Saat
ini, internet telah merambah ke setiap sudut hidup dan lintas usia, dari mulai
anak-anak hingga orang tua. Internet, tak diragukan lagi, merupakan bukti di
mana kapitalisme telah menciptakan suatu dunia tekno-sains yang dampak
revolusionernya dapat disamakan dengan revolusi mesin cetak yang ditemukan
Gutenberg, tentu saja menurut kadar jamannya masing-masing. Namun, selain
sejumlah fungsi dan nilai positifnya, internet juga bermata dua: memiliki
dampak negatif yang bahkan bisa melampaui manfaat positifnya.
Terkait
perkembangan gegap gempita “dunia maya” ini, sejumlah kalangan dan analis
mengkhawatirkan, misalnya, ketika orang-orang menghabiskan waktunya di dunia
maya (internet), pada saat itu mereka telah melupakan realitas hidup atau dunia
nyata mereka, ruang nyata dan persentuhan hidup sesungguhnya dengan sesama dan
lingkungan (ruang) yang riil, yang tak semata virtual. Di antara pengkritiknya
yang keras adalah Mark Slouka dan yang moderat adalah Jean Baudrillard.
Berbeda
dengan Jean Baudrillard yang terbilang santai dalam menyikapi gegap gempita
dunia maya ini, Mark Slouka termasuk sangat mengkhawatirkan dampak dunia maya
akan merusak identitas dan kedirian ummat manusia secara sosial dan psikologis.
Ada baiknya kita kutip ilustrasi yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul War of the Worlds: Cyberspace and the
High-Tech Assault on Reality (yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia
dengan judul Ruang yang Hilang dan diterbitkan Mizan di tahun 1999) itu:
“Ketika
itu tahun 1990. Seorang wartawan New York Times sedang menyelidiki kasus
terkenal tentang seorang pria yang dituduh membunuh istrinya yang sedang hamil,
tetapi kemudian sang pria justru berkilah tentang serangan seorang kulit hitam
tak dikenal atas pembunuhan tersebut. Ia mewawancara tetangga pasangan itu.
“Anda percaya ceritanya?” tanya si wartawan. “Anda mengenal tersangka? Menurut
Anda, mungkinkah dia hanya mengarang cerita bohong?” “Saya sungguh tak tahu,”
jawab si tetangga. “Saya ingin sekali menonton filmnya ditayangkan di TV agar
saya dapat mengetahui bagaimana akhir ceritanya.” Kurang dari satu tahun
kemudian, acara TV yang ditunggunya itu akhirnya mengudara, judulnya “Selamat
Malam, Istri Tersayang: Pembunuhan di Boston.”
Dengan
ilustrasi tersebut, Mark Slouka sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa
kemajuan tekhno-sains atau tekhnologi informasi dan dunia maya, yang dalam hal
ini sajian entertainment di televisi sebagai contohnya (yang telah
mengakibatkan kecanduan bagi para penontonnya) justru telah mengasingkan
manusia dari kehidupan nyatanya dan dari kehidupan kesehariannya, serta dari
persentuhan dan keterlibatannya secara intim dengan sesamanya sendiri dalam
ruang hidup dan lingkungan yang nyata.
Dalam
hal ini, jauh sebelumnya Neil Postman telah menyadari sisi buruk tekhno-sains
atau tekhnologi informasi (di samping manfaat positifnya), melalui bukunya yang
cukup populer yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul
‘Menghibur Diri Sampai Mati’ yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun
1995, di mana ia berpendapat bahwa salah-satu sisi buruk televisi, sebagai
contohnya, telah membuat orang-orang kembali menggandrungi budaya oral serta
hal-hal yang instant dan banal.
Nilai
penting buku Neil Postman tersebut tak lain karena buku tersebut telah
membuktikan kecenderungan bahwa apa yang diramalkan George Orwell adalah
keliru, dan apa yang “diramalkan” atau diprediksi oleh Aldous Huxley adalah benar –setidaknya
menurut versi Neil Postman sendiri. Kita tahu, George Orwell memperingatkan kita
akan ancaman penindasan tirani penguasa. Sedangkan Aldous Huxley justru
menyatakan bahwa manusia justru akan semakin mencintai penindasnya, memuja
berbagai tekhnologi (termasuk internet seperti jejaring sosial atau media
sosial dunia maya dan perangkat tehno-sains lainnya) yang akan membutakan
pikirannya. Neil Postman memberikan contohnya seperti ini:
“Orwell
memprihatinkan pelarangan buku. Huxley memprihatinkan lenyapnya alasan untuk
melarang penerbitan buku, karena minat baca telah punah. Orwell mencemaskan
adanya pihak yang ingin menjauhkan kita dari informasi, sementara Huxley
mengkhawatirkan mereka yang menjejali kita dengan begitu banyak informasi
sampai kita menjadi pasif dan egois. Orwell mengkhawatirkan disembunyikannya
kebenaran dari kita, Huxley mengkhawatirkan hilangnya kebenaran di dalam lautan
informasi yang tidak relevan. Orwell mencemaskan datangnya masa di mana kita
menjadi masyarakat yang terbelenggu. Huxley mencemaskan kemungkinan kita
menjadi masyarakat remeh temeh. Singkatnya, Orwell cemas akan kehancuran kita
yang disebabkan oleh hal-hal yang kita benci. Huxley, sebaliknya, cemas akan
kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal yang kita sukai.
Maka,
mengapa saya tidak terkejut, karena apa yang kini terjadi di sini, sesungguhnya
telah terjadi di, sebut saja, Amerika sana di waktu dulu. Di mana politik
bahkan sudah dipengaruhi begitu jauh dengan sisi-sisi entertainment. (Menjadi
presiden di sana berarti menjaga penampilan, berat badan, hindari kebotakan,
dan lain sebagainya!). Bukan hanya soal politik, bahkan juga soal agama. Di
Amerika, Tuhan menganakemaskan mereka yang memiliki bakat dan kemampuan untuk
menghibur, apakah mereka pengkhotbah, atlit, pengusaha, politisi, guru, maupun
jurnalis. Di Amerika, justru penghibur profesional yang tidak menghibur.”
Begitulah,
kembali ke Mark Slouka (dan tak lupa juga ke Jean Baudrillard), tekhno-sains,
televisi, dan tentu juga budaya cyberspace (internet atau dunia maya) itu telah
membuat manusia lebih akrab dengan representasi dan citra-citra ketimbang
kepada dunia nyatanya sendiri, yang pada titik ekstremnya, malah akan membuat
manusia bukan hanya terasing dari dunia nyatanya, tapi juga akan terasing dari
dirinya sendiri, bahkan acapkali mengalami keterbelahan identitas.
Di jejaring
sosial Facebook, contohnya, banyak orang yang berjenis kelamin lelaki tapi
menciptakan akun perempuan dan sebaliknya, dan tak jarang pula ada yang
memiliki akun lebih dari satu. Dan yang pasti, di situlah pemilik akun jejaring
sosial bisa mengekspressikan praktek narsis-nya sepuas yang mereka inginkan.
Mungkin bisa juga mengekspose diri sampai mati, jika saya meminjam terjemahan
bukunya Neil Postman, Menghibur Diri Sampai Mati, itu!
Hak
cipta © pada Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar