Banten Raya, 10 Oktober 2014
Penyair Libanon, Khalil
Gibran, pernah menulis: “Kasihan bangsa yang memakan gandum yang tidak
dituainya dan yang meminum anggur yang tidak diperasnya”. Meski barangkali
Gibran menulis dalam rangka untuk “membentuk” jati-diri, kreativitas, dan
kemandirian bangsanya, yaitu Libanon, agar bisa hidup dari tangan, kerja keras,
dan kreativitas atau inovasinya sendiri, namun suara Gibran tersebut
sesungguhnya telah keluar dari lingkup bangsanya dan menjadi relevan juga bagi
kita. Seperti kita tahu bersama, saat ini kita hidup dalam sebuah dunia yang
telah “mengglobal”, di mana kejadian di dunia nun jauh di sebelah sana akan
berdampak ekonomis dan politis bagi kita yang ada di sini. Namun, tentu kita
juga tidak mau begitu saja menjadi bangsa yang hanya bisa mengkonsumsi semata
dalam kadar dan konteks yang demikian.
Kita acapkali selalu mudah
kagum, dan latahnya malah bangga, dengan apa saja yang berbau dan berasal dari
“Barat”. Dari mulai hal-hal yang remeh hingga ke soal ideologi dan pandangan
hidup, di mana seakan-akan dengan bersikap dan berpandangan westernize
tersebut, kita seolah menjadi manusia modern, tanpa kemudian dibarengi oleh
tekad kita sendiri untuk menjadi manusia dan bangsa yang juga bisa melakukan
inovasi sendiri dan tak hanya mengkonsumi. Bila untuk menjadi modern Anda hanya
bisa meniru Barat mentah-mentah, berarti Barat akan menjadi dokter Anda dan
Anda hanya akan menjadi pasiennya. Dengan demikian, Anda hanya akan menjadi
pesakitan dan akan senantiasa menjadi objek penghasil dan ladang tak
berkesudahan bagi keuntungan Barat.
Beberapa pemimpin
Indonesia, misalnya, membanggakan bahwa Indonesia telah memiliki industri,
sembari pura-pura tidak tahu bahwa yang memiliki modal dan perusahaannya adalah
para oligarkh atau penguasa modal asing yang seringkali didikte dan
dikendalikan tombol politik Negara asal si pemodal tersebut dan akan membawa
pulang keuntungannya yang lebih besar dari Indonesia ke negerinya, contohnya
pertambangan Freeport di Papua sana. Kita lupa, bahwa memiliki industri tidak
sama dengan membangun sistem industri. Dalam hal ini, ketika diwawancara oleh
Kartika Candra, Samir Amin menyatakan: “membangun sistem industri adalah
membangun komplementaritas antara bermacam-macam industri lokal dan pada saat
yang sama memegang kontrol atas industri tersebut, bahkan jika sampai level
tertentu mereka melakukan ekspor atau berorientasi ke dalam negeri. Ini adalah
satu set kebijakan yang sangat kompleks dan sistematis. Anda bisa memiliki
industri seperti di Indonesia. Tapi secara de facto industri-industri itu
adalah bagian subkontrak dari monopoli kapital internasional”.
Apa yang dinyatakan Samir
Amin tersebut tak bisa kita anggap hanya sebagai angin lalu saja. Sebagai perbandingan,
barangkali kita perlu belajar dari Republik Islam Iran, di mana ketika bangsa
itu ditekan dan diembargo secara berkepanjangan, justru membuat rakyat dan
bangsa tersebut semakin kuat dan menjadi inovatif. Secara militer, contohnya,
Iran berhasil membuat jet tempur canggih sendiri, dan secara tekhnologi
Republik Islam Iran telah berhasil melakukan capaian tekhnologi luar angkasa.
Kasus yang paling nyata
bagi Indonesia adalah IMF. Dengan agenda IMF yang memaksa Indonesia untuk
“memprivatisasi” (baca: menjual) BUMN-BUMN (Badan Usaha Milik Negara), seperti
yang dilakukan Laksamana Sukardi di era Megawati dan juga kasus serupa di era
SBY-Boediono, maka BUMN-BUMN yang semula dimiliki oleh rakyat Indonesia pun
pindah tangan ke tangan para oligarkh alias penguasa modal –yang ternyata elit
Zionist pula. Mereka alias Rotschild Dinasty, dengan menguasai Bank Sentral,
mencetak kertas tak berharga jadi dollar yang dipakai untuk membeli BUMN-BUMN
dan Kekayaan Alam Indonesia. Mereka dielu-elukan sebagai “Investor Asing”. Dan
di sini, kaum ekonom dan para teknokrat neo-liberal sebenarnya tak lebih para
broker mereka.
Bahkan Bank Sentral
Indonesia, BI, sekarang ini diswastanisasi sehingga lepas dari pemerintah
berdaulat hasil pilihan rakyat. BI “bekerjasama” dengan lembaga keuangan dunia
seperti IMF alias International Monetary Fund dan World Bank alias Bank Dunia
yang jelas-jelas dikuasai para elite oligarkh global, yaitu Zionist Rotschild
Dinasty. Jadi pemerintah pilihan rakyat sudah tidak berdaulat lagi terhadap BI,
sementara para elit oligarkh penguasa modal, yakni kaum Zionist itu, melalui
IMF dan World Bank serta Perbankan dan Sekuritas yang mereka miliki justru
punya pengaruh yang luar biasa terhadap BI alias Bank Indonesia.
Dan sebagai informasi
tambahan yang barangkali tak boleh kita lupakan adalah bahwa IMF dikendalikan
oleh Dewan Gubernurnya, yang juga merupakan kepala bank-bank sentral yang
berbeda atau kepala departemen-departemen bendahara bermacam-macam negara yang
dikuasai oleh bank-bank sentral mereka. Kekuatan pemungutan suara di IMF juga
memberikan Amerika Serikat dan Inggris (Federal Reserve dan Bank of England –
kedua-duanya dikuasai Keluarga Rothschild) kendali penuh atas IMF alias
International Monetary Fund tersebut. Mudah-mudahan bangsa kita tercinta ini
masih bisa diselamatkan dan memang harus diselamatkan! Semoga! Amin!