Kau
bayangkan ingatan, masa silam, dan kenangan seumpama sefoto lama berwarna sepia
yang kau buka tanpa sengaja dari sealbum lusuh dan kusam ketika kau dilanda dan
dirundung kebosanan dan kesepian dalam kesendirianmu. Dan kau hanya dapat
mereka-reka serpihan-serpihan yang sudah tak lagi lengkap, berserakan, tapi kau
berusaha mengembalikan serakan-serakan itu, meski tak pernah kembali menjadi
utuh sebagaimana kau kehendaki seperti pada awalnya.
Kau melakukan itu karena kau
membutuhkan kesibukan bagi pikiran dan angan-anganmu untuk mengalihkan rasa
bosan, bahkan amarah terselubung yang berusaha kau lawan dan kau pendam.
Kau harus yakin bahwa hidupmu
mengalir berirama seperti sungai dalam bayang-bayang senja. Pada saat itu kau
dapat membayangkan suara-suara burung di keheningan udara sebagai sebuah puisi
cinta. Kau harus mendengar dengan hatimu yang ikhlas. Dari sana-lah kau akan
menemukan bahasa dan perumpamaan. Dalam kesepianmu, kau pandangi angkasa malam
setelah kau sibak gorden jendela, seakan kau menginginkan kesunyian galaksi nun
jauh dari tatapan dua matamu yang basah.
Bintang-bintang dan langit yang mirip
sebuah kota yang terlelap yang kau pandangi itu kau bayangkan sebagai
kesepianmu sendiri.
Di tengah malam hingga subuh
menjelang, kau duduk begitu sabar menanam kata dalam lembar-lembar catatan
harian kesayanganmu di bawah seneon lampu kamar. Terkadang rasa bosan
menghantam jiwamu yang kesepian, tetapi hatimu tetap bergembira berkat cinta.
Kau kenang kisah asmara pertamamu dengan seorang perempuan bermata sendu yang
derai rambutnya pernah begitu intim dan akrab bagimu, dan kau mengabadikannya
jadi sejumlah sajak.
Kau terus saja menghisap begitu dalam
rokok kretek kesukaanmu sembari sesekali menyeruput secangkir kopimu yang mulai
dingin, sementara pikiranmu dan angan-anganmu terus mengembara entah kemana
pada saat mana jari-jari tanganmu mengapit pena demi membajak dan menggarap
selembar kertas yang tampak bisu dan pasrah di mejamu yang lembab.
Di luar, dari kamarmu di mana kau
duduk sendirian dalam cuaca dingin itu, ada gaib hembus angin yang merapal
malam, ada pasangan muda-mudi yang tengah bermesraan, seperti sepasang kekasih
yang dimabuk oleh cinta pertama mereka, seperti yang pernah kau alami sendiri.
Sementara kau memikirkan kata,
kalimat, umpama, dan ‘mata’ makna untuk sajak yang kau tulis, kau sempat juga
membayangkan bagaimana ia tersenyum dan tertawa saat ia bercanda riang denganmu
di sudut café itu.
Bagaimana ia menggodamu saat ia
memintamu untuk membacakan baris-baris puisi cinta, namun kau malah mengelak
dengan berpura-pura tak satupun kau hapal puisi cinta yang ia minta kau bacakan
padahal kau telah menuliskannya.
Masih saja terus kau kenang ketika
kau dan ia bergandengan tangan berjalan bersama di kota itu, berangkat
bersama-sama dari rumahnya ketika kau sampai di depan pintu rumahnya, dan ia
menyambutmu dengan rambut tergerai dan sepasang mata nyala berbinar bercahaya,
berjalan sedikit cepat menghampirimu yang letih setelah melakukan perjalanan
jauh hanya untuk menemuinya.
Dalam tebaran lampu-lampu jalan dan
trotoar, kau dan dia begitu akrab, seperti sepasang bocah berlainan jenis yang
bercanda tanpa beban, bergembira dengan bebas. Tapi seperti kau tahu dan kau
alami sendiri, setelah itu kau dilanda dan dirundung kekecewaan. Untungnya kau
tidak jatuh dalam curam keputusasaan dan bisa menjalani hari-harimu yang lain
dengan lebih bergairah, seperti ketika kau jalani jam-jam riangmu bersamanya.
Kau tersenyum saat kau kenang
bagaimana rambutnya yang panjang tergerai itu tergelar di pundakmu saat ia
bersandar di tubuhmu. Itulah kenanganmu yang telah menganugerahi kelembutan dan
kiasan ketika kau mulai menyukai menulis puisi dan roman. Sejak saat itu pula
kau mulai memahami perbedaan cinta dan keikhlasan, bahwa berkat dirinya-lah kau
bisa belajar mencintai secara ikhlas dengan tulus untuk merelakannya pergi. Kau
sudah mendapatkan sebuah pelajaran untuk tetap mampu mencintai dengan ikhlas.
Terkadang, sebagai perbandingan, kau
jelajahkan pikiran dan angan-anganmu ke masa silam, untuk menjumpai kehidupan
masa kanak-kanak dan remajamu, sebagai penghiburan dan pelajaran untuk rasa
kecewa yang kau alami. Bahwa kau sudah akrab dengan rasa bosan sejak lama,
dengan kesepian dan kesunyian yang hingga kini masih kau akrabi dengan tabah.
Masa-masa ketika kau memang sudah
akrab dengan kesepian dan kesunyian sebagai bocah yang kelak menjadi seorang
lelaki, berkarib dengan rimbun bambu, dengan para itik dan angsa di telaga
kecil di mana kau duduk di serimbun bambu tempatmu menjalankan tugas yang diperintahkan
Ibumu untuk menunggui padi-padi yang telah menguning dari serbuan para burung,
dengan matahari dan udara.
Tentu kau masih ingat ketika kau
bermain dengan seekor kelinci kesayanganmu yang berlarian di sela-sela
pohon-pohon Rosella yang ditanam Ibumu. Sebagai seorang bocah, kau
mengendap-ngendap untuk mengetahui di mana seekor kelinci kesayanganmu itu
bersembunyi. Dialah sahabatmu dalam kesepian dan kesunyian dari siang hari
sepulang sekolah hingga senja saat kau menjalankan tugas yang diperintahkan
Ibumu.
Tiba-tiba kau teringat adik perempuan
tersayangmu yang meninggal di kala masih balita karena demam. Itulah kesedihan
pertamamu sebagai seorang bocah yang kesepian, sebagai kanak-kanak yang
membutuhkan teman bermain bersama. Kau kenang adik perempuanmu yang jelita
sebagai satu-satunya temanmu bermain di masa kanak-kanakmu. Ingatan-ingatan dan
kenangan-kenanganmu itu memang seakan kekal dalam benak dan pikiranmu.
Setelah itu kau kembali teringat
dengan kisah asmaramu lagi, setelah kau kenang adik perempuanmu yang jelita
itu. Selepas azan asar itu kau dan ia berbincang akrab untuk yang kesekian
kalinya, juga di sebuah café, tapi kali ini di kota yang berbeda. Senyumnya
yang menawan, tatapan matanya yang sendu, tingkahnya yang nakal, dan kata-katanya
yang kau ibaratkan sebagai burung-burung yang terbang di senjakala, telah
mengajarkanmu untuk menulis sejumlah puisi cinta.
Tanpa kau sadari, jam dinding di
ruanganmu telah menunjuk angka tiga dan enam, tapi lagu-lagu jazz yang kau
dengarkan masih terus mendenting-dentingkan tuts-tuts pianonya. Kau masih setia
tafakkur di mejamu, memungut dan mengumpulkan kembali ingatan dan
kenangan-kenanganmu di masa silam untuk kau jadikan sebagai sejumlah sajak dan
beberapa prosa, sejumlah roman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar