Berbicara tentang musik
adalah juga berbicara tentang upaya manusia menerjemahkan keberadaan mereka.
Secara historis dan kultural, musik dan agama ada bersama dengan kehadiran
manusia itu sendiri dalam kehidupan. Manusia, dalam kehidupan dan keseharian mereka,
senantiasa melakukan tafsir artistik dan estetik dalam rangka mengafirmasi dan
melegitimasi kebutuhan badani dan rohani mereka.
Musik, yang bila kita
meminjam telisik dan tafsir filologisnya Friedrich Wilhelm Nietzsche dalam
bukunya yang bertajuk The Birth of Tragedy itu, adalah saudara kembarnya puisi,
diciptakan dan dikonstruksi atas dasar nada yang melahirkan keindahan dan
penghiburan bagi para penyimak dan penikmatnya, selain sebagai tafsir ‘Sang
Ada’ dan modus mengada manusia itu sendiri dalam kehidupan dan keseharian.
Sebagaimana seni itu
sendiri secara umum, yang bila kita menggunakan pandangan filosofisnya
Aristoteles yang berfungsi sebagai katarsis sekaligus sebagai kerja
intelektual, seperti halnya teater, musik memiliki fungsi profanik dan teofanik,
sekular dan sakral. Ia bisa diciptakan hanya untuk memenuhi kebutuhan
penghiburan semata, namun juga bisa menjadi tafsir dan media yang sifatnya
religius, sebagaimana musik-musik meditatif religius kaum sufi.
Dulu kala, musik tak
terpisahkan dengan praktik-praktik dan ritus-ritus keagamaan, dipraktikkan dan
dipentaskan dalam upacara-upacara dan ritual-ritual keagamaan. Secara historis
dan kultural, Islam sendiri memberikan ‘makna’ dan ‘tafsir’ baru bagi musik,
diabdikan untuk tujuan-tujuan sakral dan maksud-maksud yang sifatnya religius,
seperti tembang-tembang yang menyenandungkan sholawat dan pujian, dengan
iringan instrumen-instrumen musik tertentu. Hingga, seperti kita kenal
sekarang, Islam datang dan Bangsa Persia membuatnya sebagai gerakan intelektual
dan artistik, dan melahirkan Qiroah Shab’ah.
Memang, haruslah diakui
pula, dalam dunia dan sejarah Islam, sikap dan pandangan terhadap musik
memiliki ragam varian, dari mulai yang ekstrem hingga yang moderat. Kelompok
ekstrem mengharamkan musik, sedangkan yang moderat terbagi antara membolehkan
dan menganggapnya sebagai makruh. Meski senantiasa berada dalam polemik,
perkembangan musik dalam sejarah Islam tidak pernah mati, malah memberikan
warisan dan pengaruh bagi musik dunia, semisal kepada Eropa ketika Islam hadir
di Peninsula Iberica.
Dunia Islam pun dikenal
sebagai penemu sejumlah instrumen musik, semisal Gitar dan sejumlah instrumen
musik petik (senar) lainnya. Tentu juga instrumen-instrumen perkusi. Bahkan
Dunia Islam pula yang mempraktikkan musik sebagai terapi dan pengobatan,
seperti yang dilakukan oleh Al-Kindi, Ibn Sina, dan Al-Farabi. Nama filsuf yang
terakhir dikenal sebagai praktisi dan teoritikus musik dunia, yang
risalah-risalahnya tentang musik menginspirasi para sarjana dan para komposer
dunia, terutama sekali di Dunia Eropa.
Di Indonesia sendiri, yang
ketika hadirnya Islam menjadi semacam terminal perlintasan ragam budaya dan
adaptasinya dengan khazanah lokal Indonesia, telah melahirkan jenis dan gagrak
tersendiri, semacam hibrida, termasuk musik-musik Religius Islam di Banten.
Inilah dasar dipilihnya Musik Religius Islam di Banten untuk Tema dan Materi
Bengkel Seni Budaya #12 Dewan Kesenian Banten 30 September 2017 pukul
15.30-Selesai, yang diisi dengan kajian dan pentas Musik Religius Islam di
Banten.
SULAIMAN DJAYA