Semua Nabi berbicara tentang persaudaraan
dan mengajak kepadanya dengan ribuan kata-kata. Sedangkan Rasulullah saw telah
mewujudkan persaudaraan itu secara praktis, yakni ketika karakter masyarakat
saat itu mencerminkan Al-Qur'an. Nabi mulai mempersaudarakan kaum muhajirin dan
Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad bin Rabi', seorang kaya dari Madinah
dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin 'Auf, seorang yang berhijrah dari
Mekah. Sa'ad berkata kepada Abdul Rahman: "Sesungguhnya, tanpa bermaksud
sombong, aku memang memiliki harta yang banyak daripada kamu. Aku telah membagi
hartaku menjadi dua bagian dan sebagiannya aku peruntukkan bagimu. Lalu aku
mempunyai dua orang wanita, maka lihatlah siapa di antara mereka yang mampu
memikatmu sehingga aku menceraikannya lalu engkau dapat menikahinya." Abdul
Rahman bin 'Auf menjawab: "Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu,
keluargamu, dan hartamu. Di manakah pasar yang engkau berdagang di
dalamnya?"
Abdul Rahman bin 'Auf keluar menuju ke
pasar untuk berkerja. Ia kembali dan membawa sesuatu yang dapat dimakannya. Ia
menolak dengan lembut sikap baik Sa'ad dan kedermawanannya. Ia bersandar pada
keimanan kepada Allah SWT dan lebih memilih untuk bekerja dan membanting
tulang. Tidak berlalu hari demi hari kecuali ia tetap bekerja sehingga ia mampu
untuk membekali dirinya dan melaksanakan pernikahan.
Demikianlah masyarakat Islam terbentuk
dan menampakkan identitasnya berdasarkan cinta, kebebasan, musyawarah, dan
jihad. Pekerjaan menurut Islam bukan suatu penderitaan untuk mendapatkan roti
atau potongan daging sebagaimana dikatakan peradaban kita masa kini, tetapi
pekerjaan dalam Islam melebihi ruang lingkup materi ini dan menuju puncak yang
lebih tinggi: "Dan katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang muhmin akan melihat pekerjaanmu itu. "
(QS. at-Taubah: 105)
Kesadaran bahwa apa yang kita kerjakan
akan dilihat oleh Allah SWT menjadikan perkerjaan itu mendapat cita rasa yang
lain. Yaitu suatu rasa yang melampaui nikmatnya memakan roti dan daging.
Setelah bekerja, datanglah cinta. Cinta dalam Islam bukan hanya perasaan yang
menetap dalam hati dan tidak diwujudkan oleh suatu perbuatan; cinta dalam Islam
merupakan langkah harian yang akan mengubah bentuk kehidupan di sekitar manusia
menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang Muslim mencintai Tuhannya
Pencipta alam semesta dan mencintai Rasulullah saw dan mencintai kaum Muslim
dan orang-orang yang berdamai dengan orang-orang Muslim, meskipun keyakinan
mereka berbeda dengannya. Bahkan seorang Muslim mencintai makhluk secara
keseluruhan: ia mencintai anak-anak, hewan, bunga, pasir dan gunung bahkan
benda-benda mati pun mendapat cinta dari seorang Muslim. Seorang Muslim jika
dia benar-benar seorang Muslim akan merasakan dnta yang dialami oleh Nabi Daud
terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini adalah perasaan sufi yang
tinggi. Seorang Muslim akan mewarisi cinta yang sebenarnya seperti yang
diwarisi Nabi Isa terhadap lingkungan yang baik yang ada di sekitarnya di mana
ketika Nabi Isa melihat tubuh anjing yang mati, maka Nabi Isa tidak melihat
selain keputihan giginya.
Demikianlah cinta yang tersebar dalam
kehidupan kaum Muslim di mana cinta itu pun tertuju kepada binatang dan
benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak akan terwujud dengan suatu keputusan
dan tidak ditetapkan dengan suatu undang-undang, tetapi cinta itu datang
biasanya akibat dari kepuasaan akal dan hati dengan adanya kepemimpinan besar
yang hati cenderung kepadanya dan akal mengambil darinya. Dan yang dimaksud
dengan kepemimpinan besar tersebut adalah keberadaan sang Nabi. Beliau adalah
cermin terbesar dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau adalah seorang yang
paling banyak berbuat demi Islam dan paling banyak sedikit mengharapkan balasan
darinya. Meskipun beliau seorang pemimpin namun beliau hidup dalam
kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara yang paling sederhana. Tempat
tidurnya bersih tetapi kasar, dan rumahnya tidak menampakkan kesibukan yang di
dalamnya memasak berbagai macam hidangan. Beliau justru menyiapkan hidangan
yang sangat sederhana. Makanan utama beliau adalah roti kering yang dicampur
dengan minyak. Keinginan besar beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum Muslim menyadari bahwa kesempurnaan
Islam tidak akan terwujud kecuali ketika cinta Allah SWT dan Rasul- Nya lebih
didahulukan daripada cinta diri sendiri, cinta kepada wanita, cinta kepada
anak, kepentingan, kekuasaan, kehidupan, dan apa saja yang tidak ada
hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikianlah kaum Muslim sangat
mencintai pemimpin mereka lebih dari kehidupan pribadi mereka. Di samping
pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah pemerintahan Islam yang berdasarkan
kaidah-kaidah kebebasan, musyawarah dan jihad.
Kebebasan dalam Islam bukan sekadar
perhiasan yang dilekatkan kepada tubuh Islam tetapi ia merupakan tenunan dari
sel-sel yang hidup itu. Allah SWT telah membebaskan kaum Muslim dari
penyembahan selain dari-Nya. Dengan demikian, runtuhlah semua belenggu yang
hinggap di atas akal, hati, dan masyarakat. Seorang Muslim memiliki—dalam
Islam—suatu kebebasan yang diberikan kepadanya agar ia melihat sesuatu dengan
akalnya dan mendebat segala sesuatu dengan akalnya. Dan hendaklah ia merasa
puas dengan sesuatu yang dapat menenteramkan hatinya. Kebebasan dalam Islam
bukan kebebasan mutlak yang menjurus kepada anarkisme dan diskriminasi tetapi kebebasan
dalam Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam ruang lingkup nas-nas yang pasti
yang terdapat dalam Al-Qur'an atau sunah tidak ada kebebasan di hadapan orang
Muslim selain kebebasan untuk berlomba-lomba untuk menerapkan apa yang mereka
pahami. Selain itu, seorang bebas sampai tidak terbatas, dan pintu ijtihad
tetap terbuka sampai tidak ada batasnya, karena pintu ijtihad adalah akal dan
menutup pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu berarti akan membawa kematian
baginya. Islam tidak menerima orang-orang yang mati akalnya atau menga-lami
kemunduran; Islam pada hakikatnya memperlakukan manusia dari sisi akal dan
hati.
"Adalah untukmu, sedang kamu
menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan
Allah meng-hendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan
memusnahkan orang-orang kafir." (QS. al-Anfal: 7)
Orang-orang Islam karena kekafiran
mereka dan kebutuhan mereka serta situasi ekonomi yang memburuk, mereka ingin
bertemu dengan pasukan yang tidak bersenjata; mereka ingin bertemu dengan
kafilah yang kaya, bukan pasukan yang bersenjata; mereka membutuhkan harta
untuk menyebarkan dakwah. Namun Allah SWT menginginkan mereka dengan keadaan
seperti itu agar mereka berhadapan dengan pasukan kafir dan agar mereka mampu
memutus tali kekuatan orang-orang kafir sehingga kebenaran akan menang.
Keluarlah orang-orang Muslim dalam
peperangan Badar dengan membayangkan bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan
dan kesenangan dengan banyak mengambil ganimah. Namun Allah SWT menginginkan
terjadinya peperangan yang berat, di mana itu berakibat pada jatuhnya
tokoh-tokoh kaum kafir Mekah sebagai korban darinya dan agar Madinah dapat
menahan penderitaan dan kefakiran yang dialaminya. Seharusnya pengikut Islam
tidak membayangkan untuk mengambil keuntungan tetapi ia justru harus memberi
kepadanya.
Nabi mengetahui sebagai pemimpin pasukan
ia harus mengingatkan pasukannya bahwa mereka akan menemui kesulitan dan
penderitaan, dan bukan masalah sepele seperti yang mereka bayangkan. Nabi
bermusyawarah dengan sahabat-sahabat. Beliau berbincang-bincang dengan Abu
Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, dan Miqdad bin Amr. Lalu mereka semua sepakat
untuk terus melakukan peperangan apa pun hasilnya dan apa pun pengorbanan yang
harus dilakukan.
Kemudian Rasulullah saw berkata:
"Wahai para sahabat, tunjukkanlah diri kalian." Rasulullah saw
mengisyaratkan kepada kaum Anshar. Rasulullah saw khawatir jika mereka memahami
bahwa baiat yang terjadi di antara mereka yang berisi agar mereka melindungi
beliau jika beliau diserang di Madinah saja, dan memang pasal-pasal dari baiat
itu mendukung hal itu. Tidakkah mereka mengatakan kepada beliau: "Ya
Rasulullah, kami tidak akan bertanggung jawab kepadamu sehingga engkau sampai
di negeri kami. Jika engkau sampai di negeri kami, maka kami akan bertanggung
jawab untuk melindungimu."
Mayoritas pasukan terdiri dari
orang-prang Anshar, maka Rasulullah saw ingin mengetahui keputusan mayoritas
tentara sebelum dimulainya peperangan. Kaum Anshar mengetahui bahwa Rasul saw
ingin mengetahui pendapat kaum Anshar. Oleh karena itu, Sa'ad bin 'Auf berkata:
"Demi Allah, seakan-akan engkau menginginkan kami ya Rasulullah."
Nabi menjawab, "benar." Kemudian kaum Anshar menyatakan apa yang
mereka rasakan.
Mendengar pernyataan kaum Anshar itu
hilanglah kekhawatiran dan ketakutan Nabi, bahkan beliau bergembira dan
wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah mendidik mereka berdasarkan Islam
dan Islam tidak mengenal pasal-pasal perjanjian namun ia justru tenggelam dalam
esensinya dan kedalamannya yang jauh. Kaum Anshar meyakinkan Nabi bahwa mereka
benar-benar beriman kepadanya, mencintainya dan akan mendengarkan apa saja yang
beliau katakan serta akan benar-benar menaati beliau.
Sa'ad bin Mu'ad berkata: "Ya
Rasulullah, lakukanlah apa yang engkau inginkan dan kami akan bersamamu. Demi
Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau membelah lautan lalu
engkau menyelam di dalamnya niscaya kami akan menyelam bersamamu dan tidak ada
seseorang pun di antara kami yang akan meninggalkanmu." Demikianlah
keteguhan kaum Anshar. Kalimat tersebut menetapkan peperangan paling penting
dan paling berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan kaum Anshar dan Muhajirin dalam
pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan perasaan Nabi Musa ketika mereka
mengatakan kepadanya, "pergilah engkau wahai Musa bersama Tuhanmu dan
berperanglah, sesungguhnya kami di sini hanya duduk-duduk saja." Namun
kaum Muslim menyatakan bahwa seandainya Rasul saw memerintahkan mereka untuk
melalui lautan dengan berjalan kaki di atas ombaknya niscaya mereka akan
melakukan hal itu walaupun berakibat pada tenggelamnya mereka dan kematian
mereka dan tak seorang pun yang akan menentang perintah Rasul saw tersebut.
Akhirnya, kaum Muslim bersiap-siap untuk
memasuki kancah peperangan lalu mereka membuat kemah-kemah yang di situ
ditentukan tempat peristirahatan dan pergerakan tentara Islam. Tempat itu
ditentukan oleh Rasul saw. Allah SWT membiarkan Rasul-Nya melakukan kesalahan
dalam memilih tempat sehingga itu akan dapat menjadi pelajaran bagi kaum Muslim
dalam kaidah umum dari kaidah-kaidah peperangan yaitu sikap pemimpin pasukan
untuk mengambil suatu kebijakan yang penting yang berdasarkan pengalaman. Kemudian
datanglah Habab bin Mundzir kepada Rasulullah saw dan bertanya kepadanya,
"apakah tempat yang kita jadikan sebagai pusat pergerakan tentara kita
merupakan pilihan dari Allah SWT dan Rasul-Nya hingga kita tidak dapat
mendahuluinya dan mengakhirinya yakni kita tidak dapat memberikan pendapat kita
ataukah itu hanya masalah yang bersifat tehnik yakni itu terserah pada pendapat
kita dan sesuai kebijakan saat perang dan ia merupakan tipu daya semata?"
Rasulullah saw berkata: "Tetapi itu
adalah pendapat pribadi, peperangan, dan tipu daya." Habab berkata:
"Ya Rasulullah ini adalah tempat yang tidak tepat." Sahabat yang
sarat pengalaman ini memilih tempat di mana pasukan Madinah dapat minum darinya
sedangkan pasukan Mekah tidak dapat mengambil darinya. Kemudian berpindahlah
pasukan Muslim menuju tempat yang telah ditentukan oleh pengalaman militer.
Sampailah pasukan Mekah di mana jumlah
mereka mendekati seribu tentara dan mereka akan berhadapan dengan tiga ratus
tujuh belas pasukan Muslim. Pasukan Quraisy berada di tempat yang jauh dari
lembah.
Pasukan kafir terdiri dalam perang Badar
dari pemuka-pemuka Quraisy dan pahlawan-pahlawan mereka, sedangkan pasukan
Muslim terdiri dari keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga dekat dari
pasukan kafir. Allah SWT telah menentukan agar seorang anak bertemu dengan
ayahnya, saudara bertemu dengan sesama saudara dan sesama ipar bertemu di medan
peperangan. Mereka semua dipisahkan dengan suatu prinsip di mana mereka
ditentukan oleh pedang. Akhirnya, peperangan Badar pun terjadi dan kaidah utama
adalah kaidah persaudaraan sesama Muslim. Dan ketika pasukan Muslim berpegang
teguh di atas dasar Islam, maka pasukan kafir mulai terpecah belah namun
keadaan tersebut mereka sembunyikan.
Lalu 'Utbah bin Rabi'ah berbicara di
tengah-tengah pasukan Mekah dan mengajak mereka untuk menarik kembali dari
peperangan. 'Utbah memberikan pernyataan sesuai dengan tuntutan akal sehat,
"wahai orang-orang Quraisy demi Allah, jika kalian harus memerangi
Muhammad, maka kalian akan menyesal karena kita berhadapan dengan
saudara-saudara kita sendiri. Boleh jadi kita akan membunuh anak paman kita,
atau salah seorang dari kerabat kita. Mengapa kalian tidak membiarkannya
saja?"
Kalimat yang rasional tersebut cukup
menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian tentara merasa puas dengan pernyataan
tersebut karena mereka melihat bahwa tidak ada gunanya peperangan itu. Namun
kebohohan justru memadamkan kalimat yang rasional itu. Abu Jahal menuduh bahwa
yang mengucapkan kata-kata adalah orang yang penakut. Kemudian Abu Jahal lebih
memilih pendapatnya untuk menetapkan terus memerangi kaum Muslim.
Pemimpin pasukan kafir yaitu Abu Jahal
mengetahui bahwa Muhammad tidak pernah berbohong. Kitab-kitab sejarah
menceritakan bahwa Akhnas bin Syuraif menyendiri dalam perang Badar bersama Abu
Jahal sebelum terjadinya peperangan tersebut dan bertanya kepadanya,
"wahai Abul Hakam, tidakkah engkau melihat bahwa Muhammad pernah
berbohong? Abul Hakam menjawab: "Bagaimana mungkin ia berbohong atas
Allah, sedangkan kami telah menamainya al-Amin (orang yang dapat
dipercaya)." Peperangan tersebut bukan sebagai usaha untuk mendustakan
Rasul saw tetapi itu hanya semata-mata untuk menjaga kepentingan-kepentingan
sesaat dan keadaan ekonomi. Demikianlah orang-orang kafir mempertahankan nilai
yang paling rendah yang ada di muka bumi yang juga dipertahankan oleh binatang,
sementara kaum Muslim justru mempertahankan nilai yang paling tinggi di bumi
dan di langit yang ikut serta di dalamnya para malaikat.
Kemudian datanglah waktu malam
menyelimuti dua kubu. Tiga ratus tentara yang mukmin sudah bersiap-siap dan
mendekati seribu tentara musyrik. Orang-orang musyrik datang dengan menunggangi
tunggangan mereka dan tampak mereka memiliki persenjataan yang lengkap,
sedangkan setiap orang Muslim datang di atas satu kendaraan. Pakaian yang
dipakai orang-orang musyrik tampak masih baru dan pedang-pedang mereka tampak
mengkilat serta baju besi yang mereka gunakan sangat unggul dan kuat. Alhasil,
mereka memiliki persiapan yang sangat mengagumkan sedangkan pakaian yang
dipakai orang-orang Muslim tampak sudah usang dan pedang-pedang kuno pun mereka
gunakan dan baju besi yang mereka gunakan tampak tidak sempurna. Nabi melihat
keadaan pasukannya lalu hati beliau tampak sedih melihat pasukan tersebut.
Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah mereka. Ya Allah, sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang tanpa alas kaki, maka tolonglah mereka. Ya
Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak berpakaian, maka
berilah mereka pakaian."
Kemudian rasa kantuk menghinggapi mata
kedua pasukan lalu mereka beristirahat di tengah-tengah malam. Jatuhlah hujan
kecil yang membuat tempat itu basah sehingga kelembaban mengitari kaum Muslim.
Hujan tersebut membasuh tanah perjalanan dan menghilangkan debu-debu kepayahan
serta menyucikan hati dan membangkitkan kepercayaan atas kemenangan dari Allah
SWT. Allah SWT berfirman: "(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu
mengantuk sebagai suatu penenteram dari-Nya, dan Allah menurunkan hujan dari
langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya
telapak kaki(mu)." (QS. al-Anfal: 11)
Datanglah waktu pagi di Badar lalu kaum
Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi memerintahkan pasukan Muslim untuk bertahan.
Rasulullah saw bersabda: "Jika musuh mengepung kalian, maka usirlah mereka
dengan panah dan janganlah kalian menyerang mereka sehingga kalian
diperintahkan."
Demikianlah ketetapan militer yang
sangat jitu yang berarti hendaklah kaum Muslim membentengi mereka di
tempat-tempat mereka agar orang-orang musyrik mendapatkan kerugian dari
serangan yang mereka lakukan. Kita mengetahui dari ilmu militer saat ini bahwa
seorang yang menyerang memerlukan tiga atau tiga kali lipat dari jumlah yang
biasa dilakukan sehingga serangannya betul-betul efektif; kita mengetahui bahwa
jumlah pasukan musyrik tiga kali lipat dibandingkan dengan tentara Muslim. Kaum
musyrik dilihat dari segi jumlah sangat memadai untuk memenangkan peperangan,
dan persenjataan mereka lebih lengkap dari persenjataan kaum Muslim. Jumlah
hewan yang mereka miliki pun sama dengan jumlah mereka, sedangkan tiap tiga
orang Muslim berperang di atas satu tunggangan.
Keadaan saat itu sangat menguntungkan
kaum musyrik. Tanda-tanda kemenangan tampak menyertai bendera kaum musyrik,
tetapi kemenangan peperangan bukan karena kebesaran jumlah pasukan dan
persenjataan yang lengkap. Terkadang peperangan justru dimenangkan oleh unsur
spiritual yang tidak kelihatan. Spiritualitas tentara dan keimanannya tentang
persoalan yang dipertahankannya serta keinginannya untuk mendapatkan dua
kebaikan: kemenangan atau kematian dan hasratnya yang tinggi untuk meneguk madu
syahadah, semua itu dapat mengubah seorang tentara menjadi makhluk yang tidak
terkalahkan. Boleh jadi ia akan merasakan kematian tetapi jauh dari kekalahan.
Demikianlah keadaan pasukan Muslim.
Sementara itu debu-debu berterbangan di
atas kepala pasukan yang bertempur dan kaum Muslim mencurahkan tenaga yang
keras dalam peperangan itu. Ketika dua pasukan saling bertemu dan bertempur,
Nabi saw melihat mereka, lalu Nabi saw menyaksikan pasukannya terjepit. Pasukan
yang berjumlah sedikit dengan persenjataan yang tidak lengkap itu kini ditekan
oleh orang kafir. Dalam keadaan demikian, Nabi saw meminta pertolongan kepada
Tuhannya: 'Ya Allah, kirimkanlah bantuan dan pertolongan-Mu. Ya Allah,
wujudkanlah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka
Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi." Renungkanlah,
bagaimana kesedihan Nabi saat terjadi peperangan itu. Oleh karena itu, kita
dapat memahami mengapa Nabi saw meminta agar pasukannya dimenangkan.
Pemimpin pasukan tertinggi Muhammad bin
Abdillah keluar berperang di jalan Allah SWT dan saat ini kematian sedang
mengitari kaum Muslim, lalu apa yang dipikirkan oleh Nabi saw pada keadaan yang
sulit tersebut? Pemikiran Nabi saw melebihi hal yang sekarang dan menuju pada
hal yang akan datang, dan yang menjadi fokus Nabi adalah penyembahan Allah SWT
di muka bumi: "Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak
akan disembah setelahnya di muka bumi."
Nabi tidak terlalu mengkhawatirkan
kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru mengkhawatirkan sesuatu yang lebih
besar dari itu. Yang beliau khawatirkan adalah penyembahan kepada Allah SWT
akan berhenti di muka bumi. Oleh karena itu, Nabi meminta tolong kepada
Tuhannya dan mengingatkan kembali kepada Tuhannya dan Allah SWT lebih tahu dari
hal itu. Kemudian turunlah bala tentara malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah SWT berfirman: "(Ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankankan-Nya
bagimu: 'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan
seribu malaikat yang datang berturut-turut.' Dan Allah tidak menjadikannya
(mengirim bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi
tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah itu Nabi saw menghampiri sahabat
Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan berita gembira wahai Abu Bakar,
sesungguhnya telah datang kepadamu bantuan dari Allah SWT."
Turunnya para malaikat merupakan cara
untuk meneguhkan kaum Muslim dan berita gembira kepada mereka. Mukjizat itu
bukan terletak pada penyertaan para malaikat dalam peperangan, namun melalui
nas-nas ditegaskan bahwa peranan malaikat tidak lebih dari sekadar membawa
berita gembira dan memberikan dukungan moril serta memenuhi hati dengan ketenangan.
Kami kira bahwa Allah SWT ingin agar para malaikat menyaksikan manusia-manusia
malaikat yang mempertahankan akidah tauhid.
Demikianlah Allah SWT mewahyukan kepada
malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang
beriman merasa tenang dan kebenaran akan tertancap pada hati mereka sedangkan
orang-orang kafir pasti akan merasakan ketakutan.
Allah SWT berfirman: "(Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku bersama kamu,
maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.' Kelak akan Aku
jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala
mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian
itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan
barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras
siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atasmu), maka rasakanlah
hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab
neraka." (QS. al-Anfal: 12-14)
Lalu orang-orang kafir pun mengalami
kekalahan. Setelah peperangan itu, terbunuhlah tujuh puluh kafir dan tujuh
puluh tawanan dari mereka dan sebagian pasukan melarikan diri. Runtuhlah
tokoh-tokoh kebencian dan kelaliman di peperangan tersebut. Hancurlahlah Abu
Jahal, pemimpin pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah kini terkapar.
Rasulullah saw berdiri di depan
bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata: "Wahai Utbah bin Rabi'ah,
wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin Khalf, wahai Abu Jahal bin Hisam,
apakah kalian menemukan apa yang dijanjikan oleh tuhan kalian kepada kalian.
Sungguh aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku." Orang-orang
Muslim berkata: "Ya Rasulullah, apakah engkau memanggil kaum yang sudah
mati?" Rasulullah berkata: "Kalian tidak mengetahui apa yang aku
katakan kepada mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab perkataanku."
Rasulullah saw tinggal tiga malam di Badar kemudian beliau kembali ke Madinah.
Di depan beliau terdapat tawanan-tawanan perang dan ganimah.
Kaum Muslim sangat menanggung beban
berat dengan banyaknya tawanan perang. Mula-mula Rasulullah saw bermusyawarah
dengan sahabat Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar berkata: "Ya Rasulullah,
mereka adalah keturunan dari saudara-saudara dan keluarga, dan aku melihat
lebih baik engkau mengambil fidyah (tebusan) dari mereka sehingga apa yang
engkau ambil tersebut merupakan kekuatan bagi kita terhadap orang-orang kafir,
dan mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka sehingga mereka
menjadi tulang punggung kita."
Kemudian Rasulullah saw menoleh kepada
Umar bin Khattab sambil berkata, "bagaimana pendapatmu wahai Ibnul
Khattab?" Lelaki itu berkata: "Demi Allah, aku tidak sependapat
dengan apa yang dikatakan Abu Bakar tetapi aku berpendapat, seandainya aku
mampu untuk bertemu dengan salah seorang kerabatku, maka aku akan memukul
lehernya, dan seandainya Ali mampu bertemu dengan keluarganya, maka ia pun akan
memukul lehernya begitu Hamzah sehingga Allah SWT mengetahui bahwa tidak ada di
hati kita kelembutan kepada kaum musyrik."
Pasukan Madinah dan pasukan Mekah
terdiri dari keluarga-keluarga yang terikat hubungan kekerabatan, namun
kehendak Allah SWT menetapkan terjadinya peperangan sesama keluarga: antara
anak dan orang tuanya. Umar menginginkan agar keadaan demikian terus berlanjut
sehingga orang-orang musyrik mengetahui bahwa Islam tidak ingin berdamai.
Kemudian Selesailah urusan itu dan terjadi peperangan di jalan Allah SWT dan
mengangkat senjata dan berperang adalah suatu kewajiban yang tiada keraguan di
dalamnya. Nabi saw menoleh kepada kaum Muslim dan mendapati sebagian besar
mereka cenderung kepada pendapat Abu Bakar. Nabi saw mengikuti pendapat
mayoritas saat itu. Pendapat mayoritas salah dan hanya Umar yang benar.
Ini adalah peperangan pertama yang
dilalui oleh Islam. Hendaklah kaum Muslim harus meninggalkan dorongan
kemanusiaan mereka, yakni orang-orang kafir harus dibunuh agar musuh-musuh
Allah SWT mengetahui bahwa Islam telah memilih darah. Allah SWT telah mendukung
Umar bin Khattab dalam Al-Qur'an sehingga Nabi saw dan Abu Bakar menangis
ketika keduanya menyadari kesalahan mereka pada hari berikutnya, lalu Umar
memergoki mereka dalam keadaan menangis dan ia bertanya, "apa yang
menyebabkan Rasulullah saw dan temannya di gua menangis?" Kemudian
Rasulullah saw membaca Al-Qur'an: "Tidak patut bagi seorang Nabi
mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu
menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak
ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan
yang besar karena tebusan yang hamu ambil." (QS. al-Anfal: 67-68)
Kedua ayat itu mengatakan bahwa ini
bukan saatnya melindungi para tawanan dan berusaha untuk menebus mereka. Waktu
Demikian belum saatnya. Nabi tidak berhak memiliki tawanan kecuali jika ia
telah melakukan banyak peperangan dan banyak berjihad dan telah banyak membunuh
dan dakwahnya telah mapan.
Kedua ayat tersebut menyingkap tujuan di
balik penebusan tawanan: "Kamu menghendaki harta benda duniawi
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)."
Demikianlah pemikiran yang
mempertimbangkan keadaan-keadaan aktual yang sulit. Itu adalah pemikiran yang
bersifat taktik sebagaimana yang kita ungkapkan dalam istilah modern dan bukan
pemikiran yang bersifat strategis. Kemudian para tawanan tersebut bukan tawanan
biasa tetapi menurut istilah modern mereka adalah penjahat-penjahat perang.
Oleh karena itu, nyawa mereka harus ditumpahkan saat mereka dapat ditangkap,
meskipun mereka memiliki kekayaan yang banyak atau kedudukan yang tinggi. Islam
tidak mengakui kekayaan atau kedudukan, yang diakuinya adalah keimanan,
sedangkan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya tidak dihiraukan oleh
Islam.
Nas Al-Qur'an memperingatkan orang-orang
yang menang bahwa kesalahan mereka bisa berakibat pada datangnya siksaan yang
bakal mereka terima tetapi Allah SWT mengampuni mereka dan menurunkan
rahmat-Nya: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan
yang kamu ambil."
Siksaan tersebut memang lebih dekat
daripada pohon yang dekat ini, kemudian Allah SWT mengampuni mereka dan Allah
SWT mengampuni sahabat-sahabat yang terjun di perang Badar, baik dosa yang lalu
maupun dosa mereka yang akan datang. Demikianlah Al-Qur'an ingin mendidik kaum
Muslim agar mereka tidak banyak mempertimbangkan urusan manusiawi saat
berperang. Jadi, Islam memulai peperangannya yaitu peperangan yang hanya
ditujukan kepada Allah SWT dan hendaklah peperangan tersebut dihilangkan dari
pertimbangan-pertimbangan yang sulit sehingga sahabat-sahabat Nabi mengetahui
bahwa kecenderungan kepada kesenangan duniawi akan berakibat pada kekalahan
mereka.
Dalam peperangan Uhud jumlah kaum
musyrik tiga ribu sedangkan jumlah kaum Muslim tiga ratus pasukan setelah
pemimpin orang-orang munafik Abdullah bin Saba' mengundurkan diri pasukan. Kaum
Muslim diletakkan di gunung dan Rasulullah saw membuat rencana yang jitu untuk
memenangkan pertempuran di mana beliau membagi pasukan pemanah di puncak gunung
untuk melindungi punggung kaum Muslim dan melinduingi mereka dari serangan dari
arah belakang. Rasulullah saw memberi pengertian kepada pasukan panah itu agar
mereka tetap di tempatnya baik kaum Muslim menang maupun kalah. Yakni bahwa
pasukan pemanah tidak boleh turun dari gunung dan meski berusaha untuk
melindungi kaum Muslim. Rasulullah saw berkata kepada mereka. "lindungilah
punggung-punggung kami. Jika kalian melihat kami sedang bertempur, maka kalian
tidak usah turun darinya dan tidak usah menolong kami, dan jika kalian melihat
kami memperoleh kemenangan dan mengambil ganimah, maka kalian tidak boleh ikut
serta bersama kami."
Setelah membuat keputusan tersebut,
Rasulullah saw kembali ke pasukan yang lain, lalu beliau membikin suatu rencana
untuk menyerang. Dan Dimulailah peperangan kemudian pasukan Islam mendorong
pasukan musyrik laksana angin yang kencang yang memporak-porandakan ribuan kaum
musyrik. Pada tahapan pertama pasukan Islam tampak menguasai medan dan berhasil
menyapu kaum musyrik sehingga pasukan Mekah tampak berputus asa meskipun mereka
unggul secara bilangan dan meskipun mereka memiliki kuatan persenjataan yang
lengkap, pasukan Mekah justru dikagetkan dengan ketangguhan pasukan Muslim yang
dapat memukul mundur mereka hingga mereka membayangkan balwa mereka tidak dapat
memenangkan peperangan atau dapat bertahan di hadapan pasukan Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar