Hubungan
Amirul Mukminin as dengan Abu Bakar betul-betul dingin dan tidak ada kenangan
apapun yang tercatat dalam sejarah. Adapun dengan Umar, ada banyak cerita yang
sampai kepada kita, umumnya berkaitan dengan bantuan yudikatif (kehakiman)
beliau terhadap Umar dan juga jawaban beliau terhadap konsultasi-konsultasi
Umar yang akan kita bawakan di pembahasan mendatang. Umar berusaha menghindari
sikap kurang ajar yang terang-terangan terhadap Amirul Mukminin as, dan
kemungkinan besar beliau pun menghargai sikap tersebut. Berbeda dengan Utsman.
Dia tidak tahan menyaksikan Amirul Mukminin as menuangkan gagasan-gagasan
beliau. Sampai-sampai pernah dia berkata kepada beliau, "Kamu di sisiku
tidak lebih baik dari pada Marwan Bin Hakam!"
Abbas
mengingatkan dan meminta Utsman untuk hati-hati terhadap Amirul Mukminin as.
Tapi Utsman malah menjawab, "Pernyataan pertamaku padamu adalah kalau Ali
menginginkan dirinya sendiri saja (tidak sampai mengusik yang lain),
ketahuilah, tidak seorang pun yang lebih mulia di sisiku selain dia." Sudah barang
tentu, Amirul Mukminin as tidak sudi menutup mata dari penyelewengan yang
sedang terjadi hanya karena Utsman dan pershabatan dengannya. Oleh karena itu,
dari satu sisi hubungan beliau dengan Utsman sangat dekat sebagai seorang
sahabat dan di sisi lain tegas karena menyangkut kepentingan umum.
Pernah suatu
ketika ada seorang wanita dari Anshar bertikai dengan salah satu wanita dari
Bani Hasyim, dan akhirnya yang menang secara hukum adalah wanita Anshar itu.
Utsman berkata kepada wanita itu, "Ini adalah pendapat misananmu sendiri,
Ali!"
Perlawanan
Amirul Mukminin as terhadap pemerintahan yang berkuasa adalah sebuah kerja yang
sangat berat, khususnya pada tahun-tahun pertama. Dengan mengucilkan diri,
beliau berusaha untuk menghindari bentrokan face to face dengan pemerintah.
Sa'd Bin 'Ubadah adalah salah satu pengalaman terbaik untuk itu. Dia tidak
berbaiat kepada pemerintah, dan tiba-tiba pada masa kekhilafahan pertama dan
kedua tersebar berita bahwa makhluk-makhluk halus (jin) telah membunuhnya. Pada
topik pembahasannya sendiri dapat kita sadari bersama bahwa berdasarkan
referensi-referensi historis yang akurat, pembunuhan itu berlatar belakang
politik.
Ibn Abil Hadid
bercerita, "Saya pernah bertanya kepada Abu Ja'far Naqib (Yahya bin Abi
Zaid), 'Yang saya herankan dari Ali as adalah bagaimana beliau bisa bertahan
hidup selama itu setelah wafatnya Rasulullah saw, padahal Quraisy sangat dengki
tehadap beliau?' Abu Ja'far menjawab, 'Apabila beliau tidak mengecilkan diri
sekecil mungkin dan tidak mengucilkan diri di pojok rumahnya, sungguh beliau
telah diteror. Namun beliau telah mendelete file tentang dirinya dari memori
masyarakat dan menyibukkan diri dengan ibadah, shalat dan membaca Al-Qur'an.
Beliau telah keluar dari gaya pertamanya. Beliau melupakan pedang seperti
halnya perajurit pemberani yang bertaubat dan merasuk ke dalam bumi atau
menjadi biarawan di gunung-gunung. Karena beliau "menuruti"
pemerintah waktu itu dan merendahkan diri sebisa mungkin, maka beliau pun
dibiarkan. Andai saja beliau tidak berbuat demikian, niscaya mereka telah
menerornya.'" Kemudian dia
menjelaskan rencana serius Khalid untuk membunuh beliau as. Mukmin ath-Thaq
juga berpendapat sama bahwa sikap vakum dalam politik beliau pada masa itu
karena kekhawatiran jangan sampai makhluk-makhluk halus tadi membunuhnya
(sebagaimana yang telah terjadi menimpa Sa'd).
Sudah barang
tentu, hal ini bukan berarti Amirul Mukminin as sama sekali menyia-nyiakan
kesempatan yang sesuai untuk menjelaskan dan mempertahankan hak-haknya yang
terampas. Contoh, periode pertama beliau menolak untuk berbaiat yang berlangsung
beberapa bulan lamanya. Bahkan, di
hari-hari pertama, beliau menggandeng tangan istri dan anak-anaknya dibawa ke
depan rumah-rumah Anshar untuk berusaha mengembalikan haknya yang terampas.
Kegetolan beliau sampai batas beliau dituduh sebagai orang yang rakus terhadap
khilafah. Beliau berkata, "Ada seorang yang mengatakan kepadaku, 'Wahai
putera Abu Thalib! Betapa rakusnya dirimu terhadap Khilafah!' Kukatakan
kepadanya, 'Tidak, Demi Allah! Kalianlah yang rakus terhadap khilafah. Kalian
lebih jauh dari Rasulullah saw sementara aku sangat spesial di sisi beliau. Aku
hanya menghendaki hakku, tapi kalian tidak mengizinkan, bahkan kalian halangi
aku untuk sampai pada hak yang sebenarnya.'"
Sering beliau
berargumentasi seperti di atas. Contoh lain, "Wahai masyarakat Quraisy!
Sesungguhnya kami, Ahlulbait, lebih berhak daripada kalian atas hal ini
(khilafah Islam). Apa tidak ada di tengah kita orang yang bisa membaca
Al-Qur'an? Apa tidak ada di tengah kita orang yang memeluk agama yang
benar?"
Mengenai
penilain beliau terhadap tiga khalifah sepeninggal Rasulullah saw, harus
dikatakan bahwa Amirul Mukminin tidak pernah bebas untuk mengungkapkan
penilannya terhadap khalifah pertama dan kedua. Berbeda dengan Utsman. Beliau
dengan leluasa dapat mengungkapkan pandangannya tentang dia kapanpun ada
kesempatan yang tepat untuk itu. Alasannya adalah karena bala tentara yang
beliau pimpin di Kufah masih menerima mereka berdua. Hanya sebagian kecil saja
yang menolaj mereka. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as tidak bisa secara
leluasa berbicara tentang khalifah pertama dan kedua di tengah-tengah mereka.
Sekali pernah ada peluang. Beliau segera mengungkapkan sakit hati yang
dipendamnya selama ini. Namun tak lama berselang, beliau berhenti untuk
melanjutkan pembicaraan. Ketika Ibn Abbas bersikeras agar beliau meneruskan
curah hatinya, beliau hanya menjawab, "Tidak wahai Ibn Abbas! Yang kamu
dengar tadi adalah nyala api yang tumpah."
Kendatipun
Amirul Mukminin as sudah sangat berhati-hati, akan tetapi beliau tidak menerima
persyaratan Abdurrahman Bin Auf berkaitan dengan khilafah. Ibn Auf pernah
mensyaratkan, "Apabila Ali bertindak sesuai dengan sunah dua khalifah
pertama dan kedua, maka akan kuserahkan khilafah kepadanya." Amirul
Mukminin as menegaskan, "Aku akan bertindak sesuai dengan
pandanganku." Ini menunjukkan bahwa beliau secara terang-terangan menolak
sunah dan logika tindakan dua khalifah tersebut. Menurut beliau, banyak
tindakan mereka yang bertentangan dengan sunah Rasulullah saw dan hanya
berlandaskan ijtihad yang menyeleweng. Kalaupun terkesan Amirul Mukminin as
menuruti Abu Bakar dalam beberapa hal, tidak lain karena di sebagian hal itu
terkandung juga ketaatan kepada Allah SWT. Jadi beliau melakukannya bukan
karena menuruti khalifah pertama, tapi karena Allah menghendaki beliau untuk mengambil
langkah demikian.
Ucapan-ucapan
Amirul Mukminin as di masa khilafahnya dan juga langkah-langkah beliau dalam
menyikapi berbagai masalah menjelaskan kepada kita bahwa beliau tidak menerima
cara-cara yang diberlakukan oleh khalifah-khalifah sebelum beliau.
Lama
setelah itu, Muawiyah menuliskan dalam suratnya kepada Amirul Mukminin as,
"Kamu iri terhadap khalifah-khalifah sebelummu dan kamu telah berlaku
zalim atas mereka!" Amirul Mukminin as menjawab, "Kamu beranggapan
bahwa aku hanya menghendaki keburukan khalifah-khalifah dan iri dengki terhadap
mereka. Kalaupun memang demikian (apa yang kamu katakan itu benar), memangnya
kamu ini siapa sehingga berhak menuntut sesuatu? Tidak pernah mereka berbuat
jahat terhadap dirimu sehingga mereka mesti mohon maaf kepadamu …. Sementara
kamu sendiri menyatakan bahwa aku diberlakukan seperti unta yang hidungnya
telah dijinakkan sehingga dengan mudah mereka dapat menyetirku untuk berbaiat.
Demi Tuhan, kamu ingin mencela, tapi memuji, kamu hendak menjatuhkan, tapi kamu
jatuhkan dirimu sendiri. Apa kekurangan muslimin sehingga mereka terzalimi dan
tidak tahu lagi akan agama. Keyakinannya kokoh dan terlepas dari dua hati ...
dan aku tidak akan minta maaf atas perlawananku terhadap Utsman lantaran
bid’ah-bid’ah yang telah dia karang."
Dengan adanya
kritik tajam Amirul Mukminin as terhadap khalifah sebelumnya, khususnya sikap
tegas beliau di tengah-tengah Dewan Syura, maka tidak bisa seseorang—dengan
beralasan hubungan kekeluargaan beliau dengan Umar dan Utsman—untuk mengatakan
bahwa beliau meyakini kebenaran pemerintahan mereka. Bahkan, apabila terlihat
beliau memuliakan sebagian khalifah dibandingkan dengan khalifah yang lain,
sama sekali bukan berarti beliau menerima prinsip utama mereka dalam
memerintah.
Ketika Amirul
Mukminin as sadar akan kelemahannya melawan partai yang sedang berkuasa, dan
tidaklah maslahat bagi Islam apabila beliau memulai perlawanan terhadap mereka,
maka beliau memilih jalan damai. Di berbagai kondisi dan kesempatan, Amirul
Mukminin as menjelaskan dan meluruskan bahwa bai'at dan penerimaan beliau
terhadap Abu Bakar sebagaimana umumnya Muhajirin dan Anshar tidak lain karena
keharusan dan menjaga persatuan muslimin. Terkadang
beliau juga membawakan pendekatan untuk penjelasannya di atas dengan ucapan
nabi Harun as kepada nabi Musa as, "Aku takut kau katakan bahwa aku telah
memecah belah Bani Israel." (QS. Thaha : 94)
Beliau berkata tentang Saqifah, "Bahkan aku sendiri sadar bahwa hakku
telah dirampas dan aku tinggalkan hakku untuk mereka. Semoga Allah SWT
mengampuni mereka."
Dulu,
Ahlusunah tidak menerima bahwa Ahlulbait as meyakini diri mereka lebih layak
memerintah dari pada khalifah pertama, kedua dan ketiga. Namun sekarang ada
beberapa golongan Ahlussunah yang tercerahkan yang menerima bahwa alasan Ali as
berbaiat kepada Abu Bakar tidak lain adalah menjaga persatuan di saat beliau
mengungkapkan hanya dirinya orang yang layak dan berhak menjadi khalifah
setelah Rasulullah saw.
Bagaimanapun
juga, kehidupan terpencil Amirul Mukminin as di tengah masyarakat merupakan
sikap beliau dan para khalifah sendiri tahu kalau mereka tidak bisa bertemu,
dalam artian mendukung satu sama lain, khususnya berhubungan dengan persoalan
khilafah. Kendatipun demikian, pulang dan pergi ke masjid, bahkan jalinan
kekeluargaan seperti pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum adalah sesuatu
yang biasa. Pernikahan ini terjadi karena Umar bersikeras untuk menikahinya.
Pada mulanya Amirul Mukminin as menolak, tapi pada akhirnya beliau terima.
Seperti juga yang pernah terjadi antara beliau dan Abu Bakar. Amirul Mukminin
as menikahi istri Abu bakar, Asma' binti Umais, sepeninggalnya, dan beliau
mendidik putera Abu Bakar, yaitu Muhammad bin Abu Bakar, di rumah beliau
sendiri.
Bai'at Massa
Terhadap Ali
Tanpa diragukan
lagi bahwa semasa kepemimpinan tiga khalifah, Amirul Mukminin as tidak berperan
aktif di kancah politik yang sedang berjalan saat itu. Beliau hanya
menyempatkan diri untuk menyelesaikan konsultasi yudikatif yang sampai kepada
beliau. Dengan kata lain, beliau tidak menjadi anggota di formasi pemerintahan
khalifah-khalifah sebelumnya. Sampai batas-batas tertentu bisa dikatakan bahwa
kemenangan Ali as setelah periode Utsman berakhir berarti kemenangan
lawan-lawan Quraisy dan garis anti Umawi. Lawan-lawan ini dilindungi oleh
suku-suku Irak dan para pendatang dari Mesir, didukung juga oleh kebersamaan
Anshar dan pribumi Madinah. Tapi ada juga kelompok Muhajirin yang tergolong di
dalam kelompok mereka, kelompok yang salah satu pembesarnya adalah Ammar Bin
Yasir. Semua ini baru sebagian dari orang-orang yang menentang Utsman. Ada juga
kelompok Quraisy yang ikut serta melawan Utsman, karena mereka merasa diabaikan
oleh Utsman dan dia hanya memperhatikan keturunan Umayyah. Para pembesar
kelompok oposisi Quraisy ini adalah Thalhah, Zubair dan 'Aisyah. Amr Bin 'Ash juga
aktif melawan Utsman lantaran dia disingkirkan dari pemerintahan Mesir. Yang
jelas, dakwaan mereka semua sama, yaitu Utsman telah mengambil jarak dari
sunnah Rasulullah saw. Oleh karenanya, arah global dari demonstrasi anti Utsman
tadi adalah kembali pada sunnah Rasulullah saw, yaitu keadilan dan kebijakan
serta membumihanguskan kezaliman yang telah menimpa masyarakat.
Sejak awal arus
perlawanan massa terhadap Utsman ini dimulai, Amirul Mukminin as memainkan
peran sebagai mediator dan juru bicara dua kelompok di atas yang menyampaikan
kritik masyarakat kepada Utsman. Dalam peran ini, beliau juga menjaga
keseimbangan dan keadilan kedua belah pihak. Kendatipun beliau menentang
beberapa perlakuan Utsman yang tidak pantas, akan tetapi
selaku mediator dan penengah kedua belah pihak massa dan Utsman, di samping
menjaga hak penentang dan juga hak Utsman, beliau meminta Utsman berjanji untuk
memperhatikan (menjaga) situasi para penentang. Dengan demikian, beliau juga
telah menjaga mereka tetap tenang dan tidak berbuat kegaduhan. Akan tetapi,
ketika Utsman terbunuh dan Ali as memimpin, secara otomatis Bani Umayyah dan
sebagian dari sayap Quraisy menuduh beliau sebagai pelaku pembunuhan khalifah
Utsman, padahal beliau sama sekali tidak punya peran dalam tragedi ini. Banyak
pula dari sahabat dekat Amirul Mukminin as yang turut menentang Utsman, dan
mereka juga tertuduh sebagai orang yang berperan dalam pembunuhan khalifah
secara langsung. Semua orang yang mengutamakan Ali as adalah anti Utsman, dan
sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya, ini adalah awal mula kematangan
gerakan tasyayyu' (pengikut setia Ali as) di tengah masyarakat Kufah.
Aktifitas politik mereka yang utama bermula dari perlawanan terhadap Utsman
sebagai pemimpin kala itu. Tapi umumnya mereka masih menerima Abu Bakar dan
Umar.
Kekuatan pendukung Amirul Mukminin as
sangat kuat dan tersusun dari kalangan Anshar, mayoritas sahabat Rasulullah saw
dan para qari' dari kota Kufah. Begitu solidnya kekuatan ini sehingga sama
sekali ia tidak memberikan kesempatan kepada Thalhah dan Zubair untuk muncul ke
permukaan. Begitu juga dengan Sa'd bin Abi Waqqash yang sama sekali tidak
disebut oleh massa. Lanjutan riwayat panjang Sa'id Bin Musayyib
tentang pembunuhan Utsman tadi menyatakan, setelah terbunuhnya Utsman, Ali as
pulang ke rumah dan kerumunan massa berbondong-bondong mendatangi rumah beliau.
Mereka berunjuk rasa demi manyatakan Ali sebagai khalifah, dan meminta Ali as
untuk mengulurkan tangan demi menyambut bai'at mereka. Amirul Mukminin as
menjawab permintaan mereka, "Bai'at tidak ada hubungannya dengan kalian.
Bai'at adalah hak para sahabat yang telah ikut dalam perang Badar. Siapapun
yang mereka yakini sebagai khalifah, ia akan menjadi khalifah." Tak lama
kemudian, semua sahabat yang pernah ikut dalam perang Badar yang masih hidup
mendatangi Amirul Mukminin as dan berharap untuk membai'at beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar