Kategori Bidang Seni
Bidang Sastra: Encep Abdullah “Penggerak
Sastra Generasi Muda”
Dikenal sebagai anak muda yang memiliki
semangat tinggi untuk menularkan kerja-kerja kepenulisan di kalangan generasi
muda di Banten, terutama di kalangan para pelajar dan mahasiswa. Di sela-sela
kesibukannya sebagai guru di sebuah sekolah menengah di kawasan Pipitan,
Walantaka, Serang, anak muda kelahiran Serang, 20 September 1990 ini, masih
menyempatkan waktunya untuk membuka Komunitas Menulis yang ia beri nama
KOMENTAR, Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa, untuk para pelajar sekolah
menengah.
Ia juga produktif menulis puisi, prosa, dan
esai yang tersebar di banyak media lokal dan nasional, seperti Pikiran Rakyat,
Indo Pos, Radar Banten, Republika, dan koran-koran di luar Jawa. Sejumlah
antologi tunggalnya antara lain: Lelaki Ompol (YCBK 2017), antologi puisi Tuhan
dalam Tahun (Kubah Budaya 2014), dan buku esai tentang bahasa berjudul
Cabe-cabean (Kubah Budaya 2015) yang merupakan kumpulan esai-esainya yang
pernah dimuat Harian Pikiran Rakyat.
Berkat asuhan dan dedikasinya, sejumlah
pelajar yang bergiat di komunitas yang ia dirikan pun bisa menerbitkan buku,
baik antologi tunggal atau pun sejumlah puisi dan cerpen yang merupakan
buku-buku himpunan karya anak-anak asuhnya di Komunitas Menulis
Pontang-Tirtayasa. Baginya, upaya untuk mencerdaskan dan memajukan masyarakat
harus dimulai dari generasi muda, terutama sekali harus dimulai dari
pembangunan intelek generasi muda melalui sastra.
Bidang Sinematografi: Darwin Mahesa “Mempromosikan
Sejarah dan Budaya Banten Melalui Film”
Ia memilih sinema untuk mengangkat sejarah dan
budaya Banten. Dengan modal dan tekad yang kuat, anak muda kelahiran Cilegon 21
Agustus 1992 ini memilih film untuk mengangkat Banten karena menurutnya film
adalah pilihan yang paling tepat sebagai media visual sekaligus naratif yang
hidup. Bersama Kremov Pictures yang digawanginya ia hadirkan khazanah budaya
dan sejarah Banten ke publik luas melalui film, sebutlah film Ki Wasyid, sebuah
film pendek berdurasi 17 menit yang berusaha mengangkat sejarah perjuangan
rakyat Banten, dari kalangan para petani dan santri, melawan kolonialisme
Belanda.
Sementara itu, film besutannya yang lain,
yaitu Jawara Kidul (45 menit) terpilih sebagai 3rd Film Terbaik FVE 2016 Kemendikbud RI. Film ini
mengetengahkan sebuah lanskap sosial-politis Banten ke dalam dunia akting dan
visual sebagai upaya estetik dan artistik untuk mengangkat sisi-sisi sosial
budaya Banten lebih dekat kepada para pemirsa.
Ada puluhan karya yang telah dihasilkan anak
muda yang bertampang kalem ini, semisal karyanya yang baru rilis tahun ini,
yaitu Tirtayasa The Sultan of Banten, sebuah film yang berupaya untuk
menarasikan ulang salah satu babakan sejarah Kesultanan Banten di masa
kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, justru dalam rangka menggambarkan sejarah
Indonesia itu sendiri dalam kaitannya dengan politik global. Berkat dedikasinya
mengangkat khazanah budaya dan sejarah Banten melalui film inilah Anugerah Seni
DKB 2017 diberikan kepadanya.
Bidang Tari: Wiwin Purwinarti “Mengangkat
Banten Lewat Koreografi”
Perempuan kelahiran Serang 11 Desember 1970 yang memiliki latar belakang
akademik dalam bidang seni di sejumlah institut dan akademi ini, seperti ASTI,
STSI, dan ISBI, dikenal produktif melahirkan karya-karya tari. Sebutlah Tari
Ahlan Wasahlan (2000), Tari Gandrung
Dzalail (Tahun 2001), Tari Rampak Terbang Ciolang (2002), Tari Dzalail Panggung
Jati (2004), Tari Bentang Banten (2005), Tari Serang Bersyukur (2007), Tari
Ringkang Jawari (2008) yang kini cukup populer, Tari Mayang Kedaton (2011), dan
Tari Kawunganten (2012).
Produktivitas dan prestasi dalam seni yang
digelutinya dengan penuh dedikasi itu telah membawanya melanglang buana ke
sejumlah tempat dan negara, tentu saja dalam rangka mementaskan atawa
memanggungkan karya-karya tarinya di hadapan khlayak luas, semisal ke Brunei
Darussalam (2014), Myanmar (2015), dan Australia (2016). Ia juga acapkali
menjadi koreografer untuk sejumlah event dan festival berskala nasional dan
regional.
Istri dari Beni Kusnandar ini juga aktif
memberikan workshop dan pelatihan bagi generasi muda Banten yang memiliki minat
pada dunia tari, tentu bersama suaminya, Beni Kusnandar, di sanggar yang mereka
dirikan: Wanda Banten. Anugerah Seni DKB dianugerahkan kepadanya berkat kiprah
dan dedikasinya yang telah menghasilkan karya Tari Ahlan Wa Sahlan dan Tari
Ringkang Jawari yang kini populer di Banten.
Bidang Teater: E.B. Magor “Aktor
yang Konsisten Berteater”
Mengenal Teater sejak era 70-an, E. Bachtiar
Magor pernah bermain di Teater Roda JKT, Teater RR JKT, Teater Papimoer JKT,
Road Teater JKT, Teater Kail JKT, Teater Luka JKT, Teater SAE JKT, Teater KBT
35 JKT, Teater Study 24 JKT, Teater Cermin JKT, Boeloek Teater, Sanggar Guriang Kencana, Teater Kelakon,
Teater Kuman JKT, Komunitas Teaterawan Tangerang, Teater Cahaya UMT, Teater
Samudra JKT, Teater Nebula JKT, Teater Gumilar JKT. Naskah-naskah yang pernah
dimainkan antara lain: Wot atawa
Jembatan, Perguruan, Seh Siti Jenar, Perampok, Polisi, Teroris, Bila Malam Bertambah Malam, Terbit
Bulan Tenggelam Bulan, Kereta Kencana, Nyanyian Angsa, Egon, Ben Gotun, Tengul,
Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang, Makhbet (Williem Shakespeare & Ionesco),
Kucak-Kacik, Androcles dan Singa, Nabi Kembar, Pakaian dan Kepalsuan, End Game,
Suara-suara Mati, Terdakwa, Bui, Intrik, Malam Jahanam, Tanda Silang, Tiang
Debu, Big Bang, Perjalanan-Perjalanan, Bukan Rumah Gue. Ia juga pendiri komunitas Teaterwan
Tangerang, Sanggar Ekspresi Seni Tangerang, dan Cemani Performing Art.
Bermula dari seorang aktor yang sering pentas
dan bergiat di Jakarta, lelaki yang kini tinggal di Tangerang ini masih
konsisten menjadi seorang aktor teater. Acapkali pentas di sejumlah tempat,
seperti di Jakarta dan Tangerang, Magor adalah seorang aktor dan pegiat teater
yang tetap masih melakukan aksi-aksi panggung yang dipentaskan oleh banyak grup
dan kelompok teater di Jakarta dan Banten. Bagi Magor, akting dan panggung
adalah panggilan jiwa yang ia lakoni dengan ikhlas. Komitmen dan konsistensinya
sebagai seorang aktor dan pegiat teater ini telah ikut menyulut semangat
generasi muda untuk bersungguh-sungguh melakoni kerja-kerja akting dan
pementasan. Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten diberikan kepadanya karena
konsistensi dan komitmennya sebagai seorang aktor dalam dunia teater dan seni
pertunjukan.
Bidang Seni Rupa: Mas Uci Sanoesi Didjaja“Pelopor
yang Kesepian”
Lama berkiprah dalam dunia dan kerja seni
rupa, Uci Sanoesi Didjaja terbilang generasi awal seniman rupa, bersama Gebar
Sasmita, di Banten. Pria kelahiran Serang 2 April 1940 ini dikenal sebagai
pelukis yang memulai kiprahnya secara nasional di era 60-an di Jakarta,
tempatnya bekerja di reklame film sejak tahun 1956. Setahun kemudian ia
mendirikan Sanggar Surosowan Art, dan sejak tahun 1967 mulai melakukan pameran
keliling bersama di Jawa Barat, Riau,
Jakarta, Pandeglang, dan Serang.
Karya-karyanya acapkali menampilkan
figur-figur dan objek-objek yang sederhana dan bersahaja, kehidupan wong cilik,
juga lukisan-lukisan alam dalam gagrak naturalis. Ia seakan ingin mengajak kita
untuk mengakrabi kehidupan dan keseharian orang-orang biasa, masyarakat
kebanyakan, atau wong cilik secara lebih dekat dengan lukisan-lukisannya yang
acapkali sederhana dan bersahaja itu, semisal figur anak-anak yang memegang
tabungan yang terbuat dari tanah liat.
Uci Sanoesi Didjaja-lah yang mula-mula
menggerakkan kerja-kerja seni rupa kepada anak-anak muda di Banten, seperti
yang juga dilakukan Gebar Sasmita. Ia melakukan pameran tunggal dan pameran
bersama di saat pameran-pameran Seni Rupa di Serang, Banten (yang ketika masih
merupakan wilayah Provinsi Jawa Barat) di era 60-an itu belum merupakan sebuah
acara dan event yang lazim. Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten diberikan
kepadanya karena mempertimbangkan kepeloporannya dalam bidang seni rupa.
Bidang Musik: Jahidi bin Sangad bin Kamad “Pelestari
Musik Tradisi Banten”
Jahidi bin Sangad mendedikasikan hidupnya
untuk melestarikan Seni Terebang Gembrung di tengah merebaknya budaya pop jaman
mutakhir kita saat ini. Tentulah untuk mengenal kiprah dan sumbangsihnya dalam
dunia kesenian di Banten, kita terlebih dulu mestilah mengenal Seni Terebang
Gembrung. Terebang Gembrung adalah jenis kesenian musik tradisional Banten,
berupa zikir dan solawat yang diiringi dengan waditera (alat musik) terebang
(rebana) dan bedug (kendang). Dinamakan “Terebang Gembrung” karena diambil dari
suara terebang yang dipukul berbunyi “brung-brung-brung”.
Lazimnya kesenian ini dipentaskan pada acara
Maulid Nabi, peringatan keagamaan tertentu di bulan Muharram (bulan pertama
dalam penanggalan Islam), serta pada resepsi pernikahan dan khitanan, serta acara-acara
lainnya.
Sementara itu zikir dan solawat yang digunakan
sebagai lagu merujuk dari kitab Barzanji ('Iqd al-Jawahir). Saat ini Terebang Gembrung hanya dapat
dijumpai di tiga tempat, yaitu: Pertama, di lingkungan Cikentang, Desa Sayar,
Kecamatan Taktakan Kota Serang (15 menit dari alun-alun Kota Serang). Kedua, di
Desa Cimoyan Kec. Taktakan, dan Ketiga di Desa Pancur Kec. Taktakan. Jahidi
adalah pegiat Grup kesenian Terebang Gembrung yang ada di Lingkungan Cikentang.
Secara historis, kesenian Terebang Gembrung ini ada sejak era Kesultanan
Banten.
Kategori Anumerta
Agus Djaya “Pelita Seni Rupa Indonesia”
Lahir di Pandeglang, Banten 1 April 1913,
Raden Agus Djaya adalah seorang seniman nasionalis yang juga pendiri Akademi
Seni Lukis yang pertama di Indonesia. Dengan demikian, tidak sah menulis
sejarah seni rupa Indonesia tanpa menyebut nama Agus Djaya. Sebagai figur yang
hidup di masa-masa revolusi kemerdekaan, kontribusinya tidak hanya di bidang
seni, namun juga berperan aktif dalam putaran sejarah kemerdekaan Republik ini.
Bahkan terakhir ia menyandang pangkat kolonel untuk bidang tugas intelijen,
sebuah tugas dan posisi yang tidak sembarangan. Ia adalah pejuang yang mendapat
tugas “psy war” sekaligus menjalankan “diplomasi budaya” di Belanda. Di sana,
ia sempatkan diri untuk memperdalam keahlian melukis dengan ikut kuliah di
RIjks Academie Boeldende Kunsten di Amsterdam (1947-1949), selain mengikuti
kuliah jurnalistik di Universiteit Amsterdam.
Selama ia di Eropa itulah, ia berkenalan dan
bersinggungan dengan pelukis-pelukis besar Eropa, sekelas Pablo Picasso di
Vallauris, Perancis Selatan, Salvador Dali di Madrid, Spanyol, dan dengan
pematung Paris asal Polandia, Ossip Zadkine. Mulanya, seniman yang ayahnya
seorang pengawas hutan di zaman Kolonial Belanda dan yang mewarisi darah seni
dari ibunya ini, bercita-cita menjadi dokter, tetapi kemudian menjadi seniman
rupa ketika bakat melukisnya ditemukan Suwanda Mihardja, seorang guru
menggambar yang kemudian mengarahkan Agus Djaya pada teknik-teknik dasar
melukis. Tak hanya itu saja, bersama S. Sudjojono, ia pun mendirikan Persatoean
Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938-1942, dan duduk sebagai
ketua pada kurun waktu tersebut. Kepeloporan inilah yang menjadi dasar dan
landasan Dewan Kesenian Banten untuk memberikan Anugerah Seni DKB 2017.
Misbach Yusa Biran “Pendobrak Film Indonesia”
Lahir di Rangkasbitung, Lebak, Banten, 11
September 1933 – meninggal di Tangerang Selatan, Banten, 11 April 2012 pada
umur 78 tahun, Misbach Yusa Biran adalah sutradara film, penulis skenario film,
drama, cerpen, kolumnis, serta pelopor dokumentasi film Indonesia. Pria
berdarah Minang dan Banten ini diberi-nama Misbach karena ayahnya seorang
pengagum tokoh sosialis Islam, Haji Misbach.
Suami dari aktris film Nani Widjaya ini
merupakan seorang sineas berkelas internasional yang telah menghasilkan
karya-karya sinema (film) berkualitas dan berkelas, selain seorang penulis
handal, sebutlah film-film besutannya, seperti: Pesta Musik La Bana (1960),
Holiday in Bali (1962), Bintang Ketjil (1963), Panggilan Nabi Ibrahim (1964),
Apa Jang Kautangisi (1965), Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966), Menjusuri
Djedjak Berdarah (1967), Operasi X (1968), Honey, Money, dan Djakarta Fair
(1970), selain dua skenario yang ditulisnya: Menyusuri Djedjak Berdarah (1967)
dan Ayahku (1987).
Karirnya sebagai seorang sineas dimulai ketika
ia menyutradarai sandiwara saat ia masih duduk di bangku sekolah awal tahun
1950-an, selain di masa-masa itu, ia juga menulis resensi film dan sejumlah
karya sastra. Misbach Yusa Biran adalah seorang sineas sekaligus sastrawan,
seorang multitalenta. Dalam rentang waktu 1954-1956, ia bekerja di Perusahaan
Film Nasional Indonesia (Perfini) pimpinan Usmar Ismail, yang ia awali sebagai
pencatat skrip, sebelum kemudian menjadi asisten sutradara dan anggota Sidang
Pengarang. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Perfilman H. Usmar
Ismail Jakarta, anggota Dewan Film Nasional, dan Ketua Umum Karyawan Film dan
Televisi (1987-1991).
Di masa-masa itu pula, tepatnya di 1955,
Misbach Yusa Biran pun menulis skenario pertama dari cerpen Sjumandjaja,
Kerontjong Kemajoran, yang kemudian oleh Persari diangkat menjadi film berjudul
Saodah. Semenjak itu kreativitasnya seakan tak terbendung lagi, yang ia
tuangkan melalui penulisan skenario dan penyutradaraan film. Selama tahun
1957-1960, Misbach Yusa Biran pun membuat film pendek dan dokumenter, juga
menyutradarai beberapa film layar lebar selama kurun waktu 1960-1972, yang
salah satunya berjudul Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1967) yang menerima
penghargaan untuk sutradara terbaik dalam ajang "Pekan Apresiasi Film
Nasional". Ia juga mendapat penghargaan skenario terbaik, untuk film
Menjusuri Djedjak Berdarah di ajang yang sama.
Selain sebagai seorang sineas dan sastrawan,
salah-satu kiprah dan jasa terbesarnya dalam sejarah sinema dan kebudayaan
Indonesia adalah sebagai seorang dokumenter film. Misbach Yusa Biran dalam
dunia sinema Indonesia tak ubahnya Hans Bague (H.B.) Jassin dalam sejarah
sastra Indonesia. Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten 2017 dianugerahkan
kepadanya karena kontribusinya dan kerja kerasnya sebagai seorang pelaku yang
ikut menentukan masa depan film di Indonesia.
Muhammad Idris “Mengharumkan Debus Banten ke
Mancanegara”
Debus Banten adalah seni yang telah mengangkat
‘marwah’ Banten ke pentas nasional dan internasional. Dan Debus Banten adalah
identitas Banten itu sendiri. Lurah Idris, yang bernama asli, Haji Mochammad
Idris yang lahir di Desa Tinggar, Cikeusal, Serang pada 17 Oktober 1903, yang
kemudian tinggal di Walantaka, Serang,
ini adalah seorang penjaga Seni Debus Banten yang penuh dedikasi dan
sangat populer di kalangan para pegiat dan pelaku Seni Debus Banten. Kelompok
Debus yang dibina dan dipimpinnya, Debus Surosowan Walantaka, adalah kelompok
Debus Banten yang ternama.
Walantaka, dan tentu saja Lurah Idris, sendiri
punya tempat yang unik dalam sejarah budaya dan politik Banten. Di era 90-an,
ada film berjudul “Serigala Putih” yang dibintangi Barry Prima dan Advent
Bangun. Di film itu ada seorang tokoh bernama Ki Jari Getih. Tak banyak yang
tahu, kecuali si pembuat film itu, bahwa Ki Jari Getih itu adalah ‘Jawara
Banten’ dari Walantaka, Kota Serang, Banten.
Secara historis dan kultural, jika disebut
nama Walantaka, maka itu adalah sebuah nama di mana dulu kala hingga saat ini,
hiduplah para pegiat Seni Debus Banten, selain Pamarayan (Kab. Serang), dan
tempat-tempat lainnya. Walantaka sebenarnya sebuah desa kecil, tapi desa ini
adalah tempat lahirnya kesenian tradisional Banten yang sudah sangat mendunia,
yaitu Debus. Di desa inilah terdapat Padepokan Surosowan, padepokan debus
tertua di Banten, yang telah melahirkan jawara-jawara Banten yang terkenal,
yang salah satunya adalah almarhum Lurah Idris, sang pendiri padepokan
tersebut.
Berkat kiprah dan jasanya mendirikan Padepokan
Surosowan Banten dan jasanya mengangkat seni Debus Banten ke mancanegara oleh
dirinya dan murid-muridnya, Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten dianugerahkan
kepada Lurah Idris yang telah menjaga dan merawat Identitas Banten sebagai
sebuah lanskap kultural dan politis yang unik dan yang tak tergantikan.
Kategori Anumerta: Toton Green Toel “Lagu
Berbahasa Banten Untuk Indonesia”
Bernama asli Achmad Tantowi, Toton Greentoel
konsisten menyanyikan lagu-lagu berbahasa Jawa Serang dan Sunda Banten, yang
lirik-liriknya berasal dari lagu dolanan dan tembang-tembang masyarakat
pedesaan, menjadi akrab dengan kemasan genre pop yang digemari anak-anak muda.
Kiprahnya telah memberikan sumbangsih bagi pentingnya arti identitas sebuah
masyarakat yang ingin menemukan jati diri. Bermula dari sebuah ejekan di meja
makan di tahun 1998, saat ia makan bersama beberapa teman-temannya dari Batak,
Padang, dan Sunda, teman-teman sesama pekerja proyek pembuatan alat pengebor
minyak di Bojonegara, Kabupaten Serang, tentang tidak adanya lagu-lagu daerah
Banten yang populer di masyarakat Indonesia, sebagaimana dari daerah-daerah dan
provinsi-provinsi lain.
Sontak saja, demi menutupi rasa malu, ia pun
menyanyikan tembang dolanan anak-anak Banten yang diingatnya. “Surantang-surinting,
bibi Semar nyolong gunting, guntinge bibi laos, sedakep tangan sios,” sebuah
tembang dolanan masyarakat Banten yang kini kembali populer berkat petikan
gitar dan alunan suaranya mendendang. Waktu pun berjalan, dan empat tahun
kemudian, ketika ia di-PHK atau diputus hubungan kerja di pabriknya, sementara
ia harus menghidupi keluarganya dengan mengamen, ingatannya terhadap tembang
dolanan anak Banten yang sempat ia nyanyikan demi menjawab ledekan
kawan-kawannya sesama buruh itu pun belum pudar. Sejak itulah ia mulai mengamen
demi memenuhi kehidupan sehari-hari dan mengaransemen tembang-tembang dolanan
anak-anak Banten.
Tanpa ragu lagi, pria kelahiran Serang, 7
April 1968, ini pun memosisikan diri sebagai pengamen dengan “brand” lagu-lagu
berbahasa Jawa-Serang dan Sunda-Banten, dan seiring waktu berjalan, tempat ia
tampil pun mulai meluas hingga menyanyi di hotel-hotel di sekitaran Serang dan
Anyer, Banten. Tak dipungkiri, memang, selama menggubah lagu-lagu daerah
Banten, Toton Greentoel sendiri acapkali merasa gamang, seiring dengan
kegamangan umumnya masyarakat Banten tentang identitas kedaerahan mereka yang
memiliki dan mempraktikkan multi-bahasa, sebelum akhirnya ia menetapkan untuk
memantapkan pilihan untuk mempopulerkan lagu-lagu berbahasa Jawa Serang.
Anugerah Seni DKB 2017 diberikan kepadanya
karena dedikasinya dan komitmennya mengangkat identitas sosial dan budaya
melalui musik, dengan instrumen gitar yang setia ia mainkan bila ia tampil dan
bernyanyi. Berkat kerja-keras dan konsistensinya dalam memainkan dan
mempopulerkan kembali tembang-tembang dolanan yang sempat punah dan dilupakan
itu kembali hadir dan populer menjadi lagu-lagu yang easy listening, bisa
dinikmati masyarakat banyak di Banten, sebuah wujud ‘pencarian’ identitas
masyarakat Banten yang terjawab berkat kerja dan kiprah seninya selagi ia
hidup.