Oleh M. Taqi Mizbah Yazdi
Akidah Islam dikenal dengan istilah
ushuluddin (prinsip-prinsip agama). Untuk itu, terlebih dahulu kami akan
menjelaskan kata din (agama) secara singkat dan kata-kata lain yang
berhubungan dengannya. Hal itu—sebagaimana telah di-singgung dalam ilmu
Mantiq—penting mengingat tahap pembahasan definisi(Mabadi Tashawwuriyyah)
mengawali pembahasan masalah lainnya.
Secara leksikal, kata din berasal
dari bahasa Arab yang berarti ketaatan dan balasan. Sedangkan secara teknikal, din
berarti iman kepada pencipta manusia dan alam semesta, serta kepada hukum
praktis yang sesuai dengan keimanan tersebut. Dari sinilah kata al-ladini
(orang yang tak beragama) digunakan pada orang yang tidak percaya kepada wujud
pencipta alam secara mutlak, walaupun ia meyakini shudfah (kejadian yang
tak bersebab-akibat) di alam ini, atau meyakini bahwa terciptanya alam semesta
ini akibat interaksi antar-materi semata. Adapun kata al-mutadayyin
(orang yang beragama) secara umum digunakan pada orang yang percaya akan wujud
pencipta alam semesta ini, walaupun kepercayaan, perilaku dan ibadahnya
bercampur dengan berbagai penyimpangan dan khurafat. Atas dasar inilah agama
yang dianut oleh umat manusia terbagi menjadi dua; agama yang hak dan agama
yang batil. Agama yang hak merupakan dasar yang meliputi keyakinan-keyakinan
yang benar; yang sesuai dengan kenyataan, dan ajaran-ajaran serta
hukum-hukumnya dibangun di atas pondasi yang kokoh dan dapat dibuktikan
kesahihannya.
Usuluddin
dan Cabang-cabangnya
Dari uraian singkat di atas tampak jelas
bahwa istilah din atau agama terdiri dari dua unsur pokok: pertama,
akidah atau aqa’id (keyakinan-keyakinan) yang merupakan prinsip agama. Kedua,
hukum-hukum praktis yang merupakan konsekuensi logis dari prinsip agama
tersebut.
Oleh karena itu, tepat sekali apabila
bagian akidah ini dinamakan sebagai ushul (prinsip) agama, dan bagian ahkam
(hukum-hukum) praktis dinamakan sebagai furu’ (cabang), sebagaimana para
ulama Islam menggunakan dua istilah tersebut pada bidang akidah dan hukum-hukum
Islam.
Pandangan
Dunia dan Ideologi
Pandangan dunia (Ar-Ru’yah
Al-Kauniyyah) dan ideologi adalah dua istilah yang berdekatan artinya.
Salah satu arti pandangan dunia ialah seperangkat keyakinan mengenai
penciptaan, alam semesta dan manusia, bahkan mengenai wujud secara
mutlak.Sedangkan arti ideologi, salah satunya ialah seperangkat pandangan
universal tentang sikap praktis manusia. Berdasarkan dua arti ini, sistem
akidah setiap agama dapat dianggap sebagai sebuah pandangan yang bersifat
universal. Sedang sistem hukum praktis agama yang bersifat umum adalah
ideologinya. Maka itu, kedua istilah ini dapat diterapkan pada ushuluddin
dan furu’uddin.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa
istilah ideologi itu tidak meliputi hukum-hukum juz’i (partikular),
begitu pula istilah padangan dunia itu tidak meliputi keyakinan-keyakinan yang juz'i.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa istilah ideologi terkadang
digunakan untuk pengertian yang bahkan mencakup pandangan dunia itu sendiri.
Pandangan
Dunia Ilahi dan Materialisme
Pada umat manusia, terdapat berbagai
pandangan dan keyakinan mengenai penciptaan alam semesta ini. Akan tetapi,
semua itu—dari sisi keimanan atau pengingkaran terhadap alam metafisis—dapat
dibagi menjadi dua bagian utama; pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia
Materialisme.
Dahulu, penganut pandangan dunia
Materialisme dikenal sebagai ath-thabi’i dan ad-dahri. Terkadang
juga disebut sebagai zindik dan mulhid(ateis). Sedangkan di zaman
kita sekarang ini, mereka dikenal sebagai al-maddi (materialis). Di
dalam kaum materialis sendiri, terdapat aliran-aliran. Yang paling menonjol
pada masa kita sekarang ini adalah Materialisme Dialektika yang merupakan
bagian Filsafat Marxisme.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa
istilah pandangan dunia tidak terbatas hanya pada kepercayaan agama saja, namun
mempunyai pengertian yang lebih luas lagi, karena istilah itu juga digunakan
pada pandangan ilhadiyyah (ateisme) dan madiyyah (materialisme),
sebagaimana istilah ideologi itu tidak hanya digunakan untuk sistem hukum suatu
agama.
Agama
Samawi dan Dasar-dasarnya
Para ulama, ahli sejarah agama dan
sosiologi berbeda pendapat mengenai kemunculan agama. Adapun sumber-sumber
Islam menyatakan bahwa agama tauhid lahir seketika kelahiran manusia pertama.
Manusia pertama yang lahir di muka bumi ini adalah nabi (Adam as) dan penyeru
ajaran tauhid (mengesakan Allah). Adapun agama-agama musyrik muncul lantaran
penyimpangan, pemaksaan kehendak dan ambisi busuk, yang bersifat individu
maupun kelompok.
Agama-agama tauhid adalah agama-agama
samawi yang hakiki dengan tiga prinsip universal mereka, yaitu pertama:
iman kepada Allah Yang Esa. Kedua, iman kepada kehidupan abadi setiap
manusia di akhirat kelak untuk menerima pembalasan amal yang pernah ia lakukan
semasa hidupnya di dunia. Ketiga, iman kepada para nabi dan rasul yang
diutus oleh Allah untuk memberi hidayah dan bimbingan kepada seluruh umat
manusia demi mencapai puncak kesempurnaan dan kebahagiaan dunia serta akhirat.
Pada dasarnya, tiga prinsip ini
merupakan jawaban yang paling tegas atas persoalan-persoalan fundamental
manusia yang berakal. Yaitu, siapakah pencipta alam semesta ini? Bagaimanakah
akhir kehidupan ini? Dan apakah cara untuk mengetahui sistem kehidupan yang
terbaik? Sistem kehidupan yang dibangun atas dasar wahyu pada hakikatnya adalah
ideologi yang bersumber dari pandangan dunia Ilahi.
Prinsip-prinsip akidah itu mempunyai
berbagai konsekuensi dan rincian yang semuanya membentuk sebuah sistem akidah
agama. Adanya perbedaan di antara berbagai keyakinan merupakan sebab munculnya
berbagai agama dan madzhab. Kita perhatikan bagaimana perbedaan tentang status
kenabian sebagian nabi-nabi Ilahi dan tentang penentuan kitab yang orisinil dan
utuh menjadi sebab utama perselisihan di antara agama Yahudi, Nasrani dan
Islam. Atau perbedaan-perbedaan lainnya seputar masalah akidah dan ibadah,
sehingga sebagian dari agama itu sudah tidak sesuai lagi dengan ajarannya yang
murni. Contohnya, keyakinan orang-orang Nasrani terhadap Trinitas yang jelas
tidak sesuai dengan prinsip Tauhid, walaupun mereka telah berusaha untuk
menafsirkan dan menakwilnya sebegitu rupa agar dapat diterima. Demikian pula
perselisihan mengenai kepemimpinan dan penentuan khalifah setelah wafatnya
Rasul saw; apakah penentuan khalifah itu urusan Allah ataukah urusan manusia.
Persoalan ini merupakan sebab utama terjadinya ikhtilaf antara mazhab Ahli
Sunnah dan mazhab Syi’ah di dalam Islam. Dengan demikian, Tauhid, Kenabian dan
Ma’ad (Hari Kebangkitan) adalah prinsip-prinsip akidah pada semua agama samawi.
Meski begitu, terdapat keyakinan-keyakinan yang merupakan turunan dari
prinsip-prinsip tersebut. Misalnya, keyakinan terhadap keberadaan Allah adalah
prinsip pertama, keyakinan terhadap keesaan-Nya adalah prinsip kedua. Atau,
keyakinan terhadap Kenabian merupakan sebuah prinsip semua agama samawi,
sedangkan keyakinan terhadap kenabian Nabi Muhammad saw adalah prinsip yang
khas pada Islam. Sebagian ulama Syi’ah menjadikan Keadilan Tuhan—yang merupakan
turunan dari prinsip Tauhid—sebagai prinsip akidah khas Syi’ah. Dan
Imamah—sebagai perpanjangan dari Kenabian—adalah prinsip akidah khas Syi’ah
lainnya. Sebenarnya, penggunaan kata prinsip (al-ashl) pada
ajaran-ajaran akidah seperti ini mengikuti konvensi dan tidak perlu lagi
diperdebatkan.
Oleh karena itu, kata ushuluddin
dapat digunakan dalam dua istilah; umum dan khusus. Istilah umum ushuluddin
mencakup akidah-akidah yang sahih; sebagai lawan dari furu’uddin. Sedang
istilah khusus ushuluddin berlaku hanya pada keyakinan-keyakinan yang
paling prinsipal. Istilah ushuluddin juga dapat digunakan secara mutlak
(tidak hanya khusus bagi sebuah agama) pada sejumlah kesamaan prinsip akidah di
antara agama-agama samawi seperti tiga prinsip di atas tadi, yaitu Tauhid,
Kenabian dan Kebangkitan. Adapun jika ditambahkan prinsip-prinsip lainnya,
istilah yang biasa digunakan adalah ushuluddin khusus. Demikian pula,
jika ditambahkan akidah dan keyakinan yang khas pada mazhab tertentu, istilah
yang digunakan adalah ushulul madzhab. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar