Radar Banten, 25 Februari 2015
Untuk memulai tulisan ini,
pertama-tama kita perlu mengetahui apa itu literasi dengan tepat
sekaligus singkat. Secara gamblang dan sederhana,
literasi pada dasarnya adalah “kemampuan berbahasa,yang juga dapat dikatakan sebagai fasahah”, di
mana fasahah dan kemampuan berbahasa ini terdiri dari empat unsur, yaitu: Pertama,menyimak
atau mendengarkan, kedua adalah berbicara, ketika adalah membaca,
dan keempat adalah menulis.
Dalam hal yang demikian, secara
natural, kodrati, atau secara alami, kemampuan berbahasa bersifat manusiawi, dalam
artimerupakan sifat alami manusia, sebagaimana akal pun mengalami
perkembangan, persis seperti yang dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib
karramallahu wajhah: “Akal adalah potensi yang semakin bertambah dengan ilmu
dan pengetahuan” (Lihat Amirul Mu’minin Ali kw, Al-Huda 2008, hal.
369). Contohnya adalah bayi yang seiring bertambahnya usia akan belajar
berbahasa tanpa diajarkan, belajar berbahasa melalui imitasi dan adaptasi.
Namun, berbeda dengan kemampuan
berbicara dan mendengarkanatau menyimak dengan indra
pendengaran kita, kemampuan membaca dan menulis
hanya dapat diperoleh dengan mempelajarinya secara khusus atau secara spesifik. Dan tepat di sinilah akan terletak perbedaan antara seseorang “yang literate atauterdidik” dan seseorang “yang illiterate alias tak terdidik atau tidak terpelajar”.
Dengan demikian, seseorang baru bisa
dikatakan terpelajar atau dapat dikatakan literate apabila ia memiliki kemampuan menguasai atau “mempraktikkan” empat
unsur kemampuan berbahasa, yaitu:Pertama kemampuan menyimak atau mendengarkan, kedua kemampuan berbicara, ketiga kemampuan membaca,
dan keempat
adalah kemampuan menulis. Tanpa memiliki
kemampuan membaca dan menulis tersebut, seseorang tak dapat dikategorikan
sebagai “orang yang terdidik atau seseorang yang literate”. Kemampuan membaca dan menulis tersebut pada akhirnya akan saling
mendukung dan menguatkan satu sama lain. Kemampuan membaca pada gilirannya akan
mempengaruhi kemahiran menulis, semisal sebuah kendaraan yang meniscayakan
adanya bahan-bakar.
Malangnya, literasi tersebut belum
menjadi tradisi dalam institusi-institusi pendidikan kita. Para siswa,
contohnya, setiap hari hanya dihadapkan pada latihan soal yang sifatnya
repetitif atau mengulang belaka. Para peserta didik di institusi-institusi
pendidikan kita, sebagai contohnya, hanya dijejali informasi-informasi
sebanyak-banyaknya, di mana pendidikan ala bank pada kenyataannya bukan
malah mencerdaskan, melainkan hanya “dogmatisasi” atau bersifat
mengulang-ulang yang tak dibarengi progress atau kemajuan. Terkait yang
demikian, pendidikan semestinya memberikan “pancing” kepada para murid, bukan
memberikan ikan, yaitu melatih dan “mengajarkan”
kemampuan untuk mencari dan menggali informasi dan pengetahuan secara mandiri
dan kreatif, yang dengan demikian, pendidikan kita akan melahirkan orang-orang
yang terpelajar.
Manusia Sebagai Makhluk Literate
Adalah Syahid Ayatullah Murtadha
Muthahhari dalam bukunya yang bertajuk Man and Universe (yang
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh RausyanFikr Institute menjadi
Falsafah Agama & Kemanusiaan) dengan sangat bagus menggambarkan dan menerang-jelaskan “posisi” dan “keunikan” atau
“kekhususan” manusia dibanding makhluk lainnya, misalnya dibanding binatang.
Marilah kita simak apa yang ditulis dan di kemukakan Syahid Ayatullah Murtadha
Muthahhari berikut ini:
“Pada hakikatnya, manusia adalah
sejenis binatang yang memiliki banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Kendati
demikian, manusia juga memiliki serangkaian ciri yang membedakan dirinya dengan
binatang lain. Serangkaian ciri inilah yang menempatkan manusia lebih unggul
dari binatang....Ciri-ciri tersebut pada gilirannya menentukan sifat-sifat
manusiawi manusia. Ciri-ciri ini juga merupakan sumber dari apa yang disebut
sebagai kebudayaan manusia yang berhubungan dengan dua hal: sikap dan
kecendrungan....Sebagaimana binatang lainnya, manusia juga mempunyai banyak
keinginan. Dengan bekal pengetahuan dan pengertiannya, manusia bersusah payah
mewujudkan keinginannya. Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya.
Perebedaannya manusia lebih tahu, lebih mengerti...” (Lihat Murtadha
Muthahhari, Falsafah Agama & Kemanusiaan, RausyanFikr Institute
Yogyakarta, hal.1).
Dalam paparan selanjutnya, dalam
bukunya yang sama tersebut, Syahid Murtadha Muthahhari dengan cukup eksplisit
menyatakan bahwa yang membuat manusia lebih unggul dari binatang adalah karena
manusia mampu mengembangkan bahasa dan inteligensi-nya itu sendiri. Bahasa dan
inteligensi inilah yang adalah juga modal manusia memiliki modal dan kecakapan literer dan mengembangkan serta memajukan kriya dan kreativitas estetik
dan kebudayaannya. Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari mengemukakan:
“Seekor binatang hanya mengetahui
dunia melalui indra luarnya (seperti: mencium bau, mendengar, melihat, meraba,
dan merasakan sesuatu secara naluri –penerj.). Itulah sebabnya:Pertama,
tingkat pengetahuannya dangkal. Pengetahuannya ini tidak sampai menguasai detil
segala sesuatu dan tidak memiliki akses ke hubungan-hubungan internal yang
terjadi dalam segala sesuatu itu. Kedua, pengetahuannya bersifat
parsial dan khusus, tidak universal dan tidak umum. Ketiga,
pengetahuannya bersifat regional (terbatas pada wilayah tertentu), karena
terbatas pada lingkungan hidupnya dan tidak lebih dari itu. Keempat,
pengetahuannya terbatas pada saat sekarang dan tidak berkenaan dengan masa lalu
dan masa mendatang. Sebab, binatang tidak mengetahui sejarahnya sendiri atau
pun sejarah dunia, binatang tidak berpikir tentang masa depannya dan juga tidak
merancang masa depannya” (Ibid, hal. 2).
Jika kita cermati dengan seksama apa
yang dikemukakan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari di atas tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hanya manusia-lah yang dalam
dirinya memiliki potensi-potensi literer dan intelektual, yaitu potensi
berbahasa dan literasi yang mengalami perkembangan, seperti kemampuan menulis, kesanggupan mengembangkan bahasa, hingga
kemahiran dalam capaian sains dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam konteks
tulisan ini, kita dapat mengatakan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang sanggup mengembangkan dan memajukan potensi tersebut dengan metode
pendidikan yang terlibat atau partisipatoris, pendidikan yang tidak cenderung monologis tetapi dialogis, persis seperti ketika Socrates menuntun lawan
debat dan sahabat dialognya untuk berusaha “mencapai” kebenaran oleh dirinya sendiri,
atau membiarkan para lawan dialog dan debatnya menggali pengetahuan secara
mandiri, di mana Socrates hanya berfungsi tak ubahnya seorang “bidan” yang
membantu melahirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar