Benggalih. Itulah nama
kampung di mana saya dilahirkan, menjalani masa kanak, masa remaja, dan yang
kini saya tinggali –sebuah nama yang terdengar berbau Hindustan dan Sanskrit.
Sebuah kampung yang terletak di antara dua sungai: Sungai Ciujung yang mengalir
dari pegunungan di Lebak, Banten Selatan dan Sungai Irigasi yang mengalir dari
Pamarayan, Serang, Banten Utara.
Di masa-masa saya masih
kanak-kanak hingga remaja, saya harus menempuh jalan yang belum diaspal bila
hendak menuju ke tempat di mana sekolah menengah pertama saya berada. Bersama
Sungai Irigasi, jalan yang saya tempuh itu, hanya dipisahkan oleh rumput,
ilalang, pohon-pohon kecil dan besar yang tumbuh subur di tepi jalan yang
sekaligus tentu saja tepi Sungai Irigasi tersebut.
Sebelum saya memiliki
sepeda sendiri, saya harus berjalan kaki menempuh perjalanan sejauh lima
kilometer itu, dan kadang-kadang menumpang mobil truck pengangkut gabah dan
pasir yang kebetulan lewat atau melintas ketika hendak berangkat sekolah atau
ketika pulang sekolah. Tentu saja, keadaan dan kondisinya tidak sama ketika
musim hujan.
Di masa-masa itu, kami
akrab dengan beberapa hal yang kini telah hilang. Contohnya kunang-kunang, yang
cahaya-cahaya mungil tubuh mereka, merupakan keindahan dan keajaiban tersendiri
di waktu malam yang hening dan sepi. Persis ketika saya memandangi mereka yang
tengah mengambang di atas jalan, di halaman, atau di antara petak-petak sawah
di belakang rumah.
Rupa-rupanya, kehadiran
dunia yang baru, pada akhirnya memang menyingkirkan dunia yang lama, baik
secara ekonomis dan sosiologis, atau pun secara antropologis dan ekologis.
Ketakhadiran kunang-kunang
itu sendiri untuk saat ini, yang dulu ada dan menjadi tamu-tamu malam kami, tak
lain karena tempat di mana saya dilahirkan dan saya tinggali telah berubah
secara ekologis dan ekonomis, sebagai contohnya. Persis ketika sawah-sawah
telah menjadi raungan mesin-mesin pabrik dan infrastruktur-infrastruktur
industri yang mengepulkan asap dan memproduksi limbah dan racun setiap hari.
Dan pada saat bersamaan, secara antropologis, juga telah merubah sikap dan
prilaku masyarakat, merubah pandangan dan gaya hidup mereka saat ini, yang
kontras berbeda di masa-masa ketika infrastruktur-infrastruktur industri dan
teknosains belum hadir.
Yang ingin saya katakan
adalah bahwa, kehadiran industri turut pula memberikan perubahan yang ternyata
tidak kecil dan memiliki dampak multidimensi: material dan spiritual, meski
jarak industri tersebut beberapa kilometer dari kampung saya. Contohnya, kini
banyak orang kampung saya yang terpacu menyekolahkan anak-anak mereka, karena
bila anak-anak mereka tidak memiliki ijazah dari sekolah, maka mereka tak bisa
melamar pekerjaan. Hal itu sangat berbeda ketika dulu orang-orang tua di
kampung saya menganggap remeh pendidikan formal. Sekedar tambahan, di kampung
saya yang pertama-kali mengenyam pendidikan perguruan tinggi adalah paman saya
(adik-nya almarhumah ibu saya).
Dengan contoh-contoh yang
saya katakan itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa perubahan yang dihadirkan
oleh keberadaan infrastruktur-infrastruktur industri dan tekno sains, tak hanya
memberi dampak perubahan ekonomis semata, namun turut pula merubah aspek
sosial-budaya masyarakat, selain tentu saja, kehadiran infrastruktur-infrastruktur
industri juga berdampak pada kerusakan ekosistem alami alias berdampak secara
ekologis, yang terbilang “berbahaya”.
Singkatnya, acapkali
kemajuan dalam beberapa hal harus “dibayar” dengan kerusakan hal-hal lain.
Bahkan, kerusakan-kerusakan yang merupakan dampak kehadiran
infrastruktur-infrastruktur industri itu tidak sepadan dengan kebaikan
“ekonomis” yang telah diberikannya. Misalnya, limbah beracun yang “membunuh”
sungai yang dulu asri dan merupakan jiwa kehidupan bagi tanah dan makhluk-makhluk
hidup yang dihidupi olehnya.
Sedangkan secara kultural,
atau katakanlah secara antropologis, kehadiran televisi dan tekno sains
lainnya, semisal internet, selain telah memberi manfaat positif dan kecerdasan
bagi anak-anak muda, juga telah melakukan impor “kultural” dan pandangan hidup
yang akhirnya merubah pandangan dan perilaku masyarakat, terutama generasi
muda, bahkan menyangkut hal-hal yang dulu dianggap tabu dan “dosa besar”.
Hak
cipta © pada Sulaiman Djaya (2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar