Oleh Baskara T. Wardaya, SJ (Direktur
PUSdEP dan dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
“Tokoh-tokoh
kunci dalam gerakan yang menamakan diri sebagai “Gerakan Tigapuluh September”
(G30S) itu justru personil-personil militer, khususnya dari kesatuan
TNI-Angkatan Darat”
Tahun 2005 merupakan tahun
peringatan 40 tahun salah satu lembaran paling hitam dalam sejarah Indonesia,
yakni Tragedi 1965. Dalam tragedi itu ada tujuh orang perwira tinggi Angkatan
Darat ditangkap dan dibunuh sebagai akibat operasi militer yang diadakan oleh
Letkol Untung Syamsuri dan kawan-kawan. Selang beberapa waktu kemudian ada
ratusan ribu rakyat Indonesia yang dalam tempo beberapa bulan tewas dibantai
oleh rekan-rekan sesama warga negara. Lebih lanjut, selama beberapa dekade
berikut, ingatan akan tragedi yang terjadi pada tahun 1965-66 itu terus
diproduksi dan dikemas sedemikian rupa hingga menjadi alat efektif untuk
melayani berbagai macam kepentingan kelompok.
Oleh karena itu dalam
berbicara mengenai Tragedi ’65 kita perlu merinci dan menyoroti tiga unsur
penting yang tampak tak terpisahkan namun sebenarnya berbeda. Ketiganya adalah:
(a) operasi militer Letkol Untung dkk, (b) pembunuhan massal; dan (c) produksi
ingatan atas tragedi tersebut. Tanpa bermaksud membela atau menyalahkan PKI
maupun berbagai pihak lain yang terlibat, tulisan ini dimaksudkan untuk
mengajak para pembaca agar mau secara kritis berpikir ulang mengenai ketiga hal
tersebut dan belajar dari refleksi atas ketiganya.
[1] Operasi militer Letkol Untung dan kawan-kawan
Ketika orang berbicara mengenai peristiwa G30S tahun 1965 biasanya versi yang secara resmi dan umum berlaku adalah sebagai berikut. Pada tanggal 30 September 1965 melalui Pasukan Cakrabirawa, PKI telah melancarkan kudeta dengan jalan membunuh tokoh-tokoh tertinggi militer Indonesia di Jakarta. Begitu kejamnya orang-orang PKI itu sehingga enam orang Jendral plus seorang Kapten telah menjadi korban. [Dalam salah satu operasi penangkapan, seorang Jenderal berhasil lolos dari upaya itu, namun putrinya tewas secara mengenaskan di tangan PKI.] Kekejaman PKI berlanjut di Lubang Buaya, dengan jalan menyayat-nyayat tubuh para Jendral. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) bahkan memotong alat-alat vital para Jendral itu sambil menari-nari di tengah orgi yang disebut “pesta harum bunga”. Mata sebagian para korban juga dicungkil dengan alat khusus.
Ketika orang berbicara mengenai peristiwa G30S tahun 1965 biasanya versi yang secara resmi dan umum berlaku adalah sebagai berikut. Pada tanggal 30 September 1965 melalui Pasukan Cakrabirawa, PKI telah melancarkan kudeta dengan jalan membunuh tokoh-tokoh tertinggi militer Indonesia di Jakarta. Begitu kejamnya orang-orang PKI itu sehingga enam orang Jendral plus seorang Kapten telah menjadi korban. [Dalam salah satu operasi penangkapan, seorang Jenderal berhasil lolos dari upaya itu, namun putrinya tewas secara mengenaskan di tangan PKI.] Kekejaman PKI berlanjut di Lubang Buaya, dengan jalan menyayat-nyayat tubuh para Jendral. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) bahkan memotong alat-alat vital para Jendral itu sambil menari-nari di tengah orgi yang disebut “pesta harum bunga”. Mata sebagian para korban juga dicungkil dengan alat khusus.
Menurut versi resmi ini,
karena PKI dipandang sebagai satu-satunya “dalang” dari peristiwa keji
tersebut, maka “sudah selayaknya” bahwa ratusan ribu anggota PKI di manapun
mereka berada dikejar dan dibunuh secara beramai-ramai. Pantas pula peristiwa
yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 itu disebut “G30S/PKI” dengan
tekanan pada “PKI”-nya karena PKI merupakan pelaku utama. Juga, tepat kalau
istilah yang dipakai adalah istilah “Gestapu” (Gerakan September Tigapuluh).
PKI juga layak ditumpas karena sebelumnya mereka telah dua kali “memberontak”
(tahun 1926/27 dan 1948), dan ingin mengganti ideologi Pancasila dengan
ideologi komunis yang ateis.
Masih menurut versi di
atas, siapapun yang telah berhasil “menyelamatkan” negara dan bangsa ini dari
kaum komunis dengan jalan memimpin operasi pembantaian dan pemenjaraan massal
atas mereka, “berhak” menjadi pemimpin tertinggi Republik Indonesia. Tanpa
kepemimpinannya (dan orang-orang dekatnya) negeri ini akan terus menerus berada
di bawah rongrongan kaum komunis yang kejam.....
Lepas dari apakah kita
setuju atau tidak dengan versi resmi di atas, tampak ada sejumlah kejanggalan
atau misteri yang belum terjawab berkaitan dengan narasi mengenai apa yang
terjadi di seputar tanggal 30 September dan awal Oktober 1965 itu. Misalnya
saja soal tuduhan PKI sebagai pelaku utama G30S. Kita ketahui, PKI adalah
organisasi sipil. Sementara itu tokoh-tokoh kunci dalam gerakan yang menamakan
diri sebagai “Gerakan Tigapuluh September” (G30S) itu – yakni Letkol Untung,
Kolonel Abdul Latief dan Brigjen Soepardjo – adalah justru personil-personil
militer, khususnya dari kesatuan TNI-Angkatan Darat. Perlu diingat, Angkatan
Darat sendiri sejak Pemilu 1955 telah makin sengit berlawanan dengan PKI.
Penyebabnya antara lain adalah tingginya perolehan suara PKI sementara, dalam
pemilu tersebut perolehan partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia),
yakni partai politik yang dipelopori oleh Angkatan Darat, amat kecil.
Pertanyaannya, sedemikian hebatkah PKI sehingga meskipun merupakan organisasi
sipil ia telah berhasil mempengaruhi atau “membina” para perwira Angkatan Darat
ini sehingga mereka tunduk dan mau melaksanakan rencana PKI untuk melawan
kesatuannya sendiri?
Dalam pledoinya, Kolonel
Abdul Latief – Komandan Brigade Infanteri 1 Jayasakti Kodam V Jaya dan salah
seorang tokoh kunci G30S – mengatakan bahwa sebelum dilaksanakannya operasi
militer itu, pada tanggal 30 September 1965 sore ia telah melapor ke
Pangkostrad Mayor Jendral Soeharto. Dikatakan bahwa Soeharto juga telah
mengetahui rencana move militer itu melalui salah seorang bekas anak buahnya
dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang menemuinya pada tanggal 28
September 1965. Pertanyaannya, mengapa Pangkostrad Soeharto tidak melaporkan
rencana operasi militer itu ke atasannya, yakni Jendral Ahmad Yani sebagai Panglima
Angkatan Darat? Atau mengapa ia tidak menyampaikan informasi tersebut ke
Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi? Padahal ia tahu bahwa operasi
militer itu adalah operasi besar dan serius, dan direncanakan akan berlangsung
di Ibukota Negara.
Pada waktu itu salah satu
posisi paling penting dalam angkatan bersenjata di Indonesia adalah posisi
Pangkostrad (Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) yang waktu itu
dijabat oleh Mayjen Soeharto. Pertanyaannya, kalau G30S itu adalah gerakan PKI
untuk melawan Angkatan Darat, mengapa Soeharto sebagai Pangkostrad tidak
diapa-apakan? Terhadap pertanyaan ini ada dua kemungkinan jawaban: (a) Para
pelaku G30S begitu bodoh sehingga mereka mengabaikan Soeharto dan pasukannya;
(b) telah ada sikap “saling pengertian” antara para pelaku G30S dengan
Soeharto, atau bahkan Soeharto merupakan bagian dari G30S itu sendiri. Mana
dari kemungkinan ini yang lebih dapat diterima?
Dalam konteks Perang
Dingin tentu ada banyak negara yang senang atau sebaliknya khawatir dengan
perkembangan politik di Indonesia waktu itu. Hal ini terutama berkaitan dengan
kecenderungan politik Presiden Soekarno, soal konfrontasi Indonesia melawan
Malaysia, perkembangan politis yang berujung pada “segitiga ketegangan” antara
PKI, Bung Karno dan militer (khususnya Angkatan Darat). Sangat mungkin bahwa
sejumlah negara, entah itu dari blok kapitalis pimpinan Amerika Serikat maupun
kubu komunis yang dipelopori Uni Soviet dan Cina, ikut berkepentingan atas
terjadinya perubahan mendasar dalam perpolitikan di Indonesia waktu itu. Dengan
demikian pertanyaannya, bukankah tidak mungkin bahwa ada sejumlah pihak asing
yang – entah langsung atau tak langsung – ikut terlibat dalam aksi militer yang
diperkirakan akan membawa perubahan mendasar itu? Kalau keterlibatan itu ada,
benarkan PKI mampu mengorganisir berbagai kekuatan asing itu?
Satu-satunya kaitan (link)
yang menghubungkan Gerakan 30 September dengan PKI adalah Ketua Biro Khusus
PKI, yakni Sjam Kamaruzzaman alias Sjamsul Qamar Mubaidah. Oleh PKI ia ditugasi
untuk “membina” sejumlah anggota TNI-AD agar mendukung PKI. Pertanyaannya,
bagaimana dengan dugaan bahwa sebenarnya Sjam adalah sekaligus bertindak
sebagai agen ganda yang juga bertugas memata-matai gerak PKI demi kepentingan
kalangan militer? Kalau dugaan itu benar, bagaimana mungin posisi Sjam yang
masih meragukan itu bisa dijadikan bukti bahwa PKI merupakan “dalang” dari
operasi militer G30S? “Misteri” tentang Sjam ini menjadi lebih menarik jika
diingat bahwa meskipun dituduh sebagai tokoh kunci PKI dalam G30S ia tidak
dihukum mati seperti yang lain. Bahkan di mana kini ia berada masih merupakan
tanda tanya besar yang sepertinya tak seorang pun mau mengatakannya.
Sering dikatakan bahwa PKI
adalah satu-satunya dalang dari operasi militer kelompok G30S. Pertanyaannya,
benarkah bahwa dalang dari operasi militer itu tunggal? Tidak mungkinkah bahwa
dalang dari peristiwa tersebut bukan satu melainkan beberapa? Mustahilkah bahwa
operasi militer yang dilakukan oleh kelompok G30S itu merupakan muara dari berbagai
kelompok kepentingan (dari dalam maupun luar negeri) yang sama-sama berharap
menguasai perpolitikan di Indonesia saat itu? Selanjutnya, tidak mungkinkah
bahwa seandainyapun PKI terlibat, ia merupakan salah satu dari berbagai
kelompok kepentingan itu, tetapi bukan satu-satunya?
Menurut versi resmi di
atas, apa yang terjadi pada malam 30 September-1 Oktober 1965 itu merupakan
suatu “pemberontakan”. Maksudnya tentu saja pemberontakan yang dilakukan oleh
PKI melawan pemerintah RI. Pertanyaannya, tepatkah penggunaan istilah
“pemberontakan” itu di sini? Jawab atas pertanyaan ini penting, mengingat
secara etimologis istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Istilah
pemberontakan dalam bahasa Inggris adalah rebellion, yang berarti “an open
defiance of or resistance to an established government” – suatu tindakan
menentang atau resistensi secara terbuka terhadap pemerintah yang ada. Istilah
itu perlu dibedakan dengan istilah coup d’etat (kudeta), yang berarti perebutan
kekuasaan yang dilakukan oleh tentara bersama sipil; dengan istilah
pronounciamento yang berarti perebutan kekuasaan yang semua pelakunya adalah
tentara; dan dengan istilah putsch yang pengertiannya adalah perebutan
kekuasaan yang dilakukan oleh sekelompok tentara. Dari definisi-definisi itu
kelihatan bahwa operasi militer yang dilakukan oleh Letkol Untung dan
kawan-kawannya itu lebih dekat dengan pengertian putsch daripada pemberontakan,
karena tidak dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan
hanya dilakukan oleh sekelompok tentara. Tetapi mengapa istilah yang dipakai
oleh versi resmi selalu saja istilah “pemberontakan” dan bukan putsch? Itupun
selalu dikaitkan dengan “pemberontakan-pemberontakan PKI” yang terjadi pada
tahun 1926/27 dan 1948, biasanya tanpa pemahaman yang memadai tentang konteks
dan kaitan antara dua peristiwa tersebut.
Selain
pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu masih ada sejumlah pertanyaan lain yang
bisa diajukan terhadap versi resmi itu. Misalnya saja berkaitan dengan benar
atau tidaknya kisah tentang pencungkilan mata para korban, atau tentang tarian
orgi para anggota Gerwani yang berjoget sambil menyayat-nyayat bagian tubuh
para Jendral militer. Bisa diajukan pula pertanyaan mengenai benar atau
tidaknya pandangan bahwa TNI-Angkatan Udara merupakan bagian utama dari G30S.
Sementara itu kaitan geografis antara Markas TNI-AU di Halim Perdanakusuma
dengan lokasi pembuangan mayat para Jendral di Lubang Buaya juga sering kabur –
atau sengaja dikaburkan.
[2] Pembunuhan Massal
Apapun jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di seputar kejanggalan atau misteri versi resmi di atas, telah diketahui bahwa dalam waktu singkat operasi militer yang dipimpin oleh Letkol Untung dan kawan-kawan itu diketahui umum, dan pada tanggal 2 Oktober dinyatakan abortive atau gagal. Koran PKI Harian Rakjat sempat menyatakan dukungan kepada operasi militer Letkol Untung, tetapi siapa sebenarnya yang membuat pernyataan itu dan kapan konsep pernyataan itu dibuat, kini banyak diperdebatkan. Letkol Untung pun melarikan diri ke luar Jakarta. Bersamaan dengan itu tercerai-berai pula para bekas pelaku utama Gerakan Tigapuluh September. Sejak itu berlangsung masa yang relatif tenang, dalam arti tak terjadi pergolakan sosial besar-besaran di masyarakat, meskipun di sana-sini muncul suasana tegang akibat pembunuhan para Jendral di Jakarta beserta berita-berita tentang itu.
Apapun jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di seputar kejanggalan atau misteri versi resmi di atas, telah diketahui bahwa dalam waktu singkat operasi militer yang dipimpin oleh Letkol Untung dan kawan-kawan itu diketahui umum, dan pada tanggal 2 Oktober dinyatakan abortive atau gagal. Koran PKI Harian Rakjat sempat menyatakan dukungan kepada operasi militer Letkol Untung, tetapi siapa sebenarnya yang membuat pernyataan itu dan kapan konsep pernyataan itu dibuat, kini banyak diperdebatkan. Letkol Untung pun melarikan diri ke luar Jakarta. Bersamaan dengan itu tercerai-berai pula para bekas pelaku utama Gerakan Tigapuluh September. Sejak itu berlangsung masa yang relatif tenang, dalam arti tak terjadi pergolakan sosial besar-besaran di masyarakat, meskipun di sana-sini muncul suasana tegang akibat pembunuhan para Jendral di Jakarta beserta berita-berita tentang itu.
Pergolakan sosial baru terjadi sekitar tanggal 20-21 Oktober, ditandai dengan pembunuhan massal yang berlangsung di Jawa Tengah, khususnya di daerah Klaten dan Boyolali. Dengan kata lain, pembunuhan massal itu baru terjadi sekitar dua atau tiga minggu setelah berlangsungnya operasi militer yang dilakukan oleh kelompok G30S. Dan pembunuhan massal itupun terjadi secara bergelombang. Pada bulan Oktober pembunuhan terjadi di Jawa Tengah, selanjutnya pada bulan November merembet ke Jawa Timur, dan baru pada bulan Desember terjadi di Pulau Bali.
Pembunuhan itu sendiri
berlangsung secara sungguh keji dan sungguh massal. Pada dinihari tanggal 23
Oktober 1965, misalnya, di Boyolali ada sekitar 250 orang yang dibunuh secara
beramai-ramai, termasuk seorang guru SD dan istrinya yang dilempar ke sumur
dalam keadaan hidup-hidup. Dalam keadaan tak menentu, banyak warga keturunan
Cina di Semarang, Yogyakarta dan Surakarta juga menjadi korban amuk massa.
Tindakan kejam serupa terjadi di berbagai tempat lain di Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali dan sejumlah lokasi di luar Jawa. Jumlah pasti tentang berapa
korban yang tewas sulit ditentukan, tetapi umumnya berkisar antara setengah
juta sampai satu juta jiwa. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa
dari segi skala kekejaman dan jumlah, pembantaian massal 1965 di Indonesia
merupakan salah satu kekejian kemanusiaan di luar perang yang paling
mengerikan.
Di sinilah terletak aspek
tragedi dari apa yang terjadi pada tahun 1965-1966 itu. Yakni pertama, bahwa
tujuh perwira tinggi militer telah dibunuh – bukan oleh musuh dari luar
Indonesia, melainkan oleh sesama warga negaranya, bukan di medan tempur
melainkan di rumah atau lingkungan masing-masing. Kedua, pembunuhan atas para
perwira itu disusul oleh pembantaian ratusan ribu (kalau tak mau dikatakan
jutaan) atas warga bangsa ini – juga bukan oleh kekuatan asing, melainkan oleh
rekan-rekan sesama warga bangsanya. Ketiga, tak cukup berhenti di situ,
pembantaian warga sipil dan militer tersebut dilanjutkan dengan pemenjaraan
massal atas mereka yang dituduh sebagai punya kaitan dengan PKI, tanpa proses
pengadilan. Hak-hak mereka sebagai warga negara dicabut oleh rekan-rekan
sebangsa mereka. Selanjutnya mereka mengalami stigmatisasi yang akan merugikan
secara sosial, politik dan ekonomi secara berkepanjangan. Hak-hak asasi mereka
sebagai manusia dan sebagai warga negara telah dilanggar dan terus-menerus
dilanggar.
Berkaitan dengan
pembunuhan massal itu tentu ada banyak hal yang juga bisa dipertanyakan. Antara
lain adalah, mengapa pembunuhan massal itu tidak berlangsung secara serempak,
melainkan bergelombang atau bergiliran? Adakah faktor-faktor tertentu yang
menjadi pemicu bagi mulainya pembunuhan massal itu di masing-masing daerah?
Bahwa sejak diberlakukannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan UUBH
(Undang-undang Bagi Hasil) pada tahun 1964 terjadi ketegangan antara PKI dan
para tuan tanah memang betul; tetapi mengapa pembantaian di masing-masing
daerah itu baru mulai terjadi pada tahun 1965 dan itupun pada bulan-bulan
terakhir tahun tersebut dan awal tahun 1966? Di beberapa tempat, pembantaian
berlangsung justru pada tahun 1967-1968, saat ketika konon PKI telah berhasil
ditumpas. Dan korbannya ternyata memang bukan hanya para anggota PKI. Mengapa?
[3] Produksi dan Reproduksi Ingatan
Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tak dapat dipungkiri bahwa tampaknya memang terdapat unsur kesengajaan untuk mengarahkan atau bahkan memproduksi opini publik dan ingatan (memory) akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu menurut versi tertentu demi tujuan-tujuan tertentu pula. Misalnya saja penggunaan istilah “G30S/PKI”. Meskipun sebenarnya dalang yang sesungguhnya dari pembunuhan para Jendral itu belum jelas – atau bahkan setelah diketahui bahwa tokoh-tokoh kunci dari G30S itu adalah justru anggota militer – tetap saja digunakan istilah tersebut dengan maksud untuk memojokkan PKI. Bahkan penggunaan istilah “Gestapu” tampak sekali sengaja dilakukan untuk mengasosiasikan operasi militer yang konon didalangi oleh PKI itu dengan polisi rahasia Jerman Gestapo (Geheime Stat Polizei) yang terkenal kejamnya.
Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tak dapat dipungkiri bahwa tampaknya memang terdapat unsur kesengajaan untuk mengarahkan atau bahkan memproduksi opini publik dan ingatan (memory) akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu menurut versi tertentu demi tujuan-tujuan tertentu pula. Misalnya saja penggunaan istilah “G30S/PKI”. Meskipun sebenarnya dalang yang sesungguhnya dari pembunuhan para Jendral itu belum jelas – atau bahkan setelah diketahui bahwa tokoh-tokoh kunci dari G30S itu adalah justru anggota militer – tetap saja digunakan istilah tersebut dengan maksud untuk memojokkan PKI. Bahkan penggunaan istilah “Gestapu” tampak sekali sengaja dilakukan untuk mengasosiasikan operasi militer yang konon didalangi oleh PKI itu dengan polisi rahasia Jerman Gestapo (Geheime Stat Polizei) yang terkenal kejamnya.
Produksi ingatan akan apa
yang terjadi pada tahun 1965 itu sudah dimulai ketika pada dua pekan pertama
bulan Oktober hampir semua koran disensor, dan hanya koran-koran tertentu yang
boleh terbit, khususnya harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang
dikelola oleh Angkatan Darat. Melalui koran-koran ini, dan melalui berbagai
cerita yang beredar di masyarakat, dikisahkan mengenai berbagai kekejaman PKI
di Lobang Buaya, seperti kisah “pesta harum bunga”, kisah pemotongan alat-alat
vital, serta kisah pencungkilan mata yang sampai sekarang belum terbukti itu.
Dalam koran Angkatan Bersejata edisi 7 Oktober 1965, misalnya, dikatakan bahwa
para Jendral itu “matanya dicongkel”. Padahal, Brigjen TNI dr Rubiono Kertapati yang mengetuai tim dokter yang
melakukan autopsi atas para korban menyatakan dalam laporan visum et
repertum-nya bahwa tak ada penyiksaan atas tubuh para korban.
Lepas dari apakah orang
setuju atau tak setuju dengan PKI, atau apakah sebenarnya PKI bersalah atau
tidak, faktanya adalah bahwa hanya kisah-kisah resmi versi militer yang
memojokkan PKI yang waktu itu boleh beredar. Bahkan ketika ada anggota TNI AD
yang ditugaskan sebagai wartawan Kantor Berita Antara meliput kekejaman
terhadap PKI ia malah “di-PKI-kan” dan dijebloskan ke penjara selama
bertahun-tahun. Akibatnya, rakyat menjadi mudah disulut untuk melakukan
tindakan massal dalam rangka menghabisi para anggota PKI atau yang diduga
anggota PKI. Slogan yang beredar di masyarakat adalah “membunuh atau dibunuh” –
persis slogan militer dalam perang. Pembunuhan massal pun terjadi, dan bagaikan
Perang Baratayudha, bangsa Indonesia “mandi darah” saudara sendiri. Kemudian
pembunuhan itu diikuti dengan pemenjaraan massal di Jawa mau pun di luar Jawa,
dan hampir semuanya tanpa didahului oleh proses pengadilan yang memadai.
Selanjutnya, ingatan akan
apa yang terjadi pada tahun 1965 menurut versi resmi itu tidak hanya
di-produksi melainkan juga terus di-reproduksi, karena produksi dan reproduksi
macam itu menguntungkan sejumlah pihak, baik dari kalangan militer maupun
sipil. Pembuatan, pemutaran dan pemaksaan untuk menonton film yang berjudul Pengkhianatan
G30S/PKI karya Arifin C. Noer pada tahun 1980-an hingga 1990-an hanyalah salah
satu contoh. Dalam film yang berat sebelah dan bernada propaganda atas versi
resmi itu ditunjukkan kekejaman yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965 yang
menurut film tersebut jelas-jelas dilakukan oleh PKI.
Oleh kelompok-kelompok
kepentingan tertentu produksi dan reproduksi ingatan menurut versi resmi atas
Tragedi ’65 itu dipandang penting, karena hal itu dapat digunakan untuk
menakut-nakuti masyarakat sehingga mudah dikontrol. Ia menjadi semacam menara
panotik-nya Foucault yang berfungsi sebagai sistem pengawasan yang dominan tapi
tak mudah diduga. Pembubuhan kode “ET” (Eks Tapol) pada KTP milik orang-orang
yang melawan kebijakan penguasa, misalnya, membuat orang-orang itu ketakutan
dan berpikir dua kali kalau tak mau tunduk pada pemerintah.
[4] Konsekuensi lebih jauh
Lebih daripada sekedar membuat takutnya orang-orang yang KTP-nya diberi kode “ET”, produksi dan reproduksi ingatan oleh penguasa yang bersifat sepihak juga memiliki konsekuensi lebih jauh bagi kehidupan bersama sebagai bangsa. Salah satunya ialah bahwa ingatan masyarakat akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu menjadi kabur dan campur-aduk. Masyarakat bahkan sulit membedakan antara (a) operasi militer yang dilakukan oleh Letkol Untung dan kawan-kawan dengan (b) pembunuhan massal terhadap rakyat Indonesia oleh rakyat Indonesia, serta (c) berbagai upaya produksi dan reproduksi ingatan akan Tragedi 1965 yang telah dimanipulasi.
Lebih daripada sekedar membuat takutnya orang-orang yang KTP-nya diberi kode “ET”, produksi dan reproduksi ingatan oleh penguasa yang bersifat sepihak juga memiliki konsekuensi lebih jauh bagi kehidupan bersama sebagai bangsa. Salah satunya ialah bahwa ingatan masyarakat akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu menjadi kabur dan campur-aduk. Masyarakat bahkan sulit membedakan antara (a) operasi militer yang dilakukan oleh Letkol Untung dan kawan-kawan dengan (b) pembunuhan massal terhadap rakyat Indonesia oleh rakyat Indonesia, serta (c) berbagai upaya produksi dan reproduksi ingatan akan Tragedi 1965 yang telah dimanipulasi.
Kebiasaan memusatkan peringatan
Tragedi ’65 pada bulan September adalah contoh bagaimana masyarakat mengira
bahwa “puncak” tragedi itu ada pada bulan September. Seakan-akan pada bulan
itu-lah tragedi tersebut terjadi. Padahal pembunuhan para Jendral itu terjadi
pada dinihari hari pertama bulan Oktober, dan pada bulan Oktober pula mulai
terjadi pembantaian massal di Jawa Tengah, yang kemudian terus berlangsung pada
bulan Nopember, Desember, dst. [Kiranya sudah saatnya peringatan Tragedi ’65
digeser ke bulan Oktober atau setelahnya, supaya bangsa Indonesia bisa belajar
untuk tidak saling membunuh].
Tidak lengkapnya ingatan
masyarakat akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu juga membuat tidak adanya
upaya hukum untuk secara serius mengadili para pemberi komando maupun para
pelaku-lapangan atas pembantaian massal itu. Mahmilub (Mahkamah Militer Luar
Biasa) yang diadakan pada waktu itu terkesan lebih dimaksudkan untuk
memposisikan tokoh-tokoh PKI dan para pelaku G30S sedemikian rupa agar mudah
dijatuhi hukuman (mati). Selain itu juga dimaksudkan untuk menciptakan
ketakutan terhadap mereka yang punya afiliasi dengan komunisme atau terhadap
setiap gerakan kiri di negeri ini.
Konsekuensi praktisnya
ialah, kalau membunuh ratusan ribu orang saja dibiarkan, orang akan merasa
tidak apa-apa ketika melakukan tindakan-tindakan lain yang sebenarnya jahat,
tetapi yang ia pandang “lebih ringan” daripada apa yang terjadi pada tahun 1965
itu. Misalnya tindakan melakukan penculikan dan pembunuhan atas beberapa
mahasiswa, mencuri beberapa milyar rupiah uang negara, menjual sumber-sumber
daya alam ke negara lain, menaikkan harga kebutuhan pokok rakyat bawah secara
berlebihan, atau memprovokasi konflik-konflik horisontal yang korbannya “hanya”
beberapa ribu orang, dsb. Akibat selanjutnya adalah begitu banyak kasus
pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) berat yang tak pernah diselesaikan
secara tuntas di pengadilan, entah itu berkaitan dengan masalah Maluku, Aceh,
Poso, Tanjung Priok, Timor Leste, atau yang lain.
[5] Belajar dari Sejarah
Situasi demikian tentu tak dapat dibiarkan terus berlangsung. Perlu segera dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, keadaan akan terus memburuk dan masa depan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang adil dan demokratis akan semakin dipertanyakan. Peringatan 40 tahun Tragedi ’65 adalah momentum yang amat berharga. Misalnya dengan menggeser puncak peringatan Tragedi 1965-1966 itu dari bulan September ke bulan Oktober atau sesudahnya. Peringatan macam itu bisa menjadi kesempatan bagi semua pihak, baik para sejarawan maupun masyarakat pada umumnya, untuk setiap tahun secara kritis meninjau dan merekonstruksi kembali apa yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an dengan segala kompleksitasnya. Lebih dari itu, peringatan macam itu akan mengundang kita untuk berefleksi dan belajar dari tragedi yang terjadi pada tahun 1965 itu, yang kekejamannya nyaris tak tertandingi dalam sejarah Indonesia dan yang dampaknya masih tetap mengganggu kehidupan bersama kita sebagai bangsa sampai sekarang.
Situasi demikian tentu tak dapat dibiarkan terus berlangsung. Perlu segera dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, keadaan akan terus memburuk dan masa depan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang adil dan demokratis akan semakin dipertanyakan. Peringatan 40 tahun Tragedi ’65 adalah momentum yang amat berharga. Misalnya dengan menggeser puncak peringatan Tragedi 1965-1966 itu dari bulan September ke bulan Oktober atau sesudahnya. Peringatan macam itu bisa menjadi kesempatan bagi semua pihak, baik para sejarawan maupun masyarakat pada umumnya, untuk setiap tahun secara kritis meninjau dan merekonstruksi kembali apa yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an dengan segala kompleksitasnya. Lebih dari itu, peringatan macam itu akan mengundang kita untuk berefleksi dan belajar dari tragedi yang terjadi pada tahun 1965 itu, yang kekejamannya nyaris tak tertandingi dalam sejarah Indonesia dan yang dampaknya masih tetap mengganggu kehidupan bersama kita sebagai bangsa sampai sekarang.
Bangsa yang besar adalah
bangsa yang tidak takut untuk belajar dari sejarahnya sendiri.