Senopati Aria Wanajaya



Prahara di Cibanten

Dalam pertempuran tak imbang itu, sejumlah prajurit di depan benteng dan gapura ibukota telah siaga kapan saja jika tindakan mereka untuk membakar cairan pada sebuah parit yang mengelilingi benteng itu akhirnya harus disulut dan dinyalakan. Para prajurit itu sadar tengah berperang dengan kerajaan yang memiliki angkatan perang lima kali lipat lebih besar dari kekuatan mereka. Dan pada saat itu pula, mereka juga tahu pasukan yang tengah melakukan pertempuran dengan kawan-kawan dan saudara-saudara mereka itu baru sebagian dari kekuatan pasukan yang harus mereka lawan dengan terpaksa.

Sementara itu, di tempatnya, Prabu Sri Jayabupati telah bangkit dari semedi dan tapa singkatnya, dengan dikawal langsung oleh Ki Purba. Dua petinggi negeri Kerajaan Sunda itu telah lengkap mengenakan pakaian dan perlengkapan perang mereka. Senjata pusaka milik mereka masing-masing, pelindung lengan, dan ketopong yang dikirim dari dinasti Song di negeri Yunan yang jauh ternyata pas dengan kepala mereka setelah seniman gambar mengirimkan sketsa wajah para petinggi negeri Banten Girang itu ke negeri Yunan.

Di tempat lain, di pelataran Banusri, dengan rasa percaya diri, namun tetap waspada, Ranubaya berjalan dengan gegap-gempita bersama dengan seratus prajurit yang masing-masing hanya bersenjatakan tombak yang lebih mirip lembing di tangan dan golok di pinggang. Mereka berangkat bersama-sama dari sisi Barat benteng ibukota Banten Girang. Tugas mereka hanya satu: memancing sebagian kekuatan lawan dengan jalan melemparkan tombak-tombak mereka ke arah pasukan yang lebih banyak dari mereka tersebut, dan setelah itu mereka pun berlari ke arah pinggiran sungai yang disusul oleh pasukan lawan, sebuah sungai bernama Kali Pandan.

Dan akhirnya, tak lama kemudian, di tepi sungai itulah mereka bertarung, hingga pasukan lawan yang tewas diceburkan ke sungai, yang tak ayal lagi telah membuat Kali Pandan menjadi berwarna merah dan segera menghembuskan bau anyir darah segar di saat waktu telah mendekati senja. Persis ketika sejumlah pasukan musuh mengejar kelompoknya Ranubaya itu, pasukan yang dipimpin Aria Wanajaya telah berhasil memukul mundur dan menewaskan sejumlah pasukan lawan yang berusaha merangsek ke Alas Dawa atau yang lebih dikenal dengan Alas Banten Girang. Kedua pasukan itu pun segera bergabung dan langsung menggempur pasukan lawan yang berada di dekat Kali Pandan.

Untuk sementara mereka masih sanggup menahan pasukan lawan yang terus memaksa untuk mendekati benteng ibukota Banten Girang yang memang bertujuan untuk menghancurkan pusat ibukota tersebut. Saat itu Aria Sentanu tampak begitu gagah perkasa menjejakkan kedua kaki depannya ketika sejumlah prajurit lawan berusaha mendekati dan menghantamkan senjata ke arah Aria Wanajaya. Namun dengan sigap, Aria Wanajaya selalu berhasil menyabetkan goloknya yang lebih panjang dari kebanyakan golok milik prajurit lainnya ke arah siapa saja yang mencoba mencelakakan ksatria yang anggun itu.

Namun, pertarungan yang sebenarnya cukup sengit itu, ternyata, bagi pihak lawan baru merupakan ajang uji coba untuk menerka dan mengetahui kekuatan lawan mereka. Juga sebaliknya, Prabu Sri Jayabupati menyadari intrik dan taktik lawannya, dan karena itu, ia bersama Ki Purba dan sejumlah perwira lainnya, tidak mau terburu-buru untuk turun ke medan laga sebelum mengetahui kekuatan pasukan lawan sesungguhnya. Ketika itulah, di balairungnya, ia teringat iparnya, Airlangga di bagian paling Timur pulau Jawa yang juga pernah mengalami kemelut yang sama seperti yang tengah ia hadapi tersebut.

Begitulah untuk sementara, Sri Jayabupati masih bisa memperpanjang waktu agar kekuatan musuh tak segera dapat mendekati ibukota Banten Girang. Ia sadar ia tengah menghadapi sebuah badai di saat ia mengibaratkan dirinya bak tumpukan bata yang akan roboh bila badai itu akan datang dengan hantaman yang lebih keras. Tetapi, tentu saja, ia tak mungkin menampakkan ketakutan dan rasa kecut di dalam hatinya itu menyebar ke wajahnya alias ia tetap berusaha sigap dan optimis.

Kini, setelah Sudamala tewas, ia mengandalkan Prabasena, Ranubaya, Surajaya, dan terutama Aria Wanajaya yang telah terbukti efektif untuk menggerogoti dan mengurangi kekuatan lawan. Pada saat itulah ia memerintahkan Ki Kanta untuk pergi ke arah utara ke sebuah tempat di dekat Sungai Cisadane, demi mendapatkan kekuatan tambahan. Dan seketika itu pula, ia mengijinkan Ki Kanta menggunakan salah-satu kuda miliknya sebagai tunggangan agar bisa melakukan tugas dengan cepat, ketika di ibukota sendiri akan tetap berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk berusaha menahan kekuatan musuh agar tetap tidak dapat mendekat. Ia pun memerintahkan Ki Purba untuk mengamankan dan membawa kaum perempuan dan anak-anak ke sebuah tempat rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya dan Ki Purba.

Dengan rasa bimbang, Sri Jayabupati seolah tengah mengangankan kabut di depan kedua matanya sendiri, di saat ia merasa terlambat untuk meminta bantuan saudaranya di Jawa, di saat saudaranya sendiri di Jawa tengah merasakan nasib yang sama akibat amarah dan balas dendam Sriwijaya. Tapi nasi telah menjadi bubur dan nasib itu harus ia tanggung sendiri.

Di malam kesekian ia menyepi dan bersemedi itu, istri dan keluarganya telah mengosongkan ruangan di mana mereka seharusnya ada. Beberapa anggota keluarganya ia perintahkan untuk pergi, mengungsi, dan meminta bantuan kepada saudara-saudara mereka yang hidup dan menghuni di sebuah daerah ke arah Barat, ke daerah yang dialiri oleh Sungai Cikalumpang di sekitar Gunung Wangun. Di sebuah daerah yang sebenarnya masih lebat dengan pohon-pohon raksasa dan hutan yang dihuni binatang-binatang buas. Sebagian di antara kelompok yang hijrah itu, selain kaum perempuan, adalah beberapa pengrajin yang hanya sanggup menyelamatkan beberapa milik mereka, ketika ibukota Banten Girang sendiri telah resmi hanya dihuni para perwira, senopatih, dan para prajurit.

Sesaat setelah Ranubaya dan Aria Wanajaya bersama para prajurit mereka yang tersisa selepas pertempuran yang gagah-berani dan gegap-gempita di dekat Kali Pandan itu, Sri Jayabupati memerintahkan mereka untuk membangun sebuah pagar-pagar runcing dengan jalan menebang ratusan pohon Albasia, agar bila sewaktu-waktu ketika pasukan lawan tak lagi mampu mereka tahan, mereka bisa berlindung dibaliknya sembari melemparkan kayu-kayu runcing dan tombak yang tersisa sebelum bertarung dengan jalan berhadap-hadapan. Sebagian yang lain, yang rupa-rupanya para empu dan para pengrajin ahli yang tak mengungsi, sibuk membuat senjata-senjata tambahan dan memanaskan sejumlah cairan untuk mereka tumpahkan ke parit-parit tambahan yang baru digali. Sedangkan beberapa dari mereka menanak ubi dan hasil kebun lainnya untuk menghilangkan rasa lapar dan rasa lelah mereka.

Dan begitulah, keesokan harinya, karnaval dari seberang lautan kembali datang dengan gagah-berani, dan kali ini dengan jumlah yang lebih besar bersama dengan para senopatih mereka.

Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar: