“Historiografi, sebagaimana
dipahami Homerus, Virgilius, dan Plutarch, tak sekadar dokumentasi prosaik,
tetapi sebuah deskripsi yang hidup, yang karenanya Homerus dan Virgilius
menuliskannya dalam bentuk teater puitis melalui media puisi, di mana ingatan menjadi
demikian hidup karena dituliskan dan digambarkan secara teatrikal. Sebab itu
tidak berlebihan, ketika Shakespeare mengaku diri lebih banyak belajar tentang
sejarah dari puisi-puisi dan drama-drama Yunani, atau dari epik-epik lainnya”
Dari segi budaya massa,
tahun 70-an bisa dibilang sebagai eranya The Beatles dan Rock N Roll, ketika
generasi muda mengenakan busana yang lebar di ujung kakinya dan ketat di bagian
paha mereka. Sebuah masa yang bukan milik saya, dan karena itu tak banyak yang
bisa saya ketahui di tahun-tahun 70-an, selain mereka-reka, dan itulah yang
saya lakukan, ketika membuka album foto-foto keluarga, yang sebagian besar
sudah agak kusam dan sudah tak lagi mencerminkan jepretan pertama. Namun di
dalam hati, saya diam-diam merasa kagum dan berterimakasih kepada fotografi,
yang meski saya lahir di pedesaan, keluarga saya bisa dikatakan sadar
dokumentasi. Dalam keadaan seperti itu, saya hanya bisa tersenyum-senyum
sendiri di ruangan tempat saya menulis dan membaca ketika memandangi foto-foto
keluarga dan membaca-baca majalah-majalah di tahun-tahun 70-an dan 80-an yang
saya dapatkan dari paman dan sepupu saya itu.
Dalam foto-foto itu, saya
adalah antara lain seorang bocah yang baru bisa merangkak dan seorang siswa
kelas satu sekolah dasar dengan kondisi punggung yang masih tegak, tidak
seperti sekarang ini yang mudah lelah dan merasa sakit bila tidak bersandar.
Bersamaan dengan itu, saya tiba-tiba tergoda untuk membayangkan dan
mengingat-ingat malam-malam di desa di tahun-tahun 80-an yang masih menggunakan
lampu-lampu minyak. Saya tergoda untuk kembali membayangkan dan mengingat-ingat
keheningan malam yang begitu panjang, sepanjang jalan dan sungai, sepanjang
pohon-pohon rimbun, di mana suara-suara serangga dalam kegelapan selepas hujan
semakin menambah keheningan itu sendiri.
Rasa ingin membayangkan
kembali masa silam itu justru tersulut di saat-saat saya memandangi foto-foto
yang tersimpan di album keluarga, di saat-saat saya membaca-baca
majalah-majalah era 70-an dan 80-an, yang di saat tidak menceritakan semuanya,
tapi pada saat yang sama menyimpan banyak hal, yaitu ingatan itu sendiri.
Kemudian saya seolah
mendapatkan suatu kesan bahwa sebuah gambar, ternyata, sama-sama bisa bercerita
banyak hal sebagaimana satu buku sejarah, atau bahkan bisa lebih banyak
bercerita ketimbang satu buku sejarah, justru karena ia rentan dan selalu
memiliki kemungkinan untuk ditafsirkan. Seperti halnya sebuah komposisi musik
yang ingin selalu Anda dengarkan, karena ada sesuatu yang ingin Anda ceritakan
dengannya, meski untuk anda sendiri. Dan sebuah foto bercerita banyak kepada
Anda sekaligus tetap menyimpan dan menyembunyikan yang lainnya.
Seperti itulah, sebuah
foto yang saya pandangi sanggup membuat saya tergoda untuk mengingat-ingat sejumlah
kenangan yang menyenangkan dan yang menyedihkan. Memancing rasa sentimentil
saya untuk membayangkan masa silam yang telah tak ada. Rasa sentimentil yang
tersulut begitu saja ketika saya merasa bosan atau jenuh dengan apa yang tengah
saya lakukan dalam kesendirian.
Mungkin, pada saat-saat
itu, Anda tak perlu membaca kembali catatan harian Anda, itu pun bila Anda
punya catatan harian. Atau ketika Anda ingin merenungi sejenak perjalanan hidup
Anda, mungkin cukup memandangi foto-foto dalam album fotografi milik Anda.
Sementara, bagi saya
sendiri, ketika memandangi foto-foto di album keluarga, seperti yang telah saya
katakan itu, saya tiba-tiba membayangkan kembali masa-masa ketika malam terasa
begitu panjang dan hujan membuat keheningan terasa semakin kental di pedesaan,
di saat saya hanya bertemankan selampu minyak di meja belajar. Katakanlah,
sebuah foto atau sebuah gambar bisu tentang diri Anda, justru yang seakan-akan
sanggup menghentikan dan menyandra masa lalu untuk siap menghadirkannya kembali
ke masa sekarang di mana Anda hidup dan memandanginya.
Pada kasus tersebut,
sebuah foto menjadi intim dan berarti bukan karena sebuah foto baru jadi atau
baru dicetak, tetapi karena ia sudah tersimpan lama dan sekaligus telah
menyimpan tahun-tahun yang pernah Anda jalani dalam hidup, tahun-tahun yang
dalam keadaan tertentu dalam hidup Anda mungkin terasa belum jauh dan serasa
baru beberapa waktu saja. Dan utamanya untuk kasus saya sendiri, foto-foto di
album keluarga itu tak menerakan tanggal dan tahun kapan foto itu diambil dan
dibuat oleh si fotografernya, hingga saya mesti mereka-reka sendiri tentang
masa dan waktu pembuatan dan pencetakannya.
Karena itu, bila saya
boleh menyimpulkan, sebuah foto bisa mengatakan sesuatu yang tak bisa dilakukan
atau diceritakan oleh lembar-lembar halaman catatan harian. Contohnya adalah
wajah-wajah yang sedih atau riang dalam sebuah foto atau gambar, tetap saja
memancarkan keunikannya sendiri yang berbeda-beda pada setiap orang atau wajah,
pada setiap moment atau kondisi-kondisi tertentu.
Bersama sebuah foto,
ingatan yang memang sebenarnya hanya angan-angan kita, diberi kesempatan untuk
memuaskan apa yang ingin direka dan digambarnya kembali. Meski pada saat yang
sama juga ia hanya bisa mengembarai kegelapan dan khayalan-khayalannya sendiri.
Tetapi, mungkin karena hal itu pula, rasa senang senantiasa direkonstruksi, di
saat anda ingin mengingat-ingat kembali kejadian dan peristiwa yang pernah ada
atau yang melatarbelakangi keberadaan foto itu sendiri, di saat foto itu
sendiri sebenarnya sudah terbebas dari peristiwa atau kejadian yang pernah anda
alami atau yang pernah anda rasakan.
Persis seperti itulah,
dengan dan bersama sebuah foto, apa yang saya lakukan adalah mengarang kembali
sejarah dan perjalanan hidup saya. Anggaplah sebuah foto tak ubahnya satu puisi
singkat yang bisa menceritakan banyak hal sekaligus menyamarkannya pada saat
bersamaan. Fungsi figuratifnya telah membuatnya menjadi kecil sekaligus longgar
dan terbuka untuk selalu ditafsirkan.
Namun, di atas semua yang
telah saya katakan itu, ada juga mungkin sesuatu yang lain. Sebutlah ketika
Anda memandangi foto diri Anda, terutama diri Anda di suatu masa yang telah
berlalu bertahun-tahun, ada sesekali perasaan bahwa Anda tengah memandangi
orang lain, disadari atau tidak disadari. Dan pada saat itu pula, Anda pun
tengah mengagumi diri Anda yang lain, seperti ketika Anda memandangi diri Anda
di cermin, di mana sebuah cermin berfungsi sebagai pemantul sekaligus pemisah
(pemecah) diri Anda. Hanya saja sebuah foto diri Anda di masa silam mengajak
untuk kembali menemukan diri Anda, dan itulah yang bisa kita sebut sebagai
ingatan yang disandera sekaligus diceritakan oleh sebuah foto yang telah lama
tersimpan.
Ingatan dan sebuah foto
paling pribadi milik Anda, sebagaimana sebuah puisi romantis yang bukan lagi
milik penyairnya, telah memiliki kehidupannya sendiri, kehidupan yang telah
berpisah sekaligus masih dibagi dengan diri Anda, atau katakanlah, merebut
figur Anda demi keberadaan dirinya sendiri. Karena itu, yang Anda lakukan tak
lebih mengarang kembali ketika Anda ingin memasuki ingatan, atau ketika Anda
mengingat-ingat kejadian yang telah berlalu bertahun-tahun. Meski pada kadar
yang paling sentimentil, Anda merasa seakan-akan waktu tak beranjak, apa yang lazim
disebut sebagai daya-tarik kesedihan dan keriangan sesaat.
Hingga bisa dikatakan,
sebuah foto, sebagaimana sebuah cermin, menjadi ada karena bukan hanya mampu
menampilkan citra Anda, tetapi lebih dari itu, ia mampu menunjukkan dan
menghadirkan “orang lain”, orang lain yang anehnya terus-menerus Anda
identifikasi sebagai diri Anda. Dalam kajian historiografi, contohnya, sebuah
foto telah mampu menghadirkan kembali kejadian-kejadian atau pun
peristiwa-peristiwa di masa lalu yang sebenarnya sudah tidak ada.
Sementara itu, bagi saya
sendiri, sebuah foto yang saya pandangi seakan mengajak saya kembali untuk
menyusuri jejalan setapak sungai di bawah barisan pohon-pohon rindang yang
mirip sebuah terowongan kota-kota metropolitan sekarang ini. Jejalan setapak
sepanjang sungai yang sebenarnya hanya bisa saya khayalkan. Dan diri saya yang
saya ingat-ingat itu pun sebenarnya tak lebih orang lain yang telah tak ada.
Sedangkan dorongan khayalan itu sendiri adalah perasaan cacat dan tak lengkap
dalam diri saya sendiri, atau mungkin dalam diri Anda. Itulah yang lazim
disebut sebagai ironi dan dilema Narcissus: “permainan kehilangan dan
menemukan”.
Pada konteks seperti itu,
nilai makna dan arti sebuah foto terletak pada kemampuannya untuk membangkitkan
sentimentalitas personal. Ketika detil dan ketaklengkapan telah membebaskan
dirinya untuk ditafsirkan oleh saya atau Anda sendiri. Ketika ia membiarkan
dirinya untuk terus direkonstruksi sejauh menyangkut kejadian dan latarbelakang
yang menyediakan peluang bagi ingatan untuk melakukan tugasnya dalam
pengembaraan-pengembaraan permainan kehilangan dan menemukan itu.
Kita juga sebenarnya sudah
begitu tahu, dari sudut historiografis, fotografi telah menjalankan fungsi
artifak dan hiorieglif, situs dan prasasti, meski yang diceritakan kepada kita
lebih merupakan pecahan, potongan, dan kepingan kejadian, yang dari itu, kita
sendiri yang mesti merangkai keutuhan dan kelengkapannya. Di sini dikatakan,
misalnya, detil-detil sebuah foto akan mampu memberikan materi untuk upaya
rekonstruksi kejadian dan pemahaman peristiwa, meski sebenarnya tak pernah
berhasil menemukan keutuhan.
Sebagai contoh lainnya
misalnya dikatakan, dari kualitas warna dan cahaya, kita bisa mereka-reka
apakah sebuah foto yang kita pandangi dibuat dan diambil pada waktu pagihari,
sianghari, sorehari, ataukah malamhari. Sementara itu, detil-detil material dan
situasi sebuah tempat yang tersimpan dan tertangkap sebuah foto akan juga
mengatakan kepada kita tentang situasi sebuah jaman, trend yang sedang berlaku,
atau juga situasi sosial-budaya yang bisa dicontohkan dengan materi dan situasi
busana, arsitektur tempat, produk-produk industri-ekonomi, dan lain sebagainya.
Sesuatu yang dulu orang-orang purba gambarkan kepada kita melalui ukiran, lukisan,
simbol-simbol, dan rumus-rumus seperti yang dicontohkan dengan baik oleh
hieroglif orang-orang Mesir purba, yang adalah juga para seniman grafis yang
cakap secara matematis dan estetis.
Tetapi, karena
ketaklengkapannya itu, dan ini pun diakui oleh para arkeolog dan sejarawan,
sebuah prasasti, hieroglif, atau pun fotografi, hanya memberikan kepingan
cerita, bukan keseluruhan peristiwa atau pun kejadian historis yang padu dan
lengkap. Pada celah itulah dibutuhkan interpretasi alias penafsiran dan angan-angan
sang arkeolog atau pun sang sejarawan, atau apa yang saya sendiri akan
menyebutnya sebagai upaya “mengarang kembali” peristiwa dan kejadian.
Hingga karena demikian,
historiografi sekalipun tak pernah terbebas dari angan-angan, justru karena setiap
fakta dan bukti historiografis pada akhirnya mesti ditafsirkan, di saat yang
hadir kepada kita hanya pecahan dan kepingan, bukan peristiwa atau kejadian
yang utuh. Ia ada sebagai sesuatu yang cacat dan tak lengkap.
Tepat pada saat itulah,
Anda hanya berusaha mengangankan dan mengarang kembali kejadian atau pun
latarbelakang sebuah foto yang anda pandangi atau yang tengah anda selidiki, di
saat figur anda yang ada dalam foto tersebut telah menjadi orang lain yang
milik masa lalu. Di saat milik Anda yang sesungguhnya hanyalah angan-angan itu
sendiri. Dan karena itu, semakin tak lengkap sebuah foto, semakin kreatif pula
angan-angan Anda untuk mengarang kembali sebuah peristiwa atau kejadian yang
dapat membuat sebuah foto berarti bagi Anda, di saat Anda sendiri hanya bisa
mengangankan kembali gambar-gambar buram ingatan.
Seperti itu pulalah
historiografi, sebagaimana dipahami Homerus, Virgilius, dan Plutarch, tak
sekadar dokumentasi prosaik, tetapi sebuah deskripsi yang hidup, yang karenanya
Homerus dan Virigilius menuliskannya dalam bentuk teater puitis melalui media
puisi, di mana ingatan menjadi demikian hidup karena dituliskan dan digambarkan
secara teatrikal. Sebab itu tidak berlebihan, ketika Shakespeare mengaku diri
lebih banyak belajar tentang sejarah dari puisi-puisi dan drama-drama Yunani,
atau dari epik-epik lainnya.
Hak
cipta © pada Sulaiman Djaya (2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar