Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan
meninggalkan debu mengepul di udara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak
lama Abimanyu sudah ada di hadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.
“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali
ini, ngger !” sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak
antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong kematian atau
membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita
Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang
seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya.
Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga
uwaknya,
“ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat
terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua orang tua kami”
“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah,
sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan
gantilah dengan tata gelar baru”. Perintah sang uwa
“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya
untuk ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu.
“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali
Prabu Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna.
“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas
permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”. Demikian
putusan Sang Senapati.
Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit
yang sudah kocar kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna
menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya
Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi.
Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda
dapat kembali solid. Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat
tegak kepala para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda
Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai
mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang
mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang
dimiliki penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris
Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan
korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara,
Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas.
Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu. Walaupun
tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia muntah darah.
Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.
Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian
Abimanyu, tewas tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan
kesakitan berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu
Wrahatbala dari Kusala.
Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya
oleh kawan maupun lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya
telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang
masih sangat muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan
barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh
rasa yang sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama
ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama.
Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya
dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah.
Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas,
ketika Bambang Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat
oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna
agar tidak maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman
terhadap keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk
mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua
satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah
salah satu lagi putra Arjuna.
Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga
terkena panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara.
Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat
dua raja telah tewas dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah
satu temannya Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan
Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan
Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan
ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru yang
berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.
Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi
serangan empat raja sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu
menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing masing
lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu
persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah bagai dipedayai.
Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak
lama kemudian.
Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya
terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan
pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu
lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya.
Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu
persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban
selanjutnya.
Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi
serempak menjadikan mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari
Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi.
Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak
percaya dengan apa yang barusan sudah terjadi.
“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan
menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !”. kata
kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam
detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi.
Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali
menyerang lawannya dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak
terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani
mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu
dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat
hampir semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.
Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit
muda belia itu. Dalam hatinya ia mengatakan,
“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya.
Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa.
. !”.
Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna
serta Jayadrata. Setelah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan karti
sampeka akal akalannya,
“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol
kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan
kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”
“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya.
Pasti setuju!” Sangkuni mengamini.
“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini
diterus teruskan, maka akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati!
”. Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya
sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah
mengkawatirkan itu.
“Terserahlah paman pendita, kali
ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati Basukarna sekenanya.
“Nah begitulah seharusnya. Kali
ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger yang aku pilih karena
memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini”. Durna mulai membuka strategi.
“Baik Paman Pendita, apa yang
harus aku lakukan?” berat
hati Karna menyahut.
“Begini, Adi Sengkuni, segeralah
naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak Angger Adipati segera
mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia.
Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu
panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita”.Pandita Durna menjelaskan strateginya.
“Baiklah Paman Pendita, mari kita
bagi bagi peran masing masing”.Adipati
Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang.
Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai
dilakukan. Kibaran bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar
peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya,
kenapa perang dihentikan? Sementara orang mengerti, bila perang terus berlanjut,
maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.
Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran,
didekatinya Abimanyu:
“Berhentilah anakku bagus . .!,
Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk
barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya
seorang paman terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat hal yang
menakjubkan.
“Apakah sungguh begitu uwa
Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang
demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati
takluk terhadap lawan”.Bangga Abimanyu.
Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama,
Jayadrata dengan kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang
pemanah ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu
dengan darah menyembur dari lukanya.
Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi
keponakannya yang terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui
Pandita Durna untuk diberi laporan.
“Paman Pendita, sekarang rencana
paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya, untuk tindakan
selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi”. Tutur
Adipati Karna.
Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui
rencananya sudah berhasil. Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan
sudah sebagian besar dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke
pesanggrahan.
Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi
aba-aba untuk kembali menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia
semakin bergerak maju menyongsong serangan.
“Heh para Kurawa . .!, Memang
dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku kubur sifat culas
kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian
bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang
maju !!”.
Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar
bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya masih tetap tegar.
Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap
di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain
dilepaskan oleh warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan
nenggala serta trisula bertubi tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata
menancap ditubuh satria muda itu.
Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini
masih maju dengan amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai
gerak seekor landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di
sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria
tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti
karangan bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang
mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang
memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti
halnya untaian melati menghiasi pinggang.
Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten
yang membuatnya menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau
anyir darah Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para
bidadari turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam
pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya
denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur
penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan
berirama Kodok Ngorek!
Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan
sumpahnya kala menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari,
ketika curiga bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi
gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang
senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.
Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah
Kalabendana raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia
perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga
rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar
kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia
berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya.
Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias
Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu
untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak
ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara.
Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri
Abimanyu. Lesmana menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang
selama ini memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa.
Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk
menamatkan riwayat Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas
gugurnya satru sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya.
“E . . e . . e . . . , Abimanyu,
bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten bila aku kali ini
membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti gembira tiada
terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”.
Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak
sedang bermain main, ia maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya
yang sedikit membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya.
Abimanyu yang
melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak dapat
membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan
hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin
segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur
tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir , sang prajurit muda masih mampu
menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak
ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir
mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi
janjinya.
Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter
bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama
beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan
pahlawan mereka masing masing. Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul
ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan
gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan
pergi bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada
pemberontakan didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut
kedalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut
serta kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam
gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk
pergi.
Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung
wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa
menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang
dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap
ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu
mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana
kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu. Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan
tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur gadung
dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti bunga
melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma negara
yang gugur, di lepas siang .
Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang
terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip
dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit
muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga
tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia
tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.