The Battle of Banten on Sketchs and Paintings
The City of Banten, Bird View
The Battle of Banten Between Dutch and Portuguese
Banten's Mangkubumi and his Attendants
Portuguese Residents at Banten
The Journey of Cornelis de Houtman to Banten in 1596. Sketch in 1646
The Journey of Cornelis de Houtman to Banten in 1596. Sketch in 1646
The Town of Banten in the Days of the Dutch East India Company.
Notes: The naval Battle of Banten took place on 27 December 1601 in Banten Bay,Indonesia, when an exploration fleet of 5 Dutch vessels defeated a larger Portuguese fleet including galleons and fustas.
Notes: The naval Battle of Banten took place on 27 December 1601 in Banten Bay,Indonesia, when an exploration fleet of 5 Dutch vessels defeated a larger Portuguese fleet including galleons and fustas.
The History of Banten on Vintage Art
The Dutch Take Banten from Portuguese. This product is reproduced from a publication, advertisement, or vintage print. In an effort to maintain the artistic accuracy of the original image, this final product has not been retouched. This giclée print delivers a vivid image with maximum color accuracy and exceptional resolution. The standard for museums and galleries around the world, giclée (French for “to spray”) is a printing process where millions of ink droplets are sprayed onto the paper’s surface. With the great degree of detail and smooth transitions of color gradients, giclée prints appear much more realistic than other reproduction prints. The high-quality paper (235 gsm) is acid free with a smooth surface.
Without Frame
With Black Frame
With Wood Frame
With Luxury Frame
Raden Kian Santang dan Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah
(Hikayat
ini adalah contoh sastra lisan di Banten dan Jawa Barat yang lebih bersifat
kiasan, yang memaksudkan dirinya untuk bercerita tentang bagaimana peralihan
kultural dan politik di Banten dan Jawa Barat dari Era Hindu ke Era Islam).
Prabu
Siliwangi memiliki beberapa putra dan putri, diantaranya adalah Raden Kian
Santang dan Ratu Rara Santang, yang keduanya adalah putra dan putri kesayangan
sang Prabu. Raden Kian Santang terkenal dengan kesaktiannya yang luar biasa. Di
dunia persilatan nama Raden Kian Santang sudah tak asing lagi sehingga seluruh
Pulau Jawa bahkan Nusantara saat itu sangat mengenal siapa Raden Kian Santang.
Tak ada yang sanggup mengalahkannya. Bahkan, Raden Kian Santang sendiri tak
pernah melihat darahnya sendiri.
Suatu
ketika, Raden Kian Santang yang adalah putra Prabu Siliwangi itu terkejut
ketika di dalam mimpinya ada seorang kakek berjubah yang mengatakan bahwa ada
seorang manusia yang sanggup mengalahkannya, dan kakek tersebut tersenyum. Mimpi itu terjadi
beberapa kali hingga Raden Kian Santang bertanya-tanya siapa gerangan orang
itu. Dalam mimpi selanjutnya sang kakek menunjuk ke arah lautan dan berkata
bahwa orang itu di sana.
Penasaran
dengan mimpinya, Raden Kian Santang pun meminta ijin kepada ayahandanya, Prabu
Siliwangi untuk pergi menuju seberang lautan, dan menceritakan semuanya. Prabu
Siliwangi walaupun berat hati tetap mempersilahkan putranya itu pergi. Namun
Ratu Rara Santang, adik perempuan Raden Kian Santang, ingin ikut kakaknya
tersebut.
Meski dicegah,
Ratu Rara Santang tetap bersikeras ikut kakaknya, yang akhirnya mereka berdua
pergi menyeberangi lautan yang sangat luas menuju suatu tempat yang ditunjuk
orang tua alias si kakek berjubah di dalam mimpi Raden Kian Santang itu.
Hari demi
hari, minggu berganti minggu dan genap delapan bulan perjalanan sampailah Raden
Kian Santang dan Ratu Rara Santang ke sebuah dataran yang asing, tanahnya
begitu kering dan tandus, padang pasir yang sangat luas serta terik matahari
yang sangat menyengat mereka melabuhkan perahu yang mereka tumpangi.
Tiba-tiba
datanglah seorang kakek yang begitu sangat dikenalnya. Yah, kakek yang pernah
datang di dalam mimpinya itu. Kakek itu tersenyum dan berkata: “Selamat datang
anak muda! Assalamu alaikum!” Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang hanya
saling berpandangan dan hanya berkata: “Aku ingin bertemu dengan Ali, orang
yang pernah kau katakan sanggup mengalahkanku.”
Dengan
tersenyum kakek itu pun berkata: “Anak muda, kau bisa bertemu Ali jika sanggup
mencabut tongkat ini!” Lalu si kakek itu menancapkan tongkat yang dipegangnya.
Kembali
Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang saling berpandangan, dan Raden Kian
Santang tertawa terbahak-bahak. “Hai orang tua! Di negeri kami adu kekuatan
bukan seperti ini, tapi adu olah kanuragan dan kesaktian. Jika hanya mencabut
tongkat itu buat apa aku jauh-jauh ke negeri tandus seperti ini? Ujar
Raden Kian Santang mengejek.
Kakek itu
kembali tersenyum. “Anak muda, jika kau sanggup mencabut tongkat itu kau bisa
mengalahkan Ali, jika tidak kembalilah kau ke negerimu anak sombong.” Kata
orang tua itu.
Akhirnya
Raden Kian Santang mendekati tongkat itu dan berusaha mencabutnya. Namun
upayanya tak berhasil. Semakin dia mencoba semakin kuat tongkat itu
menghunjam.
Keringatnya
bercucuran, sementara Ratu Rara Santang tampak khawatir dengan keadaan
kakaknya, ketika tiba-tiba darah di tangan Raden Kian Santang menetes, dan
menyadari bahwa orang tua yang di hadapan mereka bukan orang sembarangan.
Saat itu,
lutut Raden Kian Santang bergetar dan dia merasa kalah. Ratu Rara Santang yang
terus memperhatikan kakaknya segera membantunya, namun tongkat itu tetap tak
bergeming, akhirnya mereka benar-benar mengaku kalah.
“Hai
orang tua! Aku mengaku kalah dan aku tak mungkin sanggup melawan Ali. Melawan
dirimu pun aku tak bisa! Tapi ijinkan aku bertemu dengannya dan berguru
kepadanya.” Ujar Raden Kian Santang.Kakek itu kembali tersenyum. “Anak muda! Jika Kau
ingin bertemu Ali, maka akulah Ali.” Tiba-tiba mereka berdua bersujud kepada
orang tua itu, namun tangan orang tua itu dengan cepat mencegah keduanya
bersujud. “Jangan bersujud kepadaku anak muda! Bersujudlah kepada Zat yang
menciptakanmu, yaitu Allah!”
Akhirnya
mereka berdua mengikuti orang tua tersebut, yang ternyata Ali Bin Abi Tholib,
ke Baitullah dan memeluk agama Islam.
Begitulah,
Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang mempelajari Islam dengan
sungguh-sungguh. Dalam perjalanannya Raden Kian Santang kembali ke pulau Jawa
dan menyebarkan Islam di daerah Garut hingga meninggalnya. Sedangkan Ratu Rara
Santang dipersunting oleh salah satu pangeran dari tanah Arab yang bernama
Syarif Husen. Perkawinan antara Ratu Rara Santang dan Syarif Husen itu
menghasilkan dua putra, yaitu Syarif Nurullah dan Syarif Hidayatullah. Syarif
Nurullah menjadi penguasa Makkah saat itu, sedangkan Syarif Hidayatullah pergi
ke Jawa untuk bertemu dengan ayah dan kakeknya.
Syarif
Hidayatullah pamit untuk pergi ke Jawa dan ingin menyebarkan Islam ke sana. Dan
pergilah Syarif Hidayatullah mengarungi samudera nan luas seperti halnya dulu
ibu dan pamannya, Ratu Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Setibanya
di tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidak kesulitan berjumpa dengan ayah dan
kakeknya. Namun Syarif Hidayatullah prihatin karena hingga saat itu kakeknya masih
belum masuk ke dalam agama Islam dan tetap bersikukuh dengan agamanya yaitu
agama Sunda Wiwitan, meski berbagai upaya terus dilakukan dan dia hanya berdoa
semoga kakeknya suatu saat diberi hidayah oleh Allah.
Melihat
keuletan cucunya dalam menyebarkan Agama Islam, Prabu Siliwangi memberikan
tempat kepada cucunya sebuah hutan yang kemudian bernama Cirebon. Dan di
sinilah pusat penyebaran Islam dimulai. Murid - muridnya kian bertambah dan
Islam sangat cepat menyebar.
Dalam
penyebarannya Syarif Hidayatullah mengembara ke ujung barat pulau Jawa, ke
daerah kulon, tempat pendekar-pendekar banyak tersebar. Di Pandeglang ada
Pangeran Pulosari dan pangeran Aseupan, juga terdapat Raja Banten yang terkenal
sangat sakti, bahkan Raden Kian Santang pun segan kepadanya, yaitu Prabu Pucuk
Umun, Raja Banten yang memiliki ilmu Lurus Bumi yang sangat sempurna, juga
pukulan braja musti yang bisa menghancurkan gunung, bahkan menggetarkan bumi.
Rupanya
Syarif Hidayatullah telah mengetahui kesaktian Prabu Pucuk Umun yang menguasai
daerah itu. Untuk langsung mengajak Prabu Pucuk Umun masuk ke dalam Agama Islam
sangat tidak mungkin, sebab Syarif Hidayatullah tahu Prabu Pucuk Umun mudah
sekali murka, dan hal ini sangat berbahaya.
Dengan
bersusah payah Syarif Hidayatullah menemui Pangeran Pulosari dan juga Pangeran
Aseupan, yang merupakan sepupu dari Prabu Pucuk Umun, dan rupanya Pangeran
Pulosari dan Pangeran Aseupan sangat tertarik dengan ajaran agama yang di bawa
oleh cucu Raja Pajajaran itu, dan keduanya menganut agama Islam.
Masuknya
kedua pangeran itu ke dalam agama yang dibawa Syarif Hidayatullah terdengar
juga oleh Prabu Pucuk Umun, dan hal ini membuatnya murka. Tiba-tiba langit
menjadi gelap, halilintar bergelegar bersahutan. Pangeran Aseupan dan Pangeran
Pulosari memahami bahwa kakak sepupunya telah mengetahui masuknya mereka kepada
agama yang dibawa Syarif Hidayatullah.
Dengan
ilmu Lurus Buminya, Prabu Pucuk Umun memburu kedua pangeran yang menurutnya
berkhianat itu, dan terjadilah perkelahian yang sangat dahsyat. Pangeran
Pulosari dan Pangeran Aseupan berusaha mengelak dari serangan-serangan yang
dilakukan kakak sepupunya itu. Namun kesaktian luar biasa yang dimiliki Prabu
Pucuk Umun membuat mereka lari ke arah selatan, dan di sanalah Syarif
Hidayatullah menunggu mereka, dan dengan luka yang diderita mereka, akhirnya
mereka pun berlindung di belakang Syarif Hidayatullah.
Prabu
Pucuk Umun berteriak: “Hai cucu Siliwangi! Jangan kau ganggu tanahku dengan
agamamu, jangan kau usik ketenangan rakyatku, enyahlah kau dari sini sebelum
kau menyesal dan berdosa kepada kakekmu.”
Dengan
tersenyum Syarif Hidayatullah menjawab: “Aku diperintahkan oleh Allah untuk
menyebarkan agama ini, karena agama ini bukan hanya untuk satu orang tapi untuk
semua orang di dunia ini. Agama yang akan menyelamatkanmu.”
“Aku
tidak menyukai basa-basimu anak lancang!” Teriak Prabu Pucuk Umun dengan
lantang dan menggelegar, dan dari arah depan tiba-tiba angin berhembus sangat
kencang, tampak Syarif Hidayatullah mundur beberapa langkah, sedangkan Pangeran
Pulosari dan Pangeran Aseupan memasang kuda-kuda untuk menggempur serangan
Prabu Pucuk Umun.
Pertarungan
itu begitu dahsyatnya hingga Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang pun
bersemedi memberikan energi kepada Syarif Hidayatullah.
Prabu
Pucuk Umun merasakan panas yang teramat sangat, dia mengetahui bahwa
serangannya telah berbalik arah kepadanya, dan dengan menggunakan Ilmu Lurus
Bumi, Prabu Pucuk Umun melarikan diri, namun dengan sigap Pangeran Aseupan dan
Pangeran Pulosari mengejarnya. Dengan menggunakan ilmu yang sama terjadilah
kejar-kejaran antara ketiganya. Dan akhirnya, di puncak Gunung Karang, Prabu
Pucuk Umun tertangkap, atas restu Prabu Siliwangi, Prabu Pucuk Umun tidak
dibunuh, tapi dimasukan ke kerangkeng di bawah kawah Gunung Krakatau.
Prabu
Pucuk Umun memiliki putri yang cantik dan juga memiliki kesaktian yang tidak
kalah dengan ayahnya, bahkan lebih dari 1000 Jin di bawah pengaruhnya, dan dia
bernama Ratu Kawunganten, Putri Prabu Pucuk Umun yang kemudian diperistri oleh
Syarif Hidayatullah. Ratu Kawunganten pun masuk Islam dan berganti nama menjadi
Siti Badariah.
Tidak
berapa lama, Siti Badariah atau Ratu Kawunganten pun hamil, namun dia mengidam
hal yang tidak wajar menurut pemikiran Syarif Hidayatullah, dia menginginkan
daging manusia. Sontak, Syarif Hidayatullah pun kaget dan marah. “Isteriku, kau
telah menganut agama Islam, keinginanmu itu terlarang.” Tandas Syarif
Hidayatullah.
Namun
isterinya tetap menginginkan daging manusia, dan Syarif Hidayatullah tak bisa
berbuat banyak, beliau sangat marah dan meninggalkan isterinya dalam keadaan
hamil dan kembali ke Cirebon.
Sepeninggal
Syarif Hidayatullah, Siti Badariah atau Ratu Kawunganten kembali ke agama
leluhurnya yaitu Agama Sunda Wiwitan, agama yang sudah menjadi darah dan
dagingnya.
Ratu
Kawunganten atau Siti Badariah pun melahirkan seorang putra, dan diberi nama
Pangeran Sabakingking, seorang Pangeran yang suatu saat mendirikan Kesultanan
Banten
Pangeran
Sabakingking beranjak dewasa, dan dia menjadi pemuda yang gagah, pemuda
yang keras, berani dan memiliki kesaktian yang luar biasa, ilmu-ilmu kesaktian
ibunya mengalir ke tubuhnya, lebih dari 1000 Jin takluk atas perintahnya.
Pangeran Sabakingking tak pernah merasa takut kepada siapapun, dan hampir semua
pendekar di tanah Banten pernah berhadapan dengannya.
Suatu
hari, Pangeran Sabakingking dipanggil ibunya, karena ia harus mengetahui siapa
ayahnya, Sabakingking pun menghadap ibunya.“Anakku, kau sudah dewasa dan sudah saatnya kau mengetahui
siapa ayahmu. Ia berada di Cirebon dan telah menjadi Sultan di sana. Jika kau
ke sana berikan tasbih ini kepadanya. Tasbih inilah yang dulu menjadi mahar
perkawinan ibu dengan ayahmu.
Pergilah
Pangeran Sabakingking menuju utara melewati hutan dan sungai, bukit bahkan
gunung di tempat yang dituju Pangeran Sabankingking langsung menuju kesultanan
Cirebon.
Di
Kesultanan Cirebon itulah Pangeran Sabakingking melihat sebuah perbedaan yang
mendasar. Terdengar suara adzan, serta alunan al Quran yang asing baginya,
namun begitu menyejukkan hatinya. Tak berapa lama bertemulah Pangeran
Sabakingking dengan seorang tua berjanggut panjang dengan mengenakan sorban.
Orang tua itu tampak berwibawa dan memiliki sorot mata yang tajam. “Anak muda, ada
keperluan apa kau ke sini? Tanya orang tua yang tak lain adalah Syarif
Hidyayatullah itu.“Aku ingin bertemu
dengan Syarif Hidayatullah dan menyerahkan tasbih ini dari ibuku.” Tasbih itu pun diterima Syarif Hidayatullah sembari
menerawangkan matanya. “Apakah kau
anak Kawunganten?” “Benar! Aku
Sabakingking Putra Kawunganten!”
“Akulah
Syarif Hidayatullah yang kaucari anak muda. Namun aku tidak begitu saja
mengakui kau sebagai anakku, sebab ada syarat yang harus kau laksanakan.” “Apa
itu?” Buatlah
sebuah bangunan masjid lengkap dengan menaranya di Banten. Tapi ingat, hanya 1
malam saja. Jika sampai muncul matahari dan perkerjaanmu belum selesai,
jangan harap aku akan mengakui kau sebagai anakku.” Ujar Syarif Hidayatullah.
“Baiklah! aku akan melaksanakan perintahmu.”
Jika sudah selesai, kumandangkan adzan yang dapat kau dengar dari menaranya.
Ingat, hanya dalam waktu 1 malam saja!”
Setelah
mendengar perintah ayahnya, Pangeran Sabakingking bergegas meninggalkan Cirebon
untuk kembali ke Banten. Setelah sampai di Banten diceritakanlah semua yang
dialami selama di Cirebon kepada ibunya. Ibunya maphum dan bersedia membantu
anaknya. Dipanggilah lebih dari 1000 jin sakti untuk membantu Pangeran
Sabakingking, dan tepat saat matahari terbenam mereka mulai membangun fondasi
Masjid di pesisir Banten. Semua bekerja dengan berbagai ilmu, lebih dari 1000
Jin dikerahkan, dan mendekati matahari terbit menara pun baru selesai. Saat
itulah Pangeran Sabakingking menaiki menara dan mengumandangkan Adzan seperti
apa yang ia dengar di Kesultanan Cirebon, dan dengan tenaga dalam yang nyaris
sempurna, terdengarlah alunan adzan yang menggema hingga ke seluruh alam.
Mendengar
suara adzan yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu, Syarif Hidayatullah pun
keluar dari keraton Kesultanan Cirebon dan segera memperhatikan arah suara itu,
yang tak salah lagi itu adalah suara anaknya. Dan dengan ilmu Sancang, ilmu
berlari cepat yang sulit diterima akal manusia, yang dimilikinya, hanya dalam
waktu beberapa menit saja tibalah Syarif Hidayatullah ke Mesjid yang dibangun
anaknya tersebut dan melakukan sholat subuh di sana.
Pangeran
Sabakingking mengetahui datangnya seseorang yang masuk ke Mesjidnya, dan dia
bergegas menuju ke dalam. Alangkah kagetnya Pangeran Sabakingking saat ternyata
dihadapannya adalah Syarif Hidayatullah, ayahnya. “Anakku. Kau telah membangun
Mesjid ini dengan baik, Mesjid ini akan menjadi pusat penyebaran agama yang
kubawa dan kau adalah pemimpinnya. Mulai hari ini namamu adalah Hasanudin. Dan bangunlah Kesultanan di
sini, syiarkan Islam kepada rakyatmu.
Hasanudin
pun membangun keraton di sekitar masjid yang dibangunnya, yang tidak berapa
lama berdirilah keraton lengkap dengan singgasananya, untuk membantu penyebaran
Islam di Banten, dan Syarif Hidayatullah memerintahkan rakyatnya untuk ikut
membangun Banten. Berduyun-duyunlah rakyat Cirebon menuju Banten. Mereka
disambut rakyat Banten dengan antusias, seakan-akan perbauran antara rakyat
Cirebon dan penduduk asli itu seperti halnya perpaduan antara Muhajirin dan
Anshor jaman Nabi Muhammad. Budaya dan bahasa yang hampir sama dengan Cirebon
merupakan bukti otentik yang terwariskan hingga saat ini.
Sementara
itu, Padjajaran setelah mangkatnya prabu Siliwangi pecah menjadi jadi dua
kerajaan yaitu Kerajaan Pakuan dan Kerajaan Galuh. Kerajaan Pakuan di berikan
kepada cucunya Ratu Dewata yang merupakan putri Raden Surawisesa yang dikenal
dengan Pangeran Walangsungsang, salah seorang putra Prabu Siliwangi. Keinginan
Kesultanan Cirebon untuk mengislamkan seluruh Kerajaan Padjajaran didukung
penuh oleh Maulana Hasanudin, yang juga dibantu oleh putra mahkota yaitu Sultan
Maulana Yusuf, yang merupakan hasil pernikahan Maulana Hasanudin dengan Ratu
Ayu Kirana, Putri Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak. Selain Maulana Yusuf,
Maulana Hasanudin memiliki putri bernama Ratu Pembayun yang menikah dengan
Tubagus Angke putra Ki Mas Wisesa Adimarta dimana Tubagus Angke merupakan
panglima perang Banten yang nantinya memiliki putra bernama Pangeran Jayakarta,
yang kelak menjadi pajabat Kesultanan Banten di Jakarta, di mana nama Jakarta
diambil dari namanya.
Warisan Sastra Jawa Banten
Radar Banten, 15 Februari 2013
Selain memiliki warisan
kekayaan budaya dan intelektual Sunda, Banten juga memiliki warisan kekayaan
budaya dan intelektual berbahasa Jawa. Secara historis, sebagaimana dipaparkan
para sejarawan dan arkeolog yang meneliti dan menulis tentang sejarah dan budaya
Banten, semisal Claude Guillot, penggunaan bahasa Jawa di Banten sebenarnya tak
hanya telah ada semenjak Kesultanan Banten berdiri. Namun jauh sebelum itu,
yaitu pada abad ke-10 yang bermula di Kerajaan Hindu Banten Girang. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya prasasti yang bertitimangsa Prabu Sri Jayabupati
yang menggunakan bahasa Jawa di Banten Girang dan di Cicatih Sukabumi yang
dengan nyata menggunakan aksara dan bahasa Jawa.
Hanya saja, demikian
lanjut Claude Guillot dalam bukunya yang berjudul Banten Sebelum Zaman Islam
itu, penggunaan bahasa Jawa di Banten Girang itu memang sempat terputus, hingga
akhirnya penggunaan bahasa Jawa di Banten mencapai periode mapannya bersamaan
dengan berdirinya Kesultanan Banten hingga sekarang. Di jaman Kesultanan Banten
ini, bahasa Jawa yang mulanya digunakan sebagai bahasa keraton, bahasa resmi
perdagangan dan politik Kesultanan Banten, termasuk juga sebagai bahasa
kesusastraan, lambat laun menjadi bahasa yang digunakan secara massif oleh
masyarakat Banten, terutama masyarakat Banten di Banten Utara, semisal Cilegon,
Serang, dan sebagain kecil wilayah Tangerang.
Hal itu merupakan sesuatu
yang wajar, mengingat banyaknya kaum pendatang dari Cirebon, Demak, dan dari
daerah lain, semisal Bali dan Jawa Timur menjadi penduduk dan masyarakat resmi
Kesultanan Banten, hingga saat ini, selain masyarakat yang sudah sejak lama ada
di Banten, yang di antaranya masyarakat yang bertutur bahasa Sunda. Bersamaan
dengan itu pulalah, dengan sendirinya, berkembanglah bahasa dan budaya Jawa di
Banten, yang kelak dikenal sebagai Jawa-Banten, tak terkecuali tumbuh dan
berkembangnya folklore dan dolanan yang menggunakan tuturan bahasa Jawa di
Banten tersebut, kemudian juga turut menjadi khasanah akulturasi dan penetrasi
budaya dan bahasa Jawa di Banten tersebut.
Dan seperti umumnya
dolanan dan folklore, selain sebagai unsur hiburan dan permainanan, sebenarnya
terkandung juga di dalamnya rekaman historis dan psikologis dalam folklore dan
dolanan yang hidup di dalam masyarakat, selain juga siratan kearifan, yang
khusus dalam hal ini tercermin dalam folklore dan dolanan yang menggunakan
tuturan bahasa Jawa di Banten. Ambil sebagai contohnya bunyi lagu dolanan
berikut: “Iris-iris timun // timun giliran santri // tambing etan ana payung //
payung wong lamaran // tae em em ta em em ta em em // sapa sing dadi ratune.”
(Potong-potonglah buah timun // buah timun kepunyaan santri // di sebelah timur
ada payung // payung orang yang mau melamar // ta em em ta em em ta em em //
siapa yang jadi rajanya?).
Jika ditafsir secara
bebas, bunyi lagu dolanan di atas sebenarnya menyiratkan suatu peristiwa
historis Banten yang dikemas secara halus dalam nyanyian. Lagu dolanan tersebut
seakan-akan hendak menceritakan, sekali lagi bila ini ditafsir secara bebas,
terjadinya akulturasi budaya dan politik antara kaum migran dan lokal di
Banten, di mana kaum migran dikiaskan sebagai seorang yang melamar. Atau bisa
juga ditafsirkan bahwa lagu dolanan tersebut tengah menceritakan diangkatnya
seorang raja di Banten, seperti tercermin dalam bait atau larik terakhir lagu
dolanan itu sendiri: “Siapa yang jadi rajanya?”
Kesusastraan lisan masa
silam, semisal lagu dolanan itu, selain hendak menceritakan kisah oral dari
mulut ke mulut, sebenarnya dapat juga ditafsirkan sebagai ikhtiar sebuah
masyarakat untuk merekam sejarah mereka sendiri. Sebab, seringkali folklore dan
dolanan, selain tentu saja dapat mencerminkan kandungan psikologis
masyarakatnya atau yang menjadi dunia rasa seperti harapan, keinginan, dan
cita-cita mereka sebagai masyarakat dan manusia, tersirat juga relevansi
historis tentang bagaimana kondisi sosial dan kesejarahan folklore dan lagu
dolanan. Bukan hanya itu saja, dengan membaca dan menyimak folklore dan lagu
dolanan, kita juga dapat mengetahui bagaimana kondisi dan suasana kehidupan
masa silam masyarakat: “Kijing-kijing mati // matine ning pinggirkali //
cecindil sing ngadusi, kekunang sing ngedamari // cecebong sing nangisi, baye
sing ngiliri!”
Lagu dolanan di atas,
meski tentu saja diciptakan sudah lama dan dalam konteks yang berlainan,
mengingatkan saya ketika saya masih bocah yang mencari kijing (makhluk hidup
yang hidup di sungai) ketika air sungai surut bersama banyak orang dan teman-teman
saya sendiri. Jika demikian, folklore dan dolanan, salah-satunya, memang secara
langsung menceritakan kehidupan sebuah masyarakat sembari dimaksudkan sebagai
kiasan yang hendak mendedahkan kearifan. Dan karena sifatnya yang alegoris
itulah, folklore dan dolanan juga sebenarnya dapat ditafsirkan secara bebas
alias tak mesti ditafsirkan sebagai satu arti atau satu makna saja. Semisal
lagu Kijing-kijing, itu sebagai contohnya, seolah hendak mendedahkan sebuah
sindiran tanpa harus membuat yang disindirnya merasa tersinggung.
Selain mengandung aspek
psikologis dan historis, yang tentu juga kandungan kearifan yang umum sifatnya,
ada juga folklore dan lagu dolanan yang hendak menyindir, mengejek, sekaligus
memotivasi atau menyemangati siapa saja atau seseorang yang ragu-ragu dan
kurang memiliki tekad untuk berbuat sesuatu, semisal dicontohkan lagu dolanan
yang berjudul Sumbul Bamban berikut: “Sumbul bamban sumbul bamban // Isine
bebotok doang // Subuh dandan subuh dandan // Bisane dodok doang.” Lagu dolanan
ini juga sebenarnya multi-tafsir. Contohnya kita bisa saja menerjemahkannya
sebagai sindirian kepada seorang perempuan yang malas dan terlampau senang
berhias atau berdandan hingga sehari-harinya malas bekerja atau hanya
duduk-duduk saja.
Atau kita juga bisa
menafsirkan dan menerjemahkan lagu dolanan tersebut sebagai ejekan dan sindiran
kepada seseorang yang meski telah rajin berdandan dan berhias, ternyata tak
bisa berbuat apa-apa untuk memikat lawan jenisnya. Ragam tafsir itu sah-sah
saja mengingat folklore dan lagu dolanan memang banyak yang tidak terlampau
verbal alias yang secara saklek hendak mengemukakan apa yang dimaksudkan dan
diceritakannya secara jelas atau rigid. Hingga kira-kira, di situ pulalah,
terletak kearifan dan kekuatan literer folklore dan dolanan itu sendiri sebagai
sebuah khasanah kesusastraan sekaligus historiografis dan psikologis masyarakat
yang memproduksi dan menuturkan folklore dan dolanan tersebut.
Dalam folklore dan
dolanan, kearifan masyarakat, sebagai contohnya, diaplikasikan dan
diterjemahkan ke dalam nyanyian dan permainan. Dan selain memiliki maksud
pedagogik dan memiliki kandungan yang sifatnya historis, folklore dan dolanan
juga dapat menjadi cerminan rasa dan apa yang ada dalam jiwa, atau katakanlah
aspek psikologis, masyarakat yang memproduksi dan menuturkannya, seperti
dicontohkan lagu dolanan bahasa Jawa Banten berikut, yang pada saat bersamaan
mengandung aspek pedagogik, psikologis, dan historiografis:
“Pitik tulak pitik tukung
// tetulak si jabang bayi, // ngadohaken cacing racak, // sawan sarab pan
sumingkir, si tukang merkungkung arsa, // tetulak si jabang bayi. //
Ngingu pitik berangbung, // tulak walik rob jaladri, // wulane amantya warna,
// abang ireng putih kuning, // sing tukang majoni marga, // tulak walik aneng
wuri. // Yen lara tan tambane pun, // godong pasrah ing Yang Widi, // brangbang
lega ing manah, // adas lawan Pulosari, // lawan sinandingan do;a, // puraging
jabang bayi. // Si Jabang bayi puniku, // kekasihing sukma jati, // rinaksa ing
malaikat, // kinipasan widadari, // ginendeng para oliya, // pinayungan kanjeng
nabi. // Jabang bayi agi turu, // pungpung raine becik, // ana ule lan
kelabang, // ana lamuk memedeni, //lah uwis agi turuwa, // ana kokok beluk
muni. // Ana kinjeng-tangis mabur, // miber ing kayangan niki, // angrungu
tangis si jabang, // anulye si kinjeng balik, // ngetokaken kang memala //
tumungkul sarwi cempuni.
Sebagai penutup tulisan
ini, seperti diungkapkan Dr. Mufti Ali dari Bantenologi, ada satu paparan
menarik yang diutarakan Mas Mangoen Dikaria tentang lagu dolanan Jawa-Banten
yang berjudul Gegempalang, yang bunyinya sebagai
berikut: Gegempalang wohing aren gelondong // wohing penjalin //
umah-umah Banjar Kulon // kulon-kulon sekedaton // kedatone kupat kuning //
kupat kuning kayu andong // andong kayu ketumpang // ketumpang lalawuh urang //
dening rangde lusuh kembang. Menurut Mas Mangoen Dikaria, lagu dolanan ini
menjelaskan tentang taksonomi tumbuhan, tanaman, dan sejumlah toponimi atau
nama tempat. Kata gegempalang artinya adalah buah enau yang sudah tua atau
wohing aren. Sementara gelondong adalah rotan atau wohing penjalin, dan kedaton
artinya keraton. Sedangkan kayu andong dan ketumpang merujuk pada sejenis
tanaman yang kayunya dipakai sebagai tumbak dan sejenis tanaman dengan batang
kecil yang berdaun lebar dan biasanya dapat dipakai sebagai obat. Dan rangde
kembang berarti janda yang masih muda.
Akan tetapi, menurut Mas
Mangoen Dikaria, seperti diungkapkan kembali oleh Dr. Mufti Ali dari
Bantenologi, lagu dolanan ini sebenarnya mengandung makna sindiran jika
dipahami secara mendalam. Lagu dolanan ini, salah-satunya, memberikan gambaran
ilustratif tentang kemaluan pria dan wanita. Gegempalang menurut Mas Mangoen
Dikaria sesungguhnya bermakna “gegem palang”, di mana kata “gegem” merujuk pada
kayu yang bentuknya seperti bagian belakang kura-kura, bagian pinggirnya rendah
dan tengahnya cembung, yang akan mengingatkan kita kepada bentuk kemaluan
perempuan. Sementara “wohing aren” atau buah enau, ketika masih muda disebut
cengkaleng, yang bilang dilafalkan sukukata akhirnya saja maka akan berbunyi
“leng” yang artinya lubang.
Selanjutnya, gelondong
artinya jaro atau kepala desa, yang penyebutannya hampir sama dengan kata jero
(dalam). Wohing penjalin atau buah rotan disebut kesur yang hampir sama
bunyinya dengan susur (tembakau yang digunakan untuk membersihkan gigi) yang
biasanya ditempatkan di antara dua bibir. Sedangkan umah-umah maksudnya adalah
posisi atau tempat susur tersebut, dan banjar berbanjar atau berbaris. Kulon
artinya kilen atau kekalen dan sekedaton artinya seperti kedaton (keraton)
raja-raja dahulu yang biasanya berada di ujung kampung atau perkampungan. Lalu,
kupat kuning atau ketupat kuning sering disebut juga koja berukuran segitiga,
karena ada kupat jantung yang bentuknya seperti jantung. Kayu andong biasa
dipakai untuk tombak. Jadi, menurut Mas Mangoen Dikaria, kupat kuning dan kayu
andong dalam lagu dolanan gegempalang itu merujuk pada kemaluan laki-laki. Dan
pelafalan andong hampir mirip dengan gendong, dan pelafalan ketumpang hampir
mirip dengan numpang.
Jika demikian, menurut Mas
Mangun Dikaria, salah-satu makna tersembunyi dari lagu dolanan gegempalang
tersebut adalah bahwa lagu dolanan itu sebenarnya sedang menggambarkan adegan
intim seorang pria dengan seorang janda kembang. Makna dan maksud tersembunyi
tersebut, setidak-tidaknya, telah menunjukan kearifan orang-orang Banten masa
lalu dalam menggubah sebuah nyanyian yang mengandung kiasan dan sindiran, yang
tak ragu lagi telah mencerminkan tingginya kearifan dan kemahiran literer
masyarakat Banten di masa lalu.
Sulaiman Djaya
Langganan:
Postingan (Atom)