oleh Russell Jones
Saya ingin menerka apa yang dipikirkan oleh
perutusan Indonesia tentang bangsa Inggris dan apa yang dipikirkan oleh bangsa
Inggris mengenai mereka, tepat tiga abad yang lampau. Suatu kesan tentang
pikiran bangsa Inggris mengenai mereka, sedikitnya pada taraf yang agak formal,
dapat diperoleh dari beberapa laporan yang diterbitkan pada masa itu, dan
pernah dikutip oleh Sir William Foster (1926: 113- 114). Saya merasa agak puas,
bahwa perutusan diplomatik pertama dari sebuah negara Indonesia diterima di
Inggris begitu baik, dan pikiran yang sebaliknya, bahwa ketika jamuan itu
diselenggarakan, dan dinikmati oleh mereka, dan tidak ada kemungkinan untuk
membawa keuntungan bagi para tuan rumah sebagai imbalan, hanya menambah suatu
perasaan yang merangsang kepada rasa puas saya ini.
“Saya ingin menerka apa yang dipikirkan oleh perutusan Indonesia tentang
bangsa Inggris dan apa yang dipikirkan oleh bangsa Inggris mengenai mereka,
tepat tiga abad yang lampau. Suatu kesan tentang pikiran bangsa Inggris
mengenai mereka, sedikitnya pada taraf yang agak formal, dapat diperoleh dari
beberapa laporan yang diterbitkan pada masa itu, dan pernah dikutip oleh Sir
William Foster (1926: 113- 114). Saya merasa agak puas, bahwa perutusan
diplomatik pertama dari sebuah negara Indonesia diterima di Inggris begitu
baik, dan pikiran yang sebaliknya, bahwa ketika jamuan itu diselenggarakan, dan
dinikmati oleh mereka, dan tidak ada kemungkinan untuk membawa keuntungan bagi
para tuan rumah sebagai imbalan, hanya menambah suatu perasaan yang merangsang
kepada rasa puas saya ini.”
Sabtu, 13 Mei 1682
Para Duta Besar Banten itu berangkat ke
Windsor untuk menghadap kepada Sri Baginda, sekitar pukul delapan pagi (juru
masak mereka dan Benyamin Schinckfeild telah dikirim sebelumnya), mereka
diangkut dengan kereta kerajaan di mana duduk: Kiayi Ngabehi Naya Wipraya, Sir
Charles Cotterel, Sir Henry Dacres dan Sir Jeremy Sambrooke, dalam kereta kedua
duduk Kiayi Ngabehi Jaya Sedana, Sir Charles Cotterell, Esq, Sir Robert Dacres
dan William Meinstone, Esq, dalam kereta ketiga duduk Mr Robert Marshall,
Monseur Bars, dan dua orang anggota senior dari iringan itu dan dalam empat
kereta yang lain lagi sisa dari rombongan itu dan para budak, sedangkan kereta-kereta
itu dikawal oleh pasukan berkuda. Mereka berjalan secara anggun sampai ke
Hounslow, di tempat mereka meninggalkan kereta-kereta itu untuk menikmati
sekedar jamuan, dan tiba di Windsor pada malam hari, di mana mereka menginap di
rumah Mr. Lytton.
Minggu, 14 Mei 1682
Sekitar pukul 10 pagi Sir Charles
Cotterell tiba dengan kereta kerajaan untuk menjemputnya, untuk menghadap
kepada raja. Mereka berangkat pukul 11, arak-arakan itu didahului oleh
budak-budak para duta yang membawa tombak dan payung-payungnya, kemudian
menyusul para duta besar, Mr Charles Cotterell, Sir Henry Dacres, Sir Robert
Dacres, Mr Charles Cotterell, Mr Meinstone, Mr Marshall dan pengiring Jawa
dalam kereta-kereta mereka.
Demikianlah mereka tiba di Windsor Castle.
Mereka diberitahukan agar mengirim dulu para budak yang membawa tombak dan
payung pribadi dan 2 orang yang berambut panjang dengan payung-payung sultan
yang terbuka di atas surat Sultan melalui semua penjaga dan pelayan sampai ke
ruang balairung di mana masuk para dutabesar, para budak dan pembawa tombak
tinggal di ruang tunggu bersama sepuluh orang pengiring mereka dan kedua payung
Sultan.
Mereka dijemput oleh Earl of Berkeley, Sir Charles Cotterel, Sir Henry Dacres, Sir
Jeremy Sambrooke, Mr. Charles Cotterel, Mr. William Meinstone dan Mr. Robert
Marshall, mereka melalui semacam lorong yang dibentuk oleh para pengiring
mereka. Mereka memberi hormat khusus kepada Sri Baginda dan Sri Ratu, yang
duduk bersama di bawah kanopi agung.
Setelah mendatangi taplak-meja agung M (menurut adat negerinya) duduk dan mempersembahkan kepada
Raja surat Sri Sultan, yang dibungkus dalam amplop yang bersulaman, bersama
hadiah-hadiah Sri Sultan (yang terdiri dari tiga kotak kecil berisi intan) yang
harga sebenarnya tak diketahui orang. Sir Henry Dacres menjadi
penerjemah antara Sri Baginda dan para Duta Besar.
Meskipun singkat, penerimaan ini
menyenangkan Sri Baginda, ketika upacara itu selesai dan salam hormat sudah
disampaikan yang memuaskan kedua belah pihak, maka para Duta Besar itu
berangkat dalam urutan yang sama sebagaimana mereka telah masuk sebelumnya.
Mereka pergi kepada suatu ruangan indah, di mana tinggal sampai makan siang
telah disiapkan. Hal ini telah dilaksanakan secara istimewa keagungannya,
teliti dan mahal sekali, yang hanya dialami oleh sedikit Duta Besar (yang
lain), konon kabarnya biayanya untuk Sri Baginda berjumlah lebih dari pada dua ratus
pound.
Pada ujung utama meja itu duduk Kiayi
Ngabehi Naya Wipraya, bersama orang-orang lain dari rombongan Jawa dan para
pengiringnya. Di sebelah kiri duduk sejumlah yang berkedudukan tinggi dari
bangsa Inggris. Selama resepsi ini tidak kekurangan akan musik yang
menyenangkan, anggur yang baik dan kemeriahan yang pantas, dan toast yang lazim
diminum, terutama kepada Sri Baginda, Sri Sultan, Sri Ratu, Duke of York, para Duta
Besar dan kepada para Gubernur dan para anggota East India Company.
Dari tempat itu para Duta Besar pergi ke
dalam sebuah ruangan khusus, setelah itu bersantai, mereka diiringi oleh Sir
Charles Cotterel untuk melihat-lihat semua ruangan indah dan serambi di istana
itu, dan St. George's Chapel.
Setelah melihat itu semua, mereka dijamu
lagi sekira satu jam dengan bermacam-macam minuman, tetapi karena mereka ingin
tahu lebih banyak, mereka diiringi sepanjang perjalanan mereka untuk melihat
lingkungannya, dan dengan demikian mereka sampai ke menara, di mana Pangeran
Rupert menghormati mereka dengan memberi salam sendiri, sambil memperlihatkan
sesuatu barangnya yang aneh-aneh, terutama koleksi senjata yang tak ada
bandingannya, hal ini begitu menyenangkan mereka sehingga mereka
membalasnya dengan menghadiahkan kepada Pangeran itu kedua payung putih Sri
Sultan untuk ditambahkan kepada koleksi itu.
Selama mereka berjalan-jalan di atas
menara itu, mereka tak sedikit pun tidak terkesan melihat pemandangan yang
indah dari daerah sekelilingnya, terutama ke sebelah timur dan ke sebelah
barat, pemandangan itu meluas sampai sedikitnya 60 mil. Ketika mereka sudah
puas dengan upacara-upacara pada hari itu, mereka diantarkan pulang ke tempat
kediaman mereka dalam kereta kerajaan.
Senin, 15 Mei 1682
Sekitar pukul 8 pagi mereka berangkat
dalam kereta kerajaan dan kereta-kereta lain ke London dan tiba di Hampton
Court.
(Mereka berkunjung kepada Duke of
Lauderdale di Ham, setelah mengirim kebanyakan pengiringnya ke London melalui
darat, para Duta Besar itu naik, dua atau tiga kapal untuk melengkapi
perjalanan mereka lewat sungai, mereka begitu senang sehingga hari itu terasa
terlalu singkat bagi mereka hingga hari sudah magrib ketika mereka sampai ke
tempat kediaman mereka), di mana mereka menemukan jurumasak mereka yang sudah
meninggal, yang sakit demam ketika mereka meninggalkannya, yang dapat
disebabkan karena ia tak henti-henti minum brandy dan beberapa
minuman keras yang lain sejak mereka baru tiba di Charing Cross.
Mereka tak begitu sedih karena wafatnya,
meskipun mereka mengalami sedikit kesulitan untuk menemukan sesuatu tempat
pantas untuk kuburannya.
Selasa, 16 Mei 1682
Sebelum ia dapat dikubur, ia dibawa ke
sana sebelum tengah malam, dengan kereta-kereta diiringi secara pantas oleh
pengawal dan prajurit (di samping beberapa kawannya) ke suatu tempat khusus di
James's Park di seberang Hyde Park, di mana makamnya dibuat sesuai dengan
kelaziman agamanya dan negaranya.
Pada tanggal 17 Mei para dutabesar dijamu
lagi dengan sebuah "resepsi gemilang" di East India
House. Sebagaimana ditulis oleh salah seorang pejabat pada waktu itu:
"Kami menyelenggarakan suatu sambutan
dan penerimaan yang gemilang, dan kehormatan yang diberikan kepadanya oleh Sri
Baginda seakan-akan ia datang dari raja yang terbesar di dunia, karena kami
ingin menunjukkan kepadanya kesopanan bangsa kita dan kebesaran dan keagungan
kerajaan ini, agar ia dapat mengungkapkan di bagian Timur dunia ini, (di mana
kita hanya terkenal sedikit, macam negara dan bangsa apa kita ini). Kalau
upacara ini selesai, kami akan memperoleh izin Sri Baginda untuk mengadakan
suatu Perjanjian dengannya, yang kita harapkan akan membawa keuntungan bagi
kita".
Sayangnya, perasaan optimis ini keliru,
karena para Duta Besar itu tidak diberi kuasa untuk mengadakan sesuatu
perundingan. Di samping itu, keadaan (politik) menjadi lain
sehingga bagaimanapun juga tidak menguntungkan Company.
Setelah kunjungan-kunjungan resmi selesai,
para Duta Besar mulai suatu urutan jamuan dan darmawisata yang amat hebat. Kita
tak perlu mengikuti perjalanannya dari hari ke hari lewat laporan resmi secara
terperinci yang agak menjemukan, ringkasan peristiwa dari Sir William Ester
(Foster, 1926: 109- 11) memberikan kepada kita gambaran yang baik tentang banyaknya
keramah-tamahan yang dipersiapkan bagi mereka, dan ringkasan ini beruntung
dapat memperbaiki dan mengkomentari karena pengetahuannya tentang adegan resmi
pada waktu itu.
Pada tanggal 20 Mei 1682 mereka dijamu
oleh Sir Robert Dacres di tempat kediamannya di Clerkenwell, pada tanggal 24
Mei 1682 mereka pergi ke Cheapside untuk melihat arak-arakan pemakaman Sir
Thomas Bendworth, pada tanggal 30 Mei 1682 mereka berkunjung lagi ke Duke's
Theatre untuk kedua kalinya (pertama kalinya pada tanggal 18 Mei 1682), ketika
ada pementasan "The Tempest", dan pada tanggal 7 Juni
1682 mereka diperlihatkan Guildhall, Rumah sakit Bethlehem dan kedua Exchange.
Keesokan harinya mereka pergi ke tempat
kediaman Sir Josua Child di Wanstead, di mana mereka dijamu dengan cara yang
gemilang. Putri Child yang kedua, Rebecca, baru menikah tiga hari sebelumnya,
dengan Charles, Lord Herbert, putra sulung Mark Worchester, dan pengantin
wanita dan pria itu berada di antara orang-orang yang terpandang yang telah
berkumpul untuk berjumpa dengan para wakil dari Sultan Banten itu.
Hari itu berlalu dengan bersuka-ria,
mendengarkan musik dan beberapa jamuan yang lain, dan dengan berjalan-jalan di
taman yang amat menyenangkan tersebut (sekarang menjadi taman untuk umum), dan
pada waktu magrib, Child mengantarkan para tetamunya kepada kereta-kereta
mereka.
Pada tanggal 9 Juni 1682 mereka berkunjung
kepada tugu peringatan. Para Duta Besar diantarkan sampai ke puncaknya dan
diperlihatkan pemandangan kota (dari atas). Dari sana mereka pergi ke Tower, di
mana mereka melihat intan permata mahkota, (corn jewels), koleksi senjata, dan
kebun binatang raja.
Keesokan harinya berlalu dengan berkunjung
ke West Minster Hall, kedua Ruangan Dewan Perwakilan, dan West Minster Abbey
(gereja), sedangkan pada tanggal 12 Juni 1682 mereka berada di sekolah naik
kuda yang tersohor dari Monsieur Thouberti, ketika murid-muridnya memamerkan
kepandaiannya.
Pada sore hari tanggal 14 Juni 1682 para Duta
Besar mengunjungi Percetakaan Raja di Blackfriars, (yang sekarang ditempati
oleh kantor suratkabar Time). Di sana mereka melihat nama-namanya yang dicetak,
dan mereka menaruh perhatian banyak akan bermacam-macam prosesnya. Kemudian
mereka pergi ke Basinshall Street, untuk berkunjung kepada Sir Jeremy
Sambrooke, dan untuk mengucapkan terima kasih untuk kegiatannya demi mereka.
Sambrooke telah mengundang banyak sekali orang untuk bertemu dengan mereka, dan
telah menyiapkan suatu banket (makanan) yang berlimpah-limpah yang
sangat'menyenangkan.
Kunjungan kehormatan dilakukan kemudian
(15 Juni 1682) kepada Duke of York di Istana Saint James. Para Duta Besar diterima
oleh Duke dan Duchess, didampingi oleh putri mereka, Anne (yang kemudian
menjadi ratu), dan diperlakukan dengan banyak kehormatan. Pada malam hari,
untuk bersantai, mereka pergi ke Hyde Park untuk melihat bagaimana para
bangsawan berkeliling dalam kereta mereka. Lima hari kemudian mereka berlayar
di sungai ke Mortlake, tempat jamuan oleh Mr. Hymphrey Edwin, yang telah
disebut sebagai salah seorang angggota Komisi Company yang menjamu mereka
sepanjang hari secara menarik, kemudian sebelum pulang, mereka berkunjung ke tempat
kediaman seorang yang disebut Mr. Ducane.
Selama dua pekan yang berikut, para Duta Besar
itu berhasil mengunjungi Duke's Theatre sebanyak tiga hari, dan sementara itu
(antara ketiga kunjungan itu) mereka bertamasya terus. Earl of Berkel, menjamu
mereka di tempat kediamannya di Clerkenwell pada tanggal 22 Juni 1682, dan pada
sore hari tanggal 22 itu, di tempat Artileri Alderman Sir James Edwards,
Kolonel Trained Band City, menyuruh prajuritnya berbaris untuk para tetamunya.
Mereka diantarkan dua hari kemudian kepada suatu pertunjukan adu beruang lawan
sapi -- suatu pertunjukan yang mereka lebih suka daripada tamasya mereka ke
Temple Mills pada hari berikutnya, ketika mereka, dipimpin oleh Sir Henry
Dacres, mereka melihat "invensi baru meriam besi".
Pada tanggal 5 Juli 1682 para Duta Besar itu
diperkenankan mohon diri pada Raja Charles II. Upacara itu meliputi pemberian
kepada salah seorang Duta Besar, oleh raja sendiri, sepucuk surat untuk Sri
Sultan Banten.
Kita tak diberitahukan tentang isi surat
itu. Kita dapat menduga bahwa surat itu ditulis dalam bahasa Melayu, mungkin
oleh William Meinstone, yang bertugas dari permulaan untuk membuat terjemahan
dari surat Sri Sultan ke pada East India Company (Fruin-Mees, 1924:221).
Tetapi, menurutt Fruin-Mees (h. 214), ada suatu laporan dalam Daghregister di
Daghregister di Batavia, bahwa surat itu berbahasa Inggris dan tidak dilampiri
sebuah terjemahan dalam bahasa Melayu.
Terjemahan dalam bahasa Belanda dari
laporan berbahasa Inggris menyebutkan bahwa surat itu dibungkus dengan “bungkusan
yang mahal”. Suatu laporan dari masa itu (dikutip oleh Foster, 1926:111)
memberi perincian yang lebih tepat: "Sri Baginda memberinya sepucuk
surat, dalam dompet dari bahan tekstil emas, untuk dipersembahkan kepada
tuannya...." Hal ini berarti adanya pengetahuan pada pihak
penasehat raja bahwa kelak ada kelaziman Melayu untuk membungkus surat-surat
raja dalam sebungkusan dari bahan tekstil berwarna kuning.
Laporan yang berbahasa Belanda berakhir di
sini, dapat diduga bahwa setelah saat terakhir, yang resmi dari kunjungan itu,
laporan yang berbahasa Inggris sampai saat itu diberikan kepada para Duta Besar.
Tetapi mereka tinggal di London sepekan lagi, dan sesaat sebelum akhir
kunjungan mereka ada kehormatan bagi mereka secara unik. Catatan yang berikut
tentang keberangkatan mereka tertulis dalam London Gazette pada tanggal 13 Juni
1682 (dikutip oleh Foster, 1926: 116):
"Para Duta Besar Raja Banten setelah
mohon diri dari Sri Baginda (yang memberikan mereka suratnya untuk Tuan mereka
dari tangannya sendiri) memberi mereka kehormatan dijadikan ksatria (knight)
dan masing-masing menerima pedangnya yang diberikan bersama gelar itu dan
ikat-pinggang yang disulam, yang dipasang pada mereka di depan Sri Baginda.
Keesokan harinya mereka diantarkan ke Greenwich, di mana mereka naik kapal
Cleveland yang membawa mereka ke Chatham untuk melihat angkatan laut kerajaan,
dan dari sana mereka naik kapal Kempthorne, ialah kapal yang khusus berlayar ke
India Timur sebesar 10 ton, yang membawa mereka pulang"
Daghregister (Fruin-Mees, 1924- : 215)
melaporkan bahwa Naya Wipraya menjadi "Sir Abdul" dan
Jaya Sedana menjadi "Sir Ahmad".
Menurut Daghregister (idem) kapal
Kemphoorn tidak baru berangkat dari Downs pada tanggal 23 Agustus 1682, yang
sampai di Banten pada tanggal 20 Januari 1683.
Sesungguhnya suatu bayangan yang
menyenangkan bahwa kunjungan pertama sebuah perutusan Indonesia ke Inggris
membawa keuntungan. Sedihnya, harus dilaporkan terjadinya kegagalan.
Kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan yang menguntungkan antara Banten dan
Inggris berdasarkan pemikiran bahwa kekuasaan Belanda tak akan menjadi yang
terpenting di Jawa. Tahun 1682, ialah tahun dikirimnya perutusan itu ke
Inggris, melihat suatu pergulatan untuk kekuasaan antara sultan yang lama, Abul
Fatah dan putranya, Sultan Haji (Abdul Kahar) (lihat Stapel, 1939 : 415
dsbnya). Sultan muda itu dalam keadaan terjepit memohon bantuan kepada Belanda,
dengan menawarkan penyerahan negaranya kepada mereka, asal saja mereka
mengizinkapnya untuk tetap memerintah, dan terutama menawarkan monopoli
perdagangan Banten "dengan menutup pintu bagi semua bangsa atau
orang-orang lain".
Suatu ekspedisi Belanda dikirim dari
Batavia ke Banten dan pada tanggal 7 April 1682, juga sebelum perutusan itu
sampai di London, tentara Sultan Abdul Fatah telah dikalahkan-secara mutlak.
Sebagai akibat para pedagang yang lain daripada Belanda, dititah keluar dari
Banten.
Kita dapat membayangkan betapa ironisnya
keadaan: juga sebelum dimulainya masa penerimaan para Duta Besar dari Banten
yang berlangsung selama tiga bulan, peristiwa-peristiwa dalam tanah airnya
telah melenyapkan setiap kesempatan untuk mencari keuntungan bagi kedua belah
pihak. Sultan Abul Fatah diserahkan kepada Belanda pada tahun 1683 dan sampai
ajalnya tinggal di Batavia sebagai tawanan.
Maka kapal Kemthorne dan para penumpangnya
tiba di Jawa pada bulan Januari 1683, dan mereka melihat betapa keadaanya sudah
berubah sama sekali. Tak dapat diragukan lagi, karena ia amat malu ketika para Duta
Besarnya kembali dari istana "musuh yang paling dibenci" oleh orang
Belanda, Sultan Haji menganggap tindakan terbaik ialah mengirim mereka segera
ke Batavia, di mana kapal Kempthorne, yang dilarang berlabuh di Banten, tiba
juga.
Melihat keadaan yang sudah berubah,
kaptain Inggris dengan perasaan segan, menyerahkan barang dagangan pribadi
milik para Duta Besar dan hadiah-hadiahnya (Fruin- Mees, 1924 : 2;3) 500 tong
mesiu yang dikirim sebagai hadiah dari Charles ke pada Sri Sultan diambil oleh
Belanda sebagai tindakan kebijaksanaan. Laporan pengalaman-pengalaman mereka di
London, seperti kita telah melihat, diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan
masuk ke dalam Daghregister. Para penguasa Belanda di Batavia merasa bijaksana,
untuk menahan untuk sementara waktu surat-surat kepada Sultan Banten, karena
nadanya melawan Belanda, karena belum diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu,
surat-surat itu tidak disebut lagi dalam sumber-sumber, dan kita dapat menduga
bahwa tidak pernah sampai ke tangan Sultan.
Surat-surat asli atau salinannya dalam
bahasa Inggris, pasti disimpan di Den Haag pada tahun 1895, ketika
salinan-salinan surat-surat itu dibuat dalam Java Factory Records G.21/17 dan
dibawa ke India Office Library di London.
Kita boleh bertanya bagaimana terjemahan
dilakukan untuk mempermudah hubungan antara para Duta Besar Banten dan
tuan-tuan rumah Inggris. Rupa-rupanya salah seorang Duta Besar Banten, Jaya
Sedana, agak fasih berbicara bahasa Inggris (Fruin-Mess, 1924: 215). Laporan
itu seringkali menyebutkan beberapa orang Inggris yang pada beberapa kesempatan
terpenting menjadi juru terjemah. Yang paling sering disebut adalah Mr. William
Meinstone dan Mr. Robert Marshall.
Mr. Meinstone pernah mengabdi kepada East
India Company di Makasar, Jambi, dan Banten, dan sudah jelas memperoleh
pengetahuannya tentang bahasa Melayu di daerah -daerah di mana bahasa itu
dipakai. Ia jelas seorang yang paling jauh dalam kesarjanaannya antara empat
juru terjemah itu, dan ia menjadi pengarang buku tatabahasa Melayu yang satu
naskahnya dari masa itu ia masih ada, ialah bulan Agustus 1682, sebulan setelah
berangkatnya perutusan itu.
Dapat diterima bahwa Meinstone memakai
bantuan beberapa anggota perutusan itu sebagai penerang, untuk menyelesaikan
karyanya. Pada tahun 1688-89 ada laporan bahwa Meinstone, yang pada waktu itu
sudah meninggal, telah siap dengan sebuah naskah kamus Melayu, tetapi naskah
itu hilang (Boyle, 1772: 567). Marshall pernah juga menjadi seorang pegawai di
Banten dan boleh juga belajar bahasa Melayu di sana. Dua
tuan yang lain menjadi juru terjemah juga pada beberapa kesempatan (lihat 22
Juni): seorang ialah Mr. English (atau Inglis), yang saya sama sekali tidak
kenal. Yang lain adalah Sir Henry Dacres yang pernah menjadi seorang Kepala di
Banten.