Puisi Allamah Muhammad Iqbal (Penyair dan Bapak Bangsa Pakistan)
Engkau pendar cahaya abadi
dan kami hanyalah kerlip
nyala yang sesaat dipinjamkan.
Oh Engkau yang tidak
memisahkan kehidupan dari kematian,
bagaimana bisa manusia
ingkar padaMu?
Satu-satunya yang menggenggam angkasa tapi merasa gulana,
tak terpuaskan oleh yang terlena
dan jiwa jiwa yang terjaga.
Satu-satunya yang menggenggam angkasa tapi merasa gulana,
tak terpuaskan oleh yang terlena
dan jiwa jiwa yang terjaga.
Berkahi aku kehidupan
surgawi, oh Tuhan!
Bentangkan masa-ku kepada keabadian.
Ajari aku mengendalikan ucapanku.
Anugerahi aku segenap kekuatan untuk melintas jalan
Bentangkan masa-ku kepada keabadian.
Ajari aku mengendalikan ucapanku.
Anugerahi aku segenap kekuatan untuk melintas jalan
yang telentang di depan.
Aku bersenandung tentang dunia lain,
Aku bersenandung tentang dunia lain,
surga tempat datangnya
Kitab ini.
Aku samudera tapi siapakah
yang akan menyelam
ke dasarnya? Hanya debur
ombak berhamburan terlihat
oleh para penghuni pantai
pantaiku.
Aku tak berharap kepada
para orang tua,
aku berkidung tentang
hari-hari yang akan tiba,
tapi tolonglah kata-kata belia ini
agar mampu memahami dan meyelami kedalamanku
tapi tolonglah kata-kata belia ini
agar mampu memahami dan meyelami kedalamanku
dengan gampang.
#####
Demi nikmat penyatuan dan
pelepasan, kehidupan membangun semesta raya ini dan dari desah nafasnya
tercipta rumah keajaiban dari siang dan malam.
Masing-masing bertebaran
menerpa gairah dan cinta diri untuk berekspresi sambil berteriak lantang: “Aku
berbeda dengan engkau.”
Maka bulan dan
bintang-gemintang belajar terbang menari, ratusan lampu-lampu dinyalakan di
angkasa: matahari menggantung di langit biru membentang kubah emasnya dengan
tali-tali berwarna perak, di ujung timur fajar pertama pecah dan dari dunia
yang baru lahir ia mengangkat tabir
Tapi manusia bumi masih
terpencil, sepi dan sunyi.
Belum ada kafilah
melintasi padang pasirnya, sungai-sungai belum bergelut menelikung bebukitan,
belum ada awan gemawan menjatuhkan tetesan di dedaunan, tiada burung-burung
bercerecau di dahan-dahan, dan tiada pula rusa-rusa mungil melompat di
sesemakan.
Bumi yang belum rata
layaknya asap yang menggunpal-gumpal, belum lagi menyalakan laut dan darahnya
dengan kehidupan. Rerumputan tertidur di dasar lelap, belum tersentuh angin
musim dingin.
Langit mencerca bumi:
“Belum pernah aku lihat makhluk seburuk engkau, terpejam buta dalam
jangkauanku: tanpa lampuku, darimana engkau peroleh terangmu? Engkau dapat
tumbuh setinggi puncak Alvand, tapi ia sebenarnya tidak pijar ataupun tumbuh.
Sekarang pilihlah perempuan sundal yang akan meremasmu atau matilah dalam
kehinaan.”
Umpatan ini membuat bumi
berduka, bermuram durja diliputi kesedihan dan menerawang Tuhan demi menyirami
kehidupannya yang kotor dan tiba-tiba dari balik tabir langit suara menyahut:
“Andaikan engkau tahu pusakamu yang tak ternilai harganya, engkau mungkin tidak
akan bersedih. Karena apabila engkau memandang jiwamu engkau akan menemukan
hayat yang menggelegak siap menerangi hari-harimu dan tidak perlu lagi cahaya
dari luar
Apa yang membuat hari
benderang? Matahari bundar yang ternoda!
Dari hayat yang tidak
ternoda cahayamu akan terbit. Cahaya ini akan menuju angkasa raya melaju lebih
cepat ketimbang cahaya bulan dan matahari.
Sudahkah engkau hapuskan
sketsa harapan dari kanvas jiwamu? Dari debu-debu kegelapanmu sendiri cahaya
akan bersinar.
Pengetahuan manusia akan
mendesak menguasai angkasa, cintanya akan mengaku Yang Tak Terhingga.
Dengan mata yang lebih
terjaga ketimbang milik jibril, ia akan menemukan jalan meski tanpa bimbingan.
Terbentuk dari lempung,
manusia akan membumbung seperti malaikat hingga langit menjadi kedai minuman
tua di pinggir jalan-jalan yang ditempuhnya.
Kubah-kubah langit kan
ditembusnya bagai jarum menusuk sutra.
Dan ia akan mencuci
kehidupan dari segala nodanya.
Tatapan matanya akan
membuat suram kabut bumi cerah berseri.
Meski hanya sedikit berdoa
dan banyak menumpahkan darah, namun dia tetap melaju selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar