Amirul Mukminin as menghindari
dorongan para sahabat Rasulullah saw itu dan menolak untuk menjadi khalifah.
Ath-Thabari meriwayatkan dari Muhammad bin Hanafiyah, "Setelah Utsman
terbunuh, sekelompok sahabat mendatangi ayahku (Ali as) dan berkata kepadanya,
'Kami tidak melihat satu orang pun yang lebih layak darimu untuk menduduki
kursi kekhalifahan ini.' Beliau as menjawab, 'Aku menjadi wazir (mentri)
kalian adalah lebih baik daripada aku menjadi amir (pemimpin).' Mereka
kembali berkata, 'Kami tidak menerima sesuatu selain berbai'at kepadamu.'
Amirul Mukminin as berkata, 'Bai'at
kepadaku tidak boleh berlangsung secara tersembunyi. Bai'at ini harus
berlangsung di masjid.' Ibn Abbas berkata, 'Aku takut jangan-jangan akan
terjadi sesuatu (masalah) di masjid.' Ketika beliau pergi ke masjid, maka Muhajirin
dan Anshar berdatangan ke masjid dan membai'at beliau as."
Diriwayatkan juga dari Abu Basyir,
"Berkali-kali massa mendatangi Ali as setelah terbunuhnya Utsman, sampai
akhirnya mereka berhasil mendesaknya untuk menjadi khalifah. Beliau naik ke
mimbar dan berkata, 'Aku tidak butuh pada khilafah, dan terpaksa aku
menerimanya. Aku akan sudi memerintah umat apabila mereka berjanji untuk
sejalan denganku sepenuhnya.'" Riwayat-riwayat ini mencatat bahwa
Thalhah dan Zubair ikut bersama masyarakat yang lain. Di saat semua orang
berkumpul di masjid, Thalhah adalah orang pertama yang berbai'at kepada Amirul
Mukminin as. Adapun Sa'd Bin Abi Waqqash enggan untuk berbai'at seraya berkata,
"Aku tidak akan berbai'at sampai semua orang berbai'at terlebih
dahulu." Abdullah Bin Umar juga tidak mau berbai'at.
Ada satu riwayat di buku Tarikh
ath-Thabari yang tidak sesuai dengan riwayat-riwayat lain. Riwayat ini
menyebutkan bahwa Thalhah dan Zubair berbai'at karena takut kepada pedangnya
Malik. Amirul Mukminin as meminta mereka agar menjadi khalifah, namun mereka
sendiri sadar diri tidak pantas untuk menerimanya. Mereka rela membai'at Amirul
Mukminin as agar dengan demikian mereka bisa meraih posisi tertentu. Kata-kata
Thalhah dan Zubair setelah itu menunjukkan bahwa maksud dari membai'at secara
terpaksa di atas bukan terpaksa karena kekerasan dan pedang, melainkan mereka
tidak melihat seorangpun di Madinah yang bisa mereka bai'at. Sedangkan Ali as
memiliki banyak pendukung. Maka, dengan demikian, mereka terpaksa membai'at
beliau.
Sebelum ini juga pernah kami singgung
dalam pembahasan bai'at bahwa pada dasarnya, Amirul Mukminin as bukan tipe
orang yang mau memaksa seseorang untuk berbai'at kepadanya dengan kekerasan.
Jauh setelah ini terjadi di tragedi perang Jamal. Beliau tidak meminta bai'at
dari Marwan yang berkata kepada beliau, "Kalau dipaksa, maka aku akan
berbai'at."
Segera setelah berlangsungnya bai'at,
mereka meminta Amirul Mukminin as menyerahkan kota Bashrah dan Kufah kepada
mereka. Tapi, beliau tidak mengabulkan permintaan itu. Muhammad Bin Hanafiah
berkata, "Semua kaum Anshar mebai'at Ali as kecuali berapa gelintir orang.
Mereka yang menentang adalah Hassan bin Tsabit, Ka'b bin Malik, Maslamah bin
Mukhallad, Muhammad bin Maslamah dan satu dua orang lagi yang semuanya
tergolong Utsmaniah (kelompok Utsman). Adapun para penentang dari selain Anshar
adalah Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan Usamah bin Zaid yang mana mereka
semua terhitung orang-orang yang telah dianugerahi kenikmatan khilafah
Utsman."
Ath-Thabari berkata, "Sebatas yang
kutahu, tak seorangpun dari Anshar yang keluar dari bai'at kepada Ali
as."
Dari sini bisa dimengerti bahwa
kemungkinan besar sebagian orang yang dicatat sebagai orang yang tidak
membai'at Ali as, maksudnya adalah orang yang nantinya tidak ikut serta dalam
perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, bukan berarti orang yang pada dasarnya
tidak berbai'at kepada Ali as dalam urusan khilafah. Dayyari Bakri meriwayatkan
bahwa semua sahabat Nabi saw yang ikut bersama beliau di perang Badr dan masih
hidup pada masa itu—tanpa terkecuali—berbai'at kepada Ali as. Diriwayatkan dari
Abdurrahman bin Abzi, ia berkata, "Kami berjumlah delapan ratus orang yang
hadir di bai'at Ridhwan, ikut di perang Shiffin dan enam puluh tiga orang dari
kami termasuk juga Ammar Bin Yasir terbunuh di perang tersebut."
Diriwayatkan dari Ibn A'tsam bahwa pada
mulanya Amirul Mukminin as menolak bai'at itu dan berkata, "Kulihat urusan
ini begitu terpecah-belah sehingga hati dan akal setiap orang tidak akan merasa
tenang." Ketika itu beliau mendatangi Thalhah dan memintanya untuk menjadi
khalifah dan dibai'at. Akan tetapi, Thalhah berkata, "Tidak ada orang lain
yang lebih layak darimu untuk urusan khilafah." Ucapan yang sama juga tercatat
dari Zubair. Akhirnya, kedua orang itu berjanji untuk tidak melakukan perbuatan
yang tidak sesuai dengan kehendak Amirul Mukminin as.
Ibn A'tsam menceritakan peran Anshar
dalam pembai'atan Ali as dan bagaimana pemuka-pemuka Anshar berbicara di masjid
kepada masyarakat yang di antara mereka terdapat pendatang Irak dan Mesir.
Masyarakat berteriak, "Kalian adalah Ansharullah (penolong Allah).
Maka apapun yang kalian katakan, pasti akan kita terima." Anshar
memperkenalkan Ali as sebagai khalifah. Dan tanpa menunggu lagi, masyarakat
segera mengapresiasi hal itu dengan teriakan-teriakan pertanda sepakat. Hari
itu mereka meninggalkan masjid. Dan keesokan harinya Amirul Mukminin as datang
ke masjid seraya berkata, "Pilihlah khalifah untuk kalian sendiri dan aku
akan sejalan dengan kalian." Tapi, mereka menjawab, "Kami tetap
konsisten dengan keputusan kemarin." Thalhah dengan tangannya yang cacat
menjadi orang pertama yang berbai'at pada Amirul Mukminin as. Hal itu dikatakan
sebagai pertanda yang buruk! Kemudian dilanjutkan dengan Zubair berbai'at
kepada beliau. Begitu pula selanjutnya dengan Muhajirin, Anshar dan setiap
orang Arab, 'ajam dan mawali yang hadir di Madinah.
Mengenai kenapa sejak awal Amirul
Mukminin as tidak menerima bai'at masyarakat, jawaban terbaik adalah ucapan
beliau sendiri. Pertama, Amirul Mukminin as memandang masyarakat pada waktu itu
sudah sampai batas kerusakan (fasâd) yang tidak bisa lagi dipimpin,
sehingga beliau tidak akan mampu menerapkan tolok ukur dan kehendak yang
semestinya.
Di tengah semua fitnah yang terjadi,
Amirul Mukminin as merasa tidak mungkin untuk memimpin masyarakat kala itu
secara utuh. Namun, setelah menyaksikan bahwa mereka tidak melepasnya begitu
saja, di samping mengungkapkan keengganannya, beliau minta mereka untuk berjanji
menuruti beliau secara utuh dan pasrah terhadap apapun yang beliau kehendaki. Fenomena-fenomena yang terjadi setelah
itu menjadi saksi pandangan Amirul Mukminin as akan sulitnya bekerja di tengah
fitnah besar. Sampai pernah diriwayatkan beliau berkata, "Kalaupun aku
tahu problem ini meningkat begitu tinggi, niscaya sejak awal aku tidak akan
masuk ke dalamnya."
Suatu saat Amirul Mukminin as melihat
seorang bernama Abu Maryam di kota Kufah. Beliau menanyakan alasan
kedatangannya ke Kufah. Abu Maryam menjawab, "Aku datang karena janjiku
padamu. Sebagaimana kau katakan sebelumnya apabila aku yang menjadi pemimpin,
maka aku akan lakukan hal ini dan itu." Amirul Mukminin as menjawab,
"Aku tetap pada janjiku, hanya saja aku dihadapkan dengan masyarakat
terburuk di muka bumi yang mana mereka sama sekali tidak pernah mendengarkan
kata-kataku."
Kesulitan Amirul Mukminin
Ketika Ali as menjalankan tugas sebagai
khalifah, beliau dihadapkan pada sejuta problema dan kesulitan. Semua
kesulitan yang ditambah juga dengan kondisi politik yang labil dan kacau balau
setelah terjadi pembunuhan Utsman, menggambarkan masa depan yang hitam dan
gelap gulita. Berikut ini sekilas tentang kesulitan beliau disambung dengan
solusi yang ditawarkan. Sebelumnya perlu ditekankan bahwa semua
kesulitan ini dihadapkan pada seorang seperti beliau yang sangat komitmen
terhadap prinsip utama maupun cabang. Di masa sebelum itu, setiap khalifah
membuka jalan secara temporal hanya dengan tujuan memperluas kawasan dan
menaklukkan negara luar. Tapi, sekarang jelas bahwa kebanyakan jalan yang
mereka tempuh adalah keliru sebagaimana terbukti oleh zaman. Contohnya, Umar
menyusun buku (diwan) negara berasaskan prinsip etnis. Dan setelah lima
belas tahun berjalan, dampak-dampak negatifnya mulai dirasakan secara sosial
maupun politik.
Berikut akan kami sebutkan beberapa
kesulitan yang beliau hadapi selama menjalankan tugas kekhilafahan:
a. Problem pertama yang dihadapi Amirul
Mukminin as terfokus pada menjaga keadilan dan kestabilan ekonomi. Sebagaimana
telah disinggung di atas bahwa Umar menyusun diwan atas dasar masa lalu
Islam seseorang dan juga atas dasar etnis. Sahabat yang lebih dahulu masuk
Islam mendapatkan saham yang lebih besar. Hal yang sama juga berlaku semasa
Utsman menjabat sebagai khalifah. Utsman memulai pemberian dan hadiahnya secara
besar-besaran, dan hal ini menambah kesenjangan sosial antara orang kaya dan
miskin. Kekayaan ini berkaitan dengan khumus (seperlima yang musti
dikeluarkan dari) rampasan perang, pajak negara (kharâj), dan jizyah
yang musti dikeluarkan dari tanah yang dimenangkan dan milik muslimin. Ketika
Amirul Mukminin as terpilih sebagai khalifah, beliau membagi kekayaan itu
secara merata. Dan beliau berdalil bahwa Rasulullah saw juga bertindak
demikian.
Pada ceramah pertamanya setelah menjadi
khalifah, Amirul Mukminin as menjelaskan bahwa beliau akan bertindak sesuai
sunah Rasulullah saw (aku akan membawa kalian di atas jalan Nabi kalian saw).
Beliau juga menerangkan politik keuangan negara dan sesungguhnya keutamaan
Muhajir dan Ansar terhadap yang lain adalah keutamaan spiritual yang senantiasa
terjaga di sisi Allah SWT dan mereka akan menerima pahala dari-Nya. Adapun di
dunia, barangsiapa yang menjawab ajakan Allah SWT dan Rasul-Nya saw, masuk
Islam dan shalat ke arah kiblat muslimin, maka dia berhak mendapatkan semua
haknya dan hudud (batasan dan hukuman Islam) akan berlaku atasnya.
Beliau menambahkan, "Kalian adalah hamba-hamba Allah SWT, dan kekayaan ini
adalah harta-Nya yang harus dibagi di antara kalian secara merata. Tiada
seorang pun yang lebih tinggi daripada orang lain. Orang-orang yang bertakwa
akan mendapatkan pahala yang terbaik di sisi Allah SWT."
Beliau menegaskan politiknya seraya
berkata, "Jangan sampai nanti ada orang yang mangatakan bahwa Ali Bin Abi
Thalib as telah menghalangi hak-hak kita." Di keesokan harinya, beliau
memerintahkan Ubaidullah bin Abi Rafi', "Berilah 3 Dinar kepada siapapun
yang datang." Di situlah Sahl bin Hanif berkata, "Dulu orang ini
adalah budakku dan baru kemarin aku membebaskannya." Amirul Mukminin as
menimpali, "Semuanya tetap medapatkan 3 Dinar dan kita tidak akan
melebihkan satu daripada yang lain." Kelompok elit dari Bani Umaiyah dan
juga Thalhah serta Zubair tidak datang untuk mengambil saham mereka. Sehari
setelah itu, Walid bin Uqbah beserta rombongan datang pada beliau mengungkit
kembali pembunuhan ayahnya oleh beliau di perang Uhud, pembunuhan ayah Said bin
'Ash di perang yang sama, penghinaan terhadap ayah Marwan di depan Utsman dan
hal-hal lain. Dengan itu, mereka meminta beliau untuk minimal tidak menarik
kembali apa yang telah jatuh ke tangan mereka dari kekayaan negara Islam. Di
samping itu juga mereka meminta beliau untuk melakukan qishâsh terhadap
pelaku-pelaku pembunuhan Utsman. Amirul Mukminin as menolak permintaan mereka,
maka mereka menampakkan kemunafikan dan mulai membisikkan perlawanan.
Keseokan harinya, beliau ceramah lagi,
dan karena marah, beliau menjelaskan bahwa asas pembagian harta negara Islam
yang beliau berlakukan adalah kitab suci Allah SWT. Kemudian, beliau turun dari
mimbar, shalat dua raka'at lalu duduk di samping masjid dekat dengan Thalhah
dan Zubair. Inti pembicaraan dua orang tesebut (Thalhah dan Zubair) adalah
pertama, Ali as tidak bermusyawarah dengan mereka dalam menentukan kinerja
sehari-hari, dan kedua, —dan ini adalah yang lebih penting—adalah beliau
menyeleweng dari sunah Umar dalam membagi kekayaan negara Islam. Hal itu
dikarenakan beliau memberikan kepada mereka saham sama seperti orang lain yang
tidak berjerih payah untuk Islam.
Amirul Mukminin as berkata, "Selama
masih ada hukum di kitab Allah SWT, maka di situ bukanlah tempat bermusyawarah.
Tentu, apabila ada sesuatu yang tidak ada di Al-Qur’an dan sunah Rasulullah
saw, maka aku pasti akan bermusyawarah dengan kalian. Adapun berkenaan dengan
pembagian sama rata, kita sama-sama menyaksikan Rasulullah saw melakukan
demikian, sebagaimana Al-Qur’an pun memerintahkan hal tersebut." Di sana
Zubair menggerutu, "Bukankah ini adalah upah kami? Kami telah melangkah di
jalan ini dan berkiprah untuknya sampai akhirnya Utsman terbunuh. Tapi hari ini
dia mengutamakan atas kita orang-orang yang sebelumnya kita lebih utama dari
mereka."
Ibn Abil Hadid melanjutkan
penjelasannya, "Terbiasanya masyarakat pada saat itu dengan cara yang
diberlakukan Umar merupakan faktor utama perlawanan sahabat terhadap Amirul
Mukminin as, padahal Abu Bakar sendiri menjalankan cara seperti yang telah
diberlakukan oleh Rasulullah saw dan tak seorang pun yang menentangnya. Amirul
Mukminin as berkata, 'Apakah sunah Rasulullah saw lebih layak untuk diikuti
atau sunah Umar?'"
Perlawanan terhadap cara ini semakin
serius, sampai akhirnya sebagian dari sahabat dekat Amirul Mukminin as
mendatangi beliau dan mohon agar elit Arab dan Quraisy dilebihkan daripada mawali
dan ''Ajam. Beliau tidak menerima permohonan mereka dan berkata, "Apakah
kalian menyarankan padaku untuk meraih kemenangan dengan kezaliman?" Jauh setelah itu, Ibn Abbas pernah menulis surat
kepada Imam Hasan al-Mujtaba as, "Masyarakat meninggalkan ayahmu dan pergi
ke Muawiyah lantaran cara yang beliau berlakukan, yaitu membagi kekayaan negara
secara merata di antara mereka, sementara mereka tidak tahan akan hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar