Puisi-Puisi
Sulaiman Djaya
Sumber:
Harian “Rakyat Sumbar” (Jawa Pos Group) Edisi Sabtu, 13 Desember 2014
Stanza
Subuh
Cintaku, matamu
adalah wadah waktu
seperti ketika subuh
dan lampu bacaku
saling termenung.
Yang paling indah
tentangmu
adalah ketika aku
tak lagi sanggup
mengatakannya.
Aku tahu cinta tak
sekedar sajak,
tapi tak ada hal lain
yang bagiku paling
jujur
dan sederhana.
Tak kumiliki
selainnya
sebagai kiasan dan
ungkapan
yang paling ikhlas.
Rambutmu seperti
tumpukan sepi
malam yang rimbun.
Sungguh aku bosan
dengan iklan-iklan di
televisi,
juga berita-berita
politik
yang semakin
membuatku
tak dapat memahami.
Mengingatmu, duh
cintaku,
adalah kebahagiaan
terampuh.
Persis ketika sunyiku
seperti dedak kopi
di ujung subuh.
(2014)
Gitanjali
Han, negeriku terbuat
dari Maret yang tua.
Tak ada salju. Tapi
kesiur
sesekali menggempur.
Bila redup tiba, aku
pun segera
menyalakan mataku.
Ada mimpi di telaga
kecil
dengan beberapa angsa
dan itik. Belalang di
batang-batang
dan capung-capung
yang mengambang dan
bertaburan.
Kusimpan segala yang
tak dicatat sejarah
dan deru mesin-mesin
pabrik
adakalanya saling
bertabuh
dengan hembus jendela
dan tiap kata menerka
takdir mereka
meski kadang malas
dan bosan.
Han, negeriku begitu
sabar bercanda
dengan rintik yang
sepi
di pagi dan sorehari.
Dan setiap kali
kubuka mataku
aku takkan lupa apa
yang ditinggalkan hujan
dan gerak rembang
pepohonan.
Seperti sebuah
munajat yang didaraskan
bersama ayat-ayat
kauniyah
di antara kaf dan
nun.
Aku nyalakan
lampu-lampu kecil
di hatiku, bila aku
terbangun
dari tidurku.
Kutafsir matahari
sebagai obor agung
dan berharap mautku
bahagia
sebagai perumpamaan sajadah
sujudku
di hadapan waktu, di
hadapan matamu.
(2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar