oleh Ayatullah Muhammad Baqir As-Shadr
SYI’AH DAN
DAKWAH NABI SAWW
Kerap kali sebagian
besar para analis dan kaum intelektual mempelajari “Syi'ahisme atau Tasyayyu"
dengan didasari kesan subjektif dan kesimpulan yang agak rapuh. Mereka beranggapan
bahwa Syi'ahisme merupakan pemandangan yang ganjil dalam tubuh masyarakat Islam
yang lebih dominan. Anggapan ini mereka simpulkan bertolak dari kenyataan yang
ada dimana Syi'ah hanya terdiri dari beberapa individu yang muncul dengan corak
tertentu di tengah-tengah masyarakat Islam yang jauh lebih besar jumlah serta
pengaruhnya. Selanjutnya kelompok minoritas tersebut berkembang biak sebagai
akibat dan efek daripada serangkaian perkembangan politik-sosial yang terjadi
pada saat itu. Dengan kata lain, mereka telah menjadi bayi yang dilahirkan oleh
kondisi labil saat itu.
Kejadian dan
perkembangan-perkembangan itu secara otomatis telah mengakibatkan munculnya
haluan yang bercorak unik dan lain daripada yang lain di tengah masyarakat
Islam yang jelas berbeda dengan mereka, lambat laun aliran pemikiran baru ini
makin membengkak dan sempat melebarkan sayap pengaruh radikalnya beberapa senti
di hati sebagian muslimin atau kebanyakan dari mereka.
Para penganalisa itu
–setelah beranggapan demikian- secara serentak saling berselisih pendapat
mengenai faktor utama aliran tersebut dan gejala perkembangan tertentu yang
jelas telah melahirkan kelompok kecil itu. Sebagian mereka berpendapat bahwa
Syi'ahisme adalah pendapat yang dicetuskan oleh seorang yang konon bernama
Abdullah bin Saba`. Ada juga yang mengatakan demikian bahwa timbulnya
Syi'ahisme merupakan pengaruh daripada kebijaksanaan politik Ali bin Abi Thalib
a.s., mengingat pada zaman pemerintahan beliau telah terjadi
perkembangan-perkembangan yang amat seru dan mendebarkan. Sebagian lain
beranggapan bahwa munculnya Syi'ahisme adalah akibat alami yang tak terelakkan
dari perkembangan-perkembangan politik yang terjadi pada masa terakhir dalam
serangkaian dan rentetan sejarah umat Islam.
Berdasarkan logika
yang saya pijak, pendapat-pendapat yang dilontarkan para sarjana itu adalah
kesimpulan dari penjabaran yang tidak argumentatif dan kurang rasional, yaitu
dengan berkesimpulan bahwa Syi'ahisme merupakan fenomena yang ganjil dan aneh.
Kesimpulan ini mereka serap dari dasar kenyataan sebelumnya yaitu kenyataan
Syi'ahisme hanyalah segolongan masyarakat kecil yang tumbuh segar di
tengah-tengah masyarakat lain yang lebih dominan dan besar jumlahnya.
Kenyataan inilah yang
menyeret mereka ke suatu lembah sehingga beranggapan bahwa non-Syi'ah adalah
tolok ukur yang harus dijadikan sebagai satu-satunya cara dalam membagi dan
membedakan antara kelompok mana yang orisinil dan lebih dahulu muncul? Disamping
itu semua, penjabaran semacam ini bertentangan dengan kenyataan adanya
perbedaan dan terbaginya aliran-aliran yang kita temukan selama ini.
Kadang-kadang kita mengklaim suatu aliran sebagai yang paling benar bukan atas
dasar jumlah pengikut aliran tersebut atau dari segi banyak dan sedikitnya,
demikian juga sebaliknya kita terkadang menganggap suatu akidah sebagai akidah
yang keliru dan sesat tanpa mempertimbangkan jumlah penganut akidah tersebut.
Lagi pula mungkin masa timbulnya akidah atau aliran yang kita anggap sesat atau
sebaliknya akidah yang kita anggap benar berbarengan dalam satu tempo dan
waktu. Perlu digarisbawahi bahwa terkadang kedua aliran menyuarakan satu misi
dan konsep yang sama; misalnya kedua aliran itu sama mengaku sebagai Islam yang
murni dan pengikut-pengikutnya merasa bagian dari umat Muhammad SAWW. Sama
halnya dengan Syi'ah dan non-Syi'ah, presentase dan jumlah pengikut kedua garis
pemikiran yang kurang seimbang itu tidak patut dijadikan sebagai bukti akan
keotentikan dan kemurnian salah satunya.
Perlu dicamkan
baik-baik bahwa kita tidak dibenarkan –berdasarkan hukum logika- beranggapan
masa timbulnya dan populernya istilah dan nama Syi'ah atau Tasyayyu'
berbarengan dengan masa munculnya golongan serta konsep Tasyayyu' itu sendiri;
sebagai istilah populer dan akrab bagi suatu aliran dan golongan tertentu di
tengah masyarakat yang tampaknya mengakui eksistensi dan keberadaan mereka
selaku oposan dan bagian dari mereka yang memiliki hak bersuara dan bernafas,
sebab munculnya nama serta lahirnya golongan yang menyandang nama itu tidak
mesti bersamaan dalam satu waktu (seperti lahirnya seorang bayi janin yang
belum diberi nama atau sebaliknya seperti bila kita telah memberi nama kepada
janin yang belum lahir). Hal ini sering kali terjadi.
Kita mungkin belum
pernah menemukan kalimat dan sebutan "Syi'ah" dalam percakapan
sehari-hari pada zaman Nabi SAWW berikut setelah wafatnya. Namun, kenyataan ini
tidak menjamin dan dapat membuktikan bahwa golongan Syi'ah ini belum pernah ada
pada zaman Nabi SAWW, baik secara praktis operasionil maupun secara teoritis
dan konsepsional. Jika kita sudah memperhatikan dan memahami dengan jelas
pokok-pokok di atas, maka insya-Allah kita akan mampu mengambil gambaran yang
jelas serta kesimpulan yang gamblang dan rasional. Tentunya itu semua tidak
akan kita dapatkan sebelum menemukan jawaban yang jitu dan mengena atas dua
pertanyaan pokok berikut ini: Bagaimana proses timbulnya Syi'ahisme? Bagaimana
proses lahirnya golongan Syi'ah itu sebenarnya?
PEMBAHASAN
PERTAMA: BAGAIMANA TIMBULNYA SYI'AHISME?
Secara keseluruhan dan
global dapat kita pastikan bahwa Tasyayyu' adalah, "Hasil produksi
pengelola motor dakwah Nabi" sejak beliau memulai karir dan menjalankan
tugas sucinya sebagai Duta Luar Biasa Allah SWT. Syi'ahisme merupakan formula
yang berkualitas tinggi dengan khasiat yang tak dapat diragukan lagi dan diramu
seteliti mungkin sebagai konsep istimewa yang dipaparkan guna menjaga
kesinambungan dan kelangsungan program kerja penyebaran dakwah Rasul dan guna
mewujudkan cita-cita luhur beliau untuk menciptakan masyarakat yang sadar
sepenuhnya akan politik, sosial, dan budaya serta maju seiring dengan proses
naturalis evolusi dan perkembangan yang lumrah dan normal.
Hal ini bisa kita
simpulkan secara rasional bila memantau dengan seksama dan jeli ke arah dakwah
yang merupakan proyek besar yang dicanangkan oleh Rasul dalam lingkar batas
situasi dan kondisi yang ada pada saat itu. Langkah dan kebijaksanaan pertama
yang diambil Nabi dalam upaya menjaga kelancaran dan memobilisasikan masyarakat
ke arah dakwah ialah mengendalikan tali pemerintahan dan kekuasaan dengan
tangan beliau sendiri dan secara langsung menanganinya dengan melibatkan diri
secara total dalam aksi dan operasi politis yang beliau galakkan sendiri demi
kesuksesan proyek.
Langkah kedua ialah
berusaha sekuat mungkin dengan persiapan yang matang agar program ini tidak
mandek dengan melancarkan aksi perombakan dan pembenahan total dalam tubuh
masyarakat; moral, mental, pola tindak, cara berpikir, watak dan seluruh aspek
yang bertalian erat dengan mereka. Patut diingat bahwa operasi perombakan dan
pembersihan total serta menyeluruh itu tentunya memerlukan jangka waktu yang
tidak sebentar serta menuntut adanya kekuatan yang dapat diandalkan untuk
mengawal perjalanan dakwah dalam mencapai kesuksesannya yang gemilang dan besar
sekaligus untuk menepis dan menyingkirkan segala macam hambatan dan
gejala-gejala kelesuan yang bisa mengganggu kelancaran proyek penyebaran.
Mengingat perbedaan
antara Islam dan kultur jahiliyah sangat jauh dan bersifat fundamental, maka tugas
berat beliau ialah merintis dari awal mula menciptakan manusia muslim seutuhnya
dari manusia yang sama sekali asing tentang nilai kesopanan dan telah menjadi
bagian dari kepandiran jahiliyah yang luar biasa, membenahi manusia jahilis
dengan membersihkannya dari segala jenis noda dan pengaruh kotor serta
membebaskannya dari jeratan dan belenggu moral kultur jahiliyah.
Dalam memulai langkah
baru ini, Rasul telah mengambil sikap yang mencengangkan dengan mempelopori
aksi Sapu Bersih secara total terhadap dasar-dasar jahiliyah dalam tempo waktu
yang relatif singkat sekaligus membuahkan hasil-hasil yang gemilang dan
mengagumkan. Semestinya operasi perombakan itu harus dilanjutkan dan tidak
berhenti begitu diketahui bahwa Rasul meninggal dunia.
Perlu diketahui bahwa
beliau seringkali memberitahukan tentang saat meninggalnya yang makin dekat.
Itu sering dikatakannya, baik secara terang-terangan maupun secara implisit
sebagaimana dalam peristiwa Hajjatul Wada’ (Haji Wada’ atau Haji Perpisahan) yang
mana itu memberi kesan kepada kita bahwa beliau tidak wafat secara tiba-tiba.
Jadi, berarti beliau mempunyai kesempatan luang untuk memikirkan
langkah-langkah berikut yang semestinya diambil dengan mempersiapkan rancangan
dan konsep yang sempurna dan jelas demi terwujudnya semboyan proyek dakwah yang
telah dirintisnya, apalagi –selaku muslimin- kita yakin bahwa adalah tugas dan
kebijaksanaan Allah melalul sifat belas kasih dan kelembutan-Nya untuk
melestarikan dakwah hingga menggapai kesuksesan yang diincarnya melalui wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAWW.
Dengan demikian kita
sadari bahwa hanya ada tiga macam alternatif jalan yang mungkin salah satunya
telah ditempuh Rasul demi masa depan dan keberhasilan program pengembangan
dakwah beliau.
ALTERNATIF
PERTAMA: SIKAP YANG MUNGKIN DIAMBIL RASUL
Bersikap pasif
terhadap masa depan dan kelanjutan misi dakwah. Cukup hanya menyelesaikan tugas
pemiliharaan dakwah selama masa hidupnya. Adapun kelanjutannya, maka nasibnya
tergantung pada kondisi mendatang dan kemungkinan serta kejutan yang timbul
kelak. Alternatif dan interpretasi ini tidak layak bagi Rasul. Mustahil beliau tidak peduli akan
kelangsungan dakwah selanjutnya, sebab alternatif dan anggapan "Rasul
bersikap masa bodoh" ini hanya berdasarkan dan kemungkinan yang tidak
rasionil dan tidak realistis.
DASAR PERTAMA: Bahwa kemungkinan sikap dingin yang diambil dan diperlihatkan Nabi tidak
akan mengganggu kelancaran dakwah setelah wafatnya, sebaliknya masyarakat kelak
dengan sendirinya berandalkan kreativitas mereka akan sadar pada tanggung jawab
mengembannya serta mampu bertindak selaras dengan kebijaksanaan dan langkah
yang pernah diambil oleh Nabi dan seiring dengan apa yang telah digariskannya.
Dasar kemungkinan ini
kurang realistis, bahkan kebanyakan segala sesuatu selalu memantulkan
kebalikannya, mengingat dakwah yang telah dirintis. Itu merupakan serangkaian
upaya perombakan total secara tuntas dan mengakar. Operasi tersebut digalakkan
dengan dasar tujuan dan cita-cita membina masyarakat baru dan segar sekaligus
mencabut segala macam akar yang lama sekali bercokol dan melepaskan segala
macam tali kotor jahiliyah yang selama ini menjerat mereka sejak berabad-abad
dan menjadi sistem sosial mereka satu-satunya dan menjadi cermin bagi pola
hidup mereka sehari-hari. Operasi penyapuan sisa-sisa kanker jahiliah ini akan
terbentur dengan kemungkinan-kemungkinan bahaya yang akan timbul sebagai akibat
negatif dari kevakuman dan ketiadaan seorang pemimpin atau akibat psikis dari
kematian seorang pemimpin (Nabi) tanpa meninggalkan pesan atau mewariskan
konsep bagi program pemerataan dakwah setelah sebagai efek dari pada tindakan
spontan dan upaya penyelamatan sekonyong-konyong dalam rangka menanggulangi dan
mengisi lapangan yang hampa dari seorang pemimpin.
Secara alami kehampaan
itu menuntut adanya tindakan penyelamatan darurat secara kilat guna mengisinya
dengan tindakan dan sikap yang cepat dan spontan juga. Dengan kata lain keadaan
tidak peduli akan kehampaan dan kesulitan. Keadaan hanya meminta pemimpin dan
pengisi lubang. Hal ini akan lebih jelas lagi kalau kita memantau lebih dekat
dan seksama, masyarakat pada saat itu sedang dilanda kegelisahan dan tidak tahu
apa yang semestinya mereka perbuat, mengalami depresi yang amat kuat karena
ditinggal wafat seorang pemimpin yang kharismatik dan sangat berpengaruh.
Bila kita beranggapan
bahwa Nabi telah meninggalkan masyarakat dan arenanya tanpa terlebih dahulu
mempersiapkan rancangan dan jadwal kerja yang matang serta tajuk demi
menyongsong masa depan yang memprihatinkan, maka sebagai dampaknya, akan timbul
tindakan dari pihak massa secara gegabah dan tidak sistematis yang
"kebetulan" merasa bertanggung jawab dan berkepentingan menangani
masalah untuk pertama kali. Hal mana, masalah-masalah tersebut sangat tabu dan
sulit ditangani bila tanpa bimbingan pemimpin sebelumnya, apalagi bila
ditangani oleh orang yang bukan profesional, sedangkan rakyat pada saat itu
tidak mengerti dan tidak mempunyai gambaran yang cukup menjamin kemampuan
mereka tentang hal itu.
Namun di sisi lain,
kevakuman itu menuntut tindakan secepatnya dan segera dilaksanakan tepat pada
saat masyarakat sedang dicekam duka dan dirundung kegelisahan karena Sang
Pemimpin Besar pergi menemui Kekasih Sejati Allah SWT tanpa permisi. Adalah
logis, kebingungan ini sedikit banyak menghambat dan mengganggu konsentrasi dan
menimbulkan stress dan kepincangan dalam tindakan, sampai-sampai salah seorang
sahabat senior berteriak-teriak histeris: "Rasulullah belum mati!
Rasulullah tidak akan mati! Siapa yang mengatakan mati!".
Pertanda bahwa
kebingungan telah melanda seluruh lapisan masyarakat. Sikap lepas kontrol
sahabat kawakan ini cermin dari pada opini massa yang ketegangannya belum reda
karena ditinggal mati "Pengasuh", "Ayah",
"Pemimpin" dan kebanggaan mereka Muhammad SAWW dan karena tidak ada
pengganti yang sesuai. Di samping itu semua, terdapat beberapa bahaya yang
mengancam dan timbul akibat dari krisis integritas dan intelektualitas serta
kenaifan tentang seluk-beluk serta perjalanan dakwah selanjutnya, yang mana pada
saat genting dan mencekam itu dibutuhkan seorang pemimpin prima dan arif
seperti Nabi.
Bahaya lain yang akan
timbul ialah akibat buruk dari tindakan mendadak dan gerak refleks masyarakat
dalam menanganinya, yang mana itu pasti tidak senada dan sealur dengan cara
yang ditempuh Rasul sekaligus bertentangan dengan tuntutan misi serta
konsekuensinya sebagai misi yang ditegakkan guna melenyapkan pertentangan
spiritual antara masyarakat yang kala itu terpecah menjadi puak-puak dan blok
seperti antara kelompok Muhajirin dan Anshar (masyarakat pendatang dan penduduk
asli), antara suku besar Quraisy dengan suku-suku lain, begitu juga antara
penduduk kota Makkah dan penduduk kota Madinah.
Bahaya-bahaya tersebut
akan lebih menakutkan bila kita sisipkan faktor oknum-oknum (Kaum Munafikin)
apalagi setelah kita ketahui bahwa jumlah mereka bertambah banyak setelah kota
Makkah ditaklukkan, yang mana penaklukan itu membuat orang-orang Quraisy
ketakutan dan mengucapkan secara terpaksa dua kalimat Syahadat. Bahaya-bahaya
ini tidak hanya menimpa masyarakat dan mengancam eksistensi Islam saja, tapi
ini semua merupakan refleksi alami dari tidak-adanya seorang yang dapat
menggantikan pemimpin agungnya yang wafat. Dan masyarakat pada saat itu tidak
hanya kehilangan seorang pemimpin, tapi kehilangan pengasuh berkharisma tinggi
yang bergelar Khatamul Anbiya pelengkap semua ajaran para Nabi.
Abu Bakar dengan
alasan hendak menyelamatkan umat telah mengambil alih tampuk kekuasaan dengan
gesit. Tindakan positif ini ia lakukan –katanya- demi masa depan dakwah dan
kesinambungannya. Kekhawatiran dan kecemasan itu juga terlihat ketika beberapa
orang berbondong-bondong menuju Umar bin Khatab sambil berteriak-teriak:
"Sudikah Anda memimpin? Masyarakat sangat cemas akan kekosongan seorang
pemimpin padahal saat itu situasi kondisi kembali stabil sejak upacara
pelantikan dan penobatan Abu Bakar sebagai Khalifah"(Tarikh Ath-Thabari
juz 5 hal. 26).
Kekhawatiran demikian
juga melanda hati Umar. Hal ini terlihat dalam penunjukkannya kepada enam orang
dari rekan-rekannya sebagai kandidat-kandidat terbatas jabatan Khalifah. Ini
pertanda bahwa betapa besar kekhawatiran sahabat senior ini melihat dan
membayangkan bahaya-bahaya yang timbul akibat kekosongan seorang pemimpin dan
tidak-adanya pengganti berikutnya.
Umar sadar akan
bahaya-bahaya dan gawatnya situasi jlka tidak ada seorang yang mengendalikan
segera di hari sidang darurat Saqifah dan sadar akan efek negatif dari cara
pembai'atan dan pemilihan Abu Bakar yang dilangsungkan secara mendadak itu. Kekecewaan
tersebut tercermin dalam kesaksiannya pada detik terakhir dari sisa hidupnya.
Kesaksian itu demikian bunyinya: "Pembai'atan
Abu Bakar sebenarnya adalah serpihan api (penyelewengan), hanya saja Allah
telah menjaga muslimin dari pengaruh buruk pembai'atan tersebut!"
(Tarikh Ath-Thabari juz 3 hal. 42).
Abu Bakar sendiri
pernah mengemukakan penyesalannya atas tindakannya yang tergesa-gesa menerima
tawaran untuk memimpin. la mengutarakan alasan penerimaan hanya karena ingin
menyelamatkan keadaan yang kritis dan karena ia dapat membayangkan betapa
bahayanya jika tidak ada seorang yang menggantikan Nabi. Itu tergambar dalam
keterangan yang diberikannya: Rasulullah meninggal pada saat masyarakat masih
baru menanggalkan busana pengaruh jahiliyah mereka dan memasuki hidup baru. Aku
khawatir masyarakat akan kacau balau dan sesat, sedangkan sahabat-sahabatku tak
peduli yang sebaliknya menggantungkan tanggung jawab ini kepadaku saja (Syarah
Nahjul Balaghah Juz 6 hal.42).
Jadi, apabila hal-hal
diatas semua benar dan terbukti, maka tak ayal lagi bahwa Rasulullah akan lebih
arif memikirkan dan merasakan efek dan bahaya yang akan timbul akibat dari
sikap pasif tersebut. Beliau tentu lebih
mengerti tuntutan dan langkah apa yang harus diambil demi upaya pembenahan dan
operasi perombakan yang dirintisnya sendiri terhadap masyarakat Islam yang baru
kemarin meninggalkan jahiliyah yang sejak berabad-abad menjadi sistem hidup
mereka sebagaimana diutarakan oleh Khalifah Abu Bakar bin Abu Quhafah ra.
DASAR KEDUA: Bahwa Rasul mengambil sikap pasif demikian atas dasar bahwa tugas utama
beliau adalah mengawal Dakwah Islamiah dan berhenti pada masa wafatnya. Maka
sekali pun beliau menyadari akan efek negatif dari sikap pasif itu tapi beliau
tidak merasa bertanggung jawab memikirkan masa depan dan prospek misi yang
diembannya. Yang penting baginya adalah menjaga dakwah pada masa hidupnya dan
telah dapat memetik keuntungan bagi pribadinya.
Dasar kemungkinan dan interpretasi sikap pasif dengan
keterangan demikian tidak relevan dan tidak sesuai dengan kriteria sebagai
pribadi pemimpin ideologi dan bijaksana. Apalagi kita memandangnya sebagai Nabi termulia yang mempunyai hubungan
supernatural dan halus dengan Allah SWT secara langsung dalam mengatasi segala
urusan yang berkaitan dengan misi Risalah selaku pemimpin unggul yang merupakan
manifestasi sempurna bagi seluruh kriteria dan wadah yang berisikan segala
macam sifat dan syarat-syarat seorang pemimpin yang handal dalam ketulusan,
loyalitas, kesetiaan, pengorbanannya yang tak terhingga dalam mensukseskan
dakwah.
Terbukti dalam
buku-buku sejarah bahwa ketika Rasulullah hampir menghembuskan nafasnya yang
terakhir di atas ranjang dan pada saat yang paling kritis dan pada saat rasa
sakitnya mencapai klimaks beliau masih merasa bertanggung jawab untuk
menyiapkan satuan perang yang memang sejak sebelumnya telah direncanakannya
untuk segera diberangkatkan di bawah pimpinan komandan Usamah bin Zaid yang
telah ditunjuknya meninggalkan kota Madinah menuju medan tempur. Berulang-ulang
beliau berteriak sambil menyeru dengan nada jengkel dan marah: Siapkan pasukan
Usamah! Satuan tempur Usamah harus segera bertolak! (Tarikh AI-Kamil karya Ibnu
Atsir).
Betapa besar perhatian
Nabi pada masalah-masalah militer sedangkan pada saat itu, agar segera bertemu
dengan Kekasihnya dan meninggalkan masyarakat yang telah dibinanya untuk
selamanya. Beliau tahu bahwa beberapa saat lagi beliau akan meninggal dunia. Namun
detik-detik terakhir dari sisa hidup itu tidak menghalangi atau mengurungkan
tekad dan tanggung-jawabnya meskipun beliau tahu hasil dan akhir dari
pertempuran yang diserukannya itu menang atau kalah.
Jika demikian perhatian beliau pada masalah militer,
bukankah suatu anggapan yang tidak relevan dan nihil sekali bila dikatakan
bahwa Nabi Muhammad SAWW tidak memikirkan masa depan dakwah secara keseluruhan,
yang mana urusan militer merupakan salah satu dari aspek-aspek dan
penunjangnya. Memalukan sekali bila kita beranggapan bahwa beliau tidak
memperhitungkan dan mengukur bahaya-bahaya yang kemungkinan dapat menggangu
kelangsungan dakwah.
Sebenarnya apa yang
dilakukan oleh Rasul pada detik-detik yang paling mendebarkan di akhir hidupnya
sudah cukup akurat untuk memberikan bukti konkrit yang menolak mentah-mentah
alternatif jalan pertama sekaligus merupakan gambaran yang cukup jelas bahwa
Rasul tidak sepicik dan senaif apa yang mereka bayangkan dan perkirakan bahwa
Nabi tidak peduli akan prospek dan nasib dakwah. Di samping itu terdapat sebuah
teks hadis yang disepakati oleh kalangan Syi'ah dan Sunni, demikian terjemahan
riwayat itu:
Ketika Rasulullah
hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir dan segera menemui Kekasihnya Yang
Maha Kuasa, sedang pada saat itu ada beberapa orang yang berada dalam rumah
beliau termasuk sahabat Umar bin Khatab, beliau meminta dengan suara parau
tersendat-sendat sambil menahan rasa sakit dan nyeri: "Berikan padaku selembar kertas dan tinta.
Aku tuliskan untuk kalian semua sebuah pusaka tulisan yang mana jika kalian
mematuhi isinya, maka pasti kalian tidak sesat setelah aku tinggal pergi"
(Musnad Ahmad bin Hanbal juz 1 hal. 300, Shahih Muslim An-Naisaburi juz 2 Bab
AI-Washaya dan Shahih Bukhari juz 1 Kitab An-Nikah).
Usaha yang dilakukan
Rasulullah ini dengan jelas menunjukkan bahwa beliau memikirkan dan prihatin
akan bahaya-bahaya yang mengancam masa depan dakwah serta menyadari sepenuhnya
akan betapa pentingnya menggariskan suatu konsep dan tajuk rencana kerja guna
menyelamatkan umat dari penyimpangan sekaligus guna melindungi proyek tersebut
dari kemandekan dan kegagalan. Bertolak dari sini kita dapat berkesimpulan
bahwa tidak mungkin Rasul bersikap pasif dan dingin terhadap prospek dakwah.
ALTERNATIF KEDUA: JALAN KEDUA YANG MUNGKIN DITEMPUH
RASUL
Rasulullah
merencanakan beberapa langkah dan terobosan demi masa depan dan pengembangan
dakwah setelah wafatnya dengan bersikap positif dan tanggap terhadap prospek
misinya, yaitu dengan menciptakan sistem negara dan pemerintahan atas dasar
syura (musyawarah) yang diperankan oleh generasi Muhajirin dan Anshar. Kedua
kelompok revolusioner tersebut dijadikan sebagai tulang punggung pemerintahan
dan bertindak selaku motor dakwah dan pembangunan dakwah itu sendiri dalam
setiap proses perkembangannya.
Untuk lebih jelasnya,
kita bawakan beberapa alasan dalam keterangan sebagai berikut: Seandainya Nabi
menaruh perhatian dan bersikap tanggap terhadap masa depan dakwah dengan
berlandaskan konsep pemerintahan syura setelah wafatnya dan menjadikan syura sebagai
dinding pelindung proyek pembinaan dakwah itu semuanya benar, maka semestinya
Rasul menggalakkan upaya pengkaderan secara intensif tentang konsep syura
dengan segala batas-batas dan garis-garisnya sekaligus mengesahkannya sebagai
sistem tunggal yang dibenarkan dan sangat luhur dalam Islam, sebab masyarakat
pada saat itu merupakan masyarakat yang sejak berabad-abad hidup di bawah
pengaruh sukuisme, rasialis dan tidak mengenal sama sekali sistem
permusyawaratan. Mereka telah tumbuh mekar di bawah pengaruh Qabilahisme yang
memprioritaskan faktor kekuatan fisik, kekayaan dan faktor warisan leluhur.
Dengan mudah kita dapat menyadari bahwa Nabi belum
pernah terbukti dalam sejarah hidupnya telah mengadakan operasi penataran
sistem syura secara lengkap dengan segala batas-batas dan kerangkanya, sebab kalau memang beliau melakukan hal itu, maka
itu pasti tercermin dalam sabda-sabda dan prilaku dan pola pikir masyarakat
atau sedikitnya terpantui pada tingkah laku dan cara berpikir generasi senior
Muhajirin dan Anshar selaku pengawal Revolusi elite, tegas dan bertanggung
jawab menerapkan sistem tersebut sebagai sistem negara yang konon dicetuskan
dan disahkan oleh Nabi sebagai pemerintahan. Namun itu semua tidak terbukti
dalam kenyataan hidupnya serta tidak terkesan dalam hadis dan sabda-sabda
beliau. Hadis-hadis Nabi tidak pernah berbicara dan menerangkan secara lengkap
dan serius tentang sistem syura, disamping itu secara keseluruhan tindakan
Muhajirin dan Anshar tidak memberi kesan bahwa mereka memahami seluk-beluk
sistem syura yang mereka katakan dan elu-elukan.
Masyarakat sahabat
saat itu terbagi menjadi dua partai yang saling bertentangan: Golongan yang
berkiblat kepada Ahlul Bait a.s. (Keluarga Rasul) dan Golongan yang dipelopori
oleh beberapa tokoh sahabat yang turut menghadiri Sidang Darurat Saqifah.
Prinsip dan garis pemikiran golongan pertama ialah berpegang teguh pada konsep
wishayah dan imamah, memprioritaskan faktor kerabat sebagai salah satu dasar
karena bukanlah sistem utama dalam Islam dan kenegaraan.
Prinsip dan garis
pemikiran golongan kedua ialah bersikeras bahwa syura adalah sistem
pemerintahan Islam setelah Nabi meninggal dunia, tapi pola pikir dan tingkah
laku serta semua kebijaksanaan politik golongan berkuasa ini tidak senada
dengan syura yang mereka dengungkan sebagai sistem tunggal dalam pembentukkan
suatu pemerintahan dalam Islam. Terbukti bahwa mereka sendiri tidak konsekuen
dengan prinsip syura tersebut sekaligus kurang konsisten dengan sumpah setia
Saqifah, baik pada masa hidup Nabi maupun setelah beliau wafat. Abu Bakar pada
detik-detik terakhir dari sisa hidupnya di atas pembaringan menunjuk rekannya,
Umar bin Khatab sebagai penggantinya memangku jabatan kekhalifahan dalam
selembar surat Kenegaraan yang ditulis oleh Utsman bin Affan (selaku Sekretaris
Negara). Demikianlah maksud dari pada isi surat itu:
"Dengan Nama
Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Berikut ini Abu Bakar selaku
Pengganti Rasulullah berpesan kepada para mukminin dan muslimin. Salam
sejahtera bagi kalian. Saya haturkan puji syukur ke Hadirat Allah demi kalian
semua. Bersama ini, saya dengan resmi telah menunjuk rekan saya yang bernama
Umar putra Khattab sebagai pemimpin. Maka harapan dan himbauan saya ialah
semoga hendaknya kalian mendengar dan mematuhinya. Sekian".
Setelah penulisan itu
selesai, Abdurrahman bin Auf masuk dan begitu ia mendengar berita penunjukkan
telah dilaksanakan ia langsung protes sambil berkata kepada Abu Bakar: Hai
Khalifah! Bagaimana Anda ini sebenarnya? Abu Bakar menjawab dengan nada
bertanya: Kenapa kalian semua memprotes penunjukkan itu dan menambah berat
bebanku lalu masing-masing menuntut jabatan itu (Tarikh Al-Ya'qubi juz 2 hal.
126-27).
Pengangkatan yang
dilakukan Abu Bakar dan sikap protes Abdurrahman bin Auf ini membuktikan bahwa
sang Khalifah sendiri tidak memahami secara mendalam tentang logika sistem
syura, juga menunjukkan bahwa ia sendiri tidak merasa berhak menunjuk atau
mengangkat seseorang sebagai pemimpin secara absolut di antara sekian banyak
sahabat lainnya. Sang Khalifah tidak mempunyai pemahaman bahwa pengangkatan
demikian semestinya secara otomatis menuntut konsekuensi dan loyalitas
masyarakat muslim agar taat dan mematuhinya tidak perlu sampai Abu Bakar
menghimbau rakyat agar mematuhi pemimpin baru mereka. Surat pengangkatan resmi
yang dikeluarkan Abu Bakar itu bukan hanya sekedar usul atau buah pendapat
biasa, namun surat tersebut bernada perintah dan ketetapan yang bersifat
absolut dan tak dapat diralat atau diganggu-gugat.
Terbukti, Umar juga
merasa berhak mengangkat secara individu seorang pengganti dengan cara menunjuk
enam rekannya sebagai calon-calon tetap dan terbatas dan orang-orang yang
diluar enam anggota calon itu hanya berhak mendengar, menonton dan puas dengan
hasil saja. Suara orang ketujuh di situ tidak akan digubris. Pengangkatan versi
Umar ini jelas tidak berdasarkan syura yang pada dasarnya mengutamakan faktor
pengambilan suara terbanyak. Penunjukkan yang dilakukan Umar tidak terlalu
berbeda dengan gaya penunjukkan Abu Bakar kepadanya pada masa akhir hidupnya di
atas ranjang. Kedua-duanya tidak
konsekuen pada nilai dan tuntutan permusyawaratan yang ideal, yang mana
sebelumnya selalu mereka gunakan sebagai alat dan alasan dalam berkampanye pada
sidang Saqifah. Ketika ditawari jabatan kekuasaan oleh masyarakat, Umar pernah
bergumam: Aku harus jadi pemimpin sekali pun Muhajirin menolak.
Para Muhajirin tak
kalah gertak sambil berteriak lantang: "Kami adalah orang-orang diantara
sekian banyak muslimin yang pertama kali memeluk Islam, kemudian jejak kami
ditiru oleh orang-orang lain. Kami juga kerabat Rasul dan golongan ningrat
Arab!" Dan ketika kelompok Anshar mengajukan usul pemerintahan koalisi
dengan dua pemimpin yang bergantian dalam jangka masa jabatan tertentu dari
pihak Muhajirin dan Anshar, Abu Bakar segera menolak seraya berkata: Tatkala
Rasulullah diutus, saat itu kebanyakan masyarakat Arab merasa berat sekali
untuk mencampakkan ajaran nenek moyang mereka. Sedangkan kami saat itu
(Muhajirin maksudnya) dipilih oleh Allah dan diistimewakan dari pada seluruh
orang karena kami berani membenarkan semua ajaran yang dibawa dan
disebarkannya. Kami adalah orang-orang dekat dan kerabat beliau sekaligus
orang-orang yang berhak dan pantas memegang kekuasaan setelah wafatnya daripada
selain kami. Dan yang berani membantah atau memprotes atau merebut maka mereka
adalah orang-orang yang zalim.
AI-Khabbab bin
Al-Mudzir dalam pesannya kepada kubu Anshar telah berkata: "Bersatulah!
Orang-orang lain sedang menganiaya dan hendak merampas hak kalian. Jika mereka
tetap bersikeras untuk menolak, maka kita akan menunjuk dua pemimpin dari pihak
kita dan pihak mereka." Sikap Al-Khabbab tidak mendapatkan respon dan
tanggapan positif dan gagasannya langsung ditolak mentah-mentah oleh Umar
dengan ucapannya: "Tidak mungkin satu negara dikendalikan oleh dua
pemimpin ibarat dua pedang dalam satu sarung. Siapa yang berani merebut
kepemimpinan Muhammad dari tangan ahli-ahli warisnya, sedangkan kami adalah
orang-orang terdekat dan kerabatnya, orang yang masih berniat merebut adalah
orang-orang yang siap musnah dan celaka".
Cara penunjukan yang
dilakukan oleh Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua, kemudian sikap pasif
masyarakat terhadap cara tersebut dan pada pikir generasi Anshar dan Muhajirin
berikut ungkapan-ungkapan dan strategi yang digunakan Muhajirin dalam upaya
memonopoli kekuasaan dan wewenang terbatas bagi kalangan mereka sendiri
sekaligus langkah-langkah Muhajirin sendiri dalam mendiskreditkan Anshar dan
tidak mengikutsertakan mereka dalam pesta kekuasaan, lalu faktor propaganda dan
luapan-luapan sentimentil berbau kesukuan dan kesombongan yang dikampanyekan
dan disuarakan di Gedung Pertemuan Tertutup Saqifah Bani Sa'idah, seperti
luapan sombong yang menyerukan:
Kami semua adalah
masyarakat elite dan ningrat bangsa Arab dan kami adalah kerabat Rasulullah!
Juga kesediaan dan kebulatan tekad kedua belah pihak; Anshar dan Muhajirin dan
penyesalan Abu Bakar yang telah memenangkan kompetisi khilafah pada detik-detik
terakhir dari masa hidupnya bahwa sangat menyesal sekali "Mengapa dulu tak
pernah kutanyakan pada beliau mengenai siapa yang sebenarnya berhak dan pantas
mengaku jabatan khalifah" Itu semua membuktikan dengan jelas bahwa
generasi Muhajirin dan Anshar termasuk pribadi-pribadi yang berhasil mengambil
alih tampuk kekuasaan belum memiliki gambaran yang luas dan pengetahuan yang
mendasar tentang konsep dan seluk beluk syura secara sistematis. Bagaimana mungkin kita beranggapan bahwa
Rasulullah telah menggalakkan penataran syura secara konsepsional dan bahwa
beliau telah mempersiapkan dengan matang generasi Muhajirin dan Anshar untuk
mengendalikan pemerintahan dan mengemban tugas penyebaran missi dalam konteks
sistem syura, sedangkan kita sendiri belum pernah menemukan realita daripada
sistem tersebut dalam sepak terjang dan corak berpikir masyarakat Islam waktu
itu. Kita juga tidak beranggapan bahwa Rasul telah menggariskan konsep
syura secara sempurna dalam batas hukum dan pemahamannya. Juga tidak terbukti
beliau mengkader dan mengajarkannya secara sistematis dan sempurna kepada
masyarakat muslimin. Dan semua yang telah dilaksanakan Nabi dalam segala aspek
kehidupannya telah menunjukkan kepada kita bahwa beliau belum pernah memaparkan
syura sebagai konsep dan sistem yang baru kepada masyarakat, sebab tidak
mungkin konsep itu lenyap begitu saja dalam realitanya bila memang benar-benar
telah dihidangkan sebagai konsep yang harus diterapkan dan dijadikan sebagai
cara untuk membentuk pemerintahan baru. Kenyataan tersebut dapat kita lihat
dengan jelas melalui keterangan sebagai berikut:
[1] Sistem pemerintahan syura adalah sistem yang serba baru dan mengejutkan
bagi lingkungan dan kondisi muslimin pada awal kebangkitan Islam. Jika Rasul
hendak membangun sistem baru, maka konsekuensinya adalah semestinya
menyodorkannya secara mendalam. Dan hingga saat ini belum terbukti Rasul
mengajarkannya kepada masyarakat dengan konsep syura tersebut.
[2] Syura sebagai konsep yang peka dan prinsipil tidak cukup hanya dibeberkan
dengan begitu saja. Sebab jika hanya demikian halnya, mungkin saja syura itu
pernah dipaparkan tidak secara sempurna dan mendetail tanpa batas-batas yang
jelas dan perincian yang sempurna tentang kriteria-kretria calon khalitah yang
akan dipilih, dan syarat serta tolok ukur pemilihan; apakah pemilihan tersebut
berdasarkan pada jumlah dan kwantitas ataukah berdasarkan mutu kepandaian dan
kriteria-kriteria lainnya yang dapat dijadikan gambaran dan batas-batas
konsep-konsep tersebut sehingga dapat dengan mudah diterapkan dan
direalisasikan begitu Rasulullah wafat.
[A] Pada hakekatnya syura itu dapat dikategorikan sebagai tindakan masyarakat
yang bertujuan membangun pemerintahan yang berdasarkan pada sistem
permusyawaratan dan berusaha bertindak menentukan nasib sendiri. Ini merupakan
tanggung-jawab bersama setiap orang yang tergolong sebagai anggota tetap Sidang
Permusyawaratan. Dan ini berarti jika konsep dan sistem negara semacam ini sah
dan dibenarkan Syari'at, maka tugas para sahabat dan masyarakat pada saat itu
meyakini bahwa konsep tersebut sebagai sistem pemerintahan dan segera
dijalankan tepat pada saat Rasul menghembuskan nafas harumnya yang terakhir.
Dan perlu diketahui, pemilihan demikian tidak terbatas bagi beberapa gelintir
orang saja (sebagaimana yang terjadi dalam sidang terbatas Saqifah), sebab
masyarakat semuanya harus dilikutsertakan dan setiap muslim memiliki hak suara.
Usul mereka sangat penting dan dibutuhkan sekali demi suksesnya pemilihan umum,
dan sebaliknya masyarakat harus merasa berkepentingan dan bertanggungjawab
mensukseskannya.
Atribut-atribut di
atas telah menjabarkan bahwa jika Nabi telah dengan resmi memprakarsai syura
sebagai konsep dan cara yang sebenarnya bagi pembentukan sebuah pemerintahan
baru setelah beliau, maka semestinya beliau –selaku pemimpin dan pembina
masyarakat yang arif dan bijaksana- memaparkan konsep tersebut dengan mendetail
dan bukan hanya membeberkannya, bahkan harus mempersiapkan dan memupuk mental
dan jiwa yang kokoh serta menutupi setiap lubang atau celah dan menatar mereka
sedemikian rapih dan sempurna dalam aspek; segi kuantitas dan kualitas serta
mutu pemahamannya. Tidak mungkin konsep penting itu hilang dan cair begitu saja
di tengah-tengah masyarakat sejak pemimpin mulia mereka meninggal dunia.
Mungkin juga bisa
dianggap bahwa Nabi pernah menyodorkan konsep syura secara wajar dan sesuai
dengan bentuk dan kadar yang dibutuhkan oleh kondisi, kualitas dan kuantitas,
sehingga masyarakat muslim dapat mencerna dan menjangkaunya, hanya saja
faktor-faktor politik secara tiba-tiba telah menutupi kenyataan yang sebenarnya.
Faktor-faktor tersebut telah memaksa masyarakat untuk menyimpan dan
merahasiakan apa yang mereka dengar dari Nabi tentang konsep syura serta hukum
dan perinciannya. Tapi anggapan semacam ini tidak praktis, sebab faktor
tersebut bagaimanapun kandungannya tidak berkaitan secara langsung dengan
muslimin kelas bawah yang terdiri dari lapisan masyarakat sahabat yang tidak
diberi bagian dan peran dalam percaturan serta kejadian-kejadian politik yang
timbul pada hari-hari setelah Nabi wafat dan tidak ikut menghadiri sidang
darurat Saqifah atau tidak berperan dalam sidang tersebut. Sikap mereka adalah
sikap penonton yang tenang dan menerima apa yang ada. Perlu dicamkan baik-baik
bahwa mereka adalah kelompok masyarakat mayoritas.
Seandainya syura itu
dipaparkan oleh Rasul sesuai dengan kerangka dan bentuk yang diharapkan, maka
konsep tersebut tidak hanya didengar oleh beberapa orang daripada sahabat tapi
juga didengar dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat dan tentu terpantul
secara alamiah dalam cara dan tindakan kelompok biasa dari para sahabat tepat seperti terpantul dari sabda dan
hadis-hadis Rasul tentang keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib dalam cara dan
tindakan para sahabat, sekalipun itu bertentangan dengan garis pemikiran dan
kondisi pada saat itu. Begitu juga halnya dengan konsep syura, yang tidak
terefleksi dalam cara berpikir mereka bahkan mereka sendiri saling berselisih
pendapat tentang berbagai sikap politik, yang kemudian perselisihan tersebut
disusul dengan terpecahnya orang-orang yang selalu mengelu-elukan syura menjadi
beberapa golongan, yang mana setiap golongan meneriakkan syura dan mengaku
golongannya sebagai golongan yang konsekuen dengan nilai dan konsep tersebut. Mereka jadikan syura sebagai alibi dan
senjata guna mencapai kepentingan politis masing-masing. Sekalipun demikian
halnya, mereka semuanya tidak konsekuen dan setia dengan konsep yang mereka
obral dan gembor-gemborkan dan mereka sendiri tidak merealisasikannya sebagai
sistem dalam membentuk sebuah negara dan pemerintahan, sebagai konsep yang
memang telah dicanangkan Nabi. Kenyataan ini terlihat dengan jelas dalam sikap
sahabat Thalhah terhadap penunjukkan Khalifah Abu Bakar dan kekesalannya
terhadap penunjukkan tersebut dengan menggunakan syura sebagai senjata untuk
menolak dan memprotes aksi penunjukkan itu. Thalhah mengecam sikap dan tindakan
Abu Bakar itu sebagai tindakan gegagah yang bertentangan dengan pesan dan
konsep serta cara bermusyawarah yang telah digariskan oleh Rasulullah SAWW.
Jika memang benar,
Nabi telah memupuk dan merubah generasi pertama Muhajirin dan Anshar menjadi
penegak dan penyebar-penyebar dakwah dan sebagai generasi yang bertanggung
jawab mengembangkan proyek perombakkan, maka sebagai konsekuensinya Rasul
seharusnya memobilisasikan dan mempersiapkan secara matang generasi tersebut
dalam intelektualitas dan loyalitas agama, sehingga dapat memegang erat-erat
teori ini kemudian menerapkannya dengan penuh kesadaran dan pengetahuan yang
dalam serta menjadikan pedoman-pedoman petunjuk Rasul sebagai satu-satunya
penyelesaian kesulitan-kesulitan yang dapat menghambat kelancaran dan gerak
lajunya program penyebaran dakwah setelahnya. Apalagi telah kita ketahui bahwa
beliau sudah seringkali memberi kabar gembira akan tiba saat tumbangnya Monarki
Kisra dan Kaisar. Itu semua pertanda bahwa proyek dakwah kelak setelah beliau
wafat akan menghadapi kesuksesan yang gemilang dan isyarat bagi masyarakat
bahwa jumlah ummat Islam akan bertambah banyak dan tanah kekuasaan mereka akan
meluas dan membentang ke beberapa penjuru dunia dan pada saat –sebagai
akibatnya- ummat muslim akan menghadapi dan memikul beban mengajari dan
mengenalkan Islam kepada bangsa-bangsa lain yang baru memeluk agama Islam.
Kabar gembira itu
adalah merupakan peringatan bahwa muslimin akan menghadapi bahaya-bahaya dan
pengaruh buruk yang timbul akibat dari meluasnya tanah-tanah dan daerah
kekuasaan Islam. Masyarakat juga akan mengemban tugas berat mempraktekkan hukum
dan memenuhi tuntutan penerapan syari'at di atas daerah-daerah yang telah
ditaklukkan dan bertugas menghimbau penduduk-penduduk daerah setempat agar
mematuhi dan men-jalankannya. Kita masih beranggapan –hingga saat ini- bahwa
generasi awal kebangkitan Islam Muhajirin dan Anshar adalah generasi yang
terbersih dan yang paling mampu mengemban tugas menjaga proyek dakwah serta
lebih loyal dan siap untuk berkorban. Tapi gambaran tentang adanya upaya
memobilisasi dan pemersiapan yang matang tentang cara dan konsep yang jelas
guna menjaga kelancaran dan mensukseskan program penyebaran dakwah itu tidak
terlihat pada tingkah laku dan cara berpikir mereka. Dan tidak terlihat juga
tentang adanya suatu operasi penataran dan indoktrinasi yang intensif tentang
konsep syura. Dan kertas sederhana ini tidak cukup untuk memuat semua
pembuktian-pembuktian tersebut, terlalu banyak untuk dijelaskan.
Terbukti, bahwa
sabda-sabda Rasul yang dibawakan oleh para sahabat tidak lebih jumlahnya
daripada beberapa hadis saja. Padahal jumlah mereka melebihi dua belas ribu
orang sebagaimana yang termaktub dan tercatat dalam buku-buku hadis dan
sejarah. Padahal Nabi sempat hidup bermasyarakat bersama sekitar ribuan dari
mereka di satu tempat dan di satu masjid setiap pagi dan sore. Apakah dalam
fenomena ini terlihat adanya tanda atau gejala persiapan dan pengkaderan konsep
syura secara matang!? Yang jelas adalah bahwa kebanyakan para sahabat merasa
risi dan enggan memulai membuka dan mengajukan sebuah pertanyaan kepada Nabi,
sampai-sampai –karena malasnya- salah satu dari mereka betah menunggu
berjam-jam saat kedatangan seorang Badui yang hidup di luar kota Madinah lalu
menanyakan suatu masalah kepada beliau. Sehingga dengan begini sahabat malas
ini dapat mendengar jawabannya. Adalah suatu tindakan yang arogan –dalam
tradisi mereka- bila seseorang menanyakan suatu tentang hukum masalah yang
belum pernah mereka temukan dan terjadi!
Umar bin Khattab
pernah berkata di atas mimbar: "Demi Allah! Saya kesal terhadap orang yang
menanyakan sesuatu yang belum terjadi. Tugas Nabi adalah menjelaskan hukum
masalah yang sudah terjadi" (Sunan Ad-Darimi 1/50). Abdullah bin Umar
ketika ditanya sesuatu perkara yang belum pernah terjadi berkata:
"Janganlah sesekali menanyakan masalah yang belum pernah terjadi, sebab
saya pernah dengar Rasulullah mengutuk sesiapa yang suka menanyakan sesuatu hal
yang belum pernah dialami" (Sunan Ad-Darimi 1/50). Ubay bin Ka'ab pernah
berkata kepada seorang yang menanyakan sebuah masalah kepadanya: "Hai
anakku! Adakah masalah yang kau tanyakan padaku itu sudah terjadi? Orang itu
menjawab: Belum! Lalu Ubay berkata: Jika belum pernah terjadi, maka jangan
tanyakan dulu sampai hal itu terjadi" (Sunan Ad-Darimi 1/56).
Pada suatu hari Umar
mengaji Al-Quran sampai terhenti pada ayat yang berbunyi: "Anggur dan
sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun lebat dan buah-buahan serta
abb (rumput-rumputan) untuk kesenangan dan untuk bmatang-binatang
ternakmu"[ Q.S; 80:28-32). Lalu ia berkelakar: "Semua arti ayat ini saya tahu. Tapi apa arti "abb"
disini? Kemudian ia berkata: "Demi Tuhan ini berarti mencari kesulitan
sendiri (dengan mencari arti) sebenarnya kalimat "abb". Jika Anda tidak
tahu akan arti kalimat "abb" yang sebenarnya, maka tinggalkan dan
ikutilah kalimat lain yang sudah Anda ketahui dalam Kitab ini. Adapun kalimat
yang tidak Anda ketahui artinya maka serahkan saja kepada Tuhan. Tampak sekali
betapa malas dan beratnya hati mereka menanyakan masalah-masalah yang tidak
benar-benar berkaitan dengan mereka sehari-hari. Sikap demikianlah yang
menyebabkan garis pemikiran ini akhirnya kehabisan dalil dan hukum yang jelas.
Itulah sebabnya mereka membutuhkan sumber-sumber lain –disamping Sunnah Rasul
dan Al-Quran- seperti Qiyas, Istihsan dan lainnya, yang mana kesemuanya itu
merupakan faktor dan dasar-dasar utama seorang mujtahid, yang mana hal ini
sedikit banyak telah menyihir seorang untuk bertindak nekad dan ceroboh
mengambil kesimpulan sebuah hukum baru.
Sikap dan cara
berpikir golongan kedua ini sama sekali tidak memantulkan adanya upaya
penggemblengan dan penataran yang cukup tentang konsep syura bagi generasi perintis
Islam dan membuktikan dengan jelas bahwa mereka tidak tahu menahu tentang
batas-batas syari'at yang dapat menangani kesulitan-kesulitan yang akan menimpa
generasi pertama tersebut.
Para sahabat tidak hanya malas dan enggan memulai
membuka pertanyaan kepada Rasul tapi mereka juga enggan membukukan hadis-hadis
beliau, yang merupakan sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an. Padahal pembukuan itu adalah cara satu-satunya untuk
menjaga dan melestarikan peninggalan dan hadis Rasul dari segala macam penyelewengan
letak, jumlah, pengertian harfiah dan lain-lainnya dan agar tidak punah dan
lenyap. AI-Harawy pernah membawakan sebuah hadis (yang mencela berbicara
melalui) Yahya bin Sa'ad dari Abdullah bin Dinar, ia berkata: Para sahabat
begitu juga para tabi'in tidak pemah mencatat hadis-hadis mereka tetapi mereka
dapat mengutarakan secara harfiah. Bahkan Khalifah Umar –sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam bukunya Ath-Thabaqat- dilanda kebingungan
memikirkan sikap bagaimana yang paling baik untuk menghadapi Rasul. Kebingungan
tersebut menyibukkan pikiran sang Khalifah hampir selama satu bulan, kemudian
ia mengumumkan keputusan resmi melarang siapa pun membukukan sabda dan sunnah
Nabi. Kemudian –yang merupakan sumber terpenting kedua dalam agama Islam-
menjadi tak jelas nasibnya, ada yang dilupakan, ada yang dinon-fungsikan, ada
yang dihapus, ada yang menjadi korban kepentingan politik dan ada yang dirubah
penafsiran, jumlah materi, letak dan perawinya. Akhirul hikayah hadis-hadis
tersebut ikut wafat tertanam di kepala orang-orang yang hafal dan
merahasiakannya di liang lahat setelah dia wafat.
Sebaliknya, aliran yang berorientasi kepada Ahlul Bait
a.s. serta ajarannya tetap tekun membukukan hadis-hadis dari pertama. Itulah
sebabnya mengapa buku-buku riwayat golongan Syi'ah menjadi berlimpah ruah dan
berjilld-jilid serta penuh dengan riwayat dan hadis-hadis yang dibawakan oleh
imam-imam dari keluarga suci Rasul yang ditulis Imam Ali dengan didikte Rasul.
Dalam buku-buku tersebut akan Anda temukan ribuan riwayat dari Ahlul Bait a.s.
dan Sunnah-sunnah Rasulullah SAWW. Apakah generasi yang malas menanyakan hal-hal yang mereka tidak ketahui
dan enggan membukukan hadis-hadis pemimpin mereka itu pantas dan mampu memimpin
dan mengemban risalah dalam segala proses perkembangannya yang amat sulit dan
mengkhawatirkan. Lalu apakah logis dan pantas kita beranggapan bahwa Nabi telah
meninggalkan sunnah-sunnahnya berserakan dan terbengkalai begitu saja tak
tertulis, padahal kita semua tahu beliau selalu mengajarkan umatnya menjalankan
sunnah-sunnah tersebut!?
Apa mungkin ini dapat
dipraktekkan tanpa dibukukan? Atau jika memang benar Rasul memprakarsai konsep
syura, maka semestinya beliau menggambarkan dengan jelas undang-undang dan
semua masalah yang berhubungan dengan konsep tersebut dan mengatur serta
menjuruskan sunnahnya sedemikan rupa, sehingga dengan mudah konsep tersebut
diterapkan dan berjalan sesuai dengan metode dan strategi yang telah digariskan
sehingga tak dapat disalah-gunakan dan disetir atas kehendak setiap orang. Bukankah anggapan satu-satunya yang rasional
adalah Rasul bersikap positif-aktif terhadap prospek dan kelangsungan proyek
pengembangan dakwah setelahnya dan mempersiapkan seorang kader istimewa dan
berbobot. Ali bin Abi Thalib sebagai tempat kembali dan rujukan serta
pemimpin setelah beliau dan mengajarkannya dengan segala nilai serta isi sunnah
beliau. Seorang tokoh muda andalan yang mana tingkat intelektualnya dan
kepandaiannya –sebagaimana yang disebutkan Nabi- mengupas ilmu dalam setiap bab
menjadi seribu macam ilmu.
Kejadian dan
perkembangan yang terjadi setelah Nabi wafat telah membuktikan bahwa generasi
yang terdiri dari kelompok Muhajirin dan Anshar tidak mempunyai pengetahuan
yang luas dan pemahaman yang cukup dan dapat diandalkan dalam mengatasi
problema-problema yang menganggu gerak majunya program penyebaran dakwah,
sampal-sampai penaklukan dan pembebasan yang menghasilkan tanah-tanah yang
sangat luas sempat membingungkan pikiran sang Khalifah tentang gambaran dan
hukum yang jelas untuk menangani pembagian tanah-tanah penaklukan tersebut;
apakah dibagikan antar pasukan yang ikut menaklukan atau dibagikan sama rata
antar kaum Muslimin semua.
ALTERNATIF KETIGA: YANG DITEMPUH RASUL DEMI
KELANGSUNGAN MISINYA
Adalah cara satu-satunya
yang rasional dan selaras dengan hukum pasti bagi kondisi yang ada pada dakwah
itu sendiri, kondisi juru-juru dakwah yaitu bersikap positif terhadap masa
depan dakwah setelahnya serta memilih dari sekian banyak sahabat (berdasarkan
keputusan resmi dari Allah melalui Nabi-Nya) sebagai calon utama dan tunggal
pengemban dakwah dalam perjalanan setelah beliau meninggal. Dan Nabi bertugas
mengisinya dan mengajarkannya segala macam ilmu dan bahan-bahan yang diperlukan
bagi seorang pemimpin yang bertugas seperti Nabi sendiri memimpin Umatnya dan
mempersiapkan ketahanan mental dan loyalitas serta jiwanya sehingga mampu
secara utuh menjalankan tugas sucinya menuntun perjalanan dakwah dan
melanjutkan program pengembangan dakwah dan menyempurnakan proyek pembangunan
pangkalan dan fondasi masa yang sadar dan kokoh dalam tubuh generasi yang
terdiri dari Muhajirin dan Anshar selaku pengawal-pengawal dan pihak-pihak yang
bertanggung jawab memimpin masyarakat di bawah bimbingan seorang pemimpin
kharismatik dan berbobot sekaligus mereka berkewajiban memimpin umat secara
operasional setelah mencapai tingkat kesadaran dan loyalitas yang cukup untuk
menerima tugas penting tersebut. Dan begitulah seterusnya.
Kita temukan cara dan
jalan keluar ini adalah cara dan sikap satu-satunya yang diambil Rasul dalam
menanggapi masa depan dan kelanjutan dakwah yang telah dirintisnya. Ini adalah
cara yang efektif dan dapat menjamin keselamatan perjalanan dakwah setelahnya
dan dapat melindungi proyek penyebarannya dari segala macam kelesuan dan
gejala-gejala kegagalan dan penyelewengan dalam sepanjang tahap dan proses
perkembangannya. Dan hadis-hadis mutawatir yang kita dapatkan dari Rasul
menunjukkan bahwa beliau telah melakukan persiapan matang dalam segi dan
intelektualitas dan loyalitas sebagian juru dakwah hingga mereka mencapai
tingkat seorang kader dan pemikir serta tokoh politik. Rasul telah
mempersiapkan mereka sebagai calon-calon pengemban masa depan dakwah. Itu semua
merupakan tindakan Rasul dan cara ketiga yang pasti telah ditempuh Rasul dan
membuktikan dengan jelas bahwa hal ini tidak bertentangan dengan hukum alam
seperti yang telah kita ketahui bersama.
Dan Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya
orang diantara beribu-ribu sahabat Nabi yang mempunyai peluang dan kemampuan serta
kesempurnaan segala kriteria dan syarat-syarat penting seorang pemimpin. Dia
adalah orang yang terpandai dan lebih arif dalam segala bidang daripada yang
lainnya. Dia adalah Muslim pertama dan pejuang ksatria yang tidak bisa
disamakan dengan siapapun yang gigih memperjuangkan misi Risalah dengan
membasmi penghalang dan perintang jalannya dakwah. Dia adalah pribadi yang
bersatu dan beradaptasi dengan seutuhnya dengan esensi Risalah. Dia
dibesarkan di pangkuan mertua dan misannya, Nabi besar Muhammad saw. Dia adalah
anak angkat yang selalu berada di sisi beliau. Hal mana pergaulan yang panjang
ini menghasilkan adanya persenyawaan antar dua pribadi yang mulia itu. Ali
telah lulus dengan predikat sangat dan terialu memuaskan berintegrasi secara
menyeluruh terhadap nilai-nilai dan berbagai aspek kehidupan Rasul yang pada
akhirnya mengistimewakan Ali diantara sekian banyak sahabat dan masyarakat
lainnya.
Dan perjalanan hidup
Rasul dan Imam Ali telah dengan jelas membuktikan bahwa Nabi telah
menyelesaikan tugas utamanya dengan mempersiapkan Ali dari segala kebutuhan
seorang pemimpin sebagai perjalanan dan masa depan misi yang telah dibawa oleh
Rasul. Beliau telah memberikannya segala macam hikmah dan rahasia-rahasia ilmu
bagi seorang kandidat pemimpin agung umat Islam, hingga terlihat perhatian
beliau dengan cara mengajarkan-nya dengan cara empat mata dan cara yang
tertutup. Memberinya gambaran-gambaran tentang berbagai halangan yang mungkin
akan mengganggu gerak jalan dakwah setelah beliau. AI-Hakim dalam kitabnya
Al-Mustadrak membawakan sebuah riwayat dari Abi Ishaq yang demikian bunyinya:
"Aku pernah bertanya kepada
Al-Qasim bin Al-Abbas: Bagaimana sampai Ali dapat mewarisi segala sesuatu yang
Rasul miliki? la menjawab: Ya, sebab ia adalah seorang muslim pertama dan yang
paling teguh memegangnya."
Dalam kitab HilyatuI
Awliya` tertulis sebuah riwayat yang telah dibawakan oleh Abdullah bin Abbas.
la berkata: "Kami dulu pernah
berbicara bahwa Nabi SAWW memberi Ali tujuh puluh wasiat (janji pusaka) yang
mana tidak pernah beliau berikan kepada orang selainnya." An-Nasa'i
meriwayatkan hadis melalui Ibnu Abbas yang ia dengar dari Ali ketika berkata:
"Derajat dan posisiku di sisi Rasulullah di atas semua makhluk. Dulu aku
selalu menemui Nabi di setiap malam. Bila beliau sedang melakukan shalat, maka
bertasbih (isyarat kepada Ali agar langsung masuk ke rumahnya), lalu aku masuk.
Bila beliau tidak sedang melakukannya, Rasul segera menyuruhku lalu aku
masuk". Dalam riwayat tersebut Imam Ali berkata: "Di setiap hari aku
mempunyai dua saat pertemuan istimewa dengan Nabi. Yaitu pada waktu petang dan
pada waktu siang. Imam Ali dalam riwayat An-Nasa'i sendiri pernah berkata:
"Dulu segala sesuatu yang kutanyakan dan kuminta penjelasannya, beliau pasti
memberinya. Sebaliknya, bila aku pasif dan diam tak mengajukan pertanyaan,
beliau pasti memulai bertanya kepadaku." Hadis ini juga diriwayatkan oleh
Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak lis Shahihain yang menurut pendapatnya bahwa
riwayat ini adalah setingkat shahih Ala Syarth As-syaikhain.
Dari Ummu Salamah
dalam riwayat yang dibawakan An-Nasa'i; ia berkata: "Demi Zat Yang Ummu
Salamah bersumpah dengan nama-Nya. Ali adalah orang yang terdekat dengan Rasul.
Di saat Rasul hampir dicabut nyawanya, beliau (Ali) mengutus beberapa orang
untuk menghadap kepada Rasulullah. Aku (Ummu Salamah) kira ia mengutus itu
untuk suatu kepentingan tertentu. Sebelum Ali datang memenuhi panggilan Rasul
tersebut, beliau bertanya: Sudah datangkah Ali? Pertanyaan itu beliau ulangi
selama tiga kali. Lalu tak berapa lama Ali datang menemui beliau di waktu
matahari belum terbit. Dengan kedatangan itu kami (Ummu Salamah dan sahabat
lain) tahu apa yang sebenarnya yang Rasul ingin bicarakan. Lalu kami
meninggalkan rumah beliau yang pada waktu itu Rasul tinggal bersama istrinya
Aisyah. Aku (Ummu Salamah) orang terakhir yang meninggalkan rumah tersebut.
Kemudian aku menyelinap di belakang pintu rumah itu. Dan jarak pintu dan aku
sangat dekat sekali. Kulihat Rasul merangkulnya. Dan Ali adalah orang yang
paling terakhir mendapat pesan. la mengelilingi Rasul dan meminta
bantuannya."
Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib as dalam sebuah ceramahnya yang sangat populer pernah berkata dan menerangkan
hubungan istimewa yang terjalin antara pribadinya dengan Rasul serta perhatian
beliau. Uraian Imam Ali a.s. itu demikian bunyinya: "Kalian sudah tahu
posisi dan derajatku di sisi Rasulullah dan mengetahui hubungan kerabatku yang
sangat dekat dan istimewa dengan beliau. Sejak kecil aku dipangku beliau. Aku
didekapnya lalu digendongnya dan ditidurkan di atas ranjang. Lalu mencium dan
menyentuh badanku dengan penuh kasih sayang. Beliau seringkali mengunyah
sesuatu makanan lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Beliau tidak pernah
dapatkan aku berdusta dalam setiap ucapan dan tindakan dan aku tak pernah
melakukan suatu kesalahan pun. Aku selalu mengikuti jejak dan meniru
perilakunya bagai anak itik yang selalu meniru jejak induknya. Beliau setiap
hari memupuk dan mendewasakanku dengan segala nilai dan budi pekerti serta
selalu mengimbau agar aku terus mengikuti jejak dan perintahnya. Aku selalu menemani beliau setiap tahun di
gua Hira. Di mana pada saat itu aku melihatnya dan beliau tidak melihat
orang lain selainku. Kami bertiga dahulu adalah anggota keluarga beragama Islam
yang terdiri dari Rasul, Khadijah, dan aku sendiri yang ketiga. Aku menyaksikan
cahaya wahyu dan risalah. Aku sempat menghirup bau semerbak kenabian."
Bukti-bukti ini dan lainnya banyak sekali yang dengan
jelas menggambarkan adanya suatu langkah hebat yang diambil Nabi dalam upaya
mengkader dan melatih loyalitas dan ketahanan jiwa mental Ali terhadap risalah
serta mempersiapkannya untuk memegang tali kendali kekuasaan dan pimpinan perjalanan
dakwah kelak. Sejarah dan biografi
kehidupan Imam Ali sejak setelah wafatnya Rasul selalu penuh dengan titik-titik
dan tanda terang yang menyingkap adanya penataran ideologi secara intensif
terhadapnya yang dilakukan Rasulullah. Kehidupan serta kebijaksanaannya yang
telah merefleksikan adanya upaya pendidikan khusus dan rahasia. la adalah
tempat kembali dan penyelesai tunggal bagi segala macam problema yang tak dapat
diselesaikan oleh aparat dan pejabat pemerintahan Khilafah pada zaman itu. Dalam
sejarah pemerintahan dari ketiga khalifah itu tidak ada seorang pun yang selalu
diminta pendapat yang mewakili Islam dan jalan keluar dalam menangani
masalah-masalah, kecuali Imam Ali. Meskipun sikap partai yang berkuasa pada
saat itu konservatif dan tak peduli terhadap masalah hak kekuasaan yang
sebenarnya selama berpuluh-puluh tahun, tetap para aparat di jajaran tertlnggi
partai berkuasa tidak merasa pertu meminta nasehat dan saran Imam Ali yang
merupakan wakil orisinil (tulen) Islam.
Jika terbukti Nabi
telah mempersiapkan Ali secara khusus sebagal penerus pembimbing dakwah, maka
ini merupakan buktl bahwa Nabi telah mengumumkan dan memproklamasikan
penunjukkan atas Ali secara resmi dan serius pada rakyat secara keseluruhan
sebagai inteleklual ideolog dan pemimpin politik. Itu tercermin dalam hadis ad-dar, ats-tsaqalaIn, al-manzilah, al-ghadir
serta segudang hadis dan nash lainnya. Dan begitulah seterusnya akhirnya
kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa Syi'ahisme (Tasyayyu') tidak berada di
luar garis strategi program dan rencana penerusan dakwah Islamiyah yang
dirintis oleh Rasul di mana tergambar dalam konsep Nabawiyah yang telah beliau
paparkan sendiri atas dasar perintah Allah SWT guna menjaga kelangsungan dan
kelanjutan program pengembangan dakwah. Dengan demikian kita dapat
berkesimpulan bahwa Syi'ahisme bukanlah suatu fenomena atau gejala perkembangan
sosial yang ganjil. Syi'ahisme adalah bagian hukum sebab akibat dari kondisi
serta kebutuhan yang dengan sendirinya telah memproses timbulnya paham tersebut.
Dengan kata lain, Rasul atau pemimpin pertama harus melakukan tindak percobaan
dan harus mempersiapkan untuk percobaan dan perjalanan baru kepada pemimpin
kedua yang beliau didik sedemikian teliti sehingga mampu mengemban tugas secara
sempurna dan selaras dengan tuntutan kondisi dan situasinya. Dengan meneruskan
kepemimpinan Nabi dalam menyempurnakan tujuan dalam rangka mencabut seluruh
akar dan pengaruh jahiliyah yang masih tersisa pada masyarakat sekaligus
membimbing dan membinanya sehingga dapat diandalkan dan mampu memenuhi
kebutuhan serta tuntutan dakwah dan tanggung jawabnya.
PEMBAHASAN KEDUA: BAGAIMANA LAHIRNYA GOLONGAN SYI'AH?
Setelah dengan jelas
kita telusuri sejarah munculnya paham Tasyayyu' dan mendapat pemahaman yang
gamblang dan rasional tentang paham tersebut, maka kita menginjak kepada
pembahasan kedua, yaitu dengan mencari jawaban dari pertanyaan bagaimana
gdongan yang dikenal dengan nama Syi'ah dan bagaimana proses terbelahnya ummat
Islam menjadi dua golongan sejak awal muncul masyarakat Islam itu terbentuk.
Sebagai jawabannya,
jika kita telusuri periode pertama dari kehidupan umat Islam pada zaman Nabi,
kita akan menemukan adanya dua garis pemikiran utama yang sangat bertolak
belakang dan juga muncul berbarengan dengan timbulnya masyarakat Islam.
Perbedaan antara keduanya telah mengakibatkan timbulnya beberapa perbedaan
ideologis saat Rasul menemui Kekasihnya. Yang mana ideologi itu melahirkan
perbedaan garis politik antara dua kubu yang kemudian cenderung membentuk dua
blok atau partai politik dalam tubuh masyarakat Islam. Lalu salah satunya
berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan yang mendapat simpati dan dukungan
dari mayoritas masyarakat. Sebaliknya, kubu lain yang tidak berhasil cenderung
menjadi kelompok minoritas yang eksklusif dan tersudutkan di tengah-tengah
masyarakat yang tidak mendukung bahkan memusuhi mereka. Kelompok minoritas
tersebut adalah Syi'ah.
Dua kubu utama yang
sama-sama menyertai masa lahirnya dan terbentuknya masyarakat Muslim pada zaman
Nabi itu sebagai berikut: Haluan pertama:
menerima secara mutlak keputusan dan perintah agama tanpa pamrih, tanpa
mengutamakan ide sendiri atas ketentuan tersebut dan menghayati serta meyakini
hukum dan penyelesaian agama terhadap segala aspek kehidupan. Haluan kedua: beranggapan bahwa loyalitas dan
iman kepada agama tidak menuntut penghayatan dan penerapan dalam bentuk praktek
setiap masalah yang bersumber pada agama kecuali pada masalah yang bersifat
ritual dan dogma. Selanjutnya lebih dari itu mereka mengutamakan ijtihad
sebagai penyelesaian yang dapat menggantikan fungsi hukum agama dengan
mempertimbangkan keadaan dan ukuran kepentingan yang dibutuhkan dalam segala
segi kehidupan. Para sahabat, disamping selaku generasi mukmin dan cemerlang,
mereka juga merupakan generasi yang teristimewakan dan ikut berpartisipasi
mensukseskan proyek pelancaran risalah. Sampai saat ini sejarah belum pernah
membukukan dan membuktikan adanya sebuah generasi yang lebih handal dan hebat
daripada generasi yang telah diciptakan oleh Rasulullah SAWW. Sekali pun
kenyataan mereka itu demikian, akan tetapi adalah logis bila kita beranggapan
bahwa sejak masa hidup Rasul, telah terlihat adanya dua garis pemikiran yang
senang dengan pendapat pribadi yang mereka gunakan bila kepentingan menuntut dan
memaksa mereka untuk menanggalkan hukum dan ketetapan agama yang telah tertera
dalam nash-nash. Rasulullah seringkali terbentur bahkan terganggu aktivitasnya
akibat ulah dan pola pemikiran ini sampai-sampai ketika beliau sudah terbaring
di atas ranjang terakhirnya. Di samping itu, kita juga harus mengakui ada –pada
masa hidup Rasul- yang menerima dan sama sekali percaya sekaligus
merealisasikan setiap ketentuan agama dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik
ibadat, dogma, politik, pemikiran dan lain sebagainya.
Mungkin faktor utama
dari berkembang dan tersebarnya pengaruh pemikiran ijtihad (bir ra'iy) di
kalangan muslimin adalah garis dan pola pemikiran seperti ini yang sedikit
banyak bersatu dengan naluri kecenderungan setiap orang yang selalu bertindak
sesuai dengan kepentingan dan kehendak pribadinya daripada bertindak atas dasar
perintah dan dorongan dari luar, yang terkadang belum dimengerti maksudnya.
Garis pemikiran ini dipelopori dan disponsori oleh beberapa sahabat senior
seperti Umar bin Khattab yang terkenal
nekad menegur dan mengkritik sebagian tindakan Rasul (yang adalah wahyu) dan
mengajukan pendapat pribadinya dalam beberapa masalah yang bertentangan dengan
teks ketetapan agama. Atas dasar alasan dan anggapan yang tampaknya rasional
bahwa ia sebagai orang berakal berhak menyelesaikan sendiri beberapa urusan
yang mungkin penyelesaiannya itu tidak sama dengan penyelesaian yang telah
diajarkan agama.
Kenyataan ini terlihat
dalam sikapnya yang kontroversial dalam menanggapi fakta perdamaian Hudaibiyah
dan kritiknya yang tegas terhadap resolusi perdamaian yang disepakati dan
ditanda-tangani deh Rasul dan langkahnya
yang mengundang sensasi dengan menon-fungsikan Hayya 'ala khairil 'amal dalam panggilan azan yang telah diajarkan
deh Rasulullah SAWW. la juga sempat tenar karena langkahnya mencanangkan
hukum modern dan menanggalkan hukum lama Rasul dengan mengharamkan dan
meniadakan Hajji Mut'ah (Tamattu') dan ratusan pikiran-pikiran pribadinya yang
tak asing lagi bagi kita.
Dua aliran pemikiran yang
sangat berbeda itu pernah bertemu dan tertumpah secara kebetulan di satu tempat
dan wadah pada hari terakhir hidup Nabi. Bukhori telah meriwayatkan dalam
sahihnya dari Ibnu Abbas. Ia berkata: Ketika Rasulullah hampir wafat sedangkan
di rumah beliau terdapat beberapa orang termasuk Umar bin Khattab, beliau
bersuara: "Mari kutuliskan untuk
kalian sebuah pusaka (yang jika kalian mengikutinya), maka kalian tidak akan
tersesat untuk selama-lamanya". Tiba-tiba Umar bin Khattab berseloroh:
"Penyakit Nabi itu sudah terlalu parah sehingga beliau mengigau, apa perlunya
tulisan itu sedangkan Al-Quran ada di sisi kalian. Sudahlah, Al-Quran itu
sendiri cukup sebagal pedoman bagi kita". Pernyataan Umar bin Khattab ini
akhirnya mengundang keriuhan dan perselisihan pendapat di antara orang-orang
yang berkerumun menengok Rasul yang sedang terbaring sakit. Sebagian berkata:
"Berikan! Beliau hendak menuliskan sebuah pedoman untuk kalian yang akan
dapat menyelamatkan kalian kelak." Sebagian yang lain mendukung Umar bin
Khattab menolak memberikan secarik kertas kepada Nabi Besar Muhammad SAWW.
Selang beberapa saat, rumah Rasul tersebut berubah menjadi ajang perang mulut
antar sahabat yang berkerumun mengelilingi beliau. Akhirnya, Nabi dengan kesal
mengusir mereka: "Ayoh...enyahlah kalian!" Begitu perintah Rasul.
Tragedi bersejarah ini
dengan jelas membuktikan dan menggambarkan betapa jauh dan mendasarnya
perbedaan antara dua golongan adalah peristiwa perselisihan dan cekcok yang
muncul akibat dari penunjukkan Rasul kepada Usamah bin Zaid bin Harits sebagai
Panglima divisi perang, padahal penunjukkan itu berdasarkan perintah langsung
dari Nabi yang tak dapat ditolak. Sampai-sampai beliau bangkit dari ranjang
dengan memaksakan tubuhnya yang sudah lemah-lunglai untuk keluar dari rumah
dalam keadaan sakit. Beliau mengeluh kesal di hadapan pengikutnya: "Wahai
ummat! Desas-desus apa yang aku dengar tentang penunjukkan Usamah (sebagai
panglima perang)? Tetapi mengapa dulu kalian tidak menolak penunjukkan ayahnya
sebagai panglima. Demi Tuhan! Ia pantas dan mampu memegang jabatan
panglima!" Dan kedua haluan yang memulai konflik dan perselisihan pada
masa hidup Rasul telah tampak dalam sikapnya terhadap masalah pimpinan imam
setelah Nabi orang-orang yang mewakili garis nash berpendapat bahwa adanya nash
dan ketetapan Rasul berkenaan dengan hak kekhalifahan merupakan sebab dan dasar
prinsip yang mengharuskan seorang muslim agar menerima secara mutlak segala
macam keputusan dan hukum agama tanpa menggantinya dengan gagasan sendiri
karena beberapa pertimbangan kepentingan disamping kondisi dan situasi yang ada
(ini menurut logika dan pola pemikiran mereka tentunya).
Dengan demikian, kita dapat berkesimpulan bahwa golongan
Syi'ah telah hadir di tengah-tengah masyarakat Islam sejak pada masa hidup
Rasul yang beranggotakan orang-orang muslim yang secara praktis telah mematuhi
dengan mutlak konsep dan ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin setelah
Rasul. Dan haluan yang berpaham Syi'ah kemudian lebih menjelma dalam
kerangka bentuk yang jelas pada saat pertama dari sikap protes dan menolak
keputusan yang telah diambil pada sidang darurat Saqifah Bani Sa’idah yang
telah membekukan fungsi pimpinan Ali dan mengambil alih serta memberikannya
kepada orang lain. Ath-Thabarsi dalam buku Al-Ihtijaj membawakan sebuah riwayat
dari Aban bin Taghlib. la bertanya kepada Imam Ja'far bin Muhammad Ash-Shadiq
a.s.: "Kujadikan diriku tebusan darimu. Apakah ada orang yang menolak kepemimpinan Abu Bakar di antara para
sahabat Rasullah?" Imam menjawab: "Ya. Dua betas orang dari kaum Muhajirin yang menolak; mereka itu adalah
Khalid bin Said bin Abi Al-'Ash, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad
bin Al-Aswad, Ammar bin Yasir, dan Buraidah Al-Aslami. Dan dari pihak Anshar
adalah Abul Haitsam bin At-Taihan, Utsman bin Hunaif, Khuzaimah bin Tsabit Dzus-Syahadatain,
Ubay bin Ka'ab dan Abu Ayyub Al-Anshari".
Mungkin Anda atau
siapa pun saja ingin mengatakan hal ini, yaitu jika memang benar haluan Syi'ah
itu adalah yang teguh menerima ketetapan secara mutlak dan menerapkannya dalam
bentuk praktek kehidupan mereka dan bahwa haluan yang lain lebih mengutamakan
pikiran sendiri daripada menerima secara mutlak ketentuan agama, maka ini
berarti haluan nash lebih picik dan tidak menggunakan akal sehat. Padahal
selama ini haluan dan golongan Syi'ah menggunakan ijtihad dalam syari'at amat
sering.
Jawabannya adalah ijtihad yang dibenarkan bahkan
terkadang wajib (kifayah) yang digunakan adalah ijtihad yang mempunyai definisi
menyerap suatu hukum dari nash dan ketetapan syar'i. Tapi dalam kamus mereka ijtihad itu bukanlah
menggunakan pikiran sendiri daripada menerima suatu ketetapan yang jelas dari
agama. Dan ijtihad itu tidak hanya digunakan atas dasar ingin mencapai tujuan
dan memperoleh keuntungan pribadi sendiri. Ijtihad demikianlah yang tidak
dibenarkan. Sebab ini bertentangan dengan keputusan agama. Dan Syi'ah menolak
hak wewenang ijtihad yang demikian. Dan yang kita maksudkan kandungan misi
risalah yang baru. Bertindak dari sini kita dapat ketahui bahwa garis pemikiran
yang berorientasi kepada nash itu adalah golongan yang lebih menghayati risalah
dan menerimanya secara menyeluruh sekaligus tidak menolak fungsi ijtihad selama
ijtihad tersebut tidak bertentangan dengan nash dan selama ijtihad itu
bersumberkan hukum syari'at yang sudah ada.
Patut diketahui bahwa
sikap menerima sepenuhnya ketetapan nash tidak berarti picik dan kedangkalan
berpikir yang tidak peduli akan perkembangan dan tuntutan-tuntutannya serta
bertentangan dengan faktor-faktor yang dapat menunjang kemajuan dan program
pembaharuan yang beraneka warna terhadap kehidupan manusia. Maka sikap menerima
nash agama mutlak, artinya bertindak atas dasar tuntutan dan ketetapan agama
tanpa memilih-milih yang kelihatan ringan. Padahal agama itu adalah selaras
dengan kelembutan dan berjalan seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman
serta mencakupnya segala macam corak dan ciri kemajuan dan pembaharuan. Maka
bersikap menerima secara mutlak setiap ketetapan agama berarti bersikap
menerima segala macam faktor yang dapat menunjang kemajuan, termasuk kreativitas
dalam menciptakan sesuatu yang baru, melakukan pembaharuan terhadap beberapa
pemikiran dan gagasan, dan seterusnya. Ini semua merupakan garis besar dari
penafsiran tentang Syi'ahisme sebagai suatu fenomena dan pemandangan yang logis
dan lazim dalam ruang lingkup program dan strategi pengembangan dakwah serta
penafsiran tentang timbulnya gdongan Syi'ah sebagai refleksi dan cermin dari
fenomena yang alami tersebut.
Dan kepemimpinan Ahlul Bait serta Ali yang merupakan
fenomena logis itu mempunyai dua fungsi utama dalam teori kepemimpinan. Fungsi
pertama selaku Pemimpin dalam bidang pemikiran budaya dan intelektual, dan
fungsi kedua sebagai pembimbing dan arkitek projek perombakan dalam bidang
sosial. Kedua fungsi kepemimpinan itu bersatu dan tertumpah dalam satu wadah
yang terjelma dalam pribadi Nabi. Kemudian setelah meneliti secara seksama
situasi dan kondisi yang ada, beliau mempersiapkan seorang kader handal yang
mampu berfungsi sebagai pemimpin dari keduanya secara sempurna, sehingga fungsi
kepemimpinan intelektual dapat mengisi kekosongan yang ada pada pola berpikir
masyarakat. Sekaligus Rasul
bertugas menghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan
sebagai jalan keluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema-problema
pemikiran dan kehidupan serta menerapkan satu demi satu nilai-nilai dan
pikiran-pikiran yang tersirat dalam AI-Qur'an yang sangat rumit dan kurang
jelas yang mana Kitab suci tersebut merupakan sumber utama dan khazanah bagi
pemikiran dan intelektual Islam disamping agar supaya kepemimpinan sosial
berfungsi meneruskan perjalanan Islam di atas garis target sosialnya.
Dan kedua fungsi
kepemimpinan tersebut terdapat pada Ahlul Bait sesuai dengan kondisi yang telah
kita pelajari atas dasar nash-nash Nabi yang telah menekankan hal tersebut
berkali-kali. Contoh utamanya ialah nash-nash Nabi tentang kepemimpinan
intelektual seperti hadis Tsaqalaian Rasulullah yang berbunyi demikian: Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka
penting (ats-saqalain); yaitu Kitab Allah yang merupakan tali yang tak terputus
dari langit hingga ke bumi dan yang kedua adalah Itrah (keturunanku) dari Ahlul
Baitku. Dan bahwa keduanya tidak akan terpisah dengan kedua fungsi
masing-masing sampai keduanya menjumpaiku di telaga Haudh. Oleh karena itu
lihatlah kelak bagaimana sampai kalian mendurhakaiku dengan melanggarnya
(AI-Hakim dalam Al- Mustadrak, At-Tirmidzi, Annasa'i, Ahmad bin Hanbal, dan
lain-lain yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat).
Dan contoh utama dari
fungsi kepemimpinan sosial adalah hadis Al-Ghadir yang dibawakan oleh
Ath-Thabrani dengan sanad (rantai urutan perawi) yang shahih dari Zaid bin Al-Arqam.
Ia berkata, "Rasulullah pernah berpidato di daerah Ghadir Khum di bawah pohon,
beliau bersabda: Wahai manusia! Aku akan diminta pertanggungjawaban dan begitu
juga kalian. Lalu bagaimana kalian mengatakan dan menanggapi ini semua!? Para
sahabat serentak menjawab: "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan,
telah berjuang dan telah menasehati, maka semoga Allah membalas jasa kebaikanmu
dengan kebaikan pula. Lalu beliau meneruskan dan bersabda, Bukankah kalian
bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya, surga dan neraka-Nya adalah benar dan nyata, mati itu benar, saat
kiamat itu pasti tiba dan bahwa Allah akan membangkitkan setiap orang yang
terpendam dalam kubur? Mereka serentak menjawab: "Ya! Kami bersaksi
demikian". Lalu beliau melanjutkan lagi: "Ya Allah!
Saksikanlah". Selanjutnya bersabda kepada hadirin: Wahai ummat! Allah
adalah Pemimpin dan Kekasihku, dan aku adalah pemimpin setiap mukmin dan aku
lebih utama (awla) dan lebih berhak atas diri kalian sendiri. Maka, barangsiapa yang menganggapku sebagai
pemimpinnya (maulahu), maka orang Ini (Ali di sebelah beliau) adalah
pemimpinnya (maulahu) juga. Ya Allah! Cintailah setiap orang yang mencintainya
dan musuhilah orang yang memusuhinya!" (Hadis ini diriwayatkan oleh
lebih dari delapan puluh tabi'in. Dan dari penghafal hadis abad kedua sekitar
enam puluh orang. Dan juga tercatat secara rinci dalam kitab Al-Ghadir dalam
sebelas jilid).
Dengan demikian kita
dapat berkesimpulan bahwa kedua nash dan hadis Rasul tersebut telah menyerahkan
dua fungsi dan wewenang kepada Ahlul Bait. Dan yang berpegang teguh kepada nash
dan ketetapan Rasul dalam hal dua hak wewenang kepemimpinan itu adalah termasuk
golongan muslim yang mengikuti dan menganggap Ahlul Bait bagi pemimpin dan
tempat kembali mereka. Seandainya fungsi pimpinan sosial bagi setiap imam itu
mempunyai pengertian bahwa mereka memimpin dan berkuasa dalam hidupnya, maka
fungsi kepemimpinan intelektual dan pemikiran budaya adalah kenyataan yang tak
dapat dibantah terlepas dari kehidupan sosial politiknya sebagai pemimpin dalam
hidupnya. Dari sini kita dapat melihat kenyataan tersebut dalam setiap waktu.
Karenanya, selama Muslimin membutuhkan suatu pemahaman yang jelas dan sempurna
tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiap perkara,
pasti mereka memerlukan adanya kepemimpinan intelektual yang jelas pula dan itu
ditetapkan Allah sendiri melalui lidah Rasul yang terjelma dalam: [1] Kitab Suci Al Quran. [2] Itrah yang bebas dari dosa dan
Ahlul Bait Rasul. Keduanya tidak dapat dipisahkan atau diambil salah satu darinya
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi.
Adapun garis pemikiran
lain dari golongan muslimin yang ijtihad dijadikan dasar pemikiran daripada
mengikuti nash dan ketentuan agama secara mutlak, maka tokoh-tokoh senior
pemikiran ini sejak Rasul wafat telah berhasil mengambil alih kekuasaan dan
menyatakan berfungsi sebagai pemimpin sosial politik secara operasional dan
dikelola oleh kaum Muhajirin yang bergaris politik lunak dan selalu berubah
mengikuti kemajuan dan pertimbangan strategis serta memantau kondisi dan
situasi yang ada. Atas dasar pemikiran inilah Abu Bakar mengambil alih
kekuasaan begitu Rasul menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan menggunakan
Saqifah Bani Saidah sebagai Sidang Parlemen Sementara dan ajang perebutan
sengit kekuasaan antara Muhajirin dan Anshar yang terbatas bagi beberapa
gelintir orang dari kedua golongan tersebut kemudian rekan sejatinya (Umar bin
Khattab) menggantikannya atas perintah mendiang Abu Bakar, lalu tongkat estafet
khilafah diambil oleh pengganti ketiga Utsman bin Affan atas dasar penunjukkan
tertentu dan hanya terbatas bagi enam orang yang telah ditunjuk secara pribadi
oleh Umar bin Khattab. Akhirnya sikap
lunak ini yang lewat tiga abad sejak masa wafat Rasul telah berhasil
menciptakan malapetaka terbesar sepanjang sejarah Umat Islam dengan kembalinya
khilafah dan kekuasaan kepada orang-orang Islam mu`allaf dan para bekas musuh
Rasul yang kemudian disihirnya menjadi pewaris duniawi dan kerajaan monarki
yang pindah dari anak ke cucunya, dari saudara ke adiknya dan tamatlah riwayat
khilafah yang selama ini dielu-elukan oleh Muslimin.
Inilah kenyataan yang
tragis dari orang-orang yang sebenarnya tidak berhak dan tidak mampu menjabat
sebagai pemimpin sosial politik. Lain halnya kenyataan dari fungsi kepemimpinan
intelektual-budaya, sebab sulit rasanya kita mengatakan bahwa mereka yang
berkuasa dalam bidang politik sosial juga berfungsi secara nyata sebagai
pemimpin intelektual dan pemikiran setelah kita ketahui bersama bahwa ijtihad dan kecanduan menggunakan pikiran
sendiri telah mencabut hak wewenang Ahlul Bait sebagai pemimpin politik sosial
secara operasional dan praktis, sebab akibat dari itu semua adalah
terciptanya kondisi objektif yang menunjang kepemimpinan mereka sebagai
pemimpin dan penguasa. Adapun sebab dari keberatan kita untuk beranggapan bahwa
mereka yang berhasil mengambil alih kekuasaan dan pimpinan politik sosial
secara operasional telah berfungsi sebagai pemimpin Intelektual dan budaya,
adalah fungsi kepemimpinan Intelektual berbeda dengan fungsi kepemimpinan
polttik sosial. Bila seorang khalifah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin
intelektual dan menjadi panutan pemikiran atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah dalam
memahami teori tersebut. Dan terbukti bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan
dan tidak memenuhi syarat penting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlul
Bait a.s. dengan segala kemampuan mereka dan tergambar dalam nash serta
bukti-bukti yang sudah ada.
Oleh karena itu,
fungsi kepemimpinan intelektual budaya lebih penting daripada fungsi
kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Dan
akhirya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpin
intelektual –tidak dengan formal- karena mempertimbangkan satu dan sebab
lainnya. Sampai-sampai khalifah kedua seringkali bersumpah dengan memuji
kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah intelektual. la selalu
berkata: "Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah
akan membiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali)
tidak segera menyelesaikannya." Tapi setelah melalui beberapa masa sejak
Rasul wafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa
hormatnya terhadap Ahlul Bait Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai
tokoh dan pemimpin dalam bidang pemikiran, dan sebaliknya mereka sedikit demi
sedikit memandang Ahlul Bait sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka
dan bahkan menganggap mereka sebagai awam. Sikap ini telah memproses mereka
menjadi tidak lagi membutuhkan pemimpin intelektual dari Ahlul Bait dan
mengambil pikiran sendiri sebagai gantinya. Dan bukan sang khalifah sebagai
pengganti pemimpin intelektual Ahlul Bait secara tunggal tapi hak kepemimpinan
ini mencakup seluruh sahabat. Dan selanjutnya mereka muncul sebagai
pemimpin-pemimpin intelektual dan pemikiran dan mereka mengucapkan
"selamat tinggal" kepada rombongan Ahlul Bait yang telah ditunjuk
secara sah sebagai pemimpin intelektual disamping pemimpin sosial-politik,
sebab para sahabat adalah generasi yang hidup bersama Rasul dan mengikuti
setiap langkah dan perkembangan missinya serta menghayati dan mematuhi tuntutan
sabda dan Sunnah beliau.
Secara praktis nyata
bahwa Ahlul Bait kehilangan fungsi istimewa sebagai pemimpin-pemimpin
intelektual dan pudar di tengah-tengah para sahabat, dan mereka berstatus tidak
lebih sebagai seorang sahabat Rasul saja yang semuanya berhak dan berfungsi
sebagai pemimpin-pemimpin intelektual. Dan sebagaimana yang telah terbukti
dalam sejarah para sahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian
yang terkadang meminta darah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap
peperangan yang mereka kobarkan sendiri. Masing-masing pasukan menganggap lebih
konsekuen terhadap nilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat
dan penyeleweng. Saya katakan bahwa sebagai akibat dari perselisihan dan perang
tuduh yang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin
itulah timbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh
masyarakat Islam, yang merupakan cermin dari pelbagal pertikaian yang terjadi
antar kalangan pemimpin sendiri yang berhaluan ijtihadi.