Manusia mencipta pesawat terbang ketika mereka
belajar dan berguru dari alam, dari para burung alias para unggas. Berusaha
menemukan apa saja, faktor apa, dan bagaimana supaya pesawat yang akan atau
ingin mereka ciptakan bisa terbang sebagaimana para burung atau para unggas
terbang? Bahkan bisa lincah bergerak dan bermanuver seperti halnya para burung
dan para unggas bergerak, berpindah posisi, dan bermanuver dengan bebas dan
lincah di udara.
Mula-mula manusia membuat sayap tiruan alias
melakukan imitasi sederhana dari alam –dengan “mesin” sederhana, seperti yang
dilakukan Ibnu Firnas dan kemudian Leonardo Da Vinci. Itulah mula industri
penerbangan atau aviation industry dalam skalanya yang masih sederhana –yang
kini telah mampu menciptakan pesawat-pesawat antariksa dan jet-jet tempur
super-cepat.
Ketika merenungi atau belajar dan berguru dari
dan kepada alam itulah, manusia jadi tahu ada matematika, geometri, hukum
gerak, formasi dan lain sebagainya di alam atau semesta. Dan ikhtiar merenungi
dan upaya untuk mengetahui “hukum” dan “rumus” alam itu sudah dilakukan para
filsuf kuno dan manusia-manusia di jaman ribuan tahun sebelum masehi, semisal
oleh manusia-manusia yang kemudian menciptakan peradaban-peradaban Mesir,
Babilonia, Assiria, Median, dan Persia.
Temuan dan hasil penelitian sejumlah arkeolog,
geolog, ahli purbakala, dan para sarjana lainnya bahkan telah menunjukkan bahwa
manusia-manusia di jaman ribuan tahun sebelum masehi itu sudah sangat cerdas
(barangkali malah lebih cerdas dari kita saat ini), utamanya dalam ilmu
perbintangan, konstruksi, dan arsitektur. Para ilmuwan dan sarjana itu,
misalnya, terkagum-kagum tentang bagaimana Persepolis di Persia, Borobudur di
Indonesia, dan Piramida di Mesir dibangun dengan skala raksasa atau skala
megastructure.
Hanya saja, dalam konteks tulisan ini, kita
barangkali akan bertanya: Kenapa mesti unggas? Dan pelajaran atau filsafat apa
yang bisa kita dapatkan dengan merenungi dan membaca hidup mereka? Di sini,
kita memang harus membuang ego antroposentrik kita yang terlampau memandang
manusia sebagai pusat semesta, atau apa yang kita sebut “virus Cartesian” itu,
dan karena kita hidup dalam sebuah dunia yang bukan hanya kita, manusia, yang
sama-sama ada. Yah, salah-satu pelajaran atau filsafat yang dapat kita petik
adalah sifat simpati, kerjasama, dan solidaritas mereka dalam hidup. Para
unggas, pada dasarnya, adalah juga makhluk politis seperti kita. Dan juga, yang
mungkin akan mengejutkan, pelajaran tentang formasi militer di udara.
Tak seperti elang yang cenderung menyendiri,
unggas hidup berkawan. Mandi bersama, tidur bersama, dan mencari makan bersama.
Bila dilihat secara sosiologis, mereka lebih mencirikan diri sebagai masyarakat
kolektif, meski mereka tidak menyebut diri mereka seperti itu. Apapun istilah yang
ingin dilekatkan oleh para ilmuwan atau para pengamat, yah silahkan saja, “yang
penting kami selalu bersama”. Kira-kira begitulah sikap politik mereka.
Ini adalah isyarat alam yang dahsyat. Kita
tidak pernah menyadari keberadaannya karena semua berlalu secara alami. Padahal
unggas mengajarkan kita banyak hal tentang arti tata-tertib, kekompakan, dan
pertemanan: “politik solidaritas”. Di musim dingin, mereka bermigrasi ke
Selatan, dan di musim panas mereka kembali ke kediaman asalnya di Utara. Lalu
lihatlah formasi yang mereka bentuk di saat terbang bermigrasi itu. Mereka
membentuk formasi huruf V. Bukan tanpa alasan, karena para fisikawan mencatat
bahwa tingkat resistensi terhadap angin akan lebih rendah, dalam formasi
seperti itu, dibandingkan dengan terbang sendiri. Ini jauh lebih bermanfaat
bagi mereka guna memacu kecepatan.
Selanjutnya, bila ada anggota yang sakit, atau
sayapnya kelelahan, lalu terlempar dari formasi, maka akan ada unggas yang lain
yang datang mengapit untuk tetap terbang dalam formasi huruf V kecil yang baru.
Dukungan sosial ini begitu penting, dalam menjaga kekompakan dan
keberlangsungan hidup, agar yang lemah bisa tetap terbang dan tidak terjatuh
sendirian. Berangkat bersama, terbang bersama, hingga sampai di tujuan juga
bersama-sama. Seakan begitu filosofi mereka. Terbang sendirian bukan hanya soal
keamanan, tetapi juga soal efektivitas kecepatan dan kepakan sayap. Inilah
solidaritas yang secara politis dalam rangka “menjaga kekuatan tanpa harus
menyingkirkan yang lemah”.
Kemudian, dan ini yang terpenting, setiap
unggas saling bergantian mengambil alih komando. Bila si A kelelahan, maka si B
dengan spontan menggantikannya. Tidak ada ketamakan untuk terus menjadi
komandan. Juga tidak ada keinginan untuk mengkudeta kekuasaan. Semua bertindak
menjadi “Imam” yang baik dan makmum yang juga baik. Beginilah harusnya kerja
sebuah tim dalam membawa misi kesuksesan. Di sini, saya teringat motto
kebersamaan dan bagaimana komunitas akan menjadi kuat, “Laa quwwata illa bil
jama’ah, wa laa jama’ah illa bil imamah.”
Hak cipta © pada Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar