Pada musim gugur 1965,
Norman Reddaway (George Frank Norman Reddaway) seorang yang terpelajar dengan
karir yang bagus di Kantor Luar Negeri Inggris, mendapat brifing untuk suatu
misi khusus. Duta Besar Inggris untuk Indonesia saat itu, Sir Andrew Gilchrist,
baru saja mengunjungi London untuk berdiskusi dengan Kepala Dinas Luar Negeri,
Joe Garner. Diskusi itu mengenai Operasi Rahasia (Covert Operations) untuk
melemahkan Sukarno, Presiden Indonesia yang merepotkan dan berpikiran mandiri,
ternyata tidak berjalan dengan baik. Lalu, Garner dibujuk untuk mengirim
Reddaway, pakar propaganda FO, untuk Indonesia. Tugasnya untuk mengambil hati
anti-Sukarno dalam "Operasi Propaganda" yang dijalankan oleh Kementerian
Luar Negeri Inggris dan Dinas Rahasia M16. Garner memberikan Reddaway £100.000
poundsterling tunai untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk
menyingkirkan Sukarno.
Kemudian Reddaway
bergabung dengan sebuah tim yang terdiri dari kelompok campuran dari
Kementerian Luar Negeri Inggris, M16, Departemen Luar Negeri dan CIA di Timur
Jauh (Asia Timur), semua berjuang untuk menggulingkan Sukarno dalam difus dan
cara-cara licik. Selama enam bulan ke depan, ia dan rekan-rekannya akan
menjalankan misi menjauhkan dan meretakkan teman dan kerabat yang bersekutu di
rezim Sukarno, merusak reputasinya dan membantu musuh-musuhnya di militer.
Pada bulan Maret 1966
basis kekuatan Sukarno mulai compang-camping dan ia dipaksa untuk menyerahkan
kekuasaan kepresidenan kepada Jenderal Suharto, sebagai panglima militer, yang
sudah menjalankan kampanye dengan pembunuhan massal terhadap dugaan komunisme. Menurut
Reddaway, penggulingan Sukarno adalah salah satu kudeta dan misi paling sukses
yang dilakukan oleh Kantor Luar Negeri Inggris yang telah mereka rahasiakan
sampai sekarang. Intervensi Inggris di Indonesia, disamping operasi CIA yang
"gratis", menunjukkan seberapa jauh Kementerian Luar Negeri siap
untuk melakukan operasi rahasianya dalam mencampuri urusan negara lain selama
Perang Dingin.
Indonesia sangat penting
baik secara ekonomi dan strategis. Pada tahun 1952, AS mencatat bahwa jika
Indonesia jauh dari pengaruh Barat, maka negara tetangganya seperti Malaya
mungkin akan mengikuti, dan mengakibatkan hilangnya sumber utama dunia karet
alam, timah dan produsen minyak serta komoditas lainnya yang sangat strategis
dan penting. Ketika terjadi penjajahan oleh Jepang saat Perang Dunia Kedua di
Indonesia, yang bagi orang Indonesia bahwa ini adalah sebuah periode lain yang
dilakukan oleh pemerintahan kolonial, telah direvitalisasi gerakan nasionalis
yang setelah perang, menyatakan kemerdekaan dan berkuasanya Republik Indonesia.
Ahmad Sukarno menjadi
presiden pertama Indonesia. Kekhawatiran Barat tentang rezim Sukarno tumbuh
karena kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada puncaknya
beranggotakan lebih dari 10 juta, ini adalah partai komunis terbesar di luar
negara komunis (non-komunis) di dunia. Kekhawatiran dunia barat tidak dapat
disembuhkan oleh kebijakan internal dan eksternal Sukarno, termasuk
nasionalisasi aset Dunia Barat dan peran pemerintah untuk PKI. Pada era awal
Sukarno di tahun 60-an, masa ini telah menjadi duri besar bagi Inggris dan
Amerika. Mereka percaya ada bahaya nyata bahwa Indonesia akan jatuh ke komunis.
Untuk menyeimbangkan kekuatan ketentaraan yang tumbuh, Sukarno menyelaraskan
dirinya lebih dekat dengan PKI.
Indikasi pertama dari
ketertarikan Inggris dalam menghilangkan Sukarno muncul dalam sebuah memorandum
CIA dari tahun 1962. Perdana Menteri Macmillan dan Presiden Kennedy setuju
untuk melikuidasi Presiden Sukarno, tergantung pada situasi dan kesempatan yang
tersedia. Permusuhan terhadap Sukarno diintensifkan oleh keberatan Indonesia
atas keberadaan "Federasi Malaysia". Sukarno mengeluhkan proyek ini
sebagai plot neo-kolonial yang menunjukkan bahwa Federasi adalah proyek Barat
untuk mengekspansi tanah raja-raja Malon dengan cara mencomot wilayah pulau
Kalimantan dan penerusan pengaruh Inggris di wilayah tersebut.
Tercatat dalam sejarah sebelum
terjadi penjajahan di wilayah Asia Tenggara oleh Inggris, Belanda, Portugis dan
negara imperialis lainnya, Nusantara jauh lebih besar. Kini terkotak-kotak dan
terpisah sesuai dengan 'bagi-bagi kue' diantara negara imperialis tersebut. Niat Sukarno ingin menyatukan kembali
raja-raja yang dulunya bersatu padu kembali berjaya dalam Republik Indonesia
Raya (Greater Indonesia) atau Melayu Raya. Pada tahun 1963 keberatan Sukarno
mengkristal dalam kebijakan tentang "Konfrontasi Indonesia-Malon",
yaitu sebuah kebijaksanaan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan pihak
Malon yang dianggap pro-imperialis, dan segera ditambah dengan intervensi
militer tingkat rendah oleh Indonesia.
Sebuah perang perbatasan
yang berlarut-larut dimulai sepanjang 700 mil di perbatasan antara Indonesia
dan Malon di pulau Kalimantan dan pihak Malon sempat kewalahan, lalu pihak
mereka akhirnya dibantu oleh Inggris dan juga dibantu Australia. Sukarno tak
rela, saudara-saudara mereka (suku Dayak dan suku lainnya di Kalimantan) yang tinggal
di satu pulau, ternyata dibagi menjadi dua bagian, mereka sejatinya adalah
satu, satu saudara, dan tak boleh dipisahkan. Dan sebenarnya memang begitulah
yang terbaik bagi mereka untuk menjadi satu, namun karena ada campur tangan
Inggris di sana pada saat menjajah, maka pulau yang terdiri dari para raja-raja
Kalimantan tersebut justru dibagi menjadi dua bagian.
Kalimantan dibagi-bagi,
dan pembagian daerah jajahan ini dilakukan oleh negara imperialis setelah
menguasai Kalimantan. Dua bagian itu adalah utara dan selatan, yang bagian
utara menjadi Kalimantan Utara (bekas jajahan Inggris dan menjadi negara
caplokan boneka Malon, karena di dukung Inggris) dan wilayah Kalimantan Selatan
(bekas jajahan Belanda dan tetap menjadi Indonesia). Jadi secara otomatis
mental para raja-raja Malon adalah memang bukan pejuang dan merupakan
kaki-tangan Imperialis Inggris sejak dulu hingga kini. Menurut sumber-sumber
Kementerian Luar Negeri Inggris, keputusan untuk menyingkirkan Sukarno telah
diambil oleh pemerintah Konservatif Macmillan dan dilakukan selama pemerintahan
partai buruh oleh Wilson pada tahun 1964.
Kementerian Luar Negeri
Inggris telah bekerja sama dengan rekan-rekan Amerika mereka pada sebuah
rencana untuk menggulingkan Sukarno yang masih bergolak.
Maka dibuatlah sebuah
operasi rahasia dan strategi perang psikologis yang menghasut, berbasis di
Phoenix Park, Singapura, markas Inggris di kawasan itu. Tim intelijen M16
Inggris melakukan hubungan dekat secara terus-menerus dengan elemen kunci dalam
ketentaraan Indonesia melalui Kedutaan Besar Inggris. Salah satunya adalah Ali
Murtopo, kemudian kepala intelijen Jenderal Suharto, dan petugas M16 juga
secara terus-menerus melakukan perjalanan bolak-balik antara Singapura dan
Jakarta.
Informasi Departemen Riset
Kantor Luar Negeri Inggris (The Foreign Office’s Information Research
Department atau IRD) juga bekerja dari Phoenix Park, Singapura guna memperkuat
kerja intelijen M16 dan ahli perang psikologis militer. IRD didirikan oleh
pemerintah Partai Buruh di Inggris pada tahun 1948 untuk melakukan perang
propaganda anti-komunis melawan Soviet. Tetapi dengan cepat justru IRD menjadi
andalan dalam berbagai operasi gerakan anti-kemerdekaan dalam usaha penurunan
kolonial dan imperialisme oleh Kerajaan Inggris (British Empire) oleh
negara-negara yang sedang dijajah, termasuk di utara pulau Kalimantan yang
masih dipertahankan oleh Inggris melalui Malaysia, hingga kini.
Pada tahun 60-an, IRD
memiliki staf di London sekitar 400 orang dan staf informasi yang berada di
seluruh dunia guna mempengaruhi liputan media yang menguntungkan pihak Inggris.
Menurut Roland Challis, koresponden BBC pada saat di Singapura, wartawan
terbuka bagi manipulasi IRD, karena ironisnya kebijakan Sukarno sendiri. Dengan
cara yang aneh dan tetap menjaga keberadaan media dari luar negeri di
Indonesia, Sukarno justru membuat mereka manjadi korban dari media resmi luar
negeri tersebut karena hampir satu-satunya informasi penyadapan dan mata-mata
yang bisa didapatkan adalah dari Duta Besar Inggris di Jakarta.
Kesempatan untuk
mengisolasi Sukarno dan PKI datang pada bulan Oktober 1965 ketika dugaan
percobaan kudeta oleh PKI adalah 'dalih dari tentara' untuk menggulingkan
Sukarno dan membasmi PKI. Siapa sebenarnya yang menghasut kudeta, dan untuk
tujuan apa, tetap menjadi spekulasi. Namun, dalam beberapa hari kudeta itu
telah dilakukan lalu terjadi kehancuran, dan pihak tentara dengan tegas telah
mengendalikan situasi. Kemudian Suharto menuduh Partai Komunis Indonesia atau
PKI berada di balik kudeta, dan mulai menekan mereka.
Setelah kudeta yang
dirancang oleh Inggris dengan memanfaatkan situasi telah berhasil, pada tanggal
5 Oktober 1966, Alec Adams, penasihat politik untuk Commander-in-Chief, Wilayah
Timur Jauh, menyarankan Departemen Luar Negeri: "Kita harus tak ragu-ragu
untuk melakukan apa yang kami bisa lakukan secara diam-diam untuk menghitamkan
PKI di mata tentara dan orang-orang Indonesia." Kementerian Luar Negeri
Inggris setuju dan menyarankan tema propaganda yang cocok seperti kekejaman PKI
dan intervensi Cina.
Salah satu tujuan utama
yang dikejar oleh IRD adalah membuat opini tentang ancaman yang ditimbulkan
oleh PKI dan komunis Cina. Laporan surat kabar Inggris terus menekankan bahaya
yang akan dilakukan PKI. Tapi
keterlibatan Sukarno dengan PKI pada bulan-bulan setelah kudeta berdarah justru
yang akhirnya menjadi kartu truf untuk Inggris.
Menurut Reddaway,
"Pemimpin komunis, Aidit, melarikan diri alias buron dan Sukarno menjadi
politikus, pergi ke depan istana dan mengatakan bahwa pemimpin komunis Aidit
harus diburu dan diadili. Dari pintu samping istana, Sukarno selalu berurusan
dengan Aidit setiap hari oleh seorang kurir." Informasi ini diungkapkan oleh intelijen
sinyal GCHQ Inggris (the signal intelligence of Britain’s, GCHO). Orang-orang
Indonesia tidak memiliki teknologi tentang rahasia mata-mata stasiun radio
dengan bermuka dua dipantau dan didengar oleh GCHQ, sedangkan Inggris memiliki
basis penyadapan utama di Hong Kong untuk menyiarkan peristiwa di Indonesia.
Mendiskreditkan Sukarno
adalah penting bagi Inggris. Sukarno tetap menjadi pemimpin yang dihormati dan
populer selama Suharto yang tidak bisa bergerak secara terbuka, sampai kondisi
benar-bener memungkinkan untuk melakukan kudeta. Rentetan konstan dengan
cakupan internasional yang buruk dan posisi politik jungkir balik Sukarno,
secara fatal telah merusak dirinya.
Pada tanggal 11 Maret
1966, Sukarno dipaksa untuk menandatangani surat atas pengambil-alih kekuasaan
kepada Jenderal Suharto yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) tahun 1966. Sekarang, hal ini dianggap terkait erat dengan usaha
kudeta dan masalah PKI, Sukarno telah didiskreditkan ke titik dimana tentara
merasa mampu bertindak. PKI telah dieliminasi sebagai kekuatan yang signifikan
dan kediktatoran militer pro-Barat yang mapan. Hal itu dilakukan tidak lama
sebelum Suharto dengan diam-diam mengakhiri kebijakan yang akhirnya tidak aktif
dalam Konfrontasi Indonesia dengan Malon yang mengakibatkan peningkatan sangat
cepat dalam hubungan Anglo-Indonesia yang terus menghangat hingga hari ini.
Disadur dari Britain’s Secret Propaganda War 1948-77
by Paul Lashmar and James Oliver.