Seringkali seorang ilmuwan atau fisikawan menemukan teori
dan hukum fisika mereka dari kejadian dan fenomena alam dan pengalaman
kehidupan yang dianggap biasa bagi banyak orang –sebagaimana seorang penyair
menulis bait-bait sajaknya dari kehidupan, perenungan, dan meditasi dari dan
tentang kesekitaran yang hadir di hadapan mereka dan ada bersama mereka. Mungkin
Anda pernah memandang ke arah langit, memandang kepada gumpalan dan gugusan
awan serta warna-warna yang ada di sekitarnya, dan barangkali pernah pula
menerka apa yang ada di sana atau yang di baliknya, di tempat yang lebih
tinggi, dan bertanya pula seberapa jauh-kah jaraknya dari tempat Anda berada?
Atau barangkali Anda pernah terpesona pada sebuah senja yang
karenanya membuat Anda merasa nyaman, meski sesaat saja, ketika memandangnya,
entah dari mana pun Anda memandang senja itu: dari balik jendela kaca gedung
bertingkat di kota Jakarta yang padat dan mudah tergenang banjir itu, atau dari
sebuah halte ketika Anda tengah duduk menunggu bus yang akan lewat dan berhenti
membawa Anda ke tempat tujuan Anda.
Bagi kebanyakan orang itu semua seringkali hanya sebagai
“peristiwa” dan “pengalaman” yang tak memotivasi atau pun melahirkan kuriositas
alias rasa ingin tahu yang intens dan berkelanjutan, serta membekaskan
kekaguman atau ketakjuban yang kemudian mendorong mereka untuk “memahami” atau
berusaha mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan itu semua. Tapi tidak
demikian bagi mereka yang kemudian menjadi filsuf, ilmuwan, fisikawan, atau
penyair.
Mereka, para penyair, ilmuwan, filsuf, dan fisikawan itu,
acapkali “bertanya” menyangkut hal-hal, pengalaman, fenomena alam, dan
keseharian yang mereka alami dan yang hadir di hadapan mereka, yang sebenarnya
hadir dan ada bagi kebanyakan orang juga –hanya saja, bagi kebanyakan orang,
hal itu tidak memancing rasa ingin tahu atau kuriositas yang intens dan
berkelanjutan, yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan, teori dan hukum
fisika, serta produk-produk intelektual yang pada akhirnya berguna dan
bermanfaat bagi banyak orang, apalagi bila kapitalisme telah mengambil-alihnya
menjadi ragam komoditas yang siap mereka jual demi meraup keuntungan sang
pemilik modal.
Isaac Newton bertanya kenapa buah apel bisa jatuh dari
tangkainya ke tanah atau ke bawah –dan bukan ke atas? Di saat banyak orang
menganggap hal itu bukan sebagai sesuatu yang “harus” dipertanyakan dan dicari
atau berusaha diketahui penyebabnya. Dan seperti kita tahu, berkat rasa ingin
tahu atau kuriositas dan perenungan serta pertanyaan Isaac Newton yang dianggap
“kekanak-kanakkan” itu, tersingkaplah hukum alam atau hukum fisika –yaitu Gaya
Gravitasi, yang menyebabkan apel itu jatuh ke bawah, dan bukan ke atas, dan
seiring berjalannya waktu, tersingkap pula hukum gerak, dan yang lainnya.
Temuan Newton tersebut kemudian semakin terkokohkan di
abad-abad selanjutnya berdasarkan eksperimen dan pengalaman ilmiah lainnya di
kemudian hari, wabilkhusus berdasarkan pengalaman para astronot yang menjelajah
angkasa alias ruang-antariksa, dan di sana atau di angkasa alias antariksa itu,
tubuh para astronot tersebut mengambang dan melayang-layang ketika mereka
berada di dalam pesawat yang tengah menjelajah angkasa tersebut.
Demikianlah, rasa-ingin tahu atau kuriositas manusiawi yang
memiliki aspek daya atau fakultas rasio dan daya atau fakultas bathin
(kepekaan), yang kemudian mendorong perenungan dan penelitian intens, telah
melahirkan hukum-hukum, teori-teori, atau temuan-temuan, yang acapkali bermula
dari hal-hal atau pengalaman dan fenomena keseharian dan alam semesta yang
dianggap biasa bagi kebanyakan orang
Fisika
Gelembung Sabun
Begitulah, ketika hendak menerangkan jagat-raya yang
dirangkum dalam Teori Relativitas dengan pendekatan yang berusaha familiar bagi
masyarakat luas, Sir James Jeans menulis: “Gelembung sabun yang tidak teratur
dan berombak mungkin adalah gambaran terbaik, dilihat dari materinya yang
sederhana dan sudah umum dikenal, mengenai jagat-raya baru yang disuguhkan
kepada kita oleh Teori Relativitas. Jagat-raya bukanlah bagian dalam gelembung
sabun, tetapi permukaannya, dan kita harus selalu ingat bahwa, meskipun
permukaan gelembung sabun hanya mempunyai satu dimensi, jagat-raya gelembung
mempunyai empat dimensi –tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Dan
substansi dari mana gelembung ini ditiup, selaput sabun, adalah ruang hampa
yang menyatu dengan waktu hampa”.
Apa yang ditulis Sir James Jeans tersebut adalah contoh
ketika seorang penulis yang sekaligus fisikawan teoritis menemukan kemiripan
alias similarity (atau bukti dan contoh) faktual teori fisika dengan fenomena
keseharian –yang kebetulan fenomena faktual permainan para bocah yang meniup
air yang telah dicampur dengan sabun, yang ketika ditiup melalui dan dengan
alat “selang (atau sedotan) kecil”, air yang telah dicampur sabun itu pun menjelma
gelembung.
Kita tahu, para fisikawan adalah acapkali para filsuf,
sebagaimana pada era Yunani dan Jaman Islam, para filsuf acapkali adalah
seorang penyair, ahli matematika, pakar geometri, arsitek, ahli perbintangan,
singkatnya para ahli di bidang ilmu alam sekaligus para pengamat dan para
peneliti masalah-masalah etik, politik, dan hal-hal kemanusiaan lainnya,
semisal sejarah dan bahasa. Di sini, dalam kadar sekedar menyebut beberapa
fisikawan atau ilmuwan yang adalah juga para filsuf itu, kita bisa mengabsen
nama-nama seperti Al-Kindi, Al-Khazini, Ibn Haitham, Omar Khayyam, Galileo
Galilei, Copernicus, Newton, Einstein dan yang lainnya.
Tentu saja, sebagaimana yang kita ketahui juga, sains tak
luput dari kekeliruan –di mana kekeliruan itu kemudian dikoreksi dan
disempurnakan oleh para ilmuwan selanjutnya, tak ubahnya ketika Galileo Galilei
mengoreksi Ptolomeus dan ketika Ibn Haitham mengoreksi Euclid, yang pada
akhirnya memberikan ruang baru bagi penelitian dan perenungan saintifik bagi
Newton, Mach, Planck, dan Einstein, misalnya, di mana itu semua telah
memberikan dan menyediakan bahan-bahan teoritik dan material bagi kemajuan
sains umumnya dan fisika saat ini. Meski ada beberapa hukum pasti –yang
katakanlah belum bisa dibantah atau belum membuktikan diri sebagai yang keliru.
Dalam hal ini, sebagai contoh lainnya, dapat disebutkan
bahwa dulu, beberapa abad silam, fisikawan menganggap materi sebagai sesuatu
yang diciptakan dari bola-bola bilyard kecil nan indah yang bergerak dengan
cara yang sepenuhnya dapat dimengerti. Namun kemudian, sebagaimana yang kita
tahu saat ini, fisikawan modern telah meledakkan materi seluruhnya, sebagaimana
mereka membuktikkannya pada bom termo-nuklir, dan yang tersisa darinya adalah
gelombang probabilistik statistik –sebuah probabilitas bahwa sesuatu, yang kita
belum tahu apa, di suatu tempat yang kita belum tahu di mana, ada dalam ruang
yang sangat berbeda.
Singkatnya, selain karena tuntutan jaman dan kebutuhan bagi
eksperimentasi dan inovasi baru, pada dasarnya rasa ingin tahu atau kuriositas
manusia tak pernah terpuaskan atau berhenti, yang membuat manusia bahkan
kembali mempertanyakan apa yang telah dianggap atau apa yang telah diterima
sebagai “hukum pasti”, apalagi masih banyak misteri alias teka-teki semesta
yang belum diketahui, belum dapat dipecahkan, atau belum bisa dijelaskan,
sehingga sains gelembung sabun bukan hal yang tidak mungkin sebagai sesuatu
yang reduktif atau keliru di suatu saat nanti. Atau memang sudah keliru di saat
ini?
Hak cipta © pada Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar