(Painting by Iman Maleki)
Rumah
mungil beratap seng itu terasa gerah sekali ketika kami akhirnya berbincang dan
melakukan tanya jawab, meski saat itu hujan baru saja reda, tak lama setelah
aku turun dari bus yang menurunkanku di dekat jembatan penyebrangan itu.
Bahkan, di hari ketika aku mendatangi lingkungan kumuh itu, gelap langit
mendung masih terus meneteskan butiran-butiran air, dan angin dari sudut-sudut gang becek
sesekali mengirimkan bau tak sedap dan aroma anyir dan busuk yang menyengat
lubang hidung, yang jika tak kutahan-tahan dan kututupi dengan menjepitkan
jari-jemariku ke ujung hidungku, niscaya aku telah muntah berkali-kali.
Di hari itu, meski jam di tanganku
menunjukkan pukul lima kurang beberapa menit, mendung, gerimis kecil, dan cuaca
bulan Desember telah merubah senja menjadi malam yang datang lebih awal.
Orang-orang di kawasan yang kudatangi itu pun telah menyalakan lampu-lampu
bohlam dan lampu-lampu neon listrik mereka lebih cepat demi memecah dan
mengusir kegelapan dengan cahaya-cahaya berwarna kuning dan putih itu.
Kedatanganku ke lingkungan yang telah
akrab dengan bau tak sedap, aroma anyir, dan semerbak asam itu karena memang
ditugaskan oleh sebuah lembaga survey di Jakarta untuk melakukan wawancara
lapangan dengan sample sepuluh orang atau sepuluh responden, sesuai jumlah
kuesioner yang kubawa di dalam tasku.
Di senja lembab dan basah serta
terasa dingin yang terus menitik dan menjelma malam lebih awal itu, aku
melakukan wawancara dengan seorang bapak, yang menurut pengakuannya sendiri,
telah berusia empat puluh tahun lebih, dan bekerja sebagai kuli bangunan di
sejumlah tempat dan kawasan di Jakarta, sesuai dengan permintaan dan kebutuhan
sewaktu-waktu jika ada orang yang menyewa dan membayar tenaganya untuk bekerja
sebagai pekerja bangunan, seperti membangun rumah, gedung, atau menggali lubang
sejumlah pipa atau kabel listrik dan kabel komunikasi.
Ketika wawancara dimulai, aku
bersandar pada pintu agar dapat merasakan hembusan angin dari luar dan supaya
tak terlalu merasa gerah yang membuat benang-benang bajuku bertambah basah
setelah sebelumnya terkena gerimis, meski harus menghirup aroma-aroma tak sedap
yang dikirim angin yang datang dan melintas ke arah kami dari sejumlah sudut
dan tempat, yang tak ayal lagi, membawa juga aroma-aroma tak sedap dan anyir
dari mana mereka datang itu.
Di sebuah sudut tikungan yang tak
terlalu jauh dari tempat kami berbincang dan melakukan tanya jawab, beberapa
orang tampak asik bergoyang dangdut di depan sebuah warung kopi. “Mereka adalah
orang-orang kampung sini, teman-teman saya juga sesama kuli bangunan dan para
pekerja dadakan,” kata si bapak yang kuwawancara sambil sedikit tertawa tanda
keramahan ketika aku menengok ke arah orang-orang yang tengah asik berjoget
dangdut yang suaranya sampai juga ke tempat kami melakukan perbincangan dan
tanya jawab dengan santai.
Itulah kali pertama aku benar-benar
merasa kagum, akrab, juga heran dengan orang-orang yang hidup di sebuah tempat
yang terbiasa dengan bau anyir dan aroma-aroma tak sedap seusai hujan. Si bapak
yang kuwawancarai itu memiliki seorang anak gadis belia berusia belasan tahun,
yang kebetulan duduk di samping bapaknya ketika kami berbincang seputar
kehidupan sehari-hari mereka. Sebutlah gadis belia itu bernama Santi, seorang
gadis belia yang masih bersekolah di sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari
lingkungan kumuh itu, yang seperti dikatakan bapaknya, kadang-kadang membantu
ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci pakaian orang-orang yang mau membayar
mereka. Aku sempatkan berbicara kepadanya seusai aku mewawancara bapaknya.
“Berapa usiamu, dek?” tanyaku.
“12 tahun, kak....!” jawabnya.
“Kalau sudah besar nanti, ingin jadi
apa?”
“Hmmmm.....ingin bekerja agar dapat
membantu orang tuaku”
“Kerja apa?”
“Apa saja! Yang penting ada uangnya.”
“Sekarang, kamu mengerjakan apa saja
bila tidak sekolah?”
“Membantu ibuku.”
“Contohnya?”
“Membantu ibuku mencuci pakaian
orang-orang yang mau membayar.”
“Oh....gituh.”
Saat mendengar cerita si bapak
tentang anak gadis satu-satunya itu dan saat aku tahu apa yang dilakukannya
setelah ia sekolah, aku jadi teringat tokoh Sonia Marmeladov dalam novel Crime
and Punishment-nya Fyodor Dostoevsky itu. Meski tentu saja perihal keseharian
Santi dan Sonia tidak sama, namun, setidak-tidaknya, dunia Santi dan Sonia-nya
Dostoevsky itu menggambarkan situasi yang sama.
“Kenapa kamu membantu ibumu?”
tanyaku.
“Biar aku punya uang untuk sekolah”
jawabnya.
Ia selalu menjawab dengan tangkas
setiap pertanyaan yang kuajukan padanya. Ia begitu jujur dan polos yang
membuatku semakin prihatin, dan aku khawatir rasa ibaku kepadanya justru akan
merendahkan ketegarannya sebagai seorang gadis belia yang hidup dalam lingkungan
yang terbilang cukup keras dan memprihatinkan untuk gadis seusianya, yang
kehidupannya tentu saja tidak sama dengan anak-anak para pejabat, sebagai
contohnya.
Karena khawatir ia merasa takut, aku
pun tak berlama-lama untuk berbicara dengannya dan menanyakan sejumlah
pertanyaanku kepadanya, sebab memang ada rasa ingin tahuku tentang bagaimana
gadis sepertinya menjalani hidup di lingkungan yang terbilang semrawut dan apa
pendapatnya tentang hidup yang ia jalani itu.
Ia boleh dikatakan gadis yang cukup
cantik dan cerdas. Matanya hitam besar, dan rambut hitamnya lurus lebat. Gadis
belia yang memiliki wajah oval, yang aku yakin akan menjadi perempuan cantik
untuk waktu 10 tahun berikutnya. “Ah, tapi bukan tugasku untuk terlampau peduli
dengannya, di saat aku sendiri sedang bertarung dengan peruntungan nasibku
sendiri,” bathinku ketika ia menjadi subjek yang membuat pikiranku tiba-tiba
sibuk.
Haruslah kuakui, meski pekerjaan
mewawancara orang-orang di sejumlah tempat telah beberapa kali kulakukan sebelum-sebelumnya,
rasa-rasanya di tempat itulah aku merasa yang paling cukup melelahkan dan
menguras tenagaku. Mungkin karena harus berjuang dengan cuaca yang telah
bercampur dengan bangkai-bangkai sampah dan gang-gang becek yang bila tak
kutahan-tahan, niscaya aku telah beberapa kali muntah.
Rasa pening pun menyerang kepalaku
saat aku berjalan menyusuri gang-gang yang dirundung gerimis itu. Rasa jenuh
dan lelah itu pun harus ditambah dengan lalu-lintas Koja yang padat, sementara
kali-nya yang berwarna hitam itu tak kalah asamnya menyebarkan bau tak sedap
seperti di lingkungan kumuh di mana aku melakukan wawancara dengan si bapak
yang berusia 40-an tahun dan anak gadisnya, yang mengingatkanku pada tokoh
Sonia Marmeladov dalam novel Crime and Punishment-nya Fyodor Dostoevsky itu.
Kutinggalkan rumah sederhana beratap
seng yang hanya memiliki tiga ruangan itu meski langit masih saja meneteskan
butiran-butiran air yang membuat kepalaku terasa berat, juga dingin angin yang
membuat tubuhku terus menggigil di saat aku terus melangkah dengan sepasang
sepatu yang terasa lembab dan basah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar