Oleh Jalaluddin Farsi
Allah swt berfirman:
لِنَجْعَلَها
لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ
“Agar Kami jadikan peristiwa itu
peringatan bagi kalian dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar."
Pembahasan ini berkisar seputar Ali as dan al-Quran. Para pakar ulumul Quran dan mufassir sepakat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw berbeda tingkatan dalam potensi memahami dan menjangkau makna-makna al-Quran sebagaimana mereka relatif berbeda dalam mengambil manfaat dari curahan kesaksian turunnya wahyu, surat-surat dan kumpulan ayat-ayat yang diterima Nabi saw.
Mereka yang beriman kepada Rasulullah
saw di Madinah tidak menyaksikan turunnya surat-surat Makkiyah (yang turun di
Makkah) dan terhalang dari tafsir dan asbabun nuzul terutama evidence turunnya
ayat-ayat.
Berkenaan dengan sebab turunnya ayat
yang telah dibacakan, para pakar hadis dan sejarawan sepakat bahwa maksud dari
“udhunun wa’iyah” adalah Ali bin Abi Thalib as. Sebagaimana Ibnu Jarir Thabari,
Ibnu Abi Hatim, Wahidi (pengarang kitab “Asbabun Nuzul”), Ibnu Murdawaih, Ibnu
Asakir dan yang lain mencatat dari ucapan Buraidah Aslami yang mana Rasulullah
saw bersabda kepada Ali as:
إنّ
اللّه أمرنى أن أدنيك و لا أقصيك و أن أعلّمك و أن تعي و حقّ لك أن تعي
Maka turunlah ayat ini «لِنَجْعَلَها لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ » dan hal ini mereka nukil dari “Ad-Durrul
Mantsur” tafsir Jalaluddin Suyuthi, dan “Asbabun Nuzul” hal 294 dan Abu Na’im
dalam “Hilyatul Auliya’” juga mencatat yang demikian dan dengan nukilan hadis
lain yang mana Nabi saw bersabda kepada Ali as:
“فأنت
أذن واعية لعلمي”
Demikian juga dalam tafsiran ayat ini,
Sa’id bin Mansur, Ibnu Jarir, penulis kitab sejarah dan tafsir Thabari, Ibnu
Abi Hatim dan Ibnu Murdawaih mencatat riwayat ini tetapi secara mursal yang
mana setelah turun ayat “وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ” Rasulullah saw bersabda: “Aku berharap
dari Allah swt supaya menajamkan telinga kecerdasan Ali as seperti demikian”.
Dan Ali as berkata: “Setelah itu tidak pernah aku mendengar sesuatu dari Nabi
saw dan kemudian melupakannya”. Tsa’labi juga mencatat riwayat ini dari Abu
Hamzah Tsumali secara musnad (bukan mursal). Dalam surat al-Haaqqah
sebelum ayat ini, Allah swt menceritakan perihal kaum-kaum yang telah lenyap
dan juga nabi-nabi terdahulu dan ketika itu Allah swt berfirman: Untuk
menjangkau dan memahami serta menjaga perihal-perihal penuh pelajaran (‘ibrah)
pada sejarah para nabi dan bangsa-bangsa terdahulu diperlukan telinga cerdas
potensial dan menyeluruh. Oleh karena itu Ali as memahami al-Quran lebih baik
dari seluruh sahabat Rasulullah saw dan mengajarkan kepada yang lain.
Ibnu ‘Athiyyah, Badruddin dan Suyuthi
berkeyakinan bahwa pemuka para mufassir adalah Ali bin Abi Thalib as, sementara
itu Ibnu Abbas belajar tafsir di sisi beliau as, dan setelah itu yang lain
seperti Mujahid, Sa’id bin Jubair dan lain-lain mengikutinya dan menjadi murid
Ibnu Abbas. Amirul Mukminin Ali as disamping adalah orang terbaik dalam
memahami, menghapal dan mempelajari al-Quran, juga termasuk pemuka para sahabat
dalam pengumpulan dan penjelasan penafsiran al-Quran.
Ibnu Abbas mengenai ayat suci “إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ” berkata: Allah swt telah mengumpulkan al-Quran di hati dan
dada Ali as dan beliau as sepeninggal Rasulullah saw mengumpulkan dan
membukukannya selama 6 bulan.
Abu Na’im dalam “Hulyatul Auliya’” dan
Khatib dalam “Arba’in” dari Suyuti dan dia dari Ali bin Abi Thalib as
meriwayatkan: Ketika Nabi saw meninggal dunia, aku bersumpah bahwa aku tidak
akan menyingkapkan jubahku dari pundak hingga aku menyusun al-Quran dan aku
melakukan hal tersebut.
Para ahli sejarah dan tafsir juga
menyepakati bahwa hanya Ali as yang mengklaim mengumpulkan al-Quran sebelum
orang lain berfikir untuk mengumpulkan dan menyusunnya.
Dalam al-Ihtijaj Thabarsi disebutkan
bahwa Abu Dzar al-Ghiffari berkata: Ali as setelah wafat Rasulullah saw dan
berdasarkan wasiat beliau saw, mengumpulkan dan menyusun al-Quran dan
membawanya ke hadapan kaum Muhajirin dan Anshar serta memperlihatkan kepada
mereka. Ketika salah seorang membukanya dan pada halaman pertama, ia melihat
kemarahan-kemarahan orang-orang maka ia tidak setuju dengannya.
Proyek pertama yang dilakukan Imam Ali
as berkenaan dengan al-Quran adalah bertekad bahwa beliau as tidak akan keluar
rumah sehingga menyelesaikan pengumpulan dan penyusunan al-Quran. Hal ini
sendiri adalah ancaman terbesar bagi orang-orang yang memiliki maksud menodai
al-Quran Karim dan sebuah pedang tajam terhunus di atas kepala orang-orang yang
ingin mengurangi dan menambahi al-Quran. Sejarah mencatat bahwa dalam ayat:
“إِنَّ
كَثِيراً مِنَ الْأَحْبارِ وَ الرُّهْبانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوالَ النَّاسِ
بِالْباطِلِ”
hingga ayat berikutnya yang berbunyi:
“وَ
الَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَ الْفِضَّةَ وَ لا يُنْفِقُونَها فِي سَبِيلِ
اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذابٍ أَلِيمٍ”
Ketika mereka ingin menghilangkan «واو» dari
ujung «الّذين» hingga merubah arti ayat dan ingin menunjukkan bahwa «الّذين» ini
yakni orang-orang yang menyimpan emas dan perak hanya para pendeta dan pastur
saja bukan orang-orang yang berada di kalangan masyarakat Islam yang melakukan
perbuatan pengkhianatan seperti ini, Abu Dzar, seorang sahabat agung
menghunuskan lidah tajamnya di atas kepala mereka sehingga tahrif ini tidak
terlaksana. Akan tetapi proyek Ali as lebih tinggi dari hal-hal ini.
Beliau as (menurut Abu Rafi’) duduk di
rumah dan menyusun al-Quran sebagaimana turunnya (bukan berarti bahwa beliau as
mengumpulkan sekumpulan ayat dan surat menurut urutan turunnya karena hal
tersebut telah terlaksana, dan urutan yang sekarang ini keluar dari ikhtiar
manusia bahkan Nabi saw, akan tetapi menentukan sebab turun dan mengenai
siapa-siapa dan kapan ayat-ayat turun dan hal ini adalah keterjagaan al-Quran
dan arti-artinya dari bahaya tahrif maknawi. Oleh karena itu beliau as
memberikan motifasi kepada murid-murid untuk mempelajari dalam tafsir sebab
turun dan urutan turun ayat dan surat dan supaya mengajarkan kepada yang lain
berkenaan dengan siapa-siapa, kejadian-kejadian apa dan kondisi-kondisi apa
ayat-ayat diturunkan). Dari Ibnu Hajar juga dinukil kandungan yang demikian dan
riwayat ini dicatat oleh Ibnu Abi Dawud Nasa’i dengan sanad shahih dari
Abdullah bin Umar.
Husain bin Ali bin Abi Thalib as juga
berkata, Imam Ali as dalam sebuah ungkapan mengatakan: Bertanyalah kepadaku
mengenai al-Quran sehingga aku katakan bahwa ayat-ayatnya turun berkenaan
dengan siapa-siapa saja dan kapan.
Adapun untuk memahami urgensitas
penjelasan urutan, kapan dan kondisi turunnya ayat-ayat, kami berikan dua
contoh; salah satunya berkenaan dengan ahkam (hukum-hukum) dan satu lagi
menyangkut sebab turun.
Dalam surat al-Baqarah kita memiliki dua
ayat berkenaan dengan kematian dan hukum isteri-isteri yang salah satunya
nasikh (menghapus) dan yang lain mansukh (yang dihapus). Akan tetapi ayat
nasikh berada sebelum ayat mansukh (ayat nasikh adalah ayat 234 dan ayat
mansukh 240). Untuk mengetahui manakah ayat nasikh dan manakah mansukh perlu
mengenal persyaratan-persyaratan turunnya ayat, dan tentu saja semua orang
mengetahui hukum nasikh dan mansukh semenjak masa pengumpulan dan penyusunan
al-Quran hingga sekarang, dan malaikat wahyu juga menyampaikan tempat atau
posisi ayat-ayat kepada Nabi saw. Dari Ibnu Abbas bahwa ketika ayat tertentu
turun, malaikat wahyu berkata kepada Nabi saw, letakkanlah ayat ini di ujung
ayat ini. Bagaimanapun, mengetahui urutan turunnya ayat-ayat memiliki
urgensitas luar biasa dari sisi bahwa ayat nasikh dari mansukh dapat dikenal.
Contoh berikutnya mengenai sebab
turunnya ayat. Sejarah perang Uhud dimuat dalam surat Aali ‘Imran. Mengenai
bagaimana terjadinya perang Uhud ditanyakan kepada Abdurrahman bin ‘Auf atau
sahabat lain Rasulullah saw dan ia mengembalikan kepada ayat-ayat setelah ayat
120 surat Aali ‘Imran, dan berkata: Jika engkau membacanya maka seolah-olah
engkau ikut serta dalam perang ini bersama kami.
Di antara kejadian-kejadian perang Uhud
adalah pada mulanya kemenangan diraih oleh kaum Muslimin akan tetapi setelah
pengosongan lereng gunung oleh para pemanah dan serangan pasukan berkuda
tentara musuh ke tempat itu, maka tekanan musuh menjadi berlimpah. Nabi saw
memberikan perintah supaya kaum Muslimin naik dari lereng gunung depan dan
bersandar ke gunung serta mundur karena ketidakkompakan sedikit pasukan.
Nabi saw berada di barisan belakang
tentara dan beliau saw juga menaiki lereng gunung, akan tetapi beliau saw
berada dalam serangan bahaya pasukan berkuda musuh yang sedang beraksi
melakukan pembunuhan tanpa belas kasih.
Ayat 153 menunjukkan hal tersebut:
“إِذْ
تُصْعِدُونَ وَ لا تَلْوُونَ عَلى أَحَدٍ وَ الرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ فِي
أُخْراكُمْ فَأَثابَكُمْ غَمًّا بِغَمٍّ لِكَيْلا تَحْزَنُوا عَلى ما فاتَكُمْ وَ
لا ما أَصابَكُمْ وَ اللَّهُ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ”
“(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak
menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu
yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas
kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada
kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. Hingga di sini tidak ada permasalahan dan ayat-ayat menceritakan
kelanjutan peristiwa tersebut, akan tetapi secara tiba-tiba Allah swt mengecam
orang-orang yang berpaling dari musuh dan melarikan diri, ayat 155:
“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling
di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu [pasukan kaum muslimin dan
pasukan kaum musyrikin], hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan,
disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau).
Maka jelas bahwa mereka adalah
sekelompok dari tentara Islam, akan tetapi siapa-siapa mereka tersebut harus
dijelaskan oleh pribadi tinggi seperti Ali as.
Dalam sirah (sejarah) paling kuno yang
pengarangnya wafat pada tahun 207 H dan sirah Ibnu Ishaq terlihat, al-Maghazi
Ibnu Syihab az-Zuhri dapat disaksikan dan seluruh riwayat menjadi bahan kajian
dan dicatat serta dinyatakan: Ketika berita tentang terbunuhnya Nabi saw
tersebar melalui lidah kaum kafir di tengah-tengah Muslimin, mereka bercerai
berai dan sebagian telah sampai di Madinah dan orang pertama yang datang ke
Madinah dan menceritakan berita tentang terbunuhnya Nabi saw adalah Sa’d bin
Utsman yang berlaqab Abu ‘Ubadah. Setelah itu sekelompok lain masuk ke kota
menuju isteri-isteri mereka. Para isteri mencaci mereka dan mengatakan, kalian
melarikan diri dari sisi Rasulullah saw. Salah seorang wanita adalah Ummu Aiman
yang dalam menghadapi sekelompok orang melemparkan tanah ke muka mereka, dan
mengatakan kepada salah seorang dari mereka: Kemarilah, ambil lipatan ini dan
lipatlahlah serta berikan pedangmu kepadaku. Setelah itu ia pergi ke Uhud
bersama sekelompok wanita.
Namun pada arah berlawanan, Ali bin Abi
Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’d bin Abi Waqqash dan sekelompok dari kaum
Anshar yang nama-nama mereka tercatat seluruhnya dalam sejarah berperang
melawan musuh dengan gigih dan menjaga Nabi saw.
Nashibah puteri Ka’b Ummu ‘Umarah yang
datang ke medan perang sebagai pemberi minum dan perawat ketika melihat gigi
dan dahi Nabi saw retak, dada Nabi saw terluka, ia mengangkat pedang dan
membunuh beberapa orang. Ia sendiri dan beberapa orang anggota keluarganya
bertahan dalam perang itu.
Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat
pemberani, menjadikan tangannya sebagai tameng supaya pedang Ibnu Qumaishah
tidak turun di pundak Nabi saw sehingga jarinya terpotong dan sampai akhir
umurnya menjadi saksi pembelaannya kepada Nabi saw. Dalam kondisi seperti itu
Nabi saw terjatuh ke dalam sebuah lubang dari lubang-lubang yang digali oleh
Abu ‘Amir Rahib (yang dijuluki oleh Nabi saw sebagai munafik) dan ditutupi
permukaannya, seorang bernama Syimas bin Utsman menjadikan dirinya sebagai
tameng melindungi Nabi saw di hadapan pedang-pedang yang menebas ke arah Nabi
saw dan syahid di tempat itu. Mereka adalah para pahlawan kejadian tersebut.
Akan tetapi sekelompok orang juga melarikan diri sehingga Nabi saw bersabda
kepada Nashibah, pahlawan wanita yang bekas-bekas tebasan pedang musuh membekas
pada tubuhnya hingga akhir hayatnya: “Perbuatanmu lebih baik daripada
orang-orang yang melarikan diri (disebutkan nama-nama mereka).”
Di lobang tersebut, sementara lutut suci
Nabi saw terluka dan beliau saw tidak dapat berdiri, Ali as mengambil tangan
beliau saw dan Thalhah meraih bawah pundak beliau saw dan pergi ke atas lereng
gunung, dan ketika itulah kaum Muslimin juga sampai, dan mengelilingi serta
melindungi Nabi saw dari musuh.
Apapun yang terjadi, sya’n nuzul secara
detail menjelaskan bahwa siapakah orang-orang tersebut dan ayat-ayatnya berkata
apa. Hal ini sedemikian jeli hingga dalam perang ini salah seorang dari kaum
Muslimin yang memiliki permusuhan dengan yang lain membunuhnya secara
tiba-tiba. Setelah beberapa waktu berlalu, ketika mereka menangkapnya Nabi saw
menghakiminya dan menghukumnya dengan hukuman mati. Apapun yang terjadi,
orang-orang yang bertahan, para pahlawan dan orang-orang yang melarikan diri
namanya tertulis dengan terperinci dalam tafsir-tafsir dan juga dalam
kitab-kitab hadis shihah terutama shahih Bukhari.
Khalid bin Walid (panglima tentara
pasukan berkuda yang menyerang dan membunuh banyak kaum Muslimin) setelah
beberapa waktu ketika masuk Islam berkata di Syam: Aku bersyukur kepada Allah
karena telah memeluk Islam dan Allah telah memberikan hidayat kepadaku, dan
setelah itu berkata, kesaksianku dalam perang Uhud adalah bahwa kaum Muslimin
melarikan diri, aku melihat seorang kerabat yang melarikan diri sendirian. Aku
berada dalam kepemimpinan tentara berkuda yang kuat. Karena aku masih
berkerabat dengannya, maka aku khawatir bila aku mendekatinya, maka tentara
akan menangkap dan membunuhnya, oleh karena itu aku membelokkan arah sehingga
ia tidak terlihat tentara.
Demikian juga dalam sirah Ibnu Hisyam,
dalam kitab Waqidi dan seluruh shihah terdapat bahwa Anas bin Nadhar, paman
Anas bin Malik, melihat seorang sahabat yang sedang duduk-duduk dengan
sekelompok orang. Ia bertanya kenapa mereka duduk, mereka menjawab, Rasulullah
saw telah terbunuh. Ia berkata, setelah beliau saw untuk apa kalian ingin
hidup. Bangkitlah dan berperanglah demi apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah
hingga terbunuh. Ketika itu sahabat tersebut berdiri dan berperang hingga
terbunuh dan tampak puluhan luka di badannya.
Di sinilah jelas bahwa penulisan sya’n
nuzul oleh Ali as memberikan manfaat apa. Supaya hak para pahlawan yang membela
Nabi saw seperti Thalhah bin Ubaidillah tidak disia-siakan dan jelas siapa saja
yang melarikan diri. Maka ketika itu sekelompok penulis resep berkhianat dan
menghapus sebagian nama-nama. Silahkan amati nama-nama yang kami nukil dari
kitab Waqidi ini apa yang mereka lakukan dan usaha Amirul Mukminin Ali as
bernilai apa dalam menghapus kepalsuan-kepalsuan. Bila ini tidak ada, kita
tidak dapat memahami kejadian-kejadian yang berlangsung. Akan tetapi mereka
tidak membiarkan tafsir Amirul Mukminin as dengan urutan turun, sebab dan
kejadian-kejadiannya tersebar. Sebagian sahabat setia mempelajari sebagian hal
tersebut dan terdapat dalam sejarah dan tafsir-tafsir seperti kisah Anas bin
Nadhar.
Sangat disayangkan sekali mereka ingin
menyingkirkan orang yang membela dan menyelamatkan Nabi saw dari kebinasaan
tersebut dan ingin meninggikan orang-orang yang melarikan diri. Mereka tidak
membiarkan keterangan al-Quran dan tafsir Ali bin Abi Thalib as tersebar. Imam
Ali as setelah perang Jamal, ketika memasuki Bashrah, datanglah seorang Badui
dan menjelek-jelekkan Thalhah. Imam Ali as menegornya dan berkata, engkau tidak
ada dalam perang Uhud dan tidak melihat bagaimana ia berkhidmat dan kedudukan
dan tingkatan apa yang dimiliki di sisi Allah swt. Orang tersebut merasa malu
dan terdiam. Orang lain bertanya, khidmat apa yang dilakukan? Beliau as
menjawab, ia menjadikan dirinya sebagai perisai Nabi saw sementara dari setiap
arah datang tebasan pedang dan tusukan tombak. Dari satu arah aku dan dari arah
lain Abu Dujanah membuat mundur para penyerang sementara Sa’d bin Abi Waqqash
dari arah lain. Aku dengan sendirian membuat mundur tentara berkuda yang
dikomando oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal sementara mereka mengepungku dari setiap
penjuru dan untuk kedua kalinya aku mendesak mereka mundur dan aku kembali.
Di sinilah penjelasan dan tafsir Ali bin
Abi Thalib as menyelamatkan al-Quran dari perubahan maknawi, dan sebagaimana
mestinya beliau as menyampaikannya kepada generasi-generasi dan murid-murid
beliau as seperti Ibnu Abbas dan yang setelahnya membawanya ke hadapan
kita. Ya Allah! Jadikanlah kami menghargai nikmat wilayah Amirul Mukminin
Ali as. Amin Ya Rabbal ‘alamin. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar