Syahdan,
dahulu kala, tersebutlah sebuah negeri bernama Telaga Kahana. Sebuah negeri
yang damai dan sunyi, namun memiliki sebuah misteri alias sebuah rahasia dan
teka-teki yang diperebutkan mereka yang ingin menguasainya.
Penduduk
negeri itu adalah orang-orang yang tulus dan baik hati, hidup dengan bahagia
meski bersahaja. Meskipun begitu, tak ada yang tahu di jaman apa cerita ini
pernah hidup. Mungkin dari sebuah jaman dan abad-abad yang sepi dan sunyi,
ketika manusia belum sempat membangun perpustakaan, hingga tak ada satu pun
buku yang mengabadikan kisahnya.
Negeri Telaga Kahana, di mana Siswi Karina dan Misyaila menginap dan makan bersama di rumah Zipora itu, adalah
negeri yang damai dan dihuni oleh penduduk yang hatinya dipenuhi cinta dan
kasih-sayang kepada segenap yang hidup dan mencintai alam serta lingkungan
mereka. Meskipun demikian, negeri itu pun tak luput dari invasi mereka yang
hidupnya didasarkan pada nafsu kekuasaan dan hasrat untuk menguasai dan
menaklukkan. Hasrat untuk memerintah dan memperbudak manusia yang lain.
Hari itu, seperti yang telah diniatkan, Misyaila mengarahkan tongkat
ajaibnya pada suatu tempat, dan seketika kereta kuda yang sebelumnya dinaikinya
bersama Siswi Karina, sahabat sekalig gadis belia yang sedang ia didik, itu
muncul di hadapan mereka. Kali ini mereka akan kembali bertualang ke sebuah
negeri, yang tentu saja, tidak pernah diketahui atau dikunjungi Siswi Karina
sebelumnya.
Kereta kuda itu melesat begitu cepat setelah mereka berada di dalamnya.
Suatu keajaiban lainnya adalah bahwa delapan kuda putih yang masing-masing
memiliki sepasang tanduk kristal di kepala mereka itu seakan begitu saja telah
mengerti tujuan mereka melalui semacam telepati dengan Misyaila. Semacam ilmu
laduni yang dimiliki oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan Tuhan yang maha
rahman dan maha rahim bagi mereka yang hidup dalam ketulusan dan kekhlasan
dalam nestapa atau bahagia.
Mereka melewati gunung-gunung, rawa-rawa, lembah-lembah, dan hutan-hutan
aneh yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa. Dihuni oleh makhlauk-nakhluk aneh dan
ajaib pula, yang kebanyakan telah punah, dan yang masih hidup saat ini, menjadi
kecil dari ukuran mereka di jaman itu. Meskipun demikian, kereta kuda itu
seperti terbang dan agak mengambang melewati hutan-hutan, mengambang di
rawa-rawa, atau sesekali seperti berlari dengan begitu cepat di antara
lembah-lembah dan kelokan-kelokan pegunungan dan lembah-lembah yang mereka
lalui.
Ternyata negeri yang hendak mereka tuju dan hendak mereka selidiki itu
begitu jauh –sebuah negeri yang diberi nama oleh para penghuninya, yaitu kaum
yang menyukai kekuasaan dan perang, dengan nama Negeri Amarik.
Negeri itu begitu mempesona, di mana tempat-tempat tinggal para
penghuninya menjulang tinggi. Di negeri itu juga terdapat kawasan-kawasan
khusus megah yang hanya boleh ditinggali para prajurit, sementara di
kawasan-kawasan khusus lainnya terdapat semacam pabrik-pabrik dan gedung-gedung
yang senantiasa menciptakan senjata super canggih.
Hasrat berkuasa dan menguasai negeri-negeri lain membuat para penduduk
atau penghuni negeri itu begitu ulet mengembangkan tekhnologi persenjataan dan
melakukan riset-riset dan inovasi-inovasi persenjataan serta alat-alat
pengintaian yang mereka gunakan untuk mengintai negeri-negeri lain yang ingin
mereka kuasai atau mereka taklukkan sesuai dengan keinginan mereka.
Negeri itu dipimpin oleh
seorang yang gila perang dan memiliki hasrat berkuasa yang sangat besar, yang
bernama Jarjus Bushan, seorang pemimpin yang anehnya sangat idiot tapi dipatuhi
oleh orang-orang yang berada di bawah perintah dan kekuasaannya.
Dan yang membuat Misyaila kaget adalah negeri itu ternyata dibentengi
oleh semacam kubah cermin maha-raksasa yang senantiasa menampakkan
kilatan-kilatan cahaya, mirip gelombang-gelombang kilatan listrik, hingga
Misyaila hanya bisa melihat sebagian kecil Negeri Amarik yang menakjubkan dan
super canggih itu lewat kejernihan kubah pelindungnya.
Dari ketinggian pegunungan di mana mereka berhenti itu, Misyaila pun
tahu bahwa negeri itu dilindungi oleh benteng yang sangat tebal dan tinggi, dan
mereka dapat melihat sebuah menara besar yang sangat tinggi terletak di negeri
tersebut. Jika negeri itu dilindungi kubah raksasa, dari manakah para
penduduknya bisa keluar ketika mereka melakukan invasi ke negeri-negeri lain? Demikian
kira-kira yang jadi pertanyaan Misyaila di batin-nya saat itu. Dan tentu saja,
rasa heran dan ketakjuban serupa juga dirasakan oleh Siswi Karina.
Demi menyelidiki dan meneliti negeri tersebut, dan tentu saja dengan
sangat hati-hati, agar tidak ketahuan para spion alias intelijen alias
mata-mata negeri tersebut, Misyaila dan Siswi Karina memutuskan untuk menuruni
gunung di mana kereta kuda mereka ditinggalkan –dan tentu saja, menghilang
begitu saja bila tak dibutuhkan, dan akan hadir bila dibutuhkan.
Sungguh
ini adalah sebuah kisah di masa silam yang telah dilupakan orang-orang di jaman
sekarang. Ketika orang-orang di abad ini telah melupakan mimpi-mimpi mereka.
Ketika mereka lebih menyukai tokoh-tokoh nyata di panggung-panggung, bukan
cerita khayalan yang disebarkan dari lisan ke lisan.
Kala itu, kereta kuda yang dinaiki Misyaila dan Siswi Karina melaju
begitu cepat –hampir mendekati kecepatan cahaya, dan tak meninggalkan debu di
belakangnya. Di dalam kereta kuda itu Siswi Karina masih terus bertanya-tanya
di dalam hatinya seputar kejadian-kejadian aneh dan menakjubkan yang ia alami
sebelumnya itu. Perahu mungil dan empat peri yang menghilang tiba-tiba begitu
saja, dan juga hal-hal lainnya yang tak kalah aneh, bahkan lebih ajaib dan
membuatnya bingung dan bertanya-tanya.
Ia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada pemilik kereta itu,
“Siapakah engkau sebenarnya?” “Aku Misyaila” jawab si empunya kereta ajaib
tersebut. Mendengar nama itu, Siswi Karina teringat nama pelukis dan seniman
yang karya lukisannya pernah ia lihat di tempat ia bekerja, Michelangelo, yang
jika diterjemahkan, nama itu artinya adalah malaikat Mikhail.
Sembari berbincang itu, tanpa terasa mereka pun telah sampai di sebuah
telaga yang di atasnya berdiri dengan rapihnya barisan rumah-rumah indah yang
belum pernah ia lihat.
Saat itu Siswi Karina pun mendengar sayup-sayup suara musik, yang ia
berusaha menduganya dari mana musik tersebut. Ia seakan mendengar
petikan-petikan suara harpa, alunan biola, dan komposisi cello, meski
menurutnya itu semua hanya mirip saja.
Tempat di mana kini ia berada itu memang lebih mirip sebuah lukisan
naturalis para seniman lukis yang pernah ia lihat –sebuah telaga raksasa dengan
rumah-rumah ajaib di atasnya. Lembah-lembah, savanna-savana, dan bukit-bukit
yang dipenuhi tumbuhan dan binatang-binatang yang juga belum pernah ia lihat.
Ada unggas-unggas berwarna hijau. Ada kambing-kambing yang memiliki
sepasang tanduk hijau dan memiliki sepasang sayap di punggung mereka. Ada
capung-capung yang ukuran tubuhnya sama dengan burung-burung dan memiliki
sepasang sayap berwarna merah terang. Semua itu membuat Siswi Karina takjub dan
heran.
Siswi Karina pun melihat Unicorn berwajah lelaki tampan, yang tersenyum
ke arahnya saat ia memandang Unicorn tersebut. Unicorn itu memiliki sepasang
sayap berwarna hijau di punggugnnya –sepasang sayap yang indah dan menakjubkan.
Karena masih didera keheranan sekaligus kekaguman, Siswi Karina pun
berusaha memuaskan sepasang matanya untuk melihat dan mengetahui segala yang
ada di sekitaran telaga raksasa itu. Bagaimana ternyata rumah-rumah yang seakan
mengambang di telaga itu dihuni oleh manusia-manusia yang lebih kecil dari
ukuran tubuh dirinya, namun memiliki wajah-wajah yang cantik, menawan, dan
tampan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar