Islam Dan Kristen, Persepsi dan Salah Persepsi


Oleh William Montgomery Watt

Persepsi Yahudi

Karena ini adalah konsepsi kenabian dan sejarah nabi-nabi yang dipegangi oleh kaum muslimin awal, maka bagi mereka tidak mungkin mempunyai ide yang cukup tentang Yahudi dan Nasrani (Kristen). Penting pula dikatakan berapa banyak yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an, karena itu penulis modern barat dengan pengetahuan agama-agama tersebut yang mempunyai kerangka pikir dengan rincian-rincian pas yang diberikan, tentu saja berbeda dengan yang dijelaskan di dalam Al- Qur'an. Didalamnya ada kisah-kisah tentang Nabi Nuh, Ibrahim dan Musa (yang semuanya dianggap sebagai nabi) dan karakter-karakter lain di dalam Perjanjian Lama. Sebaliknya sama sekali tidak memuat indikasi yang diberikan tentang bagaimana nabi-nabi itu saling berkaitan satu sama lain dalam zaman. Demikian pula ada berbagai kisah tentang nabi Musa yang terinci semenjak masa infasinya, dan seterusnya, akan tetapi tentang kisah-kisah kejadian ini disuguhkan secara terpisah-pisah dan tidak disuguhkan secara kronologis dalam satu sajian yang berurutan.

Ada ide yang terdapat pada serentetan nabi-nabi pada bangsa Israel. Bangsa ini disebut sebagai Banu Israel (anak-anak keturunan Israel) di banyak cara yang sama sebagai suku-suku Arab yang acapkali dipanggil sebagai Banu N (anak- anak keturunan N). Namun hal itu asal-usulnya diduga didasarkan pada kitab suci yang diberikan kepada Musa, kepada Nabi. Ayat Al-Qur'an berikut ini mengatakan: [3] Sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa dan Kami telah menyusulinya berturut-turut sesudah itu dengan rasul-rasul.

Kontinuitas Bani Israel sebagai sebuah suku bangsa boleh jadi ditandai oleh pernyataan di bawah ini: [4] Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq dan Ya'kub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya.

Di pihak lain, ketika Muhammad SAW sendiri menghadapi penolakan dan penentangan oleh orang-orang Yahudi Madinah sebagai nabi, Al-Qur'an mengatakan (2: 130) bahwa setelah Ibrahim dipilih putra-putranya dan Ya'kub untuk tunduk menyerah (sebagai muslim) kepada Tuhan semesta alam, dan Ya'kub demikian pula Allah telah memilih anak-anaknya dan mereka telah memilih agama (Islam) ini, yaitu suatu komunitas yang telah lalu.

Lebih jauh perlu dicatat bahwa di dalam Al-Qur'an, tidak ada kisah tentang Joshua dan perkampungan Bani Israel di Negeri Yang Dijanjikan. Tidak ada informasi tentang bangunan kerajaan yang dipimpin oleh nabi Dawud, tidak ada informasi tentang pengusiran dan kembali dari pengasingan bangsa Israel. Ada ayat Al-Qur'an (17: 4-7) yang mengisahkan tentang peringatan yang diberikan kepada Bani Israel dengan dua hukuman, dan satu hukuman menjadi pengusiran, namun pengusiran ini tidak diinformasikan secara eksplisit. Di dalam Al- Qur'an, Dawud menyebut dirinya sebagai nabi yang menerima kitab suci yang disebut dengan nama Zabur yang diambil menjadi kitab Mazmur (Amsal Sulaiman) (4: 163; 17: 55). Gunung-gunung dan burung-burung dikatakan telah bersama-sama dengan Dawud dalam memuji Allah. Ini dapat menjadi petunjuk ke ayat-ayat (surat-surat) dalam kitab Mazmur yang mengatakan tentang makhluk-makhluk untuk memuji Tuhan. [5] Baik Nabi Dawud maupun Nabi Sulaiman, keduanya telah diberikan (batas) kekuasaan (21: 78-80) yang menyebutkan bahwa raja Dawud adalah raja yang kuat (38: 20) . Demikian juga dikatakan bagaimana Nabi Dawud membuat baju besi (34: 10 dan seterusnya; 38: 17-20). Walaupun demikian, semuanya ini gagal membuat ide tentang signifikansi Dawud di dalam sejarah bangsa Israel.

Musa dikatakan sebagai nabi atau rasul yang menerima sebuah kitab suci yang diturunkan oleh Allah yang diberi nama kitab Taurat (6: 154; bandingkan dengan 5: 44). Sementara kata Taurat ini dapat diidentikkan dengan nama Torah, yang di dalam Al-Qur'an dinyatakan bahwa umat Islam tidak boleh memberi ide tentang karakter Pentateuch, kitab Perjanjian Lama masih tetap kurang sebagai suatu keseluruhan, karena kitab Taurat ini secara luas berisikan tentang undang-undang hukum. Dimanapun juga tidak dikatakan bahwa materi historis tentang Nabi Nuh, kepala keluarga, awal kehidupan Nabi Musa dan Exodus yang berasal dari Taurat. Memang benar, di dalam Al-Qur'an ada materi historis tentang berbagai peristiwa yang terjadi pada sejarah terdahulu, namun, lebih dari memberi informasi segar tentang hal-hal yang gaib. Hal ini rupanya malah menggambarkan pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang terjadi yang segera akan mereka ketahui. Berdasarkan tujuan ini, penjelasan ringkas atau petunjuk yang cukup, seperti yang dapat dilihat oleh pembandingan ayat tentang Nabi Nuh yang telah dikutip di dalam pernyataan Biblikal.

Keterangan di atas tidak menjelaskan mengapa perlu adanya nabi-nabi. Barangkali karena bangsa Israel jatuh lagi ke dalam kekufuran yang hampir menuju paganisme (menyembah berhala):

Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami ambil di antara dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman: Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat serta beriman kepada rasul-rasulKu dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang banyak (menafkahkan harta untuk menunaikan kewajiban dengan hati yang ikhlas), sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Ku-masukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barang siapa yang kafir di antara kamu sesudah itu, sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. (5: 12, dan seterusnya)

Pernyataan yang lebih positif adalah ayat di bawah ini: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya, (ada) petunjuk dan cahaya yang menerangi. Yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya (5: 44). Juga ada petunjuk-petunjuk yang kurang jelas tentang pelanggaran-pelanggaran bangsa Yahudi di dalam 7: 167-169.

Setelah hadir di Madinah, Nabi Muhamad SAW segera mengadakan kontak dengan kelompok-kelompok masyarakat Yahudi yang ada di sana, dan Al-Qur'an tidak memberikan argumen-argumen yang mengejutkan yang dapat digunakan untuk menyerang mereka, terutama menyerang pernyataan mereka yang tentu dengan sendirinya mereka telah mempunyai pengetahuan yang benar tentang Allah. Argumen apologetik utama yang dihadirkan bahwa Al-Qur'an mendatangkan agama Ibrahim yang benar, yang menjadi orang hanif atau orang muslim (dalam artian yang umum), dan bukan menjadi orang Yahudi atau orang Nasrani. [6] Pernyataan terakhir ini dengan tegas-tegas menyatakan kebenaran, walaupun fakta menunjukkan bahwa umat Yahudi dan umat Nasrani merujuk Ibrahim sebagai asal-usul (bapak) agama mereka, dan ini membuktikan bahwa ada pengetahuan tentang Allah yang benar yang berasal dari agama Yahudi atau agama Nasrani. Walaupun demikian, semua argumen ini tidak membantu umat Islam untuk membentuk ide yang jelas tentang Judaisme atau agama Yahudi.  

Sumber: TITIK TEMU ISLAM DAN KRISTEN, Persepsi dan Salah Persepsi oleh William Montgomery Watt, Penerjemah: Zaimudin. Hak Terjemahan pada Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta. Desain Sampul: Salimi Akhmad. Diterbitkan Oleh Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta. Dicetak Oleh Percetakan Radar Jaya Jakarta Anggota IKAPI Cetakan 1, 1996

Palagan Kurushetra, Gugurnya Adipati Karna


“Terlahir dari perawan Kunti akibat mantera yang diucapkan secara coba-coba ke Dewa Surya, bayi Karna dibuang ke sungai Aswa untuk menjaga keberadaan ibunya sebagai perempuan yang belum menikah. Karna kecil akhirnya ditemukan Adirata, kusir kereta di kerajaan Astina dan ia tumbuh besar dalam asuhan keluarga wong cilik”

Hari itu, Vrishasena, anak Karna, maju ke arah tentara Pandawa. Panah tajam Arjuna membunuhnya sementara Karna yang melihat. Sekarang, Karna sangat ingin memerangi Arjuna. Dua prajurit terbesar tersebut saling berhadapan.

Duel mereka dimulai, mereka mulai dengan panah biasa, kemudian melakukan pemanasan dengan penggunaan Astra Dewata. Mereka menggunakan Astra dari Agni, Baruna, Indra secara bergantian dan menetralkan Astra yang lain. Sekarang, Karna mengirimkan astra mengerikan, hadiah khusus dari gurunya, Parasurama, yang disebut Bhargavastra. Ini astra lebih kuat daripada semua Astra yang digunakan selama ini oleh mereka. Tentara Pandawa telah banyak diserang oleh astra ini. Bima marah besar, katanya kepada Arjuna untuk mengakhiri Karna kalau tidak, ia yang akan membunuhnya dengan gadanya. Krishna meminta Arjuna bertempur sepenuh hati, jika tidak, tidak akan mudah untuk membunuh Karna.

Arjuna memanggil Brahmastra, gejolak besar terjadi di semua arah. Astra itu membersihkan awan panah yang dibuat oleh Karna. Karna membalas dengan mengirimkan astra lain yang mematikan. Astra ini bersinar menerangi seluruh medan perang. Ia melesat bagai kilat. Semua orang menonton dengan napas tertahan. Bahkan para dewa seperti Surya dan Indra pun menyaksikan duel kedua anak mereka.

Krishna melakukan hal yang tidak biasa. Dia menekan kereta kudanya sehingga tenggelam 15 senti ke dalam tanah. Akibatnya astra yang menuju ke leher Arjuna hanya menyentuh mahkotanya saja. Mahkota Kiriti yang terkenal itu jatuh ke tanah, tetapi Arjuna selamat. 

Sekarang tidak ada astra kuat lagi yang tersisa di dalam simpanan senjata Karna. Tapi dia terus bertarung.  Pandawa bisa bernapas lebih lega setelah mereka melihat bahwa Arjuna lolos dari Magastra mengerikan.

Sekarang nasib telah mulai bekerja melawan Karna. Bumi ini menjadi lunak, mendadak roda-roda kereta Karna masuk jauh di dalam ke tanah. Pelindung rodanya pun terlepas. Karna mulai marah.

Karna melompat turun, hendak membetulkan roda itu. “Tunggu! Keretaku masuk lumpur. Sebagai kesatria besar yang memahami dharma, hendaknya engkau berbuat adil dan tidak memanfaatkan kecelakaan ini sebagai kesempatan untuk menggempur aku. Setelah aku berhasil keluar dari lumpur ini, kita bertarung lagi!”  demikian teriak Karna.

Arjuna sudah siap mengangkat Gandiwanya. Ia memilih anak panah yang pantas untuk melumpuhkan lawannya. Sementara itu, Karna bingung karena ingat akan sumpah Arjuna. Ia berteriak lagi, meminta Arjuna memegang kehormatan dan tata krama kaum kesatria, yaitu tidak menyerang musuh yang tidak berdaya .

Krishna memotong kata-kata Karna dengan lantang, “Hai, Karna, sungguh baik engkau masih ingat kata-kata ‘adil dan kehormatan kesatria’. Sayang, baru sekarang kauingat. Dulu waktu Duryodhana, Duhsasana dan Sakuni menghina Draupadi, engkau lupa dan berlagak bodoh .

Engkau juga membantu Duryodhana yang menipu dan jahat terhadap Pandawa. Ingatkah engkau akan permainan dadu, meracuni dan membakar Pandawa hidup-hidup, lalu mengusir mereka ke dalam hutan. Apa yang kaumaksud dengan ‘kehormatan dan tata krama ksatria’? Dan dharma mana yang kauingat?

Mulutmu yang lancang telah menghina Draupadi seperti ini: ‘Suamimu, Pandawa telah meninggalkan engkau. Kawinlah dengan laki-laki lain.’

“Sekarang engkau bicara tentang keadilan, kehormatan kesatria dan dharma. Setelah bicara tentang itu, apakah engkau tidak malu ikut membunuh Abhimanyu beramai-ramai? Engkau bicara tentang keadilan, kehormatan dan budi pekerti, tetapi kau justru mengingkarinya.”

Mendengar kata-kata Krishna, Karna menundukkan kepala. Ia malu dan tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Ia bangkit lalu naik kembali ke keretanya, mengambil busur, dan melepaskan anak panah yang nyaris mengenai Arjuna.

Dhananjaya terhenyak sesaat. Dengan cepat Karna turun untuk membetulkan roda keretanya yang terperosok ke dalam lumpur. Ia mencoba mengingat mantra brahmastra pemberian Parasurama, tetapi seperti telah diramalkan oleh Parasurama, Karna tak bisa mengingatnya .

“Jangan membuang-buang waktu lagi, Dhananjaya,” kata Krishna kepada Arjuna. “Panahlah dia! Bunuhlah manusia jahat itu!”

Mula-mula Arjuna ragu, tangannya gemetar. Tetapi setelah mendengar kata-kata Krishna, Arjuna mengirimkan panah, yang bernama Vajr, senjata Indra. Senjata itu memotong kepala Karna. Kepala Karna berguling-guling di tanah. Seberkas cahaya meninggalkan tubuh Karna menuju ke langit.

Karna sudah mati dan sekarang tidak ada yang tersisa untuk Duryodana. Matahari tenggelam seolah meratapi kematian anaknya. Sinar matahari telah kehilangan hati mereka. Sinar telah menjadi lembut seperti itu dari sinar bulan.

Sesungguhnya, menurut aturan perang, siapa pun tidak dibenarkan menyerang atau membunuh musuh yang tidak berdaya, luka parah, atau berada dalam posisi tak bisa melawan atau mempertahankan diri. Jika itu dilakukan, artinya orang itu melanggar dharma! Tetapi di padang Kurukshetra waktu itu, aturan perang sudah tidak diindahkan, bahkan dilanggar. Bagaimana mungkin mereka dapat dikatakan menjalankan dharma-nya sebagai kesatria jika saudara dan kerabat saling membunuh? Bukankah peperangan sebenarnya adalah adharma atau kejahatan?  

Salya merasa kecewa dan dia pergi menghadap Duryodana. Raja tenggelam dalam keputusasaan. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia tidak bisa berbicara. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Karna sudah meninggal. Melihat Salya, busur dan kereta Karna, Duryodana pun semakin terpuruk.

Salya merasa sangat sulit untuk menghibur raja. Dia sendiri sangat terguncang. Aswatama dan lain-lain datang  untuk menghibur Duryodana, tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak. 

Di pihak Pandawa, Kresna dan Arjuna pergi menemui Yudistira dan memberi mereka kabar baik yang telah ditunggu oleh Yudistira dengan penuh harap. Yudistira pun segera berangkat ke lapangan untuk meliha jasad Karna. Dilihatnya tubuh Karna  yang bersinar dan juga ketiga anaknya.

Pada tengah malam Duryodana pergi ke kakeknya dan menangis di kakinya. Bisma menyentuh kepala Duryodana dengan lembut dan berkata "Mengapa engkau menangis anakku? Apa yang membuat kamu begitu bersedih?" Duryodana menceritakan kepadanya tentang kematian Karna. Bisma berkata, "Jangan bersedih, Radheya ingin mati sebagai Ksatria. Dia adalah seorang Ksatria dan dia meninggal sebagai Ksatria.

Duryodana terkejut, Ia bertanya kepada kakeknya apa yang dimaksud dengan kata-katanya.

Dia berkata, "Aku selalu percaya bahwa Karna yang ksatria, tindakan-tindakannya seperti ksatria semua. Tapi karena Anda mengatakan, bahwa ia Ksatria.. Saya meminta Anda untuk memberitahu saya tentang hal itu."

Bisma berkata, "Hanya jika kau berjanji padaku bahwa rahasia ini tidak akan pernah diberitahu olehmu kepada siapa pun, hanya kemudian saya dapat memberitahu Anda ini. Radheya menginginkannya seperti itu. Saya telah memberikan janji kepadanya bahwa saya akan menceritakan tentang rahasia kelahirannya padamu, hanya setelah kematiannya dan itu juga dengan syarat bahwa kau tidak menceritakannya kepada siapa pun yang lain. "

Duryodana berkata, "Jika Karna ingin dengan cara itu, saya harus menghormati keinginan teman saya, saya tidak akan memberitahu rahasia ini kepada siapa pun."

Bisma kemudian berkata "Radheya adalah Kaunteya. Dia adalah Pandawa.."

Selanjutnya Bisma menceritakan seluruh kisah tragis kehidupan Karna. Dari kelahirannya hingga pertemuannya dengan Kunti sebelum perang.

Duryodana berusaha menyerap sejauh mana keagungan sahabatnya dan pengabdiannya yang begitu hebat kepadanya. Dia menangis bahwa mengapa dia tidak terbunuh sebagai pengganti Karna. Ia menjadi kehilangan akal karena kesedihan.

Akhirnya Bisma menghiburnya. Tapi Duryodana telah kehilangan kemauannya untuk hidup. Dia ingin mati saja.

Dia berjalan kembali ke markasnya. Dia berpikir tentang kehebatan seorang yang bernama Karna. Karna mengetahui bahwa dia adalah Pandawa yang tertua, namun ia tidak pergi bergabung dengan saudara-saudaranya. Dia memilih untuk tetap dengan Duryodana  temannya. Dia menyerahkan hidupnya demi persahabatan saat berperang melawan saudaranya sendiri. Hujan airmata dari matanya tak terbendung juga.

Dipenuhi dengan dukacita, dia diam-diam masuk ke kemahnya, tetapi dia tidak bisa tidur. Pendukungnya yang terbesar telah gugur . Perang sekarang tampak bagai suatu yang sia-sia dan tanpa harapan. Untuk pertama kalinya Duryodana tidak menantikan pertempuran di hari berikutnya. (Diterjemahkan oleh Rachel Hutami untuk Wayang Nusantara)

Palagan Karbala


Oleh Majlis Ma’arif Nahdhatul Ulama

Matahari bersinar garang, tepat di atas kepala-kepala berbalut sorban yang telah basah bermandikan keringat dan debu. Seorang pria setengah baya berteriak keras, “Hentikan pertempuran! Waktu Zhuhur telah tiba, kita harus shalat!!” Sia-sia. Suara pria gagah itu lenyap ditelan gemuruh ribuan pasukan musuh yang terus merangsek maju. Ia mengeluh. Perlahan ia memutar pandangan ke sekelilingnya. Satu.. dua.. tiga.. hanya tinggal belasan orang saja kerabatnya yang masih bertahan hidup. Dengan tenaga yang masih tersisa pedang mereka menebas ke kanan dan ke kiri, menumbangkan satu persatu musuh yang mencoba mendekat.

Pria yang berjuluk Sayyid Syabab Ahlil Jannah itu kembali menghela nafas. Ketika matahari terbit pagi itu, ada tujuh puluh dua orang keluarga dan sahabat prianya yang berdiri gagah di belakangnya. Namun kini hanya tinggal beberapa saja...

Memang. Apalah arti tiga puluh dua penunggang kuda dan empat puluh orang pejalan kaki, dibanding empat ribuan orang pasukan musuh. Satu persatu anggota pasukan kecil itu tumbang sebagai syahid. Dan ketika matahari mulai tergelincir ke barat, hanya tinggal orang saja yang tersisa, berjuang membela harga diri, kehormatan dan kebenaran yang mereka yakini.

Padang tandus itu masih mengepulkan debunya ke udara. Tak hanya pengap gurun yang tercium, udara di tepian sungai Eufrat siang itu juga mulai menebarkan bau amis darah.

Siang itu, terik mentari padang pasir menjadi saksi sebuah peristiwa kelam yang terus dikenang hingga saat ini, Perang Karbala. Perang, yang terjadi antara Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya melawan tentara Dinasti Umayyah yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dan Syimar bin Dziljausyan, itu nyaris memusnahkan keturunan Rasulullah dari garis Al-Husain (dan untunglah Ali Zainal Abidin bin Husain tidak gugur sebagai syahid seperti yang lainnya karena saat itu tengah sakit keras di tendanya, yang membuatnya tak mungkin bertempur). Konon, pertempuran tak berimbang yang tak ubahnya pembantaian itu sudah diramalkan Nabi Muhammad SAW di hari Al-Husain lahir.

Dikisahkan, 57 tahun sebelumnya, ketika mendengar Fatimah Az-Zahra telah akan melahirkan putra keduanya, Rasulullah segera bergegas menjenguknya. Tak lama kemudian tangis sang jabang bayi pun pecah. Tangis itu sangat keras, sekokoh hati pemiliknya. Nabi Muhamad lalu meminta cucunya itu dibawa ke pangkuannya untuk dibacakan adzan dan iqamah.

Asma binti Umais, sahabat Anshar yang membantu Fatimah saat melahirkan, segera menggendong bayi merah itu dan menyerahkannya kepada Baginda Nabi. Setelah diadzani dan diiqamati, sang jabang bayi itu lalu diberi nama Al-Husain, semakna dengan nama sang kakak yaitu Al-Hasan yang berarti kebajikan. 

Berita dari Jibril

Ketika tengah asyik menciumi sang cucu, tiba-tiba Nabi termangu dan meneteskan air mata. Umais pun segera bertanya, “Mengapa di hari bahagia ini Anda menangis, wahai Rasulullah?.” “Jibril baru saja memberitahu kepadaku, kelak anak ini akan dibunuh oleh sebagian umatku yang durhaka. Jibril juga menunjukkan tanah di mana Al-Husain terbunuh.”

Ibnul Atsir, dalam tarikh Al-Kamilnya, menceritakan, Nabi pernah memberikan segumpal tanah berwarna kekuningan kepada Ummu Salamah, salah satu istri beliau, yang didapat dari Malaikat Jibril. Tanah tersebut, menurut kabar dari Jibril, berasal dari daerah di mana Al-Husain akan terbunuh dalam sebuah pertempuran.

Nabi berpesan kepada Ummu Salamah, “Simpanlah tanah ini baik-baik. Bila warnanya berubah menjadi merah, ketahuilah bahwa Al-Husain telah meninggal dunia karena dibunuh.” Dan, tepat pada tanggal 10 Muharram 57 H, Ummu Salamah menyaksikan gumpalan tanah pemberian suaminya berubah warna menjadi merah. Tahulah ia, cucu kesayangan Rasulullah itu telah meninggal dunia. Ummu Salamah adalah orang pertama di Madinah yang mengetahui perihal kematian Al-Husain. Dari mulutnya pula berita duka itu menyebar ke segenap penjuru kota dan menggemparkannya.

Perang Karbala adalah tragedi terbesar kedua dalam sejarah Islam setelah beberapa perang saudara pada masa pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yakni Perang Jamal, yang menghadapkan Ali bin Thalib dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah Ummul Mukminin, dan Perang Shiffin, antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kubu Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Sebagaimana perang saudara sebelumnya, Perang Karbala juga menghadapkan dua tokoh generasi kedua Islam yang merupakan putra sahabat-sahabat terdekat Nabi, Al-Husain putra Sayyidina Ali dengan Umar putra Sa’ad bin Abi Waqash yang mewakili Yazid bin Muawiyyah dan gubernurnya di Kufah, Ubaidullah bin Ziyad.

Matahari terus bergerak ke arah barat. Menyadari pasukan musuh sama sekali tak berniat menghentikan pertempuran, bersama sisa pengikutnya Al-Husain pun mendirikan shalat khauf, shalat darurat di tengah medan perang. Di antara mereka tampak adik tirinya, Abbas; putra kedua Al-Husain, Ali Al-Akbar; dan kemenakannya, Qasim bin Hasan bin Ali. Bergantian mereka melaksanakan ruku’ dan sujud, sementara yang lain berusaha melindungi dengan pedang dan tombak.

Matahari semakin menyengat ketika shalat khauf usai. Kembali Imam Husain dan para pengikutnya berjuang mempertahankan diri. Dan kembali, satu persatu anggota pasukan kecil itu berguguran, hingga akhirnya tinggal Al-Husain, Ali Al-Akbar bin Al-Husain, dan Abbas saja yang tersisa.

Dengan gagah berani Ali Akbar menerjang musuh dan berhasil menumbangkan tiga atau empat orang musuh sebelum sebuah sabetan pedang membuatnya terluka parah. Ia mundur mendekati sang ayah karena merasa sangat kehausan. Namun sejak pagi, persediaan air rombongan Al-Husain telah habis. Sementara untuk mengambil dari sungai Eufrat yang tak seberapa jauh juga tak memungkinkan, karena ribuan tentara Umayyah berbaris menjaganya.

Dengan wajah iba Al-Husain menentramkan putranya, “Bersabarlah anakku, sebelum petang Datukmu Rasulullah SAW akan datang untuk memberimu minum dengan kedua tangan beliau yang mulia.” 

Kemenakan Tercinta

Mendengar ucapan sang ayah yang menjanjikan kesyahidan, semangat Ali Akbar kembali tersulut. Ia segera kembali ke tengah pertempuran dan menumbangkan dua atau tiga lawan. Langkah pemuda pemberani itu terhenti ketika sebatang anak panah menembus lehernya. Ali Akbar menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan sang ayahanda.

Tiba-tiba dari dalam tenda seorang perempuan menghambur keluar dan berlari menuju Imam Husain yang tengah memangku jasad Ali Akbar. Tangisnya pecah saat memeluk jenazah kemenakan tercintanya. “Terkutuklah orang-orang yang telah membunuhmu, Anakku,” raung Zainab binti Ali, adik kandung Al-Husain. Kematian Ali Akbar menggenapkan dukanya setelah sepagian melihat tiga putranya Aun Al-Akbar, Muhammad dan Ubaidullah gugur di medan perang Karbala.

Al-Husain, sambil membawa jenazah Ali Akbar, segera menarik adiknya kembali ke tenda. Tiba-tiba dari arah belakang kemudian terdengar teriakan seorang bocah kecil, “Hai orang jahat! Kau mau membunuh pamanku?.”

Dengan berani anak itu menghadang laju seorang prajurit Umayyah yang akan membokong Al-Husain. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat kayu. Sejurus kemudian Qasim bin Hasan bin Ali, demikian nama anak yang baru menginjak remaja itu, menjerit karena seorang tentara musuh menebas putus tangan mungilnya.

Al-Husain segera meraih remaja yang mewarisi ketampanan ayahandanya itu. Dengan lembut ia berbisik di telinga kemenakan kecilnya, “Tabahkan hatimu, anakku sayang. Allah akan segera mempertemukanmu dengan ayah dan kakekmu.”

Kini hanya tersisa Al-Husain dan adik tirinya Abbas bin Ali. Penatnya bertempur seharian dan teriknya matahari siang membuat dahaga keduanya tak tertahankan lagi. Mereka pun nekat menerobos barisan tentara Umayyah yang menjaga tepian sungai Eufrat. Berhasil. Dengan tergesa keduanya menciduk air dengan kedua telapak tangannya.

Namun sebelum dahaga itu terobati, hujan anak panah membuat Abbas rebah tak bangun lagi. Sebatang anak panah juga menghujam pipi Al-Husain. Dengan pilu dicabutnya anak panah dan menutup lubangnya dengan telapak tangan. Kepala suami Syahbanu, putri Kerajaan Persia-Sassanid, itu kemudian tengadah dan berdoa, “Ya Rabb, hanya kepada-Mu aku mengadu. Lihatlah perlakuan mereka terhadap cucu rasul-Mu.”

Matahari telah condong di ufuk barat. Waktu Ashar yang telah datang menjelang menjadi saksi Al-Husain yang tinggal berjuang sendirian. Wajahnya nampak lelah, meski tak mengurangi sorot keberaniannya, dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka senjata.

Puluhan anggota pasukan Umayyah mengurungnya. Namun seperti tersihir, tak satupun yang berani mengayunkan pedang ke arah Imam Husain. Nampaknya ada keraguan yang menyelimuti benak masing-masing pasukan. Mereka tengah menimbang, “Beranikah menanggung resiko menjadi orang yang menghabisi nyawa cucu Rasulullah?.”

Sementara Al-Husain, dengan segala kewibawaan dan harga diri yang diturunkan ayah dan kakeknya, berdiri di tengah-tengah dengan pedang teracung. Ia berseru lantang, “Apa yang membuat kalian ragu membunuhku. Majulah. Demi Allah, tidak ada pembunuhan yang lebih dibenci Alah dari pada pembunuhanku ini. Sungguh Allah akan memuliakanku, dan menghinakan kalian.” 

Pahlawan Karbala

Melihat Al-Husain sendirian di tengah kepungan musuh, Zainab –yang belakangan di kenal sebagai Bathalah Karbala, pahlawan Karbala—berseru, “Mudah-mudahan langit ini runtuh.” Ketika itulah Umar bin Sa’ad, sang panglima tentara Umayyah, melintas. Zainab pun memanggilnya, “Hai Umar, tega sekali kau melihat Husain dibunuh di depan matamu.” Umar tertegun, matanya nampak berkaca-kaca, namun ia segera berlalu.

Tiba-tiba Syimar Dzil Jausyan mendekati kepungan. Melihat anak buahnya tak ada yang berani menyerang al-Husain, ia pun membentak, “Terkutuk kalian semua! Apa yang kalian tunggu? Cepat bunuh dia! Khalifah akan memberikan hadiah yang besar bagi kalian.”

Bentakan itu seakan membangunkan mereka dari mimpi. Zara bin Syarik mengayunkan pedangnya hingga memutuskan lengan kiri Al-Husain. Masih dalam keadaan limbung, tombakan Sinan bin Nakhi merobohkan tubuh cucu baginda Nabi itu ke tanah. Melihat teman-temannya masih diam tertegun, Sinan segera turun dari punggung kudanya dan memenggal kepala Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib. Al-Husain wafat pada tanggal 10 Muharram 61 H, lima puluh tujuh tahun setelah Rasulullah mendapat kabar kematiannya dari Malaikat Jibril.

Demikianlah. Episode pilu hari itu ditutup dengan digelandangnya wanita-wanita Ahlul Bait dan Bani Hasyim beserta anak-anak mereka menuju kota Kufah, menghadap sang arsitek Perang Karbala, yakni Gubernur Ubaidullah bin Ziyad. Dengan tangan terbelenggu dan pakaian ala kadarnya, wanita-wanita mulia itu digiring sebagai tawanan perang. Beberapa hari kemudian rombongan manusia-manusia paling utama di zamannya itu kembali digelandang menuju Damaskus, Syiria, untuk dihadapkan kepada Yazid bin Umayyah bin Abu Sufyan, penguasa tertinggi pemerintahan Dinasti Umayyah.

Para penguasa Umayyah mungkin tak menyadari, peristiwa 10 Muharram 61 H itu akan dikenang sepanjang masa sebagai bagian terkelam dalam sejarah peradaban Islam dan mendudukan mereka sebagai penjahat yang harus dimusuhi sepanjang masa. Terbukti dengan meletusnya pemberontakan demi pemberontakan berdarah yang mengatasnamakan penuntutan balas kematian Al-Husain, hanya berselang tujuh atau delapan tahun setelah insiden Karbala’. Sampai di sini berakhirlah episode perang Karbala’, yang kembali dikisahkan bukan untuk memedihkan lagi luka sejarah itu, namun untuk sekedar mengingatkan, betapa perpecahan antar umat Islam sebaiknya tidak terjadi lagi. 

Gugurnya Abimanyu


Nggemprang Kuda Pramugari  bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul di udara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada di hadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.

“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !” sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya.

Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,

“ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua orang tua kami”
 
“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru”. Perintah sang uwa

“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu.


“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna.

“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”. Demikian putusan Sang Senapati.

Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi.

Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki penungangnya  untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya  tak lama membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara, Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas. Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu. Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.

Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala.

Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh  pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah.

Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna.


Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara.

Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.

Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah bagai dipedayai.

Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian.

Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya.


Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban  selanjutnya.

Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi.

Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan sudah terjadi.
“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !”. kata kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi.

Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.

Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia mengatakan,

“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. .  !”.


Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal akalannya,


“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”

“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!” Sangkuni mengamini.

“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus teruskan, maka akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”. Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.


“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati Basukarna sekenanya.

“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini”. Durna mulai membuka strategi.

“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut.

“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita”.Pandita Durna menjelaskan strateginya.

“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”.Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang.


Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan?  Sementara orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.

Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:

“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang telah  berhasil berbuat hal yang menakjubkan.

“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . !   Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan”.Bangga Abimanyu.

Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari lukanya.

Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan.

“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi”. Tutur Adipati Karna.

Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.

Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju menyongsong serangan.

“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian,  sekalian  dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”. 


Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya masih tetap tegar.

Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.

Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti halnya untaian melati menghiasi pinggang.

Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek!

Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia  berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.


Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya.

Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara.

Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa.

Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya.

“E . . e . . e . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”.

Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain main, ia maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya.



Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara  mendapat ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota  terbunuh, maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir , sang prajurit muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya.

Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama  beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka masing masing. Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul  ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi.

Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu. Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma negara yang gugur, di lepas siang .

Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.