Pada masa pemerintahan khalifah kedua,
Umar bin Khattab, kaum muslimin berhasil menaklukkan negeri Persia (Iran). Atas
kemenangan ini, laskar Islam memboyong tawanan-tawanan perang ke Madinah
Al-Munawwarah, termasuk di antara mereka putri Yazdijard, Kisra Persia.Tatkala
kaum muslimin berkumpul di masjid, Khalifah Umar bermaksud menjual putri raja
tersebut. Namun, Imam Ali as memberi isyarat agar ia tidak melakukan hal itu,
mengingat bahwa putri-putri raja tidak boleh diperjualbelikan, sekalipun mereka
itu kafir. Lalu beliau mengatakan, "Biarkan dia memilih seorang laki-laki
untuk menjadi suaminya. Dan siapa saja yang dipilihnya, maka ia berhak menikah
dengannya."
Sang putri raja itu menjatuhkan
pilihannya kepada junjungan kita, Imam Husain bin Ali as sebagai pasangan
hidupnya. Amirul Mukminin Ali as berwasiat kepada anaknya agar memperlakukannya
dengan baik dan santun. Beliau mengatakan, "Wahai Abu Abdillah (Husain),
ketahuilah bahwa dia kelak akan melahirkan sebaik-baik penduduk dunia." Ya,
dari rahim wanita bangsawan inilah putra pertama Imam Husain yang bernama Ali
itu lahir. Pernah sang ayah memanggilnya dengan nama Ibn Khairatain (anak
dari dua kebaikan), karena dalam nadinya mengalir darah dua bangsa; Arab
Quraisy Bani Hasyim dan Ajam Persia.
Perangai Imam Ali Zainal
Abidin
Farazdaq, seorang pujangga Arab tersohor
pernah melukiskan Imam Ali Zainal Abidin as. Dia adalah lelaki yang tampan.
Dari tubuhnya menebar bau harum segar. Pada dahinya terdapat bekas sujud.
Karenanya, orang-orang mengenal beliau dengan gelar As-Sajjad (yang
banyak bersujud). Putra beliau, Imam Muhammad Al-Baqir as pernah bercerita,
"Sesungguhnya apabila tiba musim dingin, ayahku, Ali bin Husain as
menyedekahkan pakaiannya kepada fakir-miskin. Begitu pula jika datang musim
panas, beliau melakukan hal yang sama."
Masyhur bahwa Imam Ali Zainal Abidin as
senantiasa mencuci dan memakai sebaik-baik pakaian ketika hendak melakukan
salat, serta menaburkan wewangian. Orang-orang seringkali menjumpainya
memanjatkan doa, munajat, dan menangis. Salah seorang sahabat beliau bernama
Thawus Al-Yamani menuturkan, “Aku melihat seorang laki-laki sedang melakukan
salat di Masjidil Haram. Di samping Ka'bah ia berdoa sembari menangis.
Kuhampiri ketika ia telah menyelesaikan salatnya. Ternyata dia adalah Ali bin
Husain as.
Aku menyapa, ‘Wahai putra Rasulullah,
kulihat Anda menangis. Bukankah Anda putra Rasul Allah?!’ Beliau menjawab,
‘Meskipun aku adalah putra Rasul Allah, namun apakah dia akan menjamin
keselamatanku dari azab Allah, sedangkan Allah telah berfirman, ‘Ketika
itu tidak ada lagi ikatan keluarga antara mereka? ‘Sesungguhnya Allah
menciptakan surga bagi siapa saja yang berbakti kepada-Nya dan berbuat baik,
sekalipun dia itu seorang hamba Habasyi (berkulit hitam), dan menciptakan
neraka bagi siapa saja yang bermaksiat kepada-Nya dan berbuat buruk, sekalipun
dia itu seorang tuan dari Quraisy.’”
Imam Ali Zainal Abidin as telah
melaksanakan ibadah haji ke Baitullah sebanyak 20 kali dengan berjalan kaki. Kepada
para sahabatnya beliau berwasiat supaya menunaikan amanat dan berkata, “Demi
Dia yang telah mengutus Muhammad di atas kebenaran! Seandainya pembunuh Husain
as mengamanatkan kepadaku sebilah pedang yang telah digunakannya untuk
memenggal beliau, sungguh akan kuserahkan kembali kepadanya.” Imam Ali Zainal
Abidin juga mewasiatkan kepada mereka agar berusaha memenuhi kebutuhan orang
lain. Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai hamba yang bekerja guna
memenuhi hajat manusia. Merekalah yang beriman pada Hari Kiamat. Maka, barang
siapa yang membenamkan kegembiraan ke dalam hati seorang mukmin, kelak Allah
SWT akan membahagiakan hatinya pada Hari Kiamat.”
Pada suatu hari, Imam Ali Zainal Abidin
as pernah duduk bersama sebagian sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang lelaki
dari keturunan bibinya. Lantas ia mencaci makinya dan melontarkan kata-kata
kasar. Beliau tidak menjawab sampai lelaki itu menghentikan kata-katanya dan pergi.
Kemudian Imam berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Kalian dengar apa yang
dikatakan lelaki tadi? Saya lebih suka kalian bersamaku hingga mendengarkan
jawabanku padanya.” Lalu mereka berdiri bersama Imam dan mengira bahwa Imam
akan membalas dengan perbuatan yang serupa.
Imam mengetuk pintu orang tersebut.
Lelaki itu pun keluar dengan penuh hati-hati dan kesiagaan. Sementara itu, Imam
berkata dengan santun, “Wahai saudaraku, sungguh telah kau katakan sesuatu
padaku. Seandainya benar apa yang kau katakan, aku memohon ampunan kepada
Allah. Namun, jika semua itu tidak benar, semoga Allah memberikan ampunan
kepadamu." Lelaki itu terpengaruh akan budi bahasa beliau. Seketika itu
pula ia menyesali perbuatannya, dan Imam mengabulkan permohonan maafnya. Pada
kesempatan lain, Imam Ali zainal Abidin menjenguk Muhammad bin Usamah bin Zaid
yang sedang jatuh sakit. Melihat Muhammad menangis, Imam bertanya, “Gerangan
apa yang membuatmu menangis?”
Muhammad menjawab, “Aku dililit hutang.”
“Berapa jumlah hutangmu?", tanya
Imam.
"15.000 Dinar", jawab
Muhammad.
Imam berkata, “Serahkan kepadaku."
Lalu beliau melunasi hutang tersebut.
Di tengah malam yang sunyi, Imam Ali
Zainal Abidin as keluar kota sambil memikul sejumlah uang dan makanan untuk
dibagikan kepada seratus kepala keluarga fakir, sementara mereka tidak
mengetahui identitas beliau. Ketika Imam as meninggal syahid, mereka
benar-benar merasakan kehilangan seorang lelaki. Barulah mereka sadar, ternyata
orang yang selama ini membagi-bagikan uang dan makanan kepada itu adalah Ali
Zainal Abidin as.
Di Karbala
Imam Ali Zainal Abidin as ikut bersama
ayahnya, Imam Husain as dalam perjalanannya dari Madinah ke Makkah dan dari
Makkah ke Karbala, hingga terjadi tragedi pembantaian yang memilukan itu di sana.
Ketika itu, beliau sedang sakit keras. Setelah menyaksikan ayahnya tinggal
sendirian, Dia memaksakan dirinya bangkit dari pembaringannya untuk terjun ke
dalam medan peperangan. Akan tetapi, Imam Husain berkata kepada saudarinya
Zainab, “Tahanlah dia agar keturunan keluarga Rasulullah saw tidak terputus.” Sesungguhnya
sakit yang menimpa Imam as pada hari-hari itu adalah kemurahan Allah SWT, agar
keturunan Rasulullah tetap berlanjut, dan kejahatan serta kebiadaban Yazid
tersingkap.
Menjadi Tawanan
Segera setelah Imam Husain as syahid,
tentara Ibnu Ziyad menyerang kemah-kemah dan hendak membunuh Imam Ali Zainal
Abidin as yang ketika itu berumur 23 tahun. Akan tetapi, sang bibi, Zainab
berdiri menghadang mereka dengan penuh keberanian dan berkata, “Jika kalian
hendak membunuhnya, maka bunuhlah aku terlebih dahulu." Akhirnya, mereka
mengurungkan niat jahat itu, dan merantai tangan Imam serta menggiringnya ke
Kufah bersama dengan tawanan lain.
Tatkala mereka beristirahat, Zainab dan
Imam as serta para tawanan lainnya dengan penuh keberanian membukakan kekejaman
Yazid, Ubaidillah Ibnu Ziyad, dan penghianatan warga Kufah yang hina. Ketika
rombongan tawanan itu tiba di Kufah, masyarakat berkerumun di sekitar mereka.
Dalam rangka menunjukkan penentangan, Imam Ali Zainal Abidin as memilih diam
sambil menperlihatkan kondisi dirinya yang dirantai, sedangkan darah mengalir
dari sikunya.
Di tengah mereka beliau berpidato,
“Wahai manusia! Barangsiapa mengenal aku, maka dia telah mengenal aku, dan
barangsiapa yang tidak mengenalku, maka ketahuilah aku adalah Ali bin Husain
bin Abi Thalib. “Aku adalah anak yang diinjak kehormatannya, dirampas haknya,
dirampok hartanya, dan ditawan keluarganya. Aku adalah anak yang ayahnya
disembelih di Sungai Furat. Aku adalah anak yang ayahnya dibunuh dalam keadaan
sabar, dan cukuplah itu sebagai kebanggaan. Wahai manusia! Bersumpahlah demi
Allah. Masihkah kalian ingat bagaimana kalian telah melayangkan surat dan
undangan kepada ayahku lantas kalian sendiri mengkhianatinya. Kalian telah
memberikan janji untuk berbaiat lalu kalian membunuhnya. Sungguh, celakalah
kalian karena perbuatan kalian sendiri! Bagaimana kalian akan berhadapan dengan
datukku Rasulullah kelak tatkala beliau mempertanyakan kepada kalian, 'Kalian
bunuh keluargaku dan hancurkan kehormatanku. Sungguh kalian tidak termasuk
umatku.’”
Di Istana Ubaidillah
Ubaidillah Ibnu Ziyad memerintahkan agar
para tawanan diseret menghadapnya. Ia ingin sekali melihat garis-garis kehinaan
di raut wajah mereka. Tiba-tiba ia terperanjat. Pandangannya tertusuk
tatapan-tatapan mereka yang semua malah menghinakan dirinya, padahal mereka
dikelilingi oleh para algojo istana. Ibnu Ziyad menoleh ke Imam Ali Zainal
Abidin as dan berkata, “Siapa namamu?” Imam menjawab, "Aku Ali bin
Husain." Ibnu Ziyad berkata lagi dengan bengis, "Bukankah Allah telah
membinasakan Ali?” Imam menjawab dengan tegas, “Aku pernah punya kakak bernama
Ali yang telah dibunuh oleh segerombol manusia.” Ibnu Ziyad dengan jengkel
menukas, "Allahlah yang telah membunuhnya!" Imam tanpa rasa gentar
membalas, "Allah mematikan jiwa ketika tiba ajalnya, karena setiap jiwa
tidak akan mati kecuali dengan izin Allah."
Ibnu Ziyad semakin berang, lalu
memerintahkan untuk membunuh Imam as. Pada saat itulah sang bibi, Zainab
bangkit dan berkata lantang, "Hai Ibnu Ziyad! Apakah kau belum puas
menumpahkan darah kami? Apakah kau tidak membiarkan salah seorang hidup dari
kami? Jika kau hendak membunuhnya, maka biarkanlah aku menyertainya." Ibnu
Ziyad semakin gentar tatkala Imam Ali Zaibal Abidin mengatakan, "Tidakkah
kau tahu bahwa perang adalah kebiasaan kami, dan mati syahid adalah kemuliaan
kami dari Allah". Akhirnya, Ibnu Ziyad mengurungkan niatnya dan mengirimkan
para tawanan itu ke Syam.
Di Syam (Syiria)
Rombongan tawanan itu tiba di negeri
Syam diiringi dengan tangisan pilu menyayat hati, sementara Imam Ali Zaibal
Abidin as masih dirantai besi. Yazid bin Mu‘awiyah memerintahkan untuk
menghiasai kota Damaskus sebagai tanda syukur dan puas atas terbunuhnya Imam
Husain as. Ia telah menipu warga kota dengan menyebarkan berita bohong dan
citra buruk tentang anak keturunan Ali bin Abi Thalib as. Sesampainya rombongan
tawanan di Damaskus, seorang lelaki tua mendatangi Imam Ali Zainal Abidin as
dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah membinasakanmu dan
memenangkan pemimpin kami!" Imam as sadar bahwa sesungguhnya lelaki tua
itu tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Kepadanya beliau bertanya lembut,
"Wahai bapak tua! Apakah engkau membaca Al-Qur'an?" Lelaki tua itu
menjawab, "Iya."
Imam bertanya lagi, "Apakah engkau
membaca firman Allah, 'Katakanlah [Muhammad], ‘Aku tidak meminta
balasan dari kalian kecuali kecintaan kalian kepada keluargaku.’ Dan
firman Allah, ‘Penuhilah hak keluarga (Rasul).’ Serta firman
Allah, ‘Dan ketahuilah, sesungguhnya pada rampasan perang kalian
terdapat seperlima hak Allah SWT, rasul-Nya, dan keluarganya?’” "Iya",
jawab lelaki tua itu, "Saya telah membaca ayat-ayat itu." Lalu Imam
as berkata, "Demi Allah, kamilah keluarga Nabi yang disebutkan dalam
ayat-ayat tersebut." Imam melanjutkan pertanyaannya, "Apakah engkau
membaca firman Allah, ‘Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan kekotoran
(rijz) dari kalian hai Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.’?”
Lelaki tua itu menjawab,
"Iya." Imam berkata, "Kamilah Ahlulbait, wahai bapak tua." Dengan
penuh keheranan, lelaki tua bertanya, “Demi Allah, benarkah kalian Ahlulbait?” Imam
menjawab, "Ya, demi kebenaran datuk kami, Rasulullah. Kamilah yang
dimaksudkan dalam ayat itu." Lelaki tua itu akhirnya menerima perkataan
Imam. Ia berkata, "Aku berlepas diri kepada Allah dari orang-orang yang
telah memerangi kalian." Ketika berita itu sampai ke telinga Yazid, segera
ia memerintahkan algojonya untuk memenggal leher lelaki tua itu.
Di Hadapan Yazid
Yazid memerintahkan agar para tawanan
dihadapkan kepadanya dalam keadaan terikat. Sungguh keadaan mereka amat
memilukan. Imam Ali Zaibal Abidin as berkata, "Apa yang akan kau katakan,
hai Yazîd, kepada Rasulullah sementara keturunannya dalam keadaan seperti
ini?!" Mendengar itu, orang yang hadir dalam ruangan menangis. Mereka tak
kuasa lagi menahan air mata. Atas perintah Yazid, salah seorang orator naik
mimbar dan mulai mencaci-maki dua cucunda Nabi; Hasan dan Husain, dan
sebaliknya memuji-muji Mu‘awiyah dan Yazid. Imam as memandangnya dan berkata
dengan nada keras, "Celakalah kamu, hai pembicara. Kau telah mencari
kesenangan makhluk dengan kemurkaan Allah. Maka, kau telah memilih tempatmu di
neraka."
Kemudian Imam as berpaling ke arah Yazid
dan berkata, "Apakah engkau mengizinkan aku naik ke mimbar ini? Aku akan
mengutarakan sebuah ucapan yang mengandung keridhaan Allah dan menebarkan
pahala kepada hadirin di sini." Yazid menolaknya dan bergumam,
"Jikalau dia naik mimbar, dia tidak akan turun kecuali setelah membeberkan
kekejamanku serta kejahatan keluarga Abu Sufyân." Setelah didesak oleh
hadirin, akhirnya Yazid mengizinkan Imam untuk berpidato. Lalu Imam Ali Zainal
Abidin as naik mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT,
beliau berkata, "Wahai manusia, kami telah diberi enam perkara
dan diunggulkan dengan tujuh perkara; kami diberi ilmu pengetahuan, kesantunan,
kedermawanan, kefasihan bicara, keberanian, dan kecintaan di hati-hati kaum
mukmin.
"Kami telah diunggulkan karena di
antara kami terdapat Nabi yang termulia, Ali As-Shiddiq yang tepercaya, dan
Ja‘far At-Thayyar yang terbang. Pada kamilah Singa Allah dan Singa Rasul-Nya.
Pada kamilah penghulu segenap kaum wanita, dan pada kami pulalah dua cucu mulia
umat ini.
"Wahai manusia, barangsiapa
mengenalku, maka sungguh dia telah mengenalku, dan barangsiapa tidak
mengenalku, akan kuperkenalkan asal-usul keturunanku.
"Aku adalah anak dari Makkah dan
Mina (Nabi Ibrahim as). Aku adalah anak air sumur Zamzam dan Shafa (Nabi Ismail
as). Aku adalah anak dari orang yang telah diisra’-mikrajkan dari Masjid Haram
ke Masjid Aqsha. Aku adalah anak dari orang yang ditemani Malaikat Jibril ke
Sidratul Muntaha (Nabi Muhammad saw). Aku adalah anak dari orang yang dekat dan
didekatkan sehingga berada di antara dua sisi atau lebih dekat lagi. Aku adalah
anak Muhammad Al-Musthafa. Aku adalah anak Al-Murtadha."
Mulailah Imam Ali Zainal Abidin as
menyebutkan silsilah keturunannya yang suci, sampai menjelaskan tragedi
pembantaian di Karbala secara rinci. Para hadirin terkejut menyimak kenyataan
yang sebenarnya terjadi sehingga ruangan itu bergemuruh dengan isak tangis
mereka.
Yazid khawatir akan terjadi perubahan
yang merugikan dirinya. Segera dia memberi isyarat kepada muazin untuk
mengumandangkan azan guna memotong pembicaraan Imam as.
Muazin mengumandangkan, "Asyhadu
alla ilaha illallah."
Imam lalu berkata dengan khusyuk,
"Aku bersaksi dengan darah dan dagingku."
Ketika muazin mengumandangkan, "Asyhadu
anna Muhammadan Rrasulullah."
Imam as menoleh ke Yazid dan berkata
kepadanya, "Muhammad ini, apakah kakekku atau kakekmu? Jika kau katakan
bahwa dia adalah kakekmu, maka engkau telah berdusta. Tetapi, jika kau
mengakuinya sebagai kakekku, lalu mengapa engkau membunuh keturunannya?"
Ternyata, dialog antara Imam Ali Zainal
Abidin as dan Yazid itu menciptakan perubahan besar di tengah masyarakat.
Bahkan, ada sebagian dari mereka yang meninggalkan masjid sebagai cara
penentangan mereka terhadap kekejaman pemerintahan Yazid.
Lagi-lagi Yazid kuatir keadaan kota Syam
akan bergejolak dan menentangnya. Secepat mungkin ia memerintahkan agar para
tawanan dikembalikan ke Madinah.
Kaum muslimin menyesal atas sikap acuh
mereka terhadap Imam Husain as ketika mereka melihat kezaliman dan kejahatan
Yazid terus berlangsung.
Tak lama kemudian, Yazid mengirimkan
pasukan untuk menyerang Madinah Al-Munawwarah. Selama tiga hari dia membolehkan
setiap rajuritnya di sana melakukan pembunuhan, penjarahan, dan perampasan
kehormatan wanita.
Belum puas memperlakukan Madinah dan
warganya, Yazid memerintahkan pasukan untuk mengepung kota Makkah dan
menghancurkan Ka’bah dengan lemparan batu dan membakar bagian dalamnya.
Sementara pasukan menghujani Ka’bah
dengan batu, Allah membalas perbuatan biadab Yazid hingga mati secara
mengenaskan.
Kematian Yazid membuat kedudukan
khilafah beralih kepada anaknya yang bernama Mu‘awiyah. Namun, Muawiyah sendiri
menolak kedudukan itu, sebab ia menyadari betapa kezaliman yang telah dilakukan
ayah dan kakeknya. Ia tahu benar bahwa mereka berdua telah merampas hak
kekhilafahan dari pemiliknya yang sah.
Dalam keadaan demikian, Marwan bin Hakam
mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah, lalu warga Syam membaiatnya.
Sementara di Hijaz, Abdullah bin Zubair
memproklamirkan kekhalifahannya. Di sana ia senantiasa menjaga Ka’bah.
Pada tahun 73 H, anak Marwan yang
bernama Abdul Malik bersama pasukan besarnya bergerak menuju Makkah dan
mengepungnya. Seperti yang sudah dilakukan oleh Yazid, ia pun menghancurkan
Ka’bah dengan lemparan batu dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair.
Dalam usaha melanggengkan pemerintahan,
tak segan-segan Abdul Malik menggunakan ancaman dan tekanan terhadap siapa saja
yang menentangnya.
Ia mengangkat seorang lelaki penumpah
darah sebagai gubernurnya di Bashrah dan Kufah, yaitu Hajjaj bin Yusuf
Ats-Tsaqafi. Gubernur ini banyak membuat ladang penjagalan untuk nyawa-nyawa
yang tak berdosa, serta mengisi penjara-penjara dengan kaum laki-laki
dan—bahkan—perempuan.
Secara khusus, Abdul Malik melakukan
pengawasan ketat terhadap Imam Ali Zainal Abidin as. Mata-mata selalu mengintai
setiap gerak-gerik beliau.
Sampai akhirnya, dia memerintahkan untuk
menangkap Imam as, dan mengirimkan beliau ke pusat kekuasaannya di Syam. Selang
beberapa waktu, Abdul Malik membebaskan beliau.
Imam Ali Zainal Abidin dan
Hisyam
Abdul Malik meninggal setelah
menyerahkan tahta kekhalifahannya kepada Hisyam. Pada suatu hari, Hisyam
menunaikan ibadah haji dan tawaf di sekitar Ka’bah. Di sana dia bermaksud untuk
mencium Hajar Aswad, namun tidak berhasil karena banyaknya para jemaah haji
yang bersesakan. Kemudian, Hisyam duduk beristirahat sambil menunggu
kesempatan, sementara warga Syam berkerumun di sekitarnya. Tiba-tiba datanglah
Imam Ali Zainal Abidin as menebarkan bau harum semerbak, lalu tawaf di
sekeliling Ka'bah.
Tatkala Imam as sampai di hadapan Hajar
Aswad, orang-orang berhenti dengan penuh hormat dan membukakan jalan untuk
beliau, sehingga beliau dapat dengan mudah mencium batu hitam itu. Selekas itu,
orang-orang kembali melanjutkan tawaf mereka. Ketika menyaksikan peristiwa
tersebut, warga Syam yang tidak mengenal Imam as bertanya-tanya kepada Hisyam
tentang siapa gerangan laki-laki tersebut. Dengan berlagak bodoh bercampur rasa
kesal, ia menjawab, "Aku tidak mengenalnya." Farazdaq, penyair yang
berada di tengah mereka, tak lagi kuasa menahan rasa hormatnya. Spontan ia
melantunkan bait-bait syair yang begitu indah, sebagai jawaban atas
ketidaktahuan orang-orang Syam tersebut.
Dialah lelaki yang dikenal Makkah
tapak kakinya.
Dikenal Ka'bah, di dalam dan dan
di luar tanah Haram.
Dialah putra sebaik-baiknya hamba
di antara semua hamba Allah.
Dialah manusia yang bertakwa,
tersuci, dan terkemuka.
Dialah putra Fatimah jika kau tak
lagi kenal.
Kakeknya adalah penutup segenap
nabi Allah.
Imam Ali Zainal Abidin as mengirimkan
hadiah kepada Farazdaq sebagai penghargaan atas sikap yang ditunjukkannya dalam
bait-bait itu. Ia pun menerima hadiah tersebut dengan berharap mendapatkan
berkah darinya.
Ash-Shahifah
As-Sajjadiyyah
Sekilas, Ash-Shahifah As-Sajjadiyyah
adalah sebuah buku kecil kumpulan doa-doa. Tetapi, justru buku kecil itu telah
menjadi sumber pengetahuan dan mengajarkan akhlak luhur dan budi pekerti kepada
umat manusia. Di samping itu, buku itu mengandung pembahasan Filsafat, Sains,
dan persoalan-persoalan Matematika, bahkan juga masalah-masalah politik. Berikut
ini adalah beberapa contoh dari doa-doa beliau yang tercatat di dalam
As-Shahifah As-Sajjadiyyah:
• "Ilahi, aku sungguh berlindung
kepada-Mu dari kemalasan, kekecutan, kekikiran, kekhilafan, kekerasan hati, dan
keterhinaan."
• "Maha Suci Engkau yang mendengar
setiap nafas ikan di dasar laut! Maha Suci Engkau yang mengetahui peredaran
purnama dan mentari! Maha Suci Engkau yang mengetahui pergantian kegelapan
(malam) dan cahaya (siang)! Maha Suci Engkau ... sungguh aneh orang yang
mengenal-Mu, bagaimana mungkin mereka tidak takut kepada-Mu."
Selain terdapat doa-doa di dalam
Ash-Shahifah As-Sajjadiyyah, Imam Ali Zainal Abidin as juga mempunyai doa
khusus setiap hari, doa harian dalam seminggu, dan lima belas munajat, dengan
irama kata dan kalimat yang indah nan syahdu. Semua itu menunjukkan budi
pekerti yang agung dan ketundukkan jiwa Imam as di hadapan Allah SWT.
Risalah Huquq (Hak-hak)
Imam Ali Zainal Abidin as mempunyai
sebuah risalah yang dikenal dengan nama Risalah Huquq(Risalah Hak
dan Tanggung Jawab). Risalah itu mencakup lima puluh perkara berkenaan dengan
tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, dirinya, tetangga, dan teman-teman. Tentang
hak-hak seorang guru beliau mengatakan, "Di antara hak guru yang harus kau
penuhi adalah memuliakannya, menghormati kelasnya, dan menyimak pelajarannya
dengan seksama .... Janganlah engkau mengeraskan suaramu di hadapannya.
Sembunyikanlah segala kekurangannya dan perlihatkanlah segenap
kelebihannya."
Berkenaan dengan hak-hak seorang ibu,
Imam as mengingatkan, "Adapun hak ibumu, ketahuilah bahwa dia telah
mengandungmu, memberimu makan dari buah hatinya (air susunya), dia lebih senang
melihatmu kenyang sementara dia menahan lapar, dia memberimu pakaian sementara
dia telanjang, dia memberi minum sementara dia dahaga, dan menidurkanmu nyenyak
di haribaannya."
Tentang hak-hak tetangga, Imam as
menuturkan, "Di antara hak-hak tetanggamu adalah engkau menjaganya ketika
ia tidak terlihat, memuliakannya ketika ia berada di sisimu, ... janganlah
engkau merasa iri terhadapnya, mengingatkannya ketika tergelincir, dan
memaafkan kesalahannya." Tentang hak-hak kafir dzimmi (orang
kafir yang mengikat perjanjian dengan kaum muslimin dan hidup di negara Islam),
Imam Ali Zainal Abidin as menjelaskan, “Maka, hukum bagi kaum kafir ialah
menerima dari mereka apa yang direstui Allah, dan cukuplah bagi mereka jaminan
dan perjanjian yang telah Allah tetapkan untuk mereka. Sesungguhnya Rasulullah
telah bersabda, ‘Barangsiapa yang menyalahi janji, aku akan menjadi musuhnya,
maka takutlah kepada Allah dan jagalah mereka.’”
Hari Kesyahidan
Pada 25 Muharram 95 H, Imam Ali Zainal
Abidin as meninggal dunia sebagai syahid, tak lama setelah Hisyam bin Abdul
Malik membubuhkan racun ke dalam makanan beliau. Imam as wafat pada usia 57
tahun dan dimakamkan di Baqi‘, di samping makam pamannya, Imam Hasan bin Ali
as.
Mutiara Imam Ali Zainal
Abidin as
• “Wahai anakku! Waspadalah terhadap
lima macam manusia, dan janganlah kau bersahabat dan seperjalanan dengan
mereka:
“Jauhilah bersahabat dengan pendusta,
karena dia seperti fatamorgana; mendekatkan sesuatu yang jauh darimu dan
menjauhkan sesuatu yang dekat denganmu.
“Jauhilah bersahabat dengan orang fasik,
karena dia akan menjualmu dengan sesuap nasi atau selainnya.
“Jauhilah bersahabat dengan orang kikir,
karena dia akan membiarkanmu ketika engkau membutuhkannya.
“Jauhilah bersahabat dengan orang dungu
(tolol), karena dia akan mencelakakanmu padahal semestinya ia ingin menolongmu.
“Dan jauhilah bersahabat dengan orang
yang suka memutuskan silaturahmi, karena aku mendapatinya terlaknat di dalam
kitab Allah.”
• Dalam pesannya kepada sang putra, Imam
Muhammad Al-Baqir as, Imam Ali Zainal Abidin as mengatakan, “Berbuat baiklah
kepada setiap orang yang menuntut kebaikan. Jika ia adalah orang yang berhak
menerima kebaikanmu, maka engkau telah melakukan hal yang semestinya. Tapi jika
ia tidak berhak menerima kebaikanmu itu, maka engkau sungguh telah berhak
mendapatkan kebaikan. Jika seseorang mencacimu dari sebelah kanan dan beralih
ke sebelah kiri, lalu meminta maafmu, maka terimalah permintaannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar