Oleh Abbas
Abiri. Penerjemah: Nasir Dimyati
(Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)
Di hari-hari akhir bulan Safar tahun 1292 H., rumah
Hujatul Islam Haji Sayid Ali bin Sayid Ahmad Thaba'thaba'i hanyut dalam dzikir
kepada Allah swt. dan syukur kepada-Nya atas kelahiran bayi yang kemudian
diberi nama Husain. [1]
Perlahan-lahan Sayid Husain tumbuh besar dan
berkembang. Dia mempelajari kitab Jami‘ Al-Muqoddimât, Suyûthî, Manthiq, dan
Gulistan Sa'di, di sekolah daerah, kemudian dia melanjutkan pendidikannya di
Madrasah Nur Bakhsy sambil membina diri di sana. Disiplin-disiplin ilmu nahwu,
sharaf, badi', urudh, mantik atau logika, fikih, dan usul fikih adalah sebagian
dari mata pelajaran yang dia tekuni di madrasah itu. [2] Selama
bertahun-tahun dia berusaha keras di sana dan berhasil mengalami kemajuan pesat
di bawah naungan inayah Allah swt.
Dia ingin sekali pergi ke kota Isfahan, akhirnya
setelah meminta persetujuan dari bapaknya, dia pergi ke kota ilmu saat itu. Nuh
Din, misanannya saat itu tinggal sebagai pelajar yang giat di Madrasah Sadr,
Sayid Husain pun segera menemuinya dan tinggal sekamar bersamanya. Hubungan
antara dua misanan Burujurdi ini harmonis sekali. Pesan pertama Nuh Din kepada
misanannya itu adalah, "Jika kamu
ingin sukses dan bahagia dalam rangka belajar dan mengajar, maka kamu harus
berbicara di pertemuan-pertemuan ilmiah dan kritis di ruang belajar, selain itu
maka sampai akhir hayatmu kamu tetap tak dikenal seperti aku". [3]
Di Bawah Hujan
Untuk pertama kalinya Sayid Husain mengikuti pelajaran
guru yang terhormat, Sayid Muhammad Baqir Durceh'i. Ulama yang memancarkan
cahaya Ilahi di kedua matanya itu, segera menangkap kehadiran satu-satunya
mutiara Burujurd, langsung saja dia mendekatkan berlian potensial itu kepada
dirinya dan dia beri perhatian yang khusus. Guru-guru lainnya adalah Ayatullah
Mulla Muhammad Kasyani, mujtahid terkemuka Mirza Abu Ma'ani Kalbasi, ulama
tersohor Sayid Muhammad Taqi Mudaris, dan filsuf besar Mirza Jahangir Qasyqa'i.
Masing-masing dari guru besar itu mencurahkan
perhatiannya kepada Sayid Husain dan punya peran aktif dalam membentuk
kepribadian berharga berlian dari keluarga Thaba'thaba'i tersebut. Di pagi
suatu hari, bulan Rabi'ul Awal 1314 H. dia duduk di depan kamarnya sambil
menikmati sepoi-sepoi ilmu dan hikmah yang dirasakan oleh ruh dalam dirinya
dari sisi guru-guru besar Hauzah Sepahan, tiba-tiba tukang pos datang
memberikan surat kepadanya dari sang bapak.
Kedatangan surat bapak itu sempat membuat dia hanyut
dalam kegembiraan, tapi tak lama kemudian kegembiraan itu bercampur kesedihan,
karena ternyata bapak mengundangnya pulang ke kampung halaman. Berlian Burujurd
berpikir, mungkin saja bapak ingin mengirim dia ke Najaf, maka dari itu dia
siap menanggung perpisahan dengan pendidikannya di sini dan segera pulang ke
kampung halaman. Tapi ternyata, bapak punya pikiran yang berbeda. Bapak dia
bersikeras untuk mengawinkannya dan telah berjerih payah untuk mempersiapkan
kebutuhan-kebutuhan pernikahan. Itulah kenapa pelajar berlian Burujurd ini
menikah pada usianya yang ke-22 [4]. Sekitar dua atau tiga bulan
setelah nikah dia tinggal di kampung halaman, dan kemudian bersama-sama
istrinya dia pergi lagi ke Isfahan. [5]
Suratan Nasib
Tahun 1319 H. adalah tahun perubahan bagi Sayid Husain
Thaba'thaba'i Burujurdi. Surat bapaknya sampai ke tangan dia sedang
mempersiapkannya untuk bisa hijrah ke Najaf. Maka setelah sembilan tahun penuh
aktivitas ilmiah dan penelitian di Isfahan, dia pulang ke kampung halaman, dan
setelah mampir sebentar di sana dia berhijrah ke Najaf bersama adiknya yang
bernama Sayid Isma'il. [6]
Dua bersaudara itu menginjakkan kaki di tanah haram
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. pada tahun 1320 H. Sayid Husain, yang
berusia 28 tahun dan terhitung sebagai mujtahid muda, segera menghadiri pelajaran
Ayatullah Uzma Muhammad Kadzim Khurasani (Akhund Khurasani) dan menempatkan
dirinya persis di bawah terik mentari ilmu dan marja' pada waktu itu. Dalam
waktu yang singkat, pandangan-pandangan pelajar muda yang tajam dan patut
diperhitungkan ini membuat hati guru besar Hauzah Ilmiah Najaf tertarik
kepadanya, sehingga terjalinlah hubungan yang erat di antara mereka, bahkan
apabila sampai akhir pelajaran dia tidak bersuara, maka sang guru menyerunya
seraya berkata, "Apa kamu tidak punya pendapat dalam hal ini?".
Lambat laun, kebesaran Sayid Husain diketahui oleh
murid-murid lain yang hadir di bangku kuliah Akhund Khurasani. Akhirnya mereka
meminta dia agar setelah ustad keluar dari ruang kuliah, dia mengulas pelajaran
ustad kembali dengan keterangan yang lebih panjang dan lebar. Sejak itu, salah
satu program mujtahid muda Sayid Husain Burujurdi adalah menerangkan kembali
kuliah ustadnya. [7]
Delapan tahun manusia agung itu tinggal di tanah haram
Amirul Mukminin Ali as. Selain belajar dari Akhund Khurasani, dia juga belajar
dari ayatullah-ayatullah lain seperti Syekh Syariat Isfahani dan Sayid Muhammad
Kadzim Yazdi. Di samping itu, ada beberapa pelajar yang menimba ilmu ushul
fikih darinya sampai sukses. Tapi kemudian, di akhir tahun 1328 H., bapaknya
bersikukuh agar dia pulang, dan terpaksa dia memenuhi permintaan bapaknya, dia
kembali datang ke kampung halamannya pada tahun 1329 dan disambut hangat sekali
oleh masyarakat setempat. [8]
Sebetulnya dia tidak ingin tinggal lama di kampung
halamannya, dan sebaliknya ingin segera kembali ke Najaf dan berlindung di
tanah haram Amirul Mukminin Ali as. Akan tetapi, kondisi sakit-sakitan bapaknya
dan juga kematian beliau membuat perjalanannya kembali ke Najaf tertunda. Dalam
kondisi seperti itu, surat belasungkawa ustad penulis buku besar Kifâyat
Al-Ushûl, Akhund Khurasani menjadi pelipur lara. Di dalam surat itu, di samping
ustad mengucapkan belasungkawanya atas kepergian Haji Sayid Ali, dia juga
mengungkapkan kerinduannya untuk bertemu lagi dengan mujtahid Burujurd –Sayid
Husain.
Surat penuh kasih sang guru, membulatkan tekad penghulu ulama Burujurd ini untuk segera menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh keluarganya dan terus kembali ke kota Najaf Asyraf. Berapa bulan kemudian, segala sesuatu yang dibutuhkan untuk perjalanan kembali ke kota itu sudah tersedia, tapi berita kematian gurunya yang mulia menghanyutkannya lagi dalam kesedihan. Tokoh besar itu selalu mengatakan, "Kematian dua bapak dalam waktu kurang dari enam bulan betul-betul menyakitkan dan berat bagiku." [9]
Berita wafatnya sang guru telah memadamkan tekadnya
untuk bepergian. Bagi dia, berat sekali hidup di kota suci Najaf tanpa
kehadiran guru tercinta, Akhund Khurasani. Oleh karena itu, dia buang pikiran
hijrah itu jauh-jauh, dan dia mulai membuka program pendidikan dan pembinaan
masyarakat di Burujurd. Sedikit demi sedikit, orang-orang mukmin setempat
mengetahui betapa berharganya berlian dari keluarga Thaba'thaba'i Burujurdi
ini, mereka pun menyerahkan kendali urusan-urusan spiritual mereka kepadanya.
Kecintaan Ayatullah Haji Muhammad Reza Dezfuli kepada dia telah menambahkan
popularitas dan nilainya di tengah masyarakat. Dan setelah Ayatullah Dezfuli
meninggal dunia, mayoritas mukalid atau pengikutnya bertaklid kepada dia,
sehingga status marja' dia semakin tersebar luas di kawasan. [10]
Menghadapi Malam
Pada tahun-tahun itu, propaganda Bahaisme yang
dilakukan oleh sebagian pejabat-pejabat kota dan yang telah melecehkan
pokok-pokok keagamaan yang sakral bagi masyarakat setempat membuat Ayatullah Uzhma
Burujurdi gelisah. Akhirnya dia menghubungi ibukota Teheran dan memberitakan
kondisi tidak sehat yang terjadi di sebagian kantor kota ke pejabat pusat di
Teheran, dia juga meminta agar pejabat-pejabat kota Burujurd yang anti agama
dan telah melakukan kesalahan-kesalahan itu segera dipecat. Namun,
pejabat-pejabat negara di pusat tidak menggubris pemberitahuan dan permintaan
dia, dan sebagai aksi protes dia pun meninggalkan kota itu.
Akibatnya, pengikut-pengikut marja' yang berpandangan
tajam ini berkumpul di masjid-masjid, para orator naik ke podium-podium mereka
dan serentak menyatakan dukungan mereka terhadap Ayatullah Uzhma Burujurdi.
Pejabat-pejabat kota yang melihat diri mereka tak kuasa menghadapi gelombang
masyarakat terpaksa menerima tuntutan dia, sehingga pemimpin besar ini kembali
ke kota itu dengan sambutan yang luar biasa dari orang-orang mukmin di sana. [11]
Perjalanan Hijau
Salah satu kejadian penting lain pada tahun ini adalah
kematian anak puteri dia yang mulia. Setelah kejadian yang menyedihkan ini,
Ayatullah Burujurdi pergi ke Khurasan dan melepas kesusahan di bawah pancaran
cahaya mentari Thus, Imam Ali Ridho as.
Cukup lama fakih terkemuka ini tinggal di kota
Masyhad, sehingga masyarakat Burujurd mengirimkan utusan kepadanya agar dia
sudi kembali lagi ke kampung halaman. Ulama yang tawadu' ini pun memenuhi
permintaan mereka, dan setelah tiga belas bulan tinggal, dia pulang ke kota
tempat lahirnya. Dia sempat berhenti sejenak di kota Qom dan Teheran, kemudian
dia memasuki kota Burujurd dengan sambutan yang luar biasa dari orang-orang
mukmin di sana.
Setelah itu, dia pergi lagi ke Irak, dia tinggal sebentar di kota Najaf dan para tokoh ulama menyambut kedatangannya di sana. Kemudian dia pergi ke kota Hijaz, dan setelah menunaikan ibadah haji dia kembali lagi ke Irak, dia tinggal sebentar di tanah haram suci Amirul Mukminin Ali as., dan kemudian dia pulang ke Iran. [12]
Di Jerat Algojo
Bersamaan dengan mencuatnya protes orang-orang mukmin
melawan Reza Khan dan hijrahnya para ruhaniawan dari segala penjuru negeri ke
kota suci Qom, Ayatullah Burujurdi sampai di perbatasan Iran dan hendak
menginjakkan kakinya ke tanah air. Pejabat-pejabat istana –yang mengkhawatirkan
beliau bergabung bersama para ruhaniawan yang melakukan aksi protes di Qom dan
menyampaikan pesan marja'-marja' Najaf ke sana- menangkap dia di perbatasan dan
membawanya ke ibukota.
Di Teheran, Reza Khan segera menemuinya. Dari
sebelumnya dia ingin sekali mencari orang yang bisa menandingi Ayatullah Uzhma
Abdulkarim Ha'iri, oleh karena itu dia berusaha untuk menarik hati Ayatullah Burujurdi
seraya mengatakan, "Mintalah sesuatu dariku." Dia jawab dirinya tidak
perlu apa-apa. Akan tetapi karena ditekan terus untuk meminta sesuatu, maka dia
pun membuka mulut seraya mengatakan, "Sewaktu di kawasan perang, saya
melihat jatah konsumsi para perajurit di sana tidak mencukupi, maka dari itu
jika kamu ingin melakukan sesuatu, perintahkan agar jatah konsumsi mereka
ditambahkan."
Lalu Reza Khan mengutarakan masalah penyepelehan
posisi Ayatullah Uzhma Ha'iri dan menyatakan bahwa pejabat-pejabat negara
banyak yang mengikuti Ayatullah Uhzma Burujurdi. Ketika itu dia tidak tergoda
dengan rayuan Reza Khan dan berkata, "Tidak, kamu sendiri saja yang
berhubungan dengan dia, dan kalau aku ada urusan denganmu maka aku akan
menyampaikannya kepadamu melalui dia."
Dia juga mengingatkan Reza Khan agar memenuhi tuntutan
kelompok ruhaniwan dan menerapkan pedoman-pedoman Ilahi. Dan berhubung dia tahu
tidak mungkin dirinya diijinkan pergi ke kota Qom, maka dia mengatakan dirinya
ingin pergi ke kota Masyhad. Tak lama setelah Reza Khan keluar dari ruangan,
Taimurtasy datang dengan membawakan uang sebesar lima puluh ribu tuman sebagai
hadiah untuk marja' terkemuka itu, akan tetapi dia menolak hadiah istana
tersebut, [13] dan di pagi harinya dia berangkat menuju Masyhad
Khurasan.
Pertemuan Dengan Para Tokoh
Tak lama setelah Ayatullah Uzhma Burujurdi pulang ke
kota tempat lahirnya, kedatangan Ayatullah Uzhma Husain Qumi ke Teheran dengan
tuntutan-tuntutan yang dia sampaikan kepada pemerintah membuat Ayatullah Burujurdi
kembali harus terjun ke kancah politik yang terang-terangan. Dia juga,
sebagaimana Ayatullah Uzhma Qumi, meyakini wajib patuh terhadap
tuntunan-tuntunan Ilahi, oleh karena itu dia bermaksud untuk pergi juga ke
Teheran, hanya saja orang-orang sekitarnya mencegah kepergian itu. Sebagai
gantinya, dia perintahkan petinggi-petinggi masyarakat di kota itu untuk pergi
ke Teheran dan melaporkan dukungan rakyat terhadap tuntutan-tuntutan Ayatullah
Uzhma Husain Qumi, dia pribadi juga mengirim telegram langsung ke Teheran; jika
pemerintah menolak tuntutan Ayatullah Uzhma Qumi maka dia juga akan datang ke
ibukota dan akibatnya harus ditanggung oleh pemerintah itu sendiri. Berkat
usaha keras itu, akhirnya tuntutan-tuntutan Ayatullah Uzhma Qumi diterima. [14]
Hijrah
Penyakit Ayatullah Uzhma Burujurdi terbilang salah
satu fenomena penting dalam kehidupannya di kampung halaman. Penyakit yang
parah, dan pada akhirnya setelah operasi bedah dan beristirahat selama tujuh
puluh hari di rumah sakit Firuz Abadi Teheran dia berhasil melewati kondisi
yang sulit tersebut. [15]
Ketika sembuh, dia dihadapkan pada dua penawaran; dari
satu sisi, tim delegasi penduduk Burujurd berkali-kali datang untuk mengajak
dia pulang ke kota tempat lahirnya, tapi di sisi yang lain, sebagian ulama Qom
mengundang dia untuk hidup di tanah suci haram Sayidah Fatimah Ma’shumah as.
Karena itu, dia berkonsultasi dengan Al-Qur'an, yang keluar adalah ayat surat
Al-Mukminun yang memberi lampu hijau kepada niat dia untuk pergi ke Qom. Oleh
karena itu, dia berangkat menuju kota suci Qom bersama ulama, dan di sana dia
mendapatkan sambutan yang hangat dari masyarakat dan juga dari tokoh-tokoh
ulama Hauzah Ilmiah Qom. [16]
Dengan demikian, mentari fikih yang terang dan
benderang ini memasuki cakrawala Qom pada bulan Muharram tahun 363 H. dan
meneranginya dengan cahaya ilmu serta hangatnya spiritualias.
Tidak lama setelah tinggal di kota Qom, dia pergi lagi
menuju kota Thus demi memperoleh bantuan-bantuan segar imam suci kedelapan, Ali
bin Musa ar Ridho as. Dengan kedatangan dia ke Thus Masyhad, Ayatullah Ali
Akbar Nahawandi menyerahkan kedudukannya sebagai imam shalat jama'ah di masjid
Gauhar Syad kepada Ayatullah Burujurdi dan memintanya agar sudi menjadi imam
jama'ah di sana selama bulan Ramadan penuh. [17] Setelah bulan
Ramadan, dia kembali lagi ke kota Qom dan memikul tanggungjawabnya yang berat
sekali.
Marja' Yang Diinayahi
Bersamaan dengan meninggalnya marja' besar Ayatullah
Uzhma Sayid Abu Hasan Isfahani, otoritas kemarja'an Ayatullah Uzhma Burujurdi
jadi lebih luas dari sebelumnya, dan orang-orang mukmin dari berbagai penjuru
merujuk serta bertaklid kepadanya.
Perlu diketahui bahwa inayah dan dukungan Ilahi
senantiasa tercurahkan kepada fakih yang mulia ini. Berbagai kenangan dan
pernyataan dari para ulama saat itu menjadi bukti akan kenyataan tersebut.
Contohnya, Ayatullah Ali Akbar Nahawandi, yang juga merupakan salah satu tokoh
ruhaniawan Syi'ah, memasrahkan mihrabnya kepada Ayatullah Burujurdi dan
kemudian pergi ke Najaf.
Marja' masyarakat syi'ah dunia, Ayatullah Uzhma Sayid
Abu Hasan Isfahani yang mulai sakit-sakitan, memerintahkan Ayatullah Nahawandi
untuk mengimami shalat jama'ah. Dalam hal ini Nahawandi mengatakan, "Malam
pertama saya mengimami shalat jamaah sebagai ganti dari dia, ketika saya sudah
berposisi di atas sajadah saya mendengar suara yang mengatakan, "Azdomta
waladî azdomtuka."; kamu muliakan anakku, maka aku memuliakanmu. Saya
melihat ke semua arah di sekitar saya, masyarakat sedang berbaris siap untuk
menunaikan shalat jama'ah, dan tidak ada seorang pun yang mendengar suara gaib
itu kecuali saya." [18]
Di samping pernyataan ulama terkemuka itu, perilaku marja' besar itu sendiri ketika dia hidup bertahun-tahun di kota suci Qom adalah bukti nyata akan spiritualitas dan kebersamaan dia senantiasa dengan dukungan Ilahi. Perilaku yang sebagiannya diungkapkan oleh murid-muridnyanya dan senantiasa tesimpan di dalam ingatan sejarah:
[1] Salah seorang
pelajar membawa istri hamilnya yang akan melahirkan ke salah satu dokter yang
bernama Isma'il Musawi. Setelah proses kelahiran, dokter itu berkata kepada
ayah sang bayi, "Akulah yang berhasil menyelamatkan anakmu ini, jika bukan
karena aku maka pasti dia sudah mati, aku ingin anakmu kau beri nama
Isma'il."
Pelajar muda itu pun menuruti permintaan dokter dan
memberi nama anaknya Isma'il, tapi sayang sekali bayi itu sejak lahir selalu
sakit tersiksa. Usaha orang-tuanya siang dan malam untuk mengobatinya dan telah
pergi ke berbagai dokter sama sekali tidak membuahkan hasil, anak itu
terombang-ambing di antara alam dunia dan alam barzakh. Pelajar yang menghadapi
jalan buntu ini akhirnya mendatangi Ayatullah Uzhma Burujurdi dan mengungkapkan
isi hatinya seraya mengatakan, "Tuan, Allah mengaruniakan seorang anak
kepada saya yang sejak lahir sampai sekarang selalu dalam keadaan sakit, saya
tidak tahu lagi harus berbuat apa." Ayatullah Burujurdi dengan penuh kasih
sayang mengatakan, "Gantilah namanya, dia akan membaik." Padahal
pelajar itu tidak pernah menceritakan pesan dokter dalam menamakan anaknya kepada
Ayatullah, dia pulang ke rumah dalam keadaan heran, lalu dia merubah nama
anaknya menjadi Amir, dan dari saat itu anaknya membaik dan terselamatkan dari
penyakit-penyakit yang sebelumnya selalu menyiksa dia. [19]
[2] Pelajar lain
juga menceritakan keterpikatannya kepada ustad Ayatullah Uzhma Burujurdi,
"Waktu pertama kali saya datang ke kota Qom, dia mengirimkan uang bulanan
kepada saya, saya tidak menerima uang itu dan saya katakan bahwa masih ada
tanah di Iran Utara yang penghasilannya mencukupi kebutuhanku. Setelah
kekeringan menimpa Iran Utara, saya tidak berkutik lagi, hutang saya menumpuk
sehingga terpaksa saya ingin menjual permadani rumah; salah seorang pedagang
saya panggil ke rumah untuk menawarkan permadani itu kepadanya, akan tetapi dia
mematok harga yang kecil sekali dan tidak cukup untuk melunasi hutang-hutang
saya, pedagang lain saya ajak ke rumah untuk maksud yang sama, tapi ternyata
dia memberikan harga yang lebih kecil dari sebelumnya.
Saya bingung sekali dan ragu-ragu, tiba-tiba ada suara
terdengar mengetuk pintu rumah, saya segera pergi ke depan untuk melihat siapa
yang datang, ternyata Haji Ahmad pembantu ustad Ayatullah Burujurdi, dia
menyerahkan amplop kepada saya dan berkata, "Ini kiriman dari tuan
(Ayatullah) untuk kamu." Saya lihat amplop itu tidak menunjukkan mata
uang. Tapi ketika saya buka, ternyata di dalamnya terdapat cek uang sebesar
hutang-hutang saya. Rasa heran dan takjub menyelimuti wujud saya, karena selain
saya dan Allah swt. tidak ada seorang pun yang tahu persis berapa jumlah
hutang-hutang saya. [20]
Tahun-Tahun Gemilang
Kehadiran seorang tokoh spiritual dan fakih yang
senantiasa diberi inayah oleh Allah swt. di Hauzah Ilmiah Qom yang sedang
terseok-seok akibat serangan-serangan yang dihunjamkan oleh suruhan-suruhan
Reza Khan, memberikan nyawa baru kepada Hauzah tersebut. Dengan kedatangan dia,
banyak hal yang tersedia untuk mengembangkan Hauzah Ilmiah dan memperkuat
dasar-dasar intelektual dan finansialnya. Para pengikut mukmin Ayatullah Uzhma
Burujurdi mengucurkan dana-dana syar'i dan hadiah-hadiah mereka ke pangkuan
dia, sehingga para pelajar datang ke kota suci Qom dari segala penjuru negeri
Iran untuk menuntut ilmu darinya.
Marja' orang-orang yang berhati bersih ini
menyingsingkan lengan baju semangatnya untuk melakukan pembaharuan asasi di
Hauzah Ilmiah di samping kesibukan-kesibukan dia dalam mengajar.
Menata Kondisi Pendidikan Hauzah
Penyelesaian
atas kendala-kendala finansial para pelajar, penjalinan hubungan erat dengan
Darut Taqrib Bainal Madzahib Al-Islamiyah dan acara-acara resmi pengikut
Ahlisunnah demi menciptakan persatuan di antara kelompok-kelompok muslim, [21]
dan pengiriman delegasi-delegasi ke Eropa dan Amerika [22] untuk memperkenalkan
Islam yang sesungguhnya kepada masyarakat setempat, adalah sebagian dari
kebijakan yang dilakukan oleh Ayatullah Uzhma Burujurdi.
Pada saat yang sama dia juga peduli terhadap
fenomena-fenomena yang terjadi di dalam negeri, menurutnya, "Apabila
masyarakat menjadi pintar dan agama juga diajarkan kepada mereka secara baik
dan benar, maka mereka akan menjadi orang-orang yang alim dan komitmen
beragama." [23] Dengan demikian, selain mengatur persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh penuntut ilmu-ilmu agama dan Hauzah Ilmiah, dia juga memberikan
masukan yang sangat berharga kepada sekolah dan pendidikan umum negeri serta
menyemarakkannya. [24]
Dia juga selalu waspada jangan sampai ada orang tak
berdosa yang dihukum penjara atau jatuh ke tangan kelompok penindas. Maka dari
itu, suatu hari ketika dia tahu ada seorang muslim tak berdosa yang difitnah
membunuh pengikut Bahaisme, maka dia betul-betul gelisah.
Ada sekelompok orang Baha'i yang kemudian membunuh
teman seagama mereka, lalu dengan tipu daya mereka menyerahkan sekelompok
orang-orang muslim kepada hukum yang berwenang, salah satu di antara mereka
divonis hukuman mati dan hukuman itu akan dilaksanakan pada tanggal 15 bulan
Sya'ban. Berita ini sungguh membuat Ayatullah Uzhma Brujurdi gelisah, segera
dia melayangkan surat ke berbagai pihak seperti Syah, perdana menteri, dan
Ayatullah Bahbahani, dia juga menghubungi siapa saja yang mungkin berguna untuk
menangani persoalan ini, dia mengikuti terus perkembangannya sampai kemudian di
tengah malam berita pembatalan hukuman mati itu sampai kepadanya. Mendengar
berita itu, dia meneteskan air mata seraya memanjatkan puja-puji dan syukur ke hadirat
Allah swt. Dia mengatakan, "Masalah
ini penting sekali, dan alhamdulillah berakhir dengan baik. Setiap kali saya
menyaksikan darah orang muslim tak berdosa hendak ditumpahkan begitu saja, maka
sekujur tubuh saya menjadi gemetar dan tidak tahu apa yang akan saya katakan
nanti ketika saya dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt. di hari
kiamat." [25]
Bakti-bakti kesejahteraan Ayatullah Brujurdi kepada
umat Islam berupa pembangunan lebih dari seribu masjid, sekolah, rumah sakit,
perpustakaan, dan pemandian hangat di Iran, Irak, Libanon, Afrika dan Eropa [26]
adalah sebagian contoh kecil dari jasa-jasa dia. Semuanya memperkenalkan
kepribadian dia yang mendunia dan tidak terbatas pada negeri tertentu. Yaitu kepribadian
yang dipuji bahkan oleh para pujangga dan penulis Ahlisunnah di dalam puisi dan
artikel mereka. [27] Panguasa-penguasa Syi'ah dan Ahlisunnah
mengirimkan hadiah untuk dia; contohnya Raja Sa'ud pernah mengirimkan hadiah
kepadanya dalam kemasan besar yang berisikan lima belas kitab suci Al-Qur'an,
potongan-potongan kain tirai Ka'bah dan hadiah-hadiah lainnya yang berharga.
Dia hanya menerima Al-Qur'an dan kain Ka'bah, adapun selainnya dia kembalikan
seraya memberikan pesan bahwa pada umumnya memang saya tidak menerima hadiah. [28]
Ulama Yang Lengkap
Salah satu poin penting yang patut untuk diperhatikan
tentang kepribadian Ayatullah Uzhma Burujurdi adalah kelengkapan intelektual
dia. Guru besar para fakih ini tidak hanya bisa disebut sebagai fakih, karena
penguasaan dia terhadap sains pada saat itu betul-betul membuat para ahli di
bidang tersebut heran. Di antara contohnya:
[1] Suatu hari,
menteri kebudayaan saat itu datang bersama Mas'udi, direktur surat kabar
Ittila'at, ke sisi Ayatullah Burujurdi. Orang yang mengantar mereka ke sana
mencium tangan Ayatullah, begitu pula menteri kebudayaan tersebut, sedangkan
Mas'udi enggan untuk melakukan hal yang sama. Setelah itu, beliau berbicara
tentang sejarah singkat penulisan surat kabar, tujuan dan target, penulis
pertama surat kabar dan lain-lain. Lalu beliau melontarkan sebuah pertanyaan
geografi kepada menteri kebudayaan, tapi karena dia tidak sanggup menjawab maka
beliau sendiri yang menjawab dan menerangkannnya.
Saat berpisah, Mas'udi jadi orang yang pertama merebut
tangan Ayatullah Burujurdi dan menciumnya, dan di luar dia berkomentar,
"Dia betul-betul menguasai bidang ini sehingga seakan-akan dia orang yang
ahli di sini." [29]
[2] Suatu hari, brigader jenderal Razm Ara mendatangi Ayatullah Brujurdi untuk menunjukkan kompas kiblat penemuannya. Maka beliau berbicara tentang astronomi dan matematika secara panjang lebar. Dan saat di luar, Razm Ara mengatakan, "Saya pikir dia hanya mujtahid di bidang ilmu fikih dan ushul fikih, tapi ternyata di setiap bidang dia spesialis. Karena keterangan-keterangan dia hari ini termasuk persoalan yang sangat pelik dan rumit, bahkan betapa banyak guru-guru di bidang ini yang tidak menguasai persoalan itu." [30]
Karya Abadi
Ayatullah Uzma Brujurdi, selain kesibukan-kesibukan mengajar
dan sehari-sehari, dia juga rajin melakukan penelitian dan menuliskan
hasil-hasilnya. Ketika diminta akan karya-karya itu dia menjawab,
"Sebetulnya banyak tulisan saya ... tapi sebagiannya telah hilang di
tengah perjalanan pindah dari Burujurd ke Qom."
Di antara karya-karyanya adalah:
1- Tajrîd Asânîd Al-Kâfî;
2- Tajrîd Asânîd Al-Tahdzîb;
3- Asânîd Kitâb Man Lâ Yahdhuruh Al-Faqîh;
4- Asânîd Rijâl Kasysyi;
5- Asânîd Istibshôr;
6- Asânîd Kitâb Amâlî;
7- Asânîd Kitâb Khishôl Syaikh Shodûq;
8- Asânîd Kitâb 'Ilal Al-Syarôi‘ Syaikh Shodûq;
9- Tajrîd Fihrist Syaikh Thûshî;
10- Tajrîd Rijâl Najâsyî;
11- Hôsyiyeh Bar Kifâyat Al-Ushûl;
12- Hôsyiyeh Bar Nihâyah Syaikh Thûshî;
13- Hôsyiyeh Bar 'Urwat Al-Wutsqô;
14- Hôsyiyeh Wa Mustadrakot Fehrest Syaikh Muntajabudin Rozi;
15- Hawâsyi Kitâb Mabsûth;
16- Resoleh'i Dar Borehye Sanade Shahifehye Sajjodiyeh;
17- Ishloh wa Mustadrak Rijâl Thûshî;
18- Buyût Al-Syî‘ah;
19- Jâmi‘ Ahâdîts Al-Syî‘ah.
Mulai dari saat hidup di Burujurd, Ayatullah Uzhma
Brujurdi bercita-cita menulis buku berseri yang dapat membantu para fakih dalam
menyimpulkan hukum dari bukti-buktinya langsung, sehingga mereka tidak perlu
lagi merujuk ke buku-buku hadis yang berserakan. Ketika dia tinggal di Qom dan
mendidik murid-murid spesialis di sana, maka dia utarakan niatnya tersebut, dan
berkat bantuan sekelompok pelajar di antara mereka maka terbitlah buku dua
puluh jilid yang berjudul Jâmi‘ Ahâdîts Al-Syî‘ah. [31]
Di samping kegiatan-kegiatan ilmiah dan sosial, dia
juga berusaha keras untuk melestarikan karya-karya ulama yang sebelumnya, pada
kesempatan-kesempatan tertentu dia mencetak ulang karya-karya manuskrip yang
sudah langka. Dia mendirikan perpustakaan-perpustakaan besar dan kecil serta
mempersembahkan karya-karya para ulama kepada para penuntut ilmu melalui
perpustakaan itu. Perpustakaan besar dia yang terletak di samping Masjid A'dzam
–yang terdahulu- Qom adalah salah satu bukti nyata perhatian istimewa dia
terhadap masalah ini.
Istana vs Marja'
Istana dan kerajaan selalu membuat masalah bagi Ayatullah
Burujurdi. Propaganda besar-besaran
surat kabar dan majalah, yang terkait dengan komplotan asing dalam hal
pemisahan agama dari kehidupan masyarakat dan menjauhkan mereka dari budaya
Islam yang sejati, betul-betul menyakitkan dia. Oleh karena itu, kadang-kadang
dia meluap dan memperingatkan raja Syah. Suatu Hari, ketika menerima kedatangan
perdana menteri saat itu beliau mengatakan, "Bapak dia –Reza Khan- memang
bodoh, akan tetapi masih mempunyai sedikit perasaan, sedangkan dia tidak punya
perasaan dan juga bodoh." [32]
Kadang-kadang Ayatullah Burujurdi menolak bertemu
dengannya seraya mengatakan, "Sebagaimana dia mengambil foto bersama
istrinya di piknik-piknik, pasti dia datang kemari juga karena ingin mengambil
foto bersamaku."
Kadang-kadang juga dia menentang rencana-rencana Syah
dengan keras sekali, contohnya ketika Syah hendak merubah tulisan Iran dari
Parsi ke Latin dan telah melakukan propaganda yang luas sekali, Ayatullah Burujurdi
berdiri tegak di hadapan rencana itu bagaikan bendungan baja, dia mengatakan,
"Selama saya masih hidup, saya tidak akan membiarkan rencana itu
terlaksana, terserah apa saja akibat yang harus ditanggung." [33]
Berbagai sumber mengatakan bahwa Ayatullah Uzhma
Brujurdi mempunyai politik yang jeli sekali dalam membantu kelompok
revolusioner mukmin. Menurut pikiran dia saat itu, rakyat masih belum punya
kesiapan untuk memikul kesulitan-kesulitan yang lebih besar, dan seandainya
mereka ditekan lebih keras lagi oleh pemerintah niscaya mereka akan
meninggalkan marja' sendirian. Oleh karena itu, menurut dia belum saatnya
berhadap-hadapan secara langsung melawan istana kerajaan. Di sisi yang lain,
menurut dia tidaklah maslahat membiarkan Syah dan mengusirnya secara total,
karena sikap seperti itu akan membuatnya tergelincir lebih jauh dalam pangkuan
pihak asing yang berkepentingan. Itulah kenapa kadang-kadang beliau bersikap
toleran terhadap Syah, agar raja muda yang sombong itu tidak merasa hampa
sepenuhnya, sehingga memasrahkan diri secara total kepada pihak asing. [34]
Musim Duka
Bulan Syawal tahun 1380 H. pun telah tiba. Tubuh
Ayatullah Uzhma Brujurdi yang berusia 93 tahun mulai rentan penyakit. Apalagi
penyakit yang beliau alami kali ini terhitung berat dan ternyata mempunyai
kisah yang berbeda dari sebelumnya. Pada kondisi seperti ini, ada sekelompok
pecinta berat beliau datang untuk menjenguk, beliau yang sakit dan lelah itu
mengangkat kepala seraya berkata, "Akhirnya umurku pun habis dan aku harus
pergi sementara tidak ada amal baik dan berharga yang pernah kukirim dan kutabung."
Salah satu di antara mereka menyahut, "Tuan, kenapa kamu berkata demikian?
Alhamdulillah begitu banyak peninggalan-peninggalanmu yang baik; kamu telah
mendidik murid-murid yang bertakwa, menulis buku-buku yang berharga, membangun
masjid-masjid, perpustakaan-perpustakaan dan sekolah-sekolah. Sebetulnya yang
pantas berkata seperti itu adalah kami." Beliau menjawab, "Khollish
al-'amal, fa inna al-nâqida bashîrun bashîr."; Tuluskanlah amalanmu untuk
Allah swt., karena sungguh dia melihat segala sesuatu dan mengetahui motivasi
setiap orang." Kata-kata beliau ini betul-betul menyentuh hati hadirin
saat itu. [35]
Beberapa hari setelah pertemuan itu, tubuh Ayatullah
Uzhma Burujurdi semakin lemah, dan pada akhirnya di tanggal 13 bulan Syawal
tahun 1380 Hijriah Qamariyah, bertepatan dengan tanggal 10 bulan Farwardin
tahun 1340 Hijriah Syamsyiah, beliau meninggalkan dunia untuk selama-lamanya
dan jenasah beliau dimakamkan di Masjid A'dzam Qom yang beliau dirikan[36].
(Referensi: Gulsyane Abror; tim penulis; Pazuhesykadeh Baqirul Ulum)
Catatan:
1. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, Muhammad
Husain Alawi, hal. 21
2. Ibid.
3. ibid., hal. 23 – 26.
4. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, Ali Dawani, hal. 52 – 53.
5. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 27.
6. Ibid., hal. 29.
7. Ibid., hal. 31 – 32.
8. Ibid., hal. 32 dan 35.
9. Ibid., hal. 36 – 37.
10. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 57 – 58.
11. Ibid., hal. 43 dan 44.
12. Majalah Hauzah, tahun ke-8, nomor 1 dan 2, hal. 336, 344, 337, dan 277.
13. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 51 – 57.
14. Ibid.
15. Ibid., hal. 57 dan 58.
16. Majalah Nur Ilm, nomor 12, bulan Aban tahun 1364, hal. 87.
17. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 61 – 63.
18. Ibid., hal. 65 – 71.
19. Khotereh Az Ustode Mu'azam Ayatulloh Haram Panahi.
20. Ibid.
21. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 170 – 171.
22. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 89 dan 126.
23. Majalah Nur Ilm, nomor 12, bulan Aban tahun 1364, hal. 97.
24. Ibid.
25. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 81 – 85.
26. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 139.
27. Ibid., hal. 172 – 173.
28. Ibid., hal. 113 – 114.
29. Khotereh Az Ustode Mu'azam Ayatulloh Haram Panahi.
30. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 93 – 94.
31. Majalah Nur Ilm, nomor 12, bulan Aban tahun 1366, hal. 87 – 89.
32. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 97.
33. Majalah Hauzah, tahun kedelapan, nomor 1 dan 2, hal. 115 dan 116.
34. Ibid. Hal. 115, 154, 52 dan 280.
35. Majalah Nur Ilm, hal. 98 – 99.
36. Ibid.
2. Ibid.
3. ibid., hal. 23 – 26.
4. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, Ali Dawani, hal. 52 – 53.
5. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 27.
6. Ibid., hal. 29.
7. Ibid., hal. 31 – 32.
8. Ibid., hal. 32 dan 35.
9. Ibid., hal. 36 – 37.
10. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 57 – 58.
11. Ibid., hal. 43 dan 44.
12. Majalah Hauzah, tahun ke-8, nomor 1 dan 2, hal. 336, 344, 337, dan 277.
13. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 51 – 57.
14. Ibid.
15. Ibid., hal. 57 dan 58.
16. Majalah Nur Ilm, nomor 12, bulan Aban tahun 1364, hal. 87.
17. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 61 – 63.
18. Ibid., hal. 65 – 71.
19. Khotereh Az Ustode Mu'azam Ayatulloh Haram Panahi.
20. Ibid.
21. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 170 – 171.
22. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 89 dan 126.
23. Majalah Nur Ilm, nomor 12, bulan Aban tahun 1364, hal. 97.
24. Ibid.
25. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 81 – 85.
26. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 139.
27. Ibid., hal. 172 – 173.
28. Ibid., hal. 113 – 114.
29. Khotereh Az Ustode Mu'azam Ayatulloh Haram Panahi.
30. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 93 – 94.
31. Majalah Nur Ilm, nomor 12, bulan Aban tahun 1366, hal. 87 – 89.
32. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 97.
33. Majalah Hauzah, tahun kedelapan, nomor 1 dan 2, hal. 115 dan 116.
34. Ibid. Hal. 115, 154, 52 dan 280.
35. Majalah Nur Ilm, hal. 98 – 99.
36. Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar