Nabi saw memerintahkan agar para sahabat
tidak melaksanakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Kaum Muslim memahami
bahwa perintah tersebut berarti mereka akan menerobos benteng kaum Yahudi
sebelum matahari tenggelam.
Orang-orang Yahudi menelan kekalahan
pahit lalu mereka datang kepada Sa'ad bin Mu'ad agar ia memutuskan perkara
mereka. Sa'ad adalah pemimpin kaum Aus dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang
Yahudi Quraizhah di masa jahiliah. Kaum Yahudi mengharap bahwa mereka dapat
memanfaatkan hubungan yang terjalin selama ini sebagaimana kaum Aus
membayangkan bahwa tokoh mereka akan memberikan keringanan terhadap
sekutu-sekutu mereka. Sa'ad ketika itu terluka dan ia sedang dirawat di
kemahnya karena terkcna panah kauni Ahzab. Sebagian kaunmya membujuknya agar ia
bersikap baik terhadap orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu mereka, dan
orang-orang Yahudi membujuknya agar ia bersikap lembut terhadap mereka.
Kemudian Sa'ad mengatakan pernyataannya yang terkenal: "Telah tiba waktunya
bagi Sa'ad untuk memutuskan hukum sesuai dengan kehendak Allah tanpa peduli
dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki dibunuh dan
keturunannya ditawan serta harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi pun
menyetujui keputusan tegas Sa'ad itu. Beliau berkata kepadanya: "Sungguh
engkau telah memutuskan kepada mereka dengan keputusan Allah SWT dari tujuh
langit."
Sa'ad mengetahui bahwa perantaraan,
permohonan, harapan, dan menjaga berbagai pertimbangan lazim selayaknya berada
di suatu genggaman, dan masa depan Islam berada di genggaman yang lain. Yahudi
Bani Quraizhah adalah penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab dan sumpah mereka
dan berbagai tipu daya mereka berusaha untuk memblokade Islam dan
menghancurkannya. Oleh karena itu, kini telah tiba saatnya untuk mencabut
pohon-pohon beracun dari akarnya tanpa memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah kaum Yahudi dibersihkan dari
Madinah. Nabi saw kembali melanjutkan pergulatannya. Puncak dari perjuangan
politiknya adalah perjanjian yang beliau lakukan bersama orang-orang Quraisy.
Nabi saw berjalan untuk melaksanakan umrah dan mengunjungi Baitul Haram. Beliau
keluar bersama seribu empat ratus kaum lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke
Baitul Haram guna melaksanakan umrah. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah
pinggiran kota Mekah, tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk dan ia tidak
mau melangkah menuju Mekah. Melihat itu para sahabat berkata: "Oh unta itu
malas." Nabi saw berkata: "Tidak Demikian namun ia ditahan oleh Zat
yang menahan laju gajah menuju Mekah. Sungguh jika hari ini orang Quraisy
membuat suatu rencana dan mereka meminta agar aku menyambung tali silaturahmi
niscaya aku akan menyetujuinya."
Nabi saw memerintahkan para sahabat agar
tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum Muslim beristirahat di sana dengan harapan
mereka dapat memasuki Mekah di waktu pagi. Peristiwa itu bertepatan dengan
bulan Haram. Mekah telah menetapkan agar tak seorang pun dari kaum Muslim dapat
memasukinya. Semua kaum Quraisy telah keluar untuk memerangi kaum Muslim. Mereka
mengutus utusan-utusan kepada Nabi saw lalu beliau memberitahu mereka bahwa
beliau tidak datang untuk berperang namun beliau ingin melakukan urnrah sebagai
bentuk pujian dan syukur kepada Allah SWT dan mengagumkan kemuliaan rumah-Nya
yang suci. Mekah menetapkan untuk melakukan perjanjian bersama kaum Muslim di
mana mereka menginginkan agar jangan sampai kaum Muslim memasuki Baitul Haram
pada tahun ini kecuali setelah mereka kembali pada tahun depan.
Datanglah juru runding kaum Quraisy lalu
Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan ia menyampaikan syarat-syarat
perjanjian yang intinya pelaksanaan perdamaian dan penarikan mundur pasukan
Muslim. Nabi saw menyetujui semua syarat-syarat perjanjian meskipun tampak
bahwa perjanjian tersebut tidak menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap
sebagai titik kemunduran politik dan militer kaum Muslim, dan yang menambah
kebingungan kaum Muslim adalah bahwa Rasul saw tidak melibatkan seseorang pun
dari kalangan sahabatnya untuk bermusyawarah dalam hal ini. Tidak biasanya
beliau bersikap demikian. Para sahabat menyaksikan beliau pergi menemui kaum
musyrik dan bersikap sangat lembut kepada mereka, dan beliau tidak kembali
kecuali membawa berita persetujuan dengan perjanjian yang di prakarsai
orang-orang musyrik, dan beliau pun membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para sahabat bergerak untuk menentang
Rasulullah saw. Mereka bertanya kepada beliau, "bukankah engkau utusan
Allah SWT? Bukankah kita kaum Muslim? Bukankah musuh-musuh kita kaum
musyrik?" Nabi saw hanya mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar
bin Khatab kembali bertanya: "Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam
agama kita?" Umar ingin mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini,
"mengapa kita harus mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa
kita menerima syarat-syarat perjanjian yang justru menguntungkan kaum musyrik?
Apakah kita takut terhadap mereka?"
Mendengar berbagai protes yang
disampaikan para sahabatnya, Rasul saw justru menyampaikan jawaban yang unik
bagi mereka di mana beliau berkata: "Aku adalah hamba Allah SWT dan
Rasul-Nya dan aku tidak mungkin menentang perintah-Nya dan Dia tidak mungkin
akan menyia-nyiakan aku." Makna dari kalimat beliau adalah, "taatilah
apa yang telah aku lakukan tanpa perlu memperdebatkannya dan hendaklah kalian
sedikit bersabar."
Perjalanan hari menetapkan bahwa
perjanjian yang menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah sahabat itu justru
membawa kemenangan politik paling gemilang yang pernah dicapai oleh umat Islam.
Kemenangan tersebut diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan sang Nabi saw
yang mengalahkan kelihaian politik kaum Quraisy. Kaum Quraisy telah memfokuskan
semua kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali ke tempat mereka tanpa memasuki
Masjidil Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi saw justru mampu mencapai
pengelihatan yang tidak dapat dijangkau oleh kaum itu yang berkenaan dengan
masa depan. Jika saat ini perjanjian tersebut tampak membawa kekalahan bagi
kaum Muslim, maka setelah berlangsung beberapa bulan ia justru mendatangkan
kemenangan yang spektakuler.
Suhail bin Amr adalah wakil dari
delegasi kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib adalah juru tulis dalam perjanjian
itu dari pihak Nabi saw. Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Tulislah
dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Utusan Quraisy
berkata, aku tidak mengenal ini. Tapi tulislah dengan nama-Mu, ya Allah.
Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Dengan nama-Mu, ya Allah." Sikap
keras kepala utusan Quraisy itu tidak berarti sama sekali karena tidak ada perbedaan
yang mencolok antara dengan namamu Allah dan dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang selain niat si pembicara.
Nabi saw berkata kepada Ali: "Ini
adalah perundingan antara Muhammad saw utusan Allah dan Suhail bin Amr."
Mendengar itu dengan nada menentang Suhail bin Amr berkata: "Seandainya
aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah niscaya aku tidak akan
memerangimu, tetapi tulislah namamu dan nama ayahmu." Nabi berkata kepada
Ali tulislah: "Inilah kesepakatan antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail
bin Amr."
Tampaknya itu adalah kemunduran yang
kedua dan dengan pandangan yang sekilas tampak menjatuhkan kaum Muslim tetapi
Nabi saw ingin mewujudkan suatu tujuan yang penting yaitu tujuan yang belum
terungkap saat itu. Alhasil, semuanya terjadi dengan ilham dari Allah SWT. Ali
kembali menulis bahwa Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr sama-sama
sepakat untuk menghentikan peperangan selama sepuluh tahun di mana hendaklah
masing-masing mereka memberikan keamanan terhadap sesama mereka. Namun jika terdapat
di antara orangorang Quraisy seseorang yang masuk Islam lalu ia datang kepada
Muhammad saw tanpa izin walinya hendaklah kaum Muslim mengembalikannya kepada
kaum Quraisy. Sebaliknya, jika ada orang yang murtad dari sahabat Muhammad saw,
maka tidak ada keharusan bagi orang Quraisy untuk mengembalikannya kepada Nabi.
Syarat tersebut sangat menyakitkan kaum
Muslim. Tampak bahwa orang-orang Quraisy memaksakan kehendaknya dalam
syarat-syarat perjanjian yang tidak adil itu. Ali melanjutkan tulisannya,
hendaklah Nabi saw pulang dari Mekah pada tahun ini dan tidak memasukinya dan
jika pada tahun depan orang-orang Quraisy keluar darinya, maka beliau dapat
memasukinya untuk melaksanakan umrah selama tiga hari dan setelah itu beliau
harus meninggalkannya. Persyaratan tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan
terkesan membingungkan.
Di tengah-tengah perjanjian tersebut
terjadi suatu peristiwa yang menambah penderitaan dan kebingungan Muslimin di
mana anak dari juru runding Quraisy meminta perlindungan kepada kaum Muslim. Ia
masuk Islam dan ingin bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail
segera bangkit menyusulnya bahkan memukulnya dan mengembalikannya kepada
kaumnya. Orang Mukalaf itu segera berteriak dan meminta pertolongan kepada kaum
Muslim agar mereka menyelamatkannya dari kejahatan kaum Quraisy sehingga mereka
tidak mengubah agamanya. Rasulullah saw berbicara kepadanya dan meminta
kepadanya untuk bersabar dan tegar dalam menanggung penderitaan karena Allah
SWT akan menjadikannya dan orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan
kelapangan. Nabi memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian
dengan kaum Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian
mereka.
Akhirnya, anak Muslim itu dikembalikan
ke Mekah dalam keadaan tersiksa. Kemudian Selesailah penandatanganan perjanjian
antara pihak kaum Muslim dan pihak kaum musyrik. Setelah penandatanganan
perjanjian itu, Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya agar mereka
memotong hewan kurban dan mencukur rambut mereka (tahalul) dari umrah mereka
dan kembali ke Madinah. Namun tak seorang pun bangkit menyambut perintah
tersebut, lalu beliau mengulangi perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum
Muslim yang tampak membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih unta
dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau tidak
berbicara dengan seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa Nabi saw
tampak marah dan telah mendahului mereka dengan tahalul dari umrahnya, maka
mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan memotong rambut mereka.
Perjalanan hari menunjukkan bahwa
perundingan tersebut tidak seperti yang dibayangkan oleh kaum Muslim. Ia justru
membawa kemenangan dan bukan kekalahan. Persatuan kaum kafir di jazirah Arab
mulai runtuh sejak mereka menandatangani perjanjian itu. Kaum Quraisy di anggap
sebagai pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera penentangan terhadap Islam,
maka ketika tersebar berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka
padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja untuk mereka dan
bercerai-berAllah kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat aktivitas kaum Quraisy terhenti,
maka kaum Muslim mengalami peningkatan aktivitas di mana mereka berhasil
menarik orang-orang yang masih memiliki kemampuan untuk melihat kebenaran.
Sejak dua tahun dari masa penandatanganan perjanjian itu jumlah penganut Islam
semakin bertambah lebih dari jumlah sebelumnya. Bukti dari itu adalah, bahwa
saat Rasul saw keluar ke Hudaibiyah beliau ditemani dengan seribu empat ratus
Muslim namun ketika beliau keluar pada tahun penaklukan kota Mekah beliau
disertai dengan sepuluh ribu Muslim. Penaklukan kota Mekah terjadi setelah dua
tahun dari perundingan tersebut. Penambahan jumlah kaum Muslim yang luar biasa
ini adalah dikarenakan hikmah sang Nabi saw dan kejauhan pandangannya. Nabi saw
keluar sebagai pemenang dalam pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang
tadinya merugikan kaum Muslim kini telah berubah menjadi syarat-syarat yang
merugikan kaum Quraisy. Barangsiapa murtad dari kaum Muslim dan pergi ke kaum
Quraisy, maka hendaklah mereka melindunginya karena Allah SWT telah memampukan
Islam darinya, dan barangsiapa yang masuk Islam dari kaum kafir dan pergi ke
kaum Muslim, maka hendaklah mereka mengembalikannya ke kaum Quraisy di mana ia
tinggal di dalamnya sebagai mata-mata dari pihak Islam atau ia dapat lari dari
kaum Quraisy untuk menyatukan kelompok yang bertikai dan ia dapat hidup laksana
duri di tengah-tengah kaum Quraisy.
Belum lama waktu berjalan sehingga kaum
Quraisy mengutus utusannya kepada Nabi saw dan mengharap kepada beliau agar
melindungi orang Quraisy yang masuk Islam daripada membiarkan mereka sebagai
panah yang terbang menuju kaum Quraisy. Demikianlah kaum Quraisy justru
membatalkan syarat yang telah mereka diktekan dan Nabi saw pun menerimanya
dengan puas. Perundingan itu justru menguatkan barisan Nabi saw.
Demikianlah Nabi saw terus menjalani
mata rantai pergulatan yang tiada henti-hentinya di mana kehidupan beliau yang
pribadi sekali pun tidak sunyi dari penderitaan. Nabi saw menikahi sembilan
orang istri. Perkawinan beliau dengan sembilan istri tersebut merupakan
keistimewaan pribadi yang hanya beliau miliki karena berhubungan dengan
sebab-sebab dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang membolehkan para pengikutnya
untuk menikahi empat orang istri dengan syarat jika yang bersangkutan mampu
menciptakan keadilan di antara mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya puas
dengan satu istri jika seorang Muslim khawatir tidak dapat berbuat adil.
Kaum orentalis dan musuh-musuh Islam mencoba
untuk menghina Nabi dan memojokkannya, dan salah satu cela yang mereka
manfaatkan adalah perkawinan beliau dengan sembilan wanita. Kita mengetahui
bahwa pernikahan-pernikahan beliau terlaksana dengan sebab-sebab politik atau
kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal dari
sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau menikah dengan Sayidah Khadijah saat
beliau berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah berusia empat puluh tahun.
Semasa hidup Khadijah beliau tidak menikahi istri yang lain sampai Khadijah
mencapai usia enam puluh lima tahun. Saat Khadijah meninggal, Nabi berusia di
atas lima puluh tahun. Beliau menikahi Khadijah sebelum beliau diutus untuk
menyebarkan Islam. Beliau tetap setia bersama Khadijah sampai ia meninggal dan
beliau diangkat menjadi Nabi. Namun beban kenabian dan beratnya jihad, kasih
sayangnya kepada manusia, pengorbanannya terhadap Islam dan perintah Allah SWT
semua itu memaksanya untuk menikah lebih dari satu orang istri sampai mencapai
sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan Aisyah yang saat itu masih belia
merupakan usaha untuk menjalin ikatan dengan Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan
perkawinan beliau dengan Hafshah meskipun ia sedikit kurang cantik merupakan
usaha beliau untuk menjalin ikatan dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah
dengan Ummu Salamah, janda dari pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan
Allah SWT dan wanita itu merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di
Habasyah dan hijrah ke Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia sendirian
menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka Nabi saw segera merangkulnya di
rumah kenabian. Perkavvinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan
terhadap keislaman wanita itu dan kemuliannya dari kaum lelaki serta
kesendiriannya dalam menjalani kehidupan. Sementara itu, pernikahan beliau
dengan Zainab bin Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di mana perintah
pernikahan itu datang dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu tradisi yang
terkenal di kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat
Rasul. Jadi ia termasuk dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan
nasab yang dimilikinya yang karenanya ia menolak ketika ditawari untuk menikah
dengan Zaid bin Harisah, seorang budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan
nasabnya telah beliau nisbatkan kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya
sehingga ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Zainab akhirnya
menyetujui pendapat Nabi dan perintah Allah SWT sehingga ia menikah dengan
Zaid:
"Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukimin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetaphan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhahai Allah dan
Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.
" (QS.
al-Ahzab: 36)
Sejak semula tampak jelas bahwa
pernikahan tersebut akan segera berakhir. Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid
pun bukan tipe lelaki yang mampu menahan kehidupan bersama seorang wanita yang
hatinya jauh darinya. Zaid datang kepada Nabi saw guna mengadu kepada beliau
dan meminta izin untuk menceraikan istrinya. Allah SWT mewahyukan kepada
Rasul-Nya agar membiarkan Zaid menceraikan istrinya, lalu hendaklah beliau
menikahinya. Nabi saw merasakan kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara
kepada Zaid agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Nabi saw
membayangkan apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi istri dari
anaknya tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru merupakan sesuatu
yang ingin dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah anaknya dan dalam Islam tidak
ada sistem adopsi. Oleh karena itu, Zaid dapat mencerai istrinya lalu Nabi
dapat menikahi Zainab untuk menetapkan apa yang diinginkan oleh Islam. Rasulullah
saw mampu bersabar dan menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan
dikatakan oleh manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir
yang beliau persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT
berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu
(juga) telah memberi nikmat kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah
kepada Allah,' sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berrhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada
heberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. " (QS. al-Ahzab:
37)
Pemikahan beliau dipenuhi dengan unsur
politik dan usaha untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat serta penghormatan
nilai-nilai yang tinggi dan menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu,
Ummu Habibah binti Abu Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam,
berhijrah bersama suaminya ke Habasyah.
Ia berhadapan dengan keterasingan dan
kekhawatiran dalam membela agama Allah SWT. Kemudian suaminya mati
meninggalkannya sendirian dalam menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi
menegakkan ajaran Islam dan hanya menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang
menyebabkan Rasulullah saw tertarik untuk menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada suatu hari, Abu Sofyan menemuinya
saat ia telah menjadi istri Rasulullah saw. Abu Sofyan ingin duduk di atas
tempat tidur Nabi lalu Ummu Habibah berusaha menjauhkan tempt tidur itu dari
ayahnya. Melihat sikap anaknya itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah
engkau mulai membenciku?" Dengan penuh keberaniaan ia menjawab: "Ini
adalah tempat tidur Rasulullah saw dan engkau adalah seorang musyrik, maka
engkau tidak boleh menyentuhnya."
Adapun Shofiyah binti Huyay adalah anak
seorang raja Yahudi. Sedangkan Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang pemimpin
kabilah Bani Musthaliq. Bani Musthaliq menelan kekalahan saat berhadapan dengan
kaum muslim lalu kedua anak perempuan raja dan pemimpin kabilah itu jatuh
menjadi tawanan. Pemikahan Nabi dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh
orang-orang yang kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum Muslim memperlakukan
mereka dengan baik. Mula-mula kaum Muslim menolak untuk bersikap lembut terhadap
ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan kelembutan sikapnya ingin menyingkap aspek
kemanusiaan dalam peperangannya dan beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim
agar mereka menunjukkan persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu sendiri
bukan sebagai tujuan namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan aspek
tertinggi dari Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi Nabi saw menikahi wanita-wanita
dari orang-orang yang kalah itu dengan maksud agar kebebasan dan kemuliaan
kembali kepada keluarga mereka dan mereka dapat masuk Islam secara puas dan
sukarela. Kemudian beliau menikah dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah
memberikannya kepada Nabi sebagai budak di mana itu merupakan simbol tali kasih
yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masehi dan sebagai bentuk
hukum bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya pernikahan dengan wanita-wanita
ahlul kitab.
Maryam memberikan anak kepada Nabi saw
yang bernama Ibrahim, nama dari kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak
hidup lama. Ia meninggal saat masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi
Nabi dan sebagai isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari kaum pria
adalah para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan anak-anak dari
sulbinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar