Puisi-Puisi Sulaiman
Djaya
(Sumber:
Majalah Sastra Horison Edisi Oktober
2014)
Ziarah
Apa yang akan kau tulis, Hafiz, jika
kau hidup
di jaman ini? Kata-kataku tidak lahir
dari hening embun
tapi dari desing mesin dan serbuan
iklan di televisi.
Kadang aku tak sanggup lagi mengenali
bahasaku. Sampaikan salamku kepada
Attar
jika burung-burungnya singgah ke
Tursina,
Makkah, atau Karbala. Di manakah
dapat kucium semerbak wangi lembah Kaf
dan Nun yang masyhur itu? Di dalam
kalbu
ataukah di rintih do’a para pelacur?
Aku baca
puisi-mu, Hafiz, dan membayangkan jalan
sepi
yang kau lalui. Tapi dunia yang
kujumpai kini
lebih lincah dari
perumpamaan-perumpamaan
yang kau kisahkan dengan larik-larik
ghazalmu.
Hujan dalam puisimu tidak sama dengan
hujan
yang menulis kata-kata dalam sajakku.
Sampaikan salamku kepada Sa’adi
bagaimana ia akan menulis elegi di
jaman ini?
(2014)
Munajatku
Aku tiba pada-Mu
seperti senja yang ranum.
Kepakan para unggas adalah
perumpamaan
tentang bagaimana aku
harus menulis do’a
dengan sungguh-sungguh.
Sebelum adzan berkumandang,
Tuhanku,
aku tak pernah tahu
sujud seperti apa
yang dapat menggali rindu.
Aku bahkan acapkali tersesat
menjelajahi semestaku sendiri
seperti sepi nyala mungil
di meja belajar masa kanakku.
Kata-kata di dalam hatiku
senantiasa mencari
kekasih yang mau mengerti.
Jika minyak lampu itu telah
habis,
Tuhanku, anugerahkanlah mautku
maut sang perindu.
Mungkin seperti sebuah lagu
yang pernah didaraskan ibuku.
(2014)
Ramadan
Adakah makna haus seperti sunyi
azan
yang memanggil-manggil? Di hatiku
bernyanyi
selagu rebana milik seorang
darwis pengelana.
Dengan sepi kubangun rumah dari
kata
dan engkau adalah pintunya.
Apabila malam meninggalkan embun
rindu menyala di lelah matamu.
Aku adalah seorang tamu,
peziarah penggubah lagu-lagu.
Waktu adalah senja redup
yang ikhlas menggambar teka-teki
rambutmu
dan puisi lahir dari ketabahan
yang tak dipahami.
Bila kau melihat dengan hatimu,
para capung atau kupu-kupu
adalah sejumlah umpama
tentang apa saja yang diabaikan.
Hidup, barangkali, duh sayangku,
seperti sore yang tak rampung.
Ketika nama Tuhan dan para burung
terasa akrab sekaligus jauh.
(2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar