias hutang primordial manusia dengan Allah.

Persis dalam artian yang kedua itulah, menurut Derrida, kata religio telah menginjeksikan isu-isu yuridis dan mengikat agama ke dalam lingkaran hukum, yang pada akhirnya mengandaikan ketertutupan. Penolakan dan pemisahan yang ditunjukkan oleh prefiks “re” dalam kata “religio” menurut Derrida muncul dengan sesuatu yang paralel di dalam “responsibilitas” dan “respons” yang berasal dari kata kerja Latin, “spondeo”, yang artinya menjamin. Dan arti tersebut memiliki kedekatan dan kemiripan dengan kata religare yang dikemukakan Tertulianus, di mana kata “respondeo” berarti penerjemah para dewa yang memberikan suatu janji sebagai balasan atas persembahan (sesajen), di mana balasan yang dinginkan dari persembahan itu tak lain adalah jaminan keamanan.

Sebab itulah menurut Derrida, kata responsibility berbagi arti dengan religio dalam kepedulian terhadap transaksi-ekonomis: suatu imbalan dan jaminan yang dituntut dari persembahan, yang mana menurut Derrida, jaminan yuridis dan ekonomis tersebut tidak memasukkan inti tanggungjawab di hadapan alteritas (keberlainan), di hadapan yang tak terkalkulasikan, di hadapan yang asing dan “kafir”. Di hadapan orang-orang yang bukan bagian dari komunitas agama tertentu.

Asal-usul tersebut pada akhirnya, lanjut Derrida, akan mempengaruhi pemahaman religius atas wawasan toleransi dan kekafiran. Dan pada konteks inilah, tanggungjawab etis dan politis filsafat adalah menganalisis dan menarik konsekuensi-konsekuensi praktis wawasan filosofis dalam struktur-struktur sistem yuridis-politis dalam kehidupan ruang publik kita. Hingga praktek-praktek penyingkiran dan kekerasan tidak lagi memiliki alasan religius dan teologis [Sulaiman Djaya].

Tidak ada komentar: