Ironi Minerva Pendidikan Islam


Opini Kabar Banten 27 Juni 2024 oleh Sulaiman Djaya

Pendidikan Islam sudah semestinya responsif dan sanggup menciptakan ruh iqra: kecerdasan dan kesalehan. Jangan menjadi Minerva yang hanya mengudara saat senjakala. Modal dasarnya, yaitu spirit dan nilai-nilai Islam, harus dihadirkan dengan kecakapan adaptif: tetapi setia pada inti Islam, sembari mengafirmasi secara aktual tantangan-tantangan historis-kemanusiaan.     

Tantangan Liberalisasi dan Komodifikasi Pendidikan

Saat ini, kapitalisme dan liberalisme, tak pelak lagi, telah memberlakukan dan mempraktikkan pendidikan sebagai komoditas jasa, dan karenanya mereka pun kembali menciptakan pendidikan diskriminatif dan elitis. Pengetahuan dan pengajaran tak ubahnya komoditas yang dijajakan dan institusi-institusi pendidikan telah menjadi perusahaan-perusahaan penyedia jasa bagi orang-orang kaya yang sanggup membelinya. Celakanya, mereka kerapkali ‘menyetir’ Negara untuk membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang sesuai dengan keinginan mereka.

Spirit ajaran Islam yang menekankan keadilan sosial, kesetaraan dan welas-asih, harus diwujudkan dalam praktik pendidikan Islam itu sendiri, yaitu dengan menciptakan pendidikan setara untuk semua kalangan, pendidikan yang terjangkau oleh mereka yang hidupnya bersahaja sekalipun. Salah-satunya adalah dengan pendistribusian filantropi Islam yang modern dan berkelanjutan, tepat guna dan tepat sasaran, sebagaimana telah dipraktikkan sejak lama oleh Muhammadiyah, dengan membangun institusi pendidikan dan universitas atau perguruan tinggi dari zakat, infak, wakaf dan sedekah (ZISWAF).

Sudah sepatutnya ummat Islam tidak latah untuk ikut-ikutan melakukan komodifikasi dan komersialisasi pendidikan, hingga akan menciptakan diskriminasi dalam pendidikan dan pendidikan elitis yang hanya akan bisa dijangkau kalangan tertentu saja.

Dan bila kita bercermin secara historis, para pendahulu kita telah mempraktikkan pendidikan Islam filantropis, dalam arti sukarela, seperti pesantren tradisional yang tidak meminta bayaran atau memungut biaya dari para santri, asal mereka sanggup memberi makan diri mereka sendiri selama mengikuti daras kepada ustadz-ustadz atau kyai mereka. Malahan dalam sistem hauzah di Iran dan Irak, para santri mendapatkan tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari mereka secara gratis selama mereka belajar dan menggali ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya kepada para ayatullah mereka.

Perspektif Al-Quran Tentang Kemumpunian

Sebagai refleksi, kita perlu menghayati dan merenungkan wahyu pertama yang disampaikan Jibril as kepada Muhammad Rasulullah Saw: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al-A'laq: 1-5).

Kemumpunian manusia adalah hasil dari membaca: merenungi, menghayati, berpikir, mengambil hikmah dan pelajaran, belajar secara sinambung, menggali terus-menerus pengetahuan. Membaca juga bermakna menelaah, meneliti, menganalisis, menafakkuri semesta dan Ke-Maha-Besar-an Yang Maha Kuasa melalui ciptaan-Nya dan melalui kehidupan manusia. Sedemikian penting kata (instruktif) iqra (bacalah) dalam ayat di atas, sehingga harus diulang dan ditegaskan. Bahwa kemumpunian dan kedalaman serta kekuatan iman didapat dari perenungan dan tafakkur. Demikian juga kompetensi seseorang untuk mengenali diri dan Tuhannya.

Apalah jadinya bila seorang pendidik atau guru yang diharapkan dan seyogyanya meningkatkan kapasitas iqra bagi peserta didik justru adalah mereka yang tidak mempraktikkan atau mengamalkan iqra itu sendiri.   

Kompetensi guru dalam proses dan kegiatan KBM di institusi pendidikan merupakan faktor utama yang akan menentukan output (keberhasilan) pendidikan. Guru yang tidak cakap dan tidak menguasai materi ajar dan metode penyampaian materi ajar dalam KBM akan menciptakan ekosistem pendidikan yang buruk. Secara umum, kompetensi adalah kecakapan dan kemahiran seseorang dalam suatu bidang dan pekerjaan yang menjadi konsen, profesi dan pilihannya. Sebagai contoh, seorang penulis yang kompeten akan melahirkan tulisan-tulisan yang bermutu tinggi.

Seorang guru yang kompeten akan menciptakan pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan dan diprogramkan, semisal cepatnya para peserta didik menguasai materi-materi ajar yang ia sampaikan. Selain itu, guru yang kompeten akan sanggup menciptakan suasana dan situasi belajar yang nyaman.

Secara definisi teknis dan profesional, kompetensi adalah kapasitas dan kapabilitas seseorang menguasai dengan baik dan komprehensif suatu pekerjaan dan bidang yang menjadi pilihan keahliannya.

Menurut Kepmendiknas Nomor 45/U/2022, kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Pertanyaannya adalah: dalam dunia dan praktik pendidikan, kompetensi guru yang dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang berhasil itu seperti apa dan apa saja? Bila merujuk UU Guru dan Dosen Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Pendidikan Nasional Pasal 28, Kompetensi Guru mencakup: 

Pertama: kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengorganisir atau mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan ragam potensi yang dimiliki para peserta didik.

Kedua: kompetensi kepribadian, yaitu guru sebagai pribadi berwibawa, bijaksana, stabil serta berkarakter kuat, tentu akan menjadi contoh dan teladan yang baik bagi para peserta didik.

Ketiga: kompetensi sosial, kemampuan pendidik atau guru sebagai bagian masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara baik, efektif dan pantas dengan peserta didik, sesama pendidik, serta masyarakat yang didalamnya adalah para orang tua peserta didik.

Dalam konteks guru PAI, sudah sepatutnya mereka menguasai khazanah dan ragam cabang ilmu keislaman bila ingin melahirkan para peserta didik yang menguasai nila-nilai dan ajaran-ajaran religius dan humanistik ke-Islam-an. Dalam artian ini, sudah sepatutnya para guru PAI adalah mereka yang pernah mengenyam tingkatan-tingkatan pendidikan dan perguruan-perguruan yang membekali mereka khazanah keilmuwan ke-Islam-an yang komprehensif. Di sini kompetensi merupakan kepemilikan wawasan dan khazanah pengetahuan yang komprehensif tentang ke-Islam-an. Sehingga, seorang guru PAI yang ideal adalah guru yang menguasai wawasan dan khazanah ke-Islam-an yang komprehensif sekaligus berbudi pekerti yang tinggi serta memiliki wibawa karena kemampuan dan kapasitasnya memadukan kealiman dan pembawaan diri yang pantas dan selaras dalam masyarakat. Menjadi contoh dan teladan untuk digugu dan ditiru. Sebab, pada akhirnya, tujuan utama pendidikan adalah menjadikan manusia menjadi manusiawi, bukan menjadi mesin dan piranti mesin, semisal birokrasi yang tidak sehat yang malah akan membunuh potensi dan bakat mereka yang sesungguhnya.

Memahami Kembali Substansi Pendidikan

Pendidikan, demikian ujar W. B. Yeats, lebih merupakan upaya menyalakan dan menghidupkan pikiran ketimbang mengindoktrinasi. Bagi Aristoteles, pendidikan yang tidak menyertakan pendidikan hati dan jiwa bukanlah pendidikan. Rabindranath Tagore, yang senafas dengan filsafat pendidikannya Ki Hajar Dewantara, menegaskan bahwa peserta didik bukanlah peserta pasif, dan karenanya menurut Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan adalah pendidikan partisipatoris, dialogis atau interaktif yang mengajak para peserta didik turut aktif dalam diskusi dan dialog, guru dan murid dalam kondisi setara sebagai penggali pengetahuan. Dan untuk menghidupkan metode dan pendekatan tersebut, dibutuhkan guru yang memiliki kompetensi wawasan dan khazanah yang luas serta beragam, sanggup menciptakan situasi belajar yang melibatkan para peserta didik secara aktif. Guru yang sanggup mempraktikkan pendidikan literasi berbudaya yang dialogis dan partisipatoris.