Oleh Sulaiman Djaya (Penyair dan penulis lepas)
Dalam kancah filsafat, sains
dan ilmu pengetahuan, demikian Thomas Nagel dalam bukunya yang berjudul The
View from Nowhere, ada sebuah pertanyaan yang sangat urgen dan mendasar, yaitu
bagaimana mengkombinasikan perspektif personal yang sifatnya partikular dalam
sebuah dunia dengan pandangan objektif di dunia yang sama. Dan memang, masalah
tersebut senantiasa hadir dalam kancah sains, filsafat dan ilmu pengetahuan,
karena berkenaan dengan manusia sebagai subjek yang “mencari tahu” itu sendiri
dan “apa yang ingin diketahui”. Belum lagi soal-soal lain yang berkenaan dengan
itu semua.
Terkait dengan persoalan
yang tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Thomas Nagel tersebut, adalah
cukup menarik untuk melakukan komparasi sekaligus konfrontasi antara dua
filsuf, yaitu Bertrand Russell dan Murtadha Muthahhari, mengenai agama dan
sains serta masalah-masalah yang hadir dan terkait dengan sendirinya berkenaan
dengan persoalan tersebut.
Bertrand Russell dan
Murtadha Mutahhari, meski saling bertolak-belakang satu sama lain dalam hal
kepercayaan, paradigma, dan lanskap epistemologis intelektual mereka, sama-sama
memiliki konsen yang intens dalam masalah interaksi, hubungan, dan dialektika agama
dan ilmu (pengetahuan sekuler). Tak terkecuali menyangkut isu-isu atau
materi-materi bahasan pelik seputar teisme adan ateisme – di mana dalam masalah
ini, mereka akan terlihat nyata dan jelas saling bertolak belakang dan
bertentangan satu sama lain.
Russell, di satu
sisi, adalah seorang filsuf dan pemikir bebas yang mendaku diri sebagai seorang
agnostik (menunda keputusan apakah Tuhan ada atau tidak ada) –yang kadangkala
pendapat dan kritik-kritiknya terhadap agama acapkali tidak jauh berbeda dengan
kritik yang dilancarkan kaum ateis terhadap agama. Sedangkan Muthahhari, di
sisi lainnya, adalah seorang faqih, ‘ulama, sekaligus filsuf yang menjadikan
Islam (Syi’ah)-nya sebagai basis dan dasar bagi tulisan-tulisan dan
pemikiran-pemikiran intelektualnya, sembari dengan gigih senantiasa berusaha
membuktikan bahwa Islam adalah dasar dan khazanah intelektual dan pemikiran itu
sendiri, yang dengan demikian, baginya tak ada pertentangan antara Islam dan
intelektualisme atau antara Islam dan pengetahuan:
“Ilmu pengetahuan
memberikan kepada kita cahaya dan kekuatan. Agama memberi kita cinta, harapan
dan kehangatan. Ilmu pengetahuan membantu menciptakan peralatan dan
mempercepat laju kemajuan. Agama menetapkan maksud upaya manusia dan sekaligus
mengarahkan upaya tersebut. Ilmu pengetahuan membawa revolusi lahiriah
(material). Agama membawa revolusi batiniah (spiritual). Ilmu pengetahuan
menjadikan dunia ini dunia manusia. Agama menjadikan kehidupan sebagai
kehidupan manusia”.
Sebaliknya, Russell
yang lebih menjadikan sains dan empirisisme-nya sebagai dasar paradigma
intelektualnya, tak segan-segan bersikap enteng dan tanpa beban ketika
“mengkritisi” dogma religius, sebagaimana diakui sendiri dalam otobiografinya:
“Ketika saya menemukan dalam Autobiography Mill kalimat ‘ayah saya mengajari
saya bahwa pertanyaan siapa yang menciptakan saya?’ tidak bisa dijawab karena
pertanyaan itu segera memunculkan pertanyaan berikutnya ‘siapa yang menciptakan
Tuhan’?” –di mana bagi kaum agamawan, retorika Mill yang kembali diungkapkan
Russell tersebut juga ‘rancu’ karena mengandaikan “Sang Pencipta” ada “yang
menciptakan”, yang secara logika tak dapat diterima.
Kita tahu, berbeda
dengan Muthahhari yang memahami khazanah Islam (Syi’ah-nya) sebagai mata air
dan khazanah ilmu dan hikmah intelektual dan tulisan-tulisannya, Russell (yang
dengan basis pengetahuan dan tradisi Kristianisme) lingkungan dan keluarganya,
seringkali lantang menyatakan bahwa dalam sejarah ummat manusia, utamanya
sejarah Eropa dan Barat, acapkali agama “menghalangi” jalan kemajuan sains dan
ilmu pengetahuan: “Konflik antara sains dan agama, yang mulai meruncing pada
abad 16, dalam berbagai bentuknya, berlanjut sampai jaman kita saat ini.”
Namun, berbeda dengan
Russell, Muthahhari, ketika melihat hubungan, interaksi, atau dialektika antara
agama (Islam) dan sains ini, memandangnya dengan paradigma harmonis dan saling
melengkapi, bukan saling bertentangan sebagaimana Russell memandangnya:
“Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat dibahas dari dua sudut
pandang. Sudut pandang yang pertama adalah kita lihat apakah ada sebuah agama
yang konsepsinya melahirkan keimanan dan sekaligus rasional, atau semua gagasan
yang ilmiah itu bertentangan dengan agama, tidak memberikan harapan dan tidak
melahirkan optimisme.
Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita….
Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita….
Ilmu pengetahuan dan
agama sama-sama memberikan kekuatan kepada manusia. Namun, kekuatan yang
diberikan oleh agama adalah berkesinambungan, sedangkan kekuatan yang diberikan
oleh ilmu pengetahuan terputus-putus. Ilmu pengetahuan itu indah, begitu pula
agama. Ilmu pengetahuan memperindah akal dan pikiran. Agama memperindah jiwa
dan perasaan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama membuat manusia merasa
nyaman. Ilmu pengetahuan melindungi manusia terhadap penyakit, banjir, gempa
bumi dan badai. Agama melindungi manusia terhadap keresahan, kesepian, rasa
tidak aman dan pikiran picik. Ilmu pengetahuan mengharmoniskan dunia dengan
manusia, agama menyelaraskan manusia dengan dirinya….
Pengalaman sejarah
menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama,
telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama harus dipahami dengan
memperhatikan ilmu pengetahuan, sehingga tidak terjadi pembauran agama dengan
mitos. Agama tanpa ilmu pengetahuan berakhir dengan kemandekan dan prasangka
buta, dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada ilmu pengetahuan, agama
menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada
zamah awal Islam dapat kita lihat sebagai satu contoh kemungkinan ini. Contoh
lainnya yang beragam bentuknya telah kita lihat, yaitu pada periode-periode
selanjutnya, dan masih kita saksikan.
Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah seperti sebilah pedang tajam di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri, yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya antara Churchill, Johnson, Nixon dan Stalin dewasa ini dengan Fir’aun, Jenghis Khan dan Attila pada zaman dahulu?
Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan, maka penerapannya pada dunia material ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu membentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih”.
Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah seperti sebilah pedang tajam di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri, yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya antara Churchill, Johnson, Nixon dan Stalin dewasa ini dengan Fir’aun, Jenghis Khan dan Attila pada zaman dahulu?
Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan, maka penerapannya pada dunia material ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu membentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih”.
Jika Muthahhari
menilai agama secara positif dan memandangnya sebagai entitas konstitutif dalam
masyarakat, menyehatkan masyarakat dan membangun peradaban, sebaliknya dari
perspektif yang berseberangan dan bertolak-belakang, Russell senantiasa melihat
agama secara kritis dan tak jarang melontarkan pernyataan-pernyataan sinis
terkait agama dan kaum agamawan, bahkan tak segan-segan memandang agama sebagai
“penyakit” dalam masyarakat dan peradaban ummat manusia: “Pandangan saya akan
agama sama dengan Lucretius,” demikian tulis Russell, “saya menganggap agama
sebagai penyakit yang timbul dari rasa takut dan sebagai sumber penderitaan
yang tak terungkapkan bagi umat manusia”.
Yang haruslah kita
pahami dalam konteks pandangan dan kritik Russell terhadap agama yang acapkali
agak sinis adalah bahwa Russell senantiasa melihat dan mendekati agama sebagai
seorang filsuf, lebih tepatnya sebagai seorang pemikir bebas yang memang dekat
ke watak kaum ateis, kritikus sosial, dan tentu saja sebagai individu –yang
acapkali kecewa dengan agama institusional yang seringkali terpolitisasi oleh
politik dan kekuasaan. Sesekali Russell pun tak sungkan-sungkan melontarkan
sindirian anti-agama, misalnya saat ia mengungkapkan bahwa ‘ketika ia akan
dibawa ke hadapan Tahta Langit (Tuhan), ia akan menegur Penciptanya karena
tidak menyediakan cukup bukti akan eksistensi-Nya’.
Meskipun demikian
bagi kita para pembaca, demi menghindari tuduhan yang terlampau terburu-buru
terhadap Russell dan demi menghindari simplifikasi tanpa dasar, kita sepertinya
harus juga mengetahui bahwa seringkali pandangan Russell terhadap agama
bersikap mendua dan fluktuatif, semisal pandangannya yang memuji agama
(religiusitas personal), di mana ia acapkali juga menaruh hormat kepada agama,
tepatnya sikap keberagamaan, yang mengembangkan simpati dan kasih-sayang: “Saya
menganggap beberapa bentuk agama personal sangat dibutuhkan dan merasa banyak
orang tidak puas karena tidak memilikinya”.
Singkat kata, agama
yang dikritik dan diserang Russell adalah agama yang, misalnya, gandrung
mengobarkan kebencian, permusuhan, perang, dan yang sejenisnya –yang menurutnya
bersumber dari dogmatisme keagamaan yang seringkali bercampur dengan
kepentingan politik dan kekuasaan institusional agama itu sendiri, hingga ia
dengan cukup ekstrem menyatakan: “Kasih-sayang terhadap manusia bagi saya
adalah dasar untuk melepaskan diri dari kesia-siaan mencari Tuhan”.
Hanya saja,
ekstremisme Russell tersebut-lah yang justru dikritik oleh Muthahhari, di mana
Russell seakan-akan tidak bisa memisahkan antara ‘agama’ itu sendiri dan
perilaku para penganut agama bersangkutan, yang memang acapkali “memolitisasi”
agamanya dan “menaklukkan” dan “memanipulasi” agama untuk kepentingan diri
sendiri, golongan, atau kelompok yang acapkali “menggunakan” agama atau
“mengatasnamakan” agama demi kekuasaan
dan ambisi politik, contohnya. Dengan kata lain, Russell mereduksi fenomena
perilaku para penganut agama dan “menyamaratakan” atau main pukul rata dalam
melihat dan memandang agama secara kritis dan sinis.
Harus diakui, memang
banyak sekali pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisan Russell yang sangat
keras mengkritik agama, misalnya:
“Mudah-mudahan kita
sepakat (sependapat) untuk sementara bahwa agama adalah kepercayaan dengan
banyak dogma yang mengarahkan perilaku manusia dan tidak didasarkan atas –atau
bertentangan dengan- bukti yang riil.”
Beberapa komentator
memandang kritik-kritik Russell terhadap agama tak jauh berbeda dengan serangan
dan kritik Freud. Sementara itu, dalam konteks jaman kita saat ini, ada banyak
contoh kritik dan serangan Russell terhadap agama mirip (atau malah
pengembangan dari argumen dan retorika Russell sendiri) dengan retorika dan
argumen kaum ateis militan mutakhir, semisal Richard Dawkins, Sam Harris,
Daniel Dennet dan yang lainnya, yang ironisnya menempatkan diri di garis kaum
fundamentalist, tanpa mereka sadari.
Sebagai seorang
intelektual dan filsuf yang mendaku diri agnostik, sejumlah pandangan dan
pernyataan Russell memang sama dengan pandangan dan khazanah kaum materialis,
yang persis di sini dan dalam hal inilah, Muthahhari menyindir Russell,
sementara beberapa komentator tulisan-tulisan Russell menilai klaim
agnostisisme Russell mirip dengan pengakuan ateisme yang tidak eksplisit, untuk
tidak menyebutnya sebagai pendakuan atau klaim yang malu-malu.
Pandangannya yang
berciri materialis contohnya adalah pernyataan Russell yang berbunyi:
“Sesungguhnya manusia itu lahir oleh berbagai faktor yang tidak direncanakan
sebelumnya, dan tidak pula mempunyai tujuan tertentu. Prinsip manusia adalah
pertumbuhan dan perkembangan, termasuk emosinya seperti cita-cita, rasa takut,
cinta dan keyakinan, itu semua hanyalah gejala-gejala interaksi biologis dari
berbagai partikel”.
Pandangan Russell
tersebut digaungkan kembali oleh Richard Dawkins, sang biologist mutakhir yang
kerap dijuluki sebagai juru-bicara kaum ateis militan saat ini. Russell sendiri
memang mangaku sebagai pembaca The Origin of Species-nya Charles Darwin, dan
menaruh hormat pada tulisan-tulisan Darwin: “Di rumah, saya diajarkan
dasar-dasar Unitarianisme…..dalam sebagian besar masalah yang dibicarakan suasananya
liberal……Darwinisme diajarkan sebagai materi khusus,” demikian tulisnya dalam
otobiografinya yang berkisah tentang keluarganya yang Kristen puritan,
sementara Russell sendiri, sebagaimana yang ia nyatakan, cenderung menjadi
seorang yang berpikir bebas.
Bagi kita saat ini,
contoh pandangan materialis Russell tersebut, kembali mendapatkan suaranya
dalam pandangan dan tulisan-tulisan Richard Dawkins. Kita tahu, misalnya,
Richard Dawkins pun tak jarang melakukan reduksi dan generalisasi. Dawkins
misalnya menyatakan bahwa teori evolusi mempengaruhi seluruh
aspek kehidupan manusia. Salah-satu buku Richard Dawkins yang populer, dan yang
dijadikan sebagai media mempublikasi pandangan evolusionis materialisnya adalah
The Selfish Gene yang kira-kira semacam pemaparan argumentasi tentang sifat
selfish (mementingkan diri sendiri) yang merupakan kodrat gen yang natural
alias alami.
Buku Dawkins
tersebut, tak diragukan lagi, merupakan Darwinisme mutakhir jaman kita saat
ini. Dalam buku tersebut, contohnya, Dawkins menyatakan bahwa prilaku mementingkan diri sendiri
(selfish) dan prilaku baik (altruism) memiliki akar dalam biologi, lebih
tepatnya dalam gen. Sifat-sifat tersebut, demikian menurut Dawkins, akan sangat
mempengaruhi relasi (hubungan) antar makhluk hidup dan selanjutnya tentu saja
berpengaruh dalam skala kehidupan sosial yang lebih luas, semisal dalam ekonomi
dan politik. Contoh dari sifat mementingkan diri sendiri antara lain prilaku
menolak membagi sumber-daya yang berharga seperti makanan, daerah atau
pasangan, yang mencapai titik ekstrim pada kanibalisme atau mengorbankan orang
lain untuk kepentingan sendiri. Sedangkan sifat altruisme, misalnya, tampak
pada lebah yang mengorbankan nyawanya demi membela sarangnya, karena sesudah
menyengat musuh, lebah akan mati.
Masih
menurut Dawkins, adanya sifat-sifat di atas dapat diterangkan dengan hukum
dasar yang disebut “gene selfishness”, atau sifat mementingkan diri sendiri
gen. Sifat mementingkan diri sendiri timbul karena evolusi bekerja melalui
seleksi alam. Hal ini berarti hanya yang paling fit yang akan dapat bertahan
hidup. Namun apa yang menjadi dasar seleksi? Untuk menjelaskan hal ini sang
penulis buku tersebut (Richard Dawkins) mengajak kembali ke asal mula
terciptanya kehidupan di bumi. Bumi memiliki bahan mentah kimia yang melimpah,
antara lain air, karbondioksida, metana, amonia, dan energi, namun melalui
seleksi alam akhirnya tercipta sejumlah molekul yang lebih kompleks dan lebih
stabil dibandingkan lainnya, dalam bentuk sup yang berisi asam amino, yaitu
blok pembangun protein.
Dan
sekarang kita kembali kepada pandangan dan pernyataan Russell yang berciri
materialis, seperti yang telah disebutkan, di mana dalam menanggapi pandangan
Russell tersebut, Muthahhari menyindirnya sembari membandingkan pandangan
tersebut dengan tulisan dan pandangan Albert Eisntein. Muthahhari menulis:
“Dengan
ucapannya (tersebut), Russell mengingkari wujudnya kekuatan intelegensi yang
mengatur alam semesta dengan bijaksana, meskipun kadang-kadang dia juga
mensifati dirinya sebagai termasuk golongan yang ragu-ragu (skeptis) dan
agnostik. Pada sisi lain kita melihat Einstein –ilmuwan jenius abad 20-
mengatakan pendapat yang menentang opini Russell dengan menyatakan, ‘Anda tidak
akan menemukan di antara pikiran-pikiran para ilmuwan tanpa perasaan
keberagamaan….Rasa keberagamaan itulah yang menuai keta’juban terhadap
harmoninya hukum semesta, yang melahirkan superioritas intelektual atas rasa
keberagamaan tersebut, dan tanpanya seluruh sistematika berpikir dan bertindak
manusia akan menjadi sia-sia. Perasaan ini adalah penuntun yang mendasar bagi
kehidupannya (kehidupan ilmuwan). Selanjutnya akan membebaskannya dari belenggu
hawa nafsu egonya. Suatu hal yang niscaya bahwa perasaan keberagamaan itu erat
kaitannya dengan mereka yang memiliki kegeniusan beragama pada setiap tingkat
usia’. Bisakah kita berkata bahwa Russell lebih familiar dengan konsep sains
modern sementara Einstein tidak?”
Dapat
dikatakan, sejumlah pandangan dan tulisan Russell yang mengkritik agama, segaris
dengan tulisan-tulisan dan pandangan-pandangan kaum materialis-ateis modern,
meskipun Russell jarang menggunakan kepercayaan ateistik-nya sendiri untuk
mengkritik agama, dan lebih sering melakukannya atas nama sains dan filsafat.
Walau pun kerap-kali terdengar dan terasa, memang, bahwa beberapa tulisan dan
pandangannya yang mengkritik agama bercitarasa ateistik dan materialistik.
Barangkali hal itu karena sebuah resiko ketika ia berusaha mengupayakan suatu
pandangan tentang agama yang sejalan dengan akal dan sains.
Meskipun
demikian, kita harus berhati-hati untuk tidak menyamakan Russell dengan kaum
ateis-materialis saat ini. Sebab bagaimana pun, sebagai seorang filsuf dan ahli
polemis, Bertrand Russell acapkali lebih mampu bersikap rendah-hati, tidak
memabi-buta, dan di atas segalanya, kita akan menjumpai bahwa dalam beberapa
hal, pandangan Russell, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bersifat
mendua dan fluktuatif sejauh menyangkut agama. Ia bahkan mengaku, sebagai
sebuah seruan moral, masih memegang beberapa perintah Injil, seperti:
“Janganlah engkau mengikuti orang-orang dalam bertindak jahat”, yang seperti
didakunya, adalah motto pribadinya dalam kiprah sosial-politiknya.
Terlepas apakah
berkaitan atau tidak berkaitan dengan sejumlah tulisan dan pandangan Russell
yang berciri materialis di mana Muthahhari sempat menyindirinya itu, Muthahhari
menulis bahasan khusus dan tersendiri dalam rangka mengkritisi aliran
materialisme dan kaum materialis ini. Tilikan Muthahhari terkait materialisme
tersebut, juga berkenaan dengan maraknya gerakan tersebut di Barat (khususnya
Eropa) yang menggiringnya pada suatu telaah dan tesis di mana menurutnya
gerakan materialisme dalam banyak hal lahir dan berkembang dalam situasi dan
kondisi sosial-politik-historis dan teologis di Barat itu sendiri.
Menurut Muthahhari,
suburnya paham dan gerakan materialisme di Barat tak dapat dilepaskan dari
“kekurangan” doktrin Gereja Kristen dan kuatnya paham antropomorfisme Tuhan
dalam doktrin Kristen dan Gereja Barat. Kita pun maphum, bahwa dalam
sejarahnya, agama Kristen telah tercampur dengan paham dan budaya Yunani ketika
diterima di Eropa (Barat). Muthahhari menulis:
“Gereja menggambarkan
sosok Tuhan serupa dengan manusia dan mengajukannya kepada manusia dalam rupa
antropomorfis. Di bawah Gereja (Barat)-lah mereka dibesarkan dengan
mengkonsepsikan Tuhan sama dengan manusia dan bentuk fisik lainnya. Kemudian
dengan kemajuan sains, mereka menjumpai gagasan itu tidak konsisten dengan
kaidah-kaidah ilmiah yang objektif dan rasionalitas”.
Singkat kata, sedari
awal, doktrin Gereja telah menempatkan dan memposisikan dirinya bertentangan
dengan rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan sains, dan anehnya hal ini pula yang
banyak disoroti pula oleh Russell ketika mengkritik agama dan Gereja, yang juga
menurut Russell, banyak bertentangan dengan sains dan ilmu pengetahuan. Mari
kita simak apa yang ditulis dan dikemukakan oleh Russell ketika ia menyingkap
kiprah Gereja Eropa di masa silam yang berseberangan dengan rasionalitas, ilmu
pengetahuan, dan sains modern, hingga menghukum (menginkuisisi) banyak ilmuwan
dan pendetanya yang sejalan dengan sains modern:
“Mereka (Gereja)
berpendapat bahwa bumi adalah pusat alam semesta, dikelilingi oleh lapisan
benda-benda angkasa, semua yang berada di luarnya adalah kerajaan dan
singgasana Tuhan beserta malaikat-malaikatNya…..
Dan Calvin berkata:
‘Siapa yang akan berusaha menempatkan otoritas Copernicus di atas Roh Kudus?’
Tetapi pada umumnya Copernicus tidak banyak diperhatikan. Ia tidak memberi
dasar yang kuat akan teorinya, dan karenanya boleh mengabaikannya.
Karya Galileo-lah
yang menyebabkan Gereja Katolik mengumumkan Teori Copernicus sesat, pertama
pada 1616 dan kemudian pada 1633. Serangan pada teori ini sangat keras. Jesuit
Inchofer, salah-satu pemimpinnya, berkata pada 1631: ‘Pendapat bahwa Bumi
bergerak adalah kesesatan yang paling menjengkelkan, paling jahat, paling keji;
tidak bergeraknya Bumi adalah tiga kali sakral; argumen menentang keabadian
jiwa, eksistensi Tuhan, dan inkarnasi, bisa lebih ditoleransi daripada argumen
yang ingin membuktikan bahwa Bumi bergerak’.
Kita pun maphum,
sebagaimana dikeluhkan oleh Russell tersebut, di
abad ke-16 –yang lazim kita kenal sebagai Abad Inkuisisi di Eropa itu, Nicolaus
Copernicus dengan berani mengemukakan teori dan pandangannya bahwa matahari
tidak mengelilingi bumi sebagaimana yang
dinyatakan Ptolomeus dan dipercayai Gereja, tapi bumi-lah yang justru
mengelilingi matahari. Kesimpulan Heliosentrisnya itu ia dapatkan berdasarkan
observasi dan perhitungan matematis, hanya saja ia tidak menerbitkan karyanya
kala itu karena khawatir inkuisisi Gereja akan menimpa dirinya.
Seabad
kemudian setelah temuan Nicolaus Copernicus itu –tepatnya di abad 17, Galileo
Galilei dengan teleskop ciptaannya mampu membuktikan teori dan pandangan
Nicolaus Copernicus tersebut dengan lebih meyakinkan, bahwa bumi mengelilingi matahari, yang juga
menyebabkan terjadinya siang-malam secara bergiliran selama 24 jam. Karena
kegigihan dan pembelaannya tersebut, Galileo dijatuhi hukuman penjara seumur
hidup oleh Gereja. Sementara itu, seorang pendeta Dominikan yang juga
membenarkan teori-nya Nicolaus Copernicus tersebut, yaitu Giordano Bruno
(1548-1600) dibakar hidup-hidup di tiang pancang oleh Gereja di tahun 1600.
Terkait
ketidakselarasan antara doktrin Gereja dan ilmu pengetahuan atau sains modern
ini, yang meski berbeda tilikannya tapi masih searah dengan Russell, Muthahhari
bahkan memandang beberapa ayat dalam Genesis (Kitab Kejadian) itu sendiri sudah
menunjukkan sebagai ayat-ayat yang tidak selaras dengan ilmu pengetahuan dan
akal. Muthahhari menulis:
“Di dunia Kristiani, sayangnya,
bagian-bagian tertentu dari Perjanjian Lama mengajukan gagasan, bahwa terjadi
kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Dasar dari gagasan ini—yang
sangat merugikan ilmu pengetahuan dan agama—adalah Kitab Kejadian, Perjanjian
Lama.
Dalam meriwayatkan “Kisah Adam dan Pohon Terlarang”. Kitab Kejadian, Bab II, ayat 16-17 mengatakan:
Dan Tuhan Allah memberikan perintah kepada lelaki itu, dengan mengatakan, “Dari setiap pohon di surga, engkau boleh leluasa makan (buahnya). Namun untuk pohon pengetahuan tentang baik dan buruk, engkau tidak boleh makan (buahnya). Karena kalau engkau makan (buah) dari pohon itu, engkau pasti akan mati.”
Dalam Bab II, ayat 1-7 dikatakan:
Kini naganya lebih canggih ketimbang binatang buas sawah yang diciptakan Tuhan Allah. Dan dia berkata kepada wanita itu, “Ya, Tuhan telah berfirman, engkau tak boleh makan dari setiap pohon di surga?” Dan wanita itu berkata kepada sang naga, “Kita boleh makan buah dari pohon-pohon di surga. Namun untuk buah dari pohon yang ada di tengah-tengah surga, Tuhan telah berfirman, engkau tidak boleh makan buah itu, juga tak boleh menyentuhnya, agar engkau tidak mati.” Dan sang naga berkata kepada sang wanita, “Tentu saja engkau dilarang, karena Tuhan tahu bahwa begitu engkau makan (buah itu), maka kedua matamu akan terbuka, dan engkau pun akan seperti dewa, tahu mana yang baik dan mana yang buruk.” Dan ketika sang wanita tahu bahwa pohon itu baik untuk makanan, dan bahwa pohon itu menyedapkan pandangan matanya, dan sebuah pohon yang dibutuhkan untuk membuat orang jadi arif, wanita itu pun memetik buah dari pohon itu, kemudian memakannya, dan juga memberikan kepada suaminya, dan sang suami pun memakannya. Dan mata mereka pun terbuka, dan mereka mendapati diri mereka telanjang. Lalu mereka menjahit daun-daun ara untuk pakaian mereka.
Dalam ayat 22-23 dalam Bab yang sama dikatakan:
Dan Tuhan Allah berfirman, “Lihatlah, lelaki itu menjadi seperti Kami, tahu yang baik dan yang buruk. Dan kini, jangan sampai dia mengulurkan tangannya, lalu memetik (buah) dari pohon kehidupan, kemudian makan (buah itu), dan hidup abadi.”
Menurut konsepsi tentang manusia, Tuhan, ilmu pengetahuan dan kedurhakaan ini, Tuhan tidak mau kalau manusia sampai tahu yang baik dan yang buruk. Pohon Terlarang adalah pohon pengetahuan. Manusia baru dapat memiliki pengetahuan kalau dia menentang perintah Tuhan (tidak menaati ajaran agama dan para nabi). Namun karena alasan itulah manusia terusir dari surga Tuhan.
Menurut konsepsi ini, semua isyarat buruk merupakan isyarat ilmu pengetahuan, dan nalar merupakan iblis sang pemberi isyarat. Sebaliknya, dari Al-Qur’an Suci kita menjadi mengetahui bahwa Allah mengajarkan semua nama (realitas) kepada Adam, dan kemudian menyuruh para malaikat untuk sujud kepada Adam. Iblis mendapat kutukan karena tak mau sujud kepada khalifah Allah (Adam) yang mengetahui realitas. Hadis-hadis Nabi (saw) menyebutkan bahwa Pohon Terlarang adalah pohon keserakahan, kekikiran dan hal-hal seperti itu, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan sisi hewani Adam, bukan berhubungan dengan sisi manusiawi Adam. Iblis selalu mengisyaratkan hal-hal yang bertentangan dengan akal dan hal-hal yang dapat memenuhi hasrat rendah (hawa nafsu). Yang mencerminkan iblis di dalam diri manusia adalah hasrat seksual, bukan akal. Beda dengan semua ini, yang kita temukan dalam Kitab Kejadian sungguh-sungguh sangat mengherankan”.
Dalam meriwayatkan “Kisah Adam dan Pohon Terlarang”. Kitab Kejadian, Bab II, ayat 16-17 mengatakan:
Dan Tuhan Allah memberikan perintah kepada lelaki itu, dengan mengatakan, “Dari setiap pohon di surga, engkau boleh leluasa makan (buahnya). Namun untuk pohon pengetahuan tentang baik dan buruk, engkau tidak boleh makan (buahnya). Karena kalau engkau makan (buah) dari pohon itu, engkau pasti akan mati.”
Dalam Bab II, ayat 1-7 dikatakan:
Kini naganya lebih canggih ketimbang binatang buas sawah yang diciptakan Tuhan Allah. Dan dia berkata kepada wanita itu, “Ya, Tuhan telah berfirman, engkau tak boleh makan dari setiap pohon di surga?” Dan wanita itu berkata kepada sang naga, “Kita boleh makan buah dari pohon-pohon di surga. Namun untuk buah dari pohon yang ada di tengah-tengah surga, Tuhan telah berfirman, engkau tidak boleh makan buah itu, juga tak boleh menyentuhnya, agar engkau tidak mati.” Dan sang naga berkata kepada sang wanita, “Tentu saja engkau dilarang, karena Tuhan tahu bahwa begitu engkau makan (buah itu), maka kedua matamu akan terbuka, dan engkau pun akan seperti dewa, tahu mana yang baik dan mana yang buruk.” Dan ketika sang wanita tahu bahwa pohon itu baik untuk makanan, dan bahwa pohon itu menyedapkan pandangan matanya, dan sebuah pohon yang dibutuhkan untuk membuat orang jadi arif, wanita itu pun memetik buah dari pohon itu, kemudian memakannya, dan juga memberikan kepada suaminya, dan sang suami pun memakannya. Dan mata mereka pun terbuka, dan mereka mendapati diri mereka telanjang. Lalu mereka menjahit daun-daun ara untuk pakaian mereka.
Dalam ayat 22-23 dalam Bab yang sama dikatakan:
Dan Tuhan Allah berfirman, “Lihatlah, lelaki itu menjadi seperti Kami, tahu yang baik dan yang buruk. Dan kini, jangan sampai dia mengulurkan tangannya, lalu memetik (buah) dari pohon kehidupan, kemudian makan (buah itu), dan hidup abadi.”
Menurut konsepsi tentang manusia, Tuhan, ilmu pengetahuan dan kedurhakaan ini, Tuhan tidak mau kalau manusia sampai tahu yang baik dan yang buruk. Pohon Terlarang adalah pohon pengetahuan. Manusia baru dapat memiliki pengetahuan kalau dia menentang perintah Tuhan (tidak menaati ajaran agama dan para nabi). Namun karena alasan itulah manusia terusir dari surga Tuhan.
Menurut konsepsi ini, semua isyarat buruk merupakan isyarat ilmu pengetahuan, dan nalar merupakan iblis sang pemberi isyarat. Sebaliknya, dari Al-Qur’an Suci kita menjadi mengetahui bahwa Allah mengajarkan semua nama (realitas) kepada Adam, dan kemudian menyuruh para malaikat untuk sujud kepada Adam. Iblis mendapat kutukan karena tak mau sujud kepada khalifah Allah (Adam) yang mengetahui realitas. Hadis-hadis Nabi (saw) menyebutkan bahwa Pohon Terlarang adalah pohon keserakahan, kekikiran dan hal-hal seperti itu, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan sisi hewani Adam, bukan berhubungan dengan sisi manusiawi Adam. Iblis selalu mengisyaratkan hal-hal yang bertentangan dengan akal dan hal-hal yang dapat memenuhi hasrat rendah (hawa nafsu). Yang mencerminkan iblis di dalam diri manusia adalah hasrat seksual, bukan akal. Beda dengan semua ini, yang kita temukan dalam Kitab Kejadian sungguh-sungguh sangat mengherankan”.
Pustaka:
[1]Basil Willey, The Eighteen
Century Background, Beacon Press 1964
[2]Bertrand Russell, Education
and Social Order (Pendidikan dan Tatanan Sosial, Yayasan Obor Indonesia
1993)
[3]Louis Greenspan and Stefan Anderson, Russell On Religion (Bertuhan Tanpa Agama, penerjemah: Imam
Baehaqi, Resist Book 2008)
[4]Murtadha Muthahhari, The
Causes Responsible for Materialist Tendencies in the West (Kritik Islam
Terhadap Materialisme, penerjemah: Mujahid Husayn, Al-Huda 2001)
[5]Murtadha Muthahhari, Man and Universe (Falsafah Agama &
Kemanusiaan, penerjemah: Arif Maulawi, RausyanFikr 2013)
[6]Thomas Nagel, The View from
Nowhere, Oxford University Press 1986
[7] http://syiatulislam.blogspot.com/2015/01/kodrat-alami-mementingkan-diri-menurut.html
(Diunduh pada 13 Maret 2015)
[8] http://suarakatak.blogspot.com/2015/02/sains-dan-agama-bertentangan-atau.html
(Diunduh pada 12 Maret 2015
[9] http://teraserwin.blogspot.com/2014/10/ilmu-pengetahuan-dan-agama.html
(Diunduh pada 12 Maret 2015)
[10] http://savitriart.blogspot.com/2014/12/syahid-muthahhari-ulama-yang-filsuf-dan.html
(Diunduh pada 12 Maret 2015)
Hak cipta © pada Sulaiman
Djaya (2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar