Nabi Muhammad saw muncul ke alam wujud
dalam keadaan yatim. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin
di dalam perut ibunya. Allah SWT berfirman: "Bukankah Dia mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah SWT melindunginya. Orang-orang
sufi mengatakan bahwa sebab-sebab kemanusiaan seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib
dan bagaimana ia mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya bentuk lahiriah
yang tidak begitu penting, sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya adalah
kita berada di hadapan manusia yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya sejak
masih kecil. Allah SWT mendidiknya saat beliau masih kecil, dan mengujinya
dengan keyatiman saat beliau masih janin serta mengujinya dengan kelaparan
sejak masih kecil, dan dewasa dengan kematian si ibu, saat beliau masih kecil
dengan keterasingan di tengah-tengah keramaian, dan dengan terjaga di
tengah-tengah tidur serta dengan penderitaan demi penderitaan. Allah SWT telah
menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul beban risalah terakhir.
Selanjutnya, ibunya seringkali
memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa banyak dari wanita-wanita
yang menyusui tidak berkenan untuk mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi
yang berkembang di Mekah di mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim anaknya
ke kawasan dusun agar anak tersebut menyerap dan menghirup udara segar serta
memperoleh mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui
anak-anak lebih tertarik menyusui anak-anak dari orang-orang kaya. Namun ketika
pemimpin manusia seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa menyusui
tidak berminat kepadanya.
Marilah kita telusuri bagaimana Halimah
binti Abi Duaib menceritakan kisahnya bersama anak kecil yang disusuinya:
"Saat itu terjadi musim tandus dan kami tidak memiliki sesuatu sehingga
aku dan suamiku mengalami kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami menetapkan
keluar ke Mekah dan menemani wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua mencari
anak-anak yang masih menvusu agar orang tua mereka dapat membantu kami untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang yang aku tunggangi sangat lemah
dan sangat kurus yang itu semua disebabkan oleh kekurangan makanan. Bahkan kami
khawatir kalau-kalau ia berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan kami tidak
tidur semalaman karena melihat kondisi anak kecil yang bersama kami. Ia
menangis karena tidak menemukan makanan yang dapat dimakannya. Ia menangis
karena kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari air susuku maupun air
susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak dapat memuaskan
dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan keputusasaan. Aku bertanya-tanya
bagaimana aku dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang demikian.
Akhirnya, kami sampai di Mekah.
Sementara itu, wanita-wanita yang ingin mencari anak-anak yang dapat mereka
susui telah mendahului kami. Mereka mengambil anak-anak kecil yang mereka sukai,
kecuali satu anak, yaitu Muhammad di mana ayahnya telah meninggal dan ia
berasal dari keluarga yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya sangat mulia
di antara tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu, wanita-wanita enggan untuk
mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak sepaham dengan mereka karena aku tidak
peduli dengan keyatiman dan kcfakirannya. Kemudian aku malu untuk kembali dan
tidak mengambil bayi yang dapat aku susui kemudian. Di samping itu, aku malu
jika mendapat cercaan dari wanita-wanita itu. Lalu aku merasakan adanya kasih
sayang yang memenuhi hatiku terhadap anak kecil yang tampan itu yang akan
diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah tersebut mengatakan bahwa saat
anak-anak kecil mendapatkan wanita-wanita yang menyusuinya, maka Muhammad bin
Abdillah sedang tidur dalam keadaan lapar di ranjangnya yang kasar, tanpa
disusui oleh siapa pun. Suatu hikmah yang tinggi berkehendak agar bayi yang
masih menyusui itu menghadapi dunia dalam keadaan yatim dan dalam keadaan
kelaparan agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang
yang lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah mengatakan bahwa ia meyakinkan
suaminya bahwa ia merasakan keinginan yang kuat untuk mengambil anak yatim ini,
sehingga suaminya menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui rahasia keinginannya
yang samar agar ia kembali untuk mengambil anak yatirn yang masih menyusu ini.
Ia tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak
kecil itu dalam hatinya seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa pada
hati isteri Fir'aun. Jika Musa menolak wanita-wanita lain untuk menyusuinya
kecuali ibunya setelah Allah SWT mencegahnya dari susuan wanita-wanita lain
agar ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih, maka Muhammad bin
Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan mulia—-justru ditolak oleh
wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia sendiri tidak pernah menolak
seseorang pun.
Halimah kembali kepadanya dan ia
memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi Muhammad saw adalah seorang yang
mulia. Halimah meletakkan tangannya di dadanya, sehingga anak kecil itu
tertawa. Halimah mencium di antara kedua matanya. la meletakkannya di kamarnya.
Halimah mengetahui bahwa kedua air susunya telah kering, namun tiba-tiba air
susunya memancar dengan keras sebagai bentuk kasih sayang dan tanda kebesaran
dari Allah SWT. Kini Halimah pun dapat menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah
yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang
sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik dirinya untuk zuhud dan
qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa tentang pengorbanan dan
kesatriaan?
Halimah kembali ke gurun Bani Sa'ad dan
ia membawa Muhammad bin Abdillah. Belum lama ia menyaksikan tanahnya yang
tandus sehingga tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan mekar di hadapanya, di
mana bumi dipenuhi dengan kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus.
Pohon-pohon berbuah dan buah kurma tampak berseri-seri setelah sebelumnya layu,
bahkan susu-susu binatang pun mulai tampak banyak. Allah SWT memberikan berkah-Nya
kepada tempat tersebut. Halimah mengetahui bahwa kabaikan ini telah datang
bersama kedatangan anak kecil yang diberkahi, sehingga cintanya kepada anak itu
semakin bertambah. Bahkan suaminya pun menjadi tawanan cinta yang lain kepada
Muhammad saw.
Pada suatu hari ia berkata kepada
isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai Halimah bahwa engkau telah
mengambil seorang anak yang mulia?" Halimah berkata: "Anak kecil itu
tidak menangis dan tidak berteriak kecuali ketika ia telanjang." Ketika
anak kecil itu gelisah di tengah malam dan tidak tidur, maka Halimah membawanya
keluar dari kemah dan ia berhenti bersamanya di bawah sinar bintang. Saat itu
anak itu tampak bergembira ketika menyaksikan langit. Setelah kedua matanya
terpuaskan oleh pandangan ke arah langit, ia pun mulai tidur.
Ketika anak itu mencapai tahun yang
kedua, maka ia telah disapih, sehingga ibunya ingin mengambilnya, tetapi
Halimah tidak kuat untuk menahan perpisahan ini. Halimah menjatuhkan dirinya di
hadapan kedua kaki sang ibu dan ia mulai menciuminya dan ia meminta agar
membiarkannya bersama anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat dan dapat
kembali menghirup udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah saw tinggal di tempat
Bani Sa'ad sampai lima tahun. Dan pada masa lima tahun ini terjadi peristiwa
penting yang terkenal dengan peristiwa pembelahan dada. Kehendak Ilahi telah
menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk menemui
Muhammad bin Abdillah dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci
hatinya dengan rahmat dan mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan bagian
dunia darinya.
Seperti biasanya Rasulullah saw keluar
pada suatu hari bersama saudara susuannya dengan menunggangi sekawanan domba
menuju tempat pengembalaan. Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam
keadaan takut dan menangis sambil berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh.
Muhammad diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang putih lalu
kedua orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar hal itu, Halimah sangat kaget
dan terpukul. Ia segera pergi sambil berlari mencari Muhammad dan diikuti oleh
suaminya yang mengikuti petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad. Akhirnya,
mereka menemukan Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana wajahnya tampak
pucat dan kedua matanya menyala.
Halimah dan suaminya mencium dengan
lembut dan mulai menampakkan kasih sayangnya. Kemudian mereka bertanya,
"apa yang terjadi?" Muhammad menjawab: "Ketika aku memperhatikan
domba-domba yang sedang bermain aku dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang
memakai pakaian yang putih. Mula-mula aku menyangka bahwa mereka adalah burung
yang besar, namun ternyata aku salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku
kenal yang memakai pakaian warna putih. Salah seorang dari mereka berkata
kepada temannya dengan menunjuk ke arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang
lain menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu
mereka mengambilku dan menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka
mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya jauh-jauh.
Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas
dan juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat
tentang simbolisme yang dalam ini. Sebagaian besar ulama menakwilkan peristiwa
tersebut. Pakar-pakar klasik, seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu
diisyaratkan oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah melapangkan
untukmu dadamu?. " (QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan tokoh-tokoh hadis, seperti
Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa seperti Muhammad saw tidak mungkin
terlepas dari bimbingan Ilahi dan tidak mungkin terkena waswas sekecil apa pun
yang biasa menimpa manusia biasa. Jika suatu kejahatan menjadi suatu gelombang
yang memenuhi cakrawala, maka di sana terdapat hati yang segera memungutnya dan
terpengaruh dengannya, namun hati para nabi dengan adanya bimbingan Allah SWT
tidak akan terpanggil dan tidak terkena arus kejahatan tersebut.
Dengan demikian, usaha para nabi
terfokus pada peningkatan kemajuan atau ketinggian, bukan memerangi kerendahan.
Diriwayatkan oleh Abdillah bin Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Tidak ada seseorang di antara kalian kecuali ia diawasi oleh temannya
dari kalangan jin dan temannya dan dari kalangan malaikat." Para sahabat
berkata: "Apakah hal itu juga berlaku kepadamu wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT membantuku, sehingga ia berserah
diri dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah sikap orang-orang yang dahulu
dan para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa pembelahan dada. Kami kira bahwa
kejadian yang luar biasa tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi untuk
melalui Isra' dan Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw akan
menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau akan
melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di sana terdapat
Janatul Ma'wah.
Pandangan tersebut kembali kepada
pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa pembelahan dada berulang lebih
dari sekali saat Rasul saw mencapai usia lima puluh tahun. Dan peristiwa
pembelahan dada terjadi kedua kalinya pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari meriwayatkan dari Malik bin
Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan kepada mereka peristiwa malam Isra'
di mana beliau bersabda: "Ketika aku berada di Hathim—atau beliau berkata
di Hijr—saat aku dalam keadaan antara tidur dan bangun, maka seorang datang
kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan
perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok dari
emas yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian
diulanginya."
Kami kira bahwa pembelahan dada
merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan kesucian Rasul saw dan sebagai
bentuk penyiapannya untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan
dari Ilahi bahwa anak ini akan mencapai suatu kedudukan yang belum pernah
dicapai oleh manusia dan tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah
peritiwa pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian
besar waktunya digunakan untuk merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya
tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang dewasa.
Berlalulah hari demi hari, tahun demi
tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah di dusun Bani Sa'ad.
Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan keadaan di sana.
Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad dan
beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap mereka
yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa bermaksud
menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan salah seorang
mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara mereka."
Kemudian Muhammad bin Abdillah kembali
ke Mekah saat usianya lima tahun. Beliau hidup beberapa hari bersama ibunya di
mana si ibu merasakan kesedihan yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji
untuk mengingat ayahnya yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk mengunjungi
kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih dari lima ratus
kilo meter di gurun yang kering yang jauh dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu
menempuh peijalanan yang berat. Setelah perjalanan yang berat ini, Muhammad bin
Abdillah tinggal di tempat paman-paman dari ibunya di Madinah selama satu
bulan. Muhammad melihat rumah yang di situ ayahnya meninggal sebelum ia
dilahirkan. Ia berziarah bersama ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya
dikuburkan di dalamnya. Mula-mula pikirannya terfokus pada keadaan yatim sambil
ia mulai memperhatikan linangan air mata ibunya yang diam.
Selesailah masa satu bulan keberadaannya
di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya menemaninya untuk kembali ke Mekah.
Kedua anak manusia itu sampai di pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak
mengetahui rahasia kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu
tempat yang yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah bertemu
dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang ibu meninggal dan meninggalkan anak
satu-satunya bersama seorang pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya
terhadap anak kecil yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan kehilangan
ibunya saat berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah kini menjadi sendiri dan
ia dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan setelah ia melewati kesedihan
kehidupan dan kerasnya kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah saw pernah ditanya setelah
masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?" Beliau menjawab:
"Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku. Cinta adalah
pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan adalah temanku."
Allah SWT telah menyiramkan kepadanya
sungai-sungai kesedihan sehingga beliau dapat memberikan kepada manusia buah
dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak kecil itu kembali ke Mekah dalam
keadaan sedih dan ia tampak terpaku. Lalu Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan
cinta yang luar biasa dan penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika
Muhammad bin Abdillah berusia delapan tahun, maka meninggallah salah satu
benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian
anak kecil itu kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak tegar
seperti layaknya orang dewasa.
Kita tidak mengetahui mengapa terjadi
demikian. Mengapa hikmah Allah SWT mencegah Nabi yang terakhir untuk
mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan
seorang kakek? Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih
sayang dan cinta yang semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah SWT
ingin mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan yang penuh
dengan penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju
kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa: "Dan Aku telah
memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu Allah SWT memberi kabar gembira
kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana Isa memberi kabar gembira di dalam
Injil dengan kedatangan seorang Nabi setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi
Musa meminta kepada Tuhannya agar memberinya dan memberi umatnya puncak
keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahwa Dia telah menetapkan keutamaan ini
kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah SWT telah memilih Musa untuk
diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak mencegahnya untuk mendapatkan kasih
sayang seorang ibu dan mendidiknya di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia
berkehendak untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih
sayang seorang manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya
mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT berfirman menceritakan tentang
keadaan Rasul terakhir: "Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang
yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung,
lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka
janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta,
maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah
kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha:
6-11)
Makna ayat tersebut secara harfiah
adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah SWT melindunginya; beliau
dalam keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan
fakir lalu Allah SWT memampukannya. Allah SWT melindunginya dengan mengasuhnya,
membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak pernah
dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah kematian kakeknya, maka pamannya
Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT telah meletakkan kecintaan pada hati
pamannya, sehingga pamannya mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan
memuliakannya serta menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di
ranjangnya yang biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada
seorang pun yang duduk selainnya.
Muhammad bin Abdillah hidup di jantung
gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki kesadaran yang tinggi di antara kaum
yang sedang lalai dan kaum yang mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta
para pedagang minuman keras dan para syair dan orang-orang yang berperang dan
tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad bin Abdillah seorang yang
banyak diam dan ketika usianya semakin dewasa, maka ia bertambah banyak diam.
Beliau tidak berbicara kecuali jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak
terlibat dalam permainan hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan
yang dalam; beliau sering menyendiri dan membuka matanya di hamparan
pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan akalnya berpikir. Beliau merenungkan di masa
kecilnya bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan terpukau dengannya;
bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu yang tidak
memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak dapat melakukan
apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang fitri terhadap
dunia berhala dan patung.
Di dalam dirinya terdapat penghinaan
yang besar terhadap sembahan-sembahan dari batu ini, suatu penghinaan yang
menjadikannya tidak mau mendekat selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun
hatinya yang besar dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan
kakeknya Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia menyembah batu dan emas,
kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau mendengar apa yang dikatakan
manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan keadaan masyarakat; beliau juga
menyaksikan betapa banyak pertentangan dan perkelahian di antara manusia yang
justru disebabkan oleh masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau
semakin bertambah dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam.
Tidakkah manusia mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan
kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini, hingga mereka
mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika usianya semakin bertambah, maka
bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, dan sepak terjangnya terus bersinar
memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak sama dengan seseorang pun dari kalangan
pemuda saat itu. Meskipun kami kira bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal
yang umum, tetapi beliau tidak mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang
pun. Beliau belum bertujuan untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan.
Benar bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera
menemukan jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban atau
jalan keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat: "Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan
petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud ad-Dhalal (kesesatan)
di sini ialah kebingungan akal dalam menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya
karena ketiadaan senjata dan kecilnya usia. Semua itu justru menambah sikap
diam anak kecil itu dan menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal,
sehingga akalnya selamat dari segala noda dan tetap di bawah naungan
kejernihannya.
Anak kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa
yang dilakukan oleh kaumnya yang berupa kecenderungan untuk menyembah berhala
dan cinta kekuasaan dan kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih mendekat
kepada hakikatnya yang suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan jiwanya
yang bersih dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada manusia, bahkan
kepada binatang dan burung. Ketika ia duduk akan makan lalu ada burung merpati
berkeliling di seputar makanannya rnaka ia meninggalkan makanannya untuk burung
itu. Pada saat orang-orang memukul anjing yang mendekat kepada makanan mereka,
maka ia justru mencabut suapan yang ada di mulutnya dan memberikannya pada
anjing, kucing, anak-anak kecil, dan orang-orang fakir. Bahkan seringkali di
waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar karena ia memberikan makanannya ke
orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar