Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Kepemimpinan
Pembahasan mengenai
masalah Imamah bisa menimbulkan pertanyaan tertentu yang mengungkapkan keraguan
atau keberatan pembaca. Di sini kami kemukakan pandangan kami mengenai
pertanyaan itu. Dalam hal ini pertanyaan utamanya hanya ada dua:
Pertama, setiap bangsa berupaya memproyeksikan poin-poin
positif sejarahnya, dan sejauh mungkin ingin menyembunyikan kelemahannya.
Peristiwa yang dapat membanggakan lembaga atau ideologi dianggap sebagai tanda
autentisitas dan kebenarannya, sedangkan peristiwa yang tidak menyenangkan yang
terjadi dalam sejarahnya menimbulkan keraguan tentang autentisitasnya dan
dianggap sebagai tanda kelemahan daya kreatifnya. Karena itu, pembahasan
mengenai masalah Imamah dan Khilafah, khususnya penyebutan berulang-ulang
peristiwa kelam yang terjadi pada periode Muslim awal dapat mengurangi semangat
keagamaan generasi baru, yang baru menghadapi krisis spiritual. Di masa lalu
pembahasan seperti itu bisa memberikan hasil yang dikehendaki dan membawa
perhatian kaum Muslim dari satu mazhab ke mazhab lain. Namun di zaman sekarang,
melemahkan asas-asas iman. Kalau pihak lain menyembunyikan aspek-aspek kelam
sejarah mereka, kenapa kita, kaum Muslim, mencoba membeberkan aspek-aspek kelam
sejarah kita dan bahkan memperbesarnya?
Kami tidak sependapat
dengan pandangan di atas. Menurut kami, kalau telaah atas sejarah berarti
membeberkan peristiwa-peristiwa yang tak diinginkan saja, maka efeknya akan
buruk seperti disebutkan di atas. Namun juga fakta kalau kita tetap puas dengan
hanya menggambarkan aspek-aspek cemerlang sejarah kita dan menyembunyikan
peristiwa-peristiwa tak menyenangkan, itu berarti mcndistorsi sejarah, bukan
menelaahnya.
Pada dasarnya sejarah tak
bersih dari peristiwa kelam. Sejarah setiap bangsa, dan pada dasarnya sejarah
umat manusia, merupakan himpunan peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Pasti begitu. Allah menciptakan manusia sedemikian sehingga manusia tidak bebas
dari dosa. Perbedaan yang terjadi pada sejarah berbagai bangsa, komunitas dan
agama terletak pada proporsi peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan,
bukan pada fakta bahwa mereka, hanya memiliki peristiwa menyenangkan saja atau
tidak menyenangkan saja.
Al-Qur'an dengan bagus
mengungkapkan fakta bahwa manusia memiliki poin baik dan poin buruk.
Ringkasnya, Allah memberitahu para malaikat mengenai niat-Nya untuk menciptakan
satu khalifah (Adam). Para malaikat yang hanya tahu poin-poin lemah makhluk
baru terkejut dan ingin tahu kenapa Allah berbuat seperti itu. Allah mengatakan
kepada mereka bahwa Dia tahu poin baik dan poin buruk makhluk itu, dan bahwa
mereka tidak mengetahui semua kekhasan makhluk itu.
Jika kita melihat sejarah
Islam dari sudut pandang peristiwa yang memanifestasikan iman dan nilai-nilai
manusiawi, maka kita akan tahu betapa itu tak ada bandingannya. Sejarah Islam
penuh dengan perbuatan heroik. Sarat dengan kecemerlangan dan keunggulan
manusiawi. Eksistensi beberapa titik kelam tidak merusak keindahan dan
kemuliaannya. Tak ada bangsa yang bisa mengklaim bahwa sejarahnya berisi
peristiwa-peristiwa yang lebih cemerlang dibanding sejarah Islam, atau bahwa
peristiwa kelam yang terjadi dalam sejarah Islam lebih banyak dibanding
peristiwa kelam yang terjadi dalam sejarahnya sendiri.
Seorang Yahudi, yang ingin
membuat murka dan sakit hati Imam Ali bin Abi Thalib as dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode awal Islam berkenaan dengan
masalah kekhalifahan, berkata, "Anda memakamkan Nabi Anda persis pada saat
mulai terjadinya perselisihan tentangnya." Betapa bagus jawaban Imam Ali,
"Anda salah. Kami tidak memperselisihkan Nabi itu sendiri. Kami hanya berselisih
soal petunjuk yang kami terima darinya. Namun kaki Anda belum kering dari air
laut ketika Anda mengatakan kepada Nabi Anda, 'Tunjukkan bagi kami Tuhan yang
seperti Tuhan-Tuhan mereka.' Dia berkata, 'Kamu adalah orang yang bodoh."'
(Nahj al-Balâghah)
Imam Ali as bermaksud
mengatakan, "Perselisihan kami bukan mengenai prinsip-prinsip tauhid dan
kenabian. Namun mengenai apakah Al-Qur'an dan Islam telah menyebutkan orang
tertentu yang menjadi penerus Nabi saw, atau umat yang berhak memilih penerus
Nabi saw. Kamu, kaum Yahudi, justru pada saat Nabi kamu masih hidup sudah
melontarkan pertanyaan yang bertentangan sekali dengan agama kamu dan ajaran
Nabi kamu."
Meskipun misal saja dalam
kasus-kasus biasa dibolehkan mengabaikan peristiwa kelam sejarah, namun mana
benar kalau mengabaikan masalah paling asasi yang mempengaruhi nasib masyarakat
Islam, yaitu masalah kepemimpinan Islam. Mengabaikan masalah seperti itu
berarti mengabaikan kesejahteraan kaum Muslim. Lagi pula, merupakan fakta bahwa
sebagian hak sejarah telah dilanggar, dan orang-orang yang berhak atas hak-hak
ini adalah tokoh-tokoh paling saleh kaum Muslim, maka mengabaikan fakta-fakta sejarah
ini berarti kerja sama antara lidah dan pena di satu pihak, dan pedang
kezaliman di pihak lain.
Kedua, pembahasan seperti itu tak sesuai dengan kewajiban
menciptakan persatuan Islam. Semua bencana yang menimpa kaum Muslim terjadi
karena perselisihan sesama Muslim. Perselisihan seperti inilah yang melemahkan
kekuatan Muslim, merusak martabat kaum Muslim, dan menyebabkan kaum Muslim
tunduk kepada bangsa asing. Senjata paling ampuh yang ada di tangan
kolonialisme, entah lama atau baru, adalah mengobarkan konflik lama ini. Di
semua negara Muslim, tanpa kecuali, abdi kolonialisme sibuk menciptakan
perselisihan di kalangan kaum Muslim atas nama agama dan simpati kepada Islam.
Bukankah kita sudah cukup menderita akibat perselisihan lama ini, sehingga
janganlah membangkitkan perselisihan lama ini? Bukankah pembahasan seperti itu
berarti membantu kolonialisme?
Untuk menjawab kritik ini,
perlu dikemukakan bahwa tak dapat dipungkiri bahwa persatuan memang sangat
penting bagi kaum Muslim, dan bahwa konflik lama ini merupakan penyebab utama
segala problem di dunia Muslim. Memang musuh selalu siap mengeksploitasi
perselisihan ini. Namun kelihatannya pihak pengecam salah memahami konsep
persatuan Muslim. Persatuan Muslim, yang menjadi pokok pembicaraan di kalangan
ulama dan orang-orang Muslim yang pandangannya tercerahkan, tidak berarti bahwa
mazhab-mazhab Muslim harus mengabaikan rukun iman dan rukun Islam mereka demi
persatuan, mengambil ciri yang menjadi ciri semua mazhab, dan mengesampingkan
kekhasan mazhab. Mana mungkin begini padahal ini tidak logis dan tidak praktis.
Mana mungkin pengikut sebuah mazhab diminta mengabaikan, demi menjaga
persatuan Islam dan Muslim, keyakinan atau prinsip praktis yang dianggapnya
sebagai bagian dari struktur asasi Islam? Permintaan seperti itu berarti
mengabaikan satu bagian dari Islam dengan mengatasnamakan Islam.
Ada cara lain untuk
meyakinkan orang agar mengikuti prinsip atau tidak. Cara yang paling alamiah
adalah meyakinkan orang dengan menggunakan argumentasi logika. Iman bukanlah
masalah sesuatu yang direkomendasikan atas dasar alasan praktis, juga tak dapat
dipaksakan atau tak dapat dicabut dari hak orang seenaknya.
Kami, kaum Syiah, bangga
mengikuti orang-orang terpilih keturunan Nabi saw. Kami menganggap tidak dapat
dikompromikan setiap sesuatu yang dianjurkan atau dilarang oleh para imam.
Dalam hal ini kami tidak mau memenuhi harapan siapa pun, kami juga tak
mengharapkan orang lain meninggalkan prinsipnya atas nama kebijaksanaan atau
demi persatuan Muslim. Yang kami harapkan dan inginkan adalah terciptanya
atmosfer kemauan baik, sehingga kami, yang memiliki fiqih, hadis, tradisi,
teologi, filsafat, tafsir dan literatur sendiri, dapat menawarkan barang-barang
kami sebagai barang-barang terbaik, sehingga kaum Syiah tak lagi diisolasikan,
sehingga pasar-pasar penting dunia Muslim tidak tertutup bagi informasi penting
pengetahuan Islam Syiah.
Mengambil segi-segi Islam
yang ada pada semua mazhab, dan menolak kekhasan mazhab, bertentangan dengan
konsensus di kalangan kaum Muslim, dan produk dari sikap ini adalah sesuatu
yang benar-benar tidak Islami, karena kekhasan mazhab merupakan bagian pokok
dari struktur Islam. Islam kehilangan kekhasannya, sehingga ciri-ciri khasnya
tak ada. Di antara orang-orang yang mengemukakan gagasan mulia persatuan Islam
di zaman kita, yang paling menonjol adalah almarhum Ayatullah Burujerdi dari
kalangan Syiah, dan Allamah Syaikh Abdul Majid serta Allamah Syaikh Mahmud
Syaltut dari kalangan Sunni. Namun pandangan seperti itu tentang persatuan
Islam tak pernah ada dalam pikiran mereka. Semua yang diperjuangkan orang-orang
alim ini adalah agar berbagai mazhab, meskipun berbeda teologinya, atas dasar
banyaknya kesamaan di antara mazhab-mazhab, membentuk fron bersama untuk
menghadapi musuh-musuh berbahaya Islam. Orang-orang alim ini tak pernah, dengan
mengatasnamakan persatuan Islam, mengusulkan ketunggalan religius yang tidak
praktis.
Sesungguhnya ada perbedaan
teknis antara kelompok bersatu dan fron bersatu. Untuk kelompok bersatu,
semuanya harus sama ideologinya dan harus sama pola pikirnya dalam semua
masalah kecuali urusan pribadi, sedangkan untuk fron bersatu, berbagai
kelompok, sekalipun berbeda ideologinya, dengan menggunakan kesamaan yang ada
di antara mereka, membentuk fron bersama untuk menghadapi musuh bersama.
Membentuk fron bersama untuk menghadapi musuh bersama selaras dengan membela
ideologi dan mengajak orang dari fron ini untuk juga membela ideologi. Konsepsi
utama almarhum Ayatullah Burujerdi adalah memuluskan jalan bagi penyebaran
pengetahuan orang-orang pilihan keturunan Nabi saw di tengah-tengah
saudara-saudara Sunninya. Dia percaya bahwa ini mustahil tanpa adanya kemauan
baik dan pengertian. Sukses yang diraihnya dalam mempublikasikan sebagian buku
teologi Syiah di Mesir oleh orang Mesir sendiri merupakan salah satu prestasi
terpenting ulama Syiah. Semoga Allah menganugerahinya pahala atas jasanya untuk
Islam dan kaum Muslim.
Namun, memperjuangkan
tesis persatuan Islam tidak berarti harus merasa tak enak membeberkan
fakta-fakta. Yang harus dihindari adalah melakukan sesuatu yang dapat melukai
perasaan dan sentimen pihak lain. Mengenai diskusi ilmiah, ini ada kaitannya
dengan bidang logika dan akal, bukan dengan bidang sentimen dan perasaan.
Untungnya di zaman kita banyak ulama Syiah yang mengikuti kebijakan sehat ini.
Yang paling menonjol adalah Ayatullah Sayid Syarafuddin Amili, Ayatullah
Kasyiful Ghita, dan Ayatullah Syaikh Abdul Husain Amini, penulis kitab penting
"al-Ghadir".
Berbagai peristiwa dalam
kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as dan kebijakan yang dianutnya, yang
sekarang nyaris terlupakan dan jarang disebut-sebut, merupakan contoh tepat
dalam hal ini. Imam Ali as tetap membicarakan haknya dan mengklaim hak itu.
Imam Ali as tidak segan-segan memprotes orang-orang yang telah merampas haknya
itu. Perhatiannya yang besar kepada persatuan Islam tidak mencegahnya bersuara
terus terang. Banyak khotbahnya dalam "Nahj al-Balâghah " memperkuat
fakta ini. Kendatipun mengeluh. Imam Ali as tetap berada dalam barisan kaum
Muslim, berjuang melawan musuh-musuh kaum Muslim. Imam Ali as ambil bagian
dalam salat Jumat dan salat berjamaah lainnya. Dia mendapat bagiannya atas
barang rampasan pada zaman itu. Dia selalu memberikan nasihat yang tulus kepada
Khalifah, dan termasuk penasihat Khalifah.
Ketika perang kaum Muslim
dengan bangsa Iran, Khalifah bermaksud turun langsung dalam pertempuran. Imam
Ali bin Abi Thalib as mengatakan kepada Khalifah: "Jangan ke medan tempur,
karena selama Anda berada di Madinah, musuh akan mengira bahwa meskipun semua
tentara Muslim kalah, Anda akan mengirimkan tentara lagi dari pusat. Namun jika
Anda turun langsung ke medan tempur, musuh akan mengatakan, Inilah penopang
utama bangsa Arab. Kemudian mereka akan mengerahkan segenap kekuatan untuk
membunuh Anda. Dan jika Anda terbunuh, semangat juang kaum Muslim akan hancur
lebur." (Nahj al-Balâghah, khotbah 146)
Itulah kebijakan yang
selalu dijalankan Imam Ali as. Imam Ali as tak pernah mendapat jabatan dalam
pemerintahan Khalifah. Dia tak mau menjadi komandan militer, gubernur, Amir
al-Haj, juga tak menerima jabatan lain seperti itu, karena kalau menerima,
berarti mengingkari klaimnya sendiri yang kuat. Dengan kata lain, menerima pos
resmi berarti lebih dari sekadar kerja sama dan menjaga persatuan Islam.
Meskipun dia sendiri tak menerima jabatan apa pun, namun dia tidak mencegah
famili dan sahabatnya untuk menerima jabatan-jabatan seperti itu, karena hal
itu tidak berarti menyetujui kekhalifahan.
Perilaku Imam Ali as dalam
hal ini sangat elegan dan menunjukkan dedikasinya kepada tujuan-tujuan Islam.
Sementara orang lain melakukan tindakan memecah belah, Imam Ali as justru
melakukan tindakan mempersatukan umat. Kalau orang lain mencabik-cabik, Imam
Ali bin Abi Thalib as justru merajutnya. Abu Sufyan berupaya memanfaatkan tidak
berkenannya Imam Ali as. Abu Sufyan yang sok bersikap menginginkan kebaikan
bagi Imam Ali as dan mencoba melampiaskan dendamnya kepada penerus Nabi saw
ini, namun Imam Ali as cukup pandai untuk tidak terkecoh tipu daya Abu Sufyan.
Dengan tangannya sendiri, Imam Ali as menepuk dada Abu Sufyan sebagai tanda
menolak tawaran-nya, kemudian meninggalkannya. (Nahj al-Balâghah, Khotbah 5).
Orang-orang Abu Sufyan dan
Huyai ibn Akhtab selalu sibuk dengan rencana jahat mereka. Informan orang-orang
Huyai ibn Akhtab terlihat dalam banyak kejadian. Kaum Muslim, khususnya kaum
Syiah, berkewajiban menjaga tradisi Imam Ali as dalam hal ini di depan mata
mereka, dan jangan sampai terkecoh tipu daya orang-orang Abu Sufyan dan Huyai
ibn Akhtab.
Inilah penentangan
orang-orang yang tidak menyukai masalah imamah, dan inilah jawaban kami untuk
mereka. Yang mengherankan adalah ada juga orang yang penentangannya
bertentangan sekali dengan penentangan ini. Kelompok ini menginginkan masalah
kepemimpinan Islam menjadi masalah rutin. Yang diinginkannya adalah masalah ini
selalu dibicarakan dan diulang-ulang seperti slogan. Namun kelompok ini tak
tertarik membahasnya secara ilmiah. Yang diinginkannya adalah agar perasaan
tetap tegang, namun tidak berminat memuaskan dahaga intelektual atau pikiran yang
tajam. Dan itulah keinginan musuh. Kalau masalah ini dibahas secara ilmiah,
justru tak ada alasan untuk menjadikannya sebagai aktivitas.
Imamah dan Logika Dialektika
Petikan dan Catalan Kaki
Logika dialektika
membantah bila masyarakat membutuhkan bimbingan atau kepemimpinan. Menurut
logika ini, paling banter masyarakat membutuhkan intelektual dan pemimpin untuk
menyadarkan massa akan diskriminasi, kontradiksi dan ketidakadilan, sehingga
dapat terjadi gerakan dialektika. Karena gerakan ini tak dapat ditolak, maka
perjalanan dari tesis dan antitesis ke sintesis tak terelakkan. Karena itu
masyarakat otomatis melintasi jalannya, dan pada akhirnya mencapai
kesempurnaan.
Tulisan[1] berjudul
"Kepemimpinan, Imamah dan Dialektika" mengatakan: "Salah satu
masalah penting berkenaan dengan kepemimpinan dan Imamah, khususnya konsepsi
Islam tentang Imamah, adalah: Bagaimana peran apa yang disebut intelektual itu?
Apakah tugas dan tanggung jawabnya sekadar menjelaskan ketidakadilan dan
diskriminasi, membangkitkan kesadaran kelas tereksploitasi, dan menanamkan
adanya kontradiksi kelas di benak massa yang papa? Betulkah kalau massa
menyadari kontradiksi yang ada, maka otomatis dan secara dialektis masyarakat
bergerak maju?"
Faktanya adalah bahwa
masyarakat terutama membutuhkan kepemimpinan, bimbingan dan Imamah.
Perkembangan bukanlah hasil pokok dari kontradiksi. Tidak mungkin ada
perkembangan kalau tak ada bimbingan dan kepemimpinan. Dr. Ali Syariati, dalam
halaman-halaman terakhir buku kecilnya, "Dari Mana Dimulai", membahas
masalah ini dengan terperinci di bawah judul "Tanggung Jawab dan Misi
Intelektual. Dia mengatakan: "Ringkasnya, tanggung jawab intelektual
adalah menyadarkan orang akan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakatnya.
Kemudian masyarakat melakukan gerakannya sendiri."
Namun, setelah beberapa
baris dia membuat pernyataan yang bertentangan dengan pernyataan di atas, dan
mendukung kebutuhan masyarakat akan bimbingan dan kepemimpinan. Dr. Ali
Syariati mengatakan, "Ada asumsi bahwa, dari sudut pandang kepemimpinan,
intelektual tak memiliki tanggung jawab. Kontradiksi dialektika memilih
jalannya sendiri. Tugas intelektual hanyalah menjelaskan kontradiksi dan
mendorong kelas papa untuk melawan kelas penguasa."[2]
Namun baru beberapa baris
saja, dia lalu bicara soal "Menemukan solusi dan ideal-ideal umum
masyarakat, dan menanamkan antusiasme serta perasaan seiman...."
Pernyataan ini bertentangan dengan teori bahwa masyarakat melakukan gerakannya
sendiri. Ketika Syariati bicara tentang konsekuensi wajar yang sifatnya
dialektis dari segi tiga tesis, anti-tesis dan sintesis, dan perkembangan yang
tak terelakkan, dia konsisten, namun ketika melontarkan pernyataan berikutnya,
bicaranya bertentangan dengan hipotesisnya sendiri.
Kepemimpinan dan Perlindungan untuk Agama
Para teolog akademis
banyak menekankan bahwa imam melindungi dan menjaga iman dan agama. Barangkali
ada asumsi bahwa imam melindungi agama seperti orang melindungi gedung terdahap
kemungkinan rusak akibat hujan, angin, dan seterusnya. Karena itu tampaknya tak
perlu gedung yang dibangun oleh arsitek andal, dijaga oleh orang yang
kecakapannya hampir menyamai arsiteknya. Misal, tak pernah dirasakan perlu
adanya beberapa orang setingkat orang-orang yang menciptakan Masjid Syah, Ali
Qapu, kubah Masjid Syaikh Lutfullah, prasasti Bayasanqari Masjid Gauhar Syad,
tulisan Mir dan Bayasanqari, Al-Qur'an tulisan tangan dan mahakarya lainnya.
Namun faktanya adalah bahwa sesuatu yang merugikan agama bukanlah soal sepele.
Menurut prinsip psikologis dan sosiologis, begitu gerakan revolusi meraih
sukses dan musuh sudah putus asa untuk melanjutkan konfrontasi langsung, musuh
pun tidak lagi terang-terangan menentang gerakan revolusi. Dan berdasarkan penilaiannya
tentang keuntungannya sendiri, musuh terkadang ikut dalam barisan gerakan,
bukan karena memang mau masuk dalam gerakan, namun semata-mata dengan maksud
mengeksploitasi kesuksesan gerakan. Musuh memanfaatkan gerakan untuk
kepentingannya sendiri dan tetap tidak mempercayai semangat, jiwa dan tujuan
gerakan. Itulah yang terjadi selama gerakan konstitusi di Iran.
Para penentang gerakan
konstitusi ikut dalam barisan gerakan, dan pura-pura menjadi pendukung gigih
gerakan. Ayanuddaulah dan Sadr al-Asyraf masing-masing menjadi perdana menteri
pemerintahan bentukan gerakan konstitusi. Orang-orang seperti itu bukan saja
memelihara aspek-aspek lahiriah gerakan, namun juga mencoba memberinya hiasan
lebih lanjut. Namun mereka menghancurkan jiwa gerakan, realitas dan inti gerakan,
dan mengosongkan gerakan dari dalam. Mengutip kata-kata Imam Ali as, dalam
proses ini "Islam dijungkir balikkan seperti belanga." (Nahj
al-Balâghah, Khotbah 103).
Dengan demikian mereka
menyimpangkan gerakan dari jalannya yang benar, melestarikan bentuk lahiriahnya
namun mengganti isi dan karakter asasinya. Karena sebagian besar orang hanya
melihat segala sesuatu dari permukaannya saja, maka mereka tetap senang dan
puas, karena mereka melihat aspek-aspek lahiriah gerakan masih aman. Mereka
tidak menyadari bahwa dasar-dasar gerakan sudah hancur. Di sinilah dibutuhkan
pemikiran yang matang dan telaah mendalam. Ketika Imam Ali as berkata,
"Dalam setiap generasi ada penerus-penerus tanpa cela yang menjaga kita
dari penyimpangan kaum fanatik dan kepura-puraan kaum pendusta,"
penerus-penerus tanpa cela yang dimaksud Imam Ali as adalah para imam atau
ulama-ulama tulus yang menjaga iman umat kepada para imam.
Dapat disebutkan bahwa
perjuangan melawan penyimpangan dalam agama bukan saja perjuangan melawan
pelanggaran terang-terangan atas hukum atau melawan sesuatu yang tak ada
kaitannya dengan agama yang sengaja dimasukkan ke dalam agama. Terkadang cara
berpikir orang berkenaan dengan agama sudah begitu menyimpang sehingga mereka
mulai tidak menyukai pemikiran yang bcnar. Yang ingin kami tekankan adalah tak
ada ketakutan bahwa Islam akan dirusak dari luar dunia Muslim. Al-Qur'an mengatakan,
"Mereka yang kafir sekarang sudah putus asa untuk merusak agamamu. Karena
itu, jangan takut mereka. Namun takutlah kepada-Ku."
Namun Islam masih
menghadapi ancaman, yaitu dari dalam. Dalam hubungan ini, ancaman terbesar
bukan datang dari orang-orang yang melakukan dosa karena memperturutkan hawa
nafsu dan seterusnya, melainkan dari kemunafikan orang-orang yang tak berani
terang-terangan menentang Islam. Mereka ini memakai topeng Islam, dan mencoba
mendapatkan tujuannya dengan berkedok cara hidup Islami. Mereka membuang isi
Islam, membiarkan bentuknya, dengan mengubah jalannya dan tujuannya, dan dengan
mengganti maknanya.[3] Orang-orang Muslim yang bodoh supaya menyadari tipuan jahat
kelompok ini.
Catatan:
[3] Dalam tulisannya
mengenai "Perubahan Al-Qur'an", penulis mengatakan bahwa distorsi
makna menunjukkan upaya memperiahankan
susunan kata yang digunakan Al-Qur'an, meski salah menjelaskannya seperti,
menurut sebuah kisah terkenal, dilakukan Muawiyah ketika salah mehafsirkan
susunan kata prediksi berkenaan dengan kematian Ammar ibn Yasir. Contoh lain
distorsi makna adalah salah tafsir terhadap ayat: "Tak ada hukum
(keputusan) kecvali oleh Allah. " (QS Yusuf: 90) Berdasarkan ayat ini kaum
Khawarij mengangkat slogan: Inil hukmu illalillah (Tak ada keputusan kecuali
oleh Allah). Mengulas slogan ini, Imam Ali berkata, "Kata-katanya benar,
namun maknanya salah." (Lihat Nahj al-Balâghah, khotbah 40) Salah tafsir
yang disengaja atau tidak disengaja ini menimbulkan begitu besar kemgian dalam
sejarah Islam. Contoh lainnya adalah salah .tafsir terhadap hadis "Kalau
kamu tahu (Allah), lakukan apa saja yang kamu mau."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar