Di sebuah desa, ada sebuah
rumah sangat sederhana dengan lantai tanah yang berada di antara dua sungai.
Rumah itu ditempati oleh keluarga petani yang hidup bersahaja dalam keseharian
mereka.
Di desa dan rumah itu hiduplah seorang bocah
lelaki, yang bila telah pulang dari sekolahnya di sebuah sekolah dasar yang
berada di depan rumahnya, yang hanya dipisahkan oleh sebentang jalan yang menghubungkan satu desa dengan desa lainnya itu, ia
akan menunggui padi-padi yang telah menguning dari serbuan burung-burung di
siang hari hingga senja, sesuai dengan perintah Ibunya.
Si bocah lelaki itu
duduk di samping rimbun bambu yang tak jauh dari sawah dan padi-padi yang
biji-bijinya telah menguning yang ditungguinya dalam kesepian dan kesendirian
itu. Di bawah serindang bambu, ia renungi senja dan langit
berwarna seakan membaca figur-figur di sebentang kanvas. “Andai aku dapat ke
sana,” bathinnya, “seperti burung-burung yang dapat pergi ke mana saja dengan
sayap mereka.” Ingatan itu begitu menggoda –seperti selembar foto berwarna
sepia di album lama. Angsa-angsa dan itik-itik kecil mematuki air, tetapi
kesepiannya telah membawanya entah
kemana.
Ia telah begitu akrab
dengan makhluk-makhluk Tuhan yang tak bisa ia ajak bicara, dan hanya dapat ia
intimi dengan kedua matanya. Angsa-angsa, para itik, burung-burung yang
beterbangan, dan yang sesekali hinggap di pohon-pohon yang tak jauh dari
keberadaannya. Bertahun-tahun ia hidup seperti itu hingga menjadi seorang
lelaki remaja.
Kesunyiannya sebagai
seorang kanak-kanak itu tak ubahnya seperti komposisi-komposisi musik yang
terdengar teramat pelan sekali. Hembus angin, kersik daun-daun yang digerakkan
dan dipermainkan udara. Tapi toh ia bisa juga mengalihkan kesepiannya itu
dengan membaca sebuku kesukaannya yang senantiasa ia bawa di saat ia
menjalankan perintah Ibunya itu: menunggui padi-padi yang telah menguning,
mengusir para burung yang datang.
Ia juga sesekali masih
bisa mencuri kesempatan untuk melalaikan tugas yang telah diamanatkan Ibunya,
sekedar untuk mengambil sarang burung dan penghuninya dari pohon-pohon bersama
kawan-kawannya yang menjemputnya. Tapi setelah itu ia akan kembali ke tempat di
mana harus menjalankan tugasnya, agar ia tidak ketahuan telah mengabaikan
tugasnya itu bila Ibunya menjenguknya di akhir senja.
Karena tugas yang ia
jalan selama bertahun-tahun itu, ia pun jadi sedemikian intim dengan bahasa
alam. Ia bayangkan itik-itik kecil yang bermain di danau kecil di bawah
serimbun bambu tempatnya duduk dan membaca sebuku kesukaannya itu sebagai
dirinya yang juga ingin bermain-main. Memang hal itu tak cukup untuk menghibur
kesepian dan kesunyiannya, tetapi paling tidak, dapat mengalihkan kebosanannya.
Apkah ia telah
kehilangan tempat dan waktu-waktu bermainnya? Jawabannya antara ‘ya’ dan
‘tidak’. Ya, karena ia menjalani waktu-waktu selepas sekolahnya hanya
bertemankan alam dan para binatang yang ada di sekitarnya, bukan dengan
kawan-kawan sebayanya. Tidak, karena dengan kesendirian dan kesepiannya itu ia jadi begitu bebas dengan
kebosanan dan kesepiannya bertemankan angin dan matahari. Ia jadi terbiasa bermain-main
dengan pikiran, angan-angan, dan imajinasi kekakanakkannya sendiri, dan tak ada
yang bisa mengusiknya.
Sebenarnya ia tak hanya menunggui para burung yang akan datang, yang harus ia usir jika mereka hinggap dan singgah di padi-padi yang telah menguning yang ditanam Ibunya itu, ia kadang-kadang
menuliskan apa yang dipikirkannya untuk mengalihkan kesepiannya sebagai seorang
bocah lelaki itu pada halaman-halaman kosong buku catatan sekolah yang ia bawa
bersama sebuku bacaan kesukaannya.
Sembari duduk dan
mengawasi para burung yang sewaktu-waktu akan hinggap dan memakan biji-biji
padi yang telah menguning itu, ia sesekali membuka lembar-lembar buku
kesukaannya yang merupakan kisah dan biografi para penemu dan sejumlah ilmuwan.
Ia membaca buku itu
karena ia sendiri berangan-angan bahwa kelak jika ia akan melanjutkan sekolah
di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, ia pun berharap bisa
masuk di perguruan tinggi dan akan memilih fakultas sains, karena ia memang
bercita-cita menjadi ilmuwan, seperti tokoh-tokoh para penemu dan ilmuwan di
lembar-lembar buku yang ia baca sembari menunggu padi-padi menguning dari
serbuan para burung atas perintah ibunya itu.
Karena kebiasaannya
duduk menunggu dalam kesepian dan kesendirian itu, ia jadi sedemikian akrab
dengan kesunyian, bersama siang dan sorehari yang ditafakkurinya sendirian, dan
tentu saja pada saat itu ia juga dirundung rasa bosan.
Karena mematuhi
perintah Ibunya untuk menunggui padi-padi menguning di sawah agar tidak dimakan
para burung yang sewaktu-waktu datang dan hinggap menyerbu padi-padi yang
ditungguinya itu bila ia lengah atau tiba-tiba mengantuk, ia malah menjadi
begitu karib dengan suara-suara para burung dan suasana senja: dengan desir
angin di sorehari, dan tentu saja, dengan kesepiannya, yang kelak akan
disadarinya sebagai sekolah pertamanya untuk terbiasa berpikir dan merenung.
Cita-citanya sendiri
untuk menjadi ilmuwan kemudian hanya sekedar angan-angan masa kanak dan masa
remajanya –ia tak pernah menjadi ilmuwan seperti yang ia cita-citakan kala ia
berteman akrab dengan keteduhan rimbun bambu, suara-suara para burung, dan
kesunyian senja yang membuatnya jadi terbiasa tafakkur dan merenung itu.
Ia pahami kesepian dan
kesunyiannya itu sebagai kesabaran sekaligus kebosanan –sejenis ketaatan karena
ia tak ingin membuat Ibunya kecewa.
Tapi adakalanya ia
meninggalkan tugasnya itu bila teman-temannya menjemputnya dan mengajaknya
untuk bermain sepak bola di lapangan sebuah sekolah dasar di mana ia
sehari-harinya bersekolah kecuali di hari Minggu, atau ketika mereka ingin
berburu belalang dan mencari para jangkerik. Kadang ia memberi tahu Ibunya
ketika ia hendak meninggalkan tugasnya itu, bila ia ingin bermain dengan
teman-temannya, kadang ia tak memberi tahu Ibunya.
Tetapi, bagaimana pun,
karena tugas yang dijalaninya dengan kesabaran bercampur kebosanan itu, ia jadi
intim dengan alam, yang telah mengajarinya arti dan makna kejujuran –tentang
kesahajaan dan ketulusan yang kelak akan ia sadari tak terdapat di buku-buku
yang ia baca. Sebab, memang, kearifan diberikan oleh kehidupan ketika ilmu
memberi pengetahuan kepada kita.
Dalam keadaan menunggu
dan kesendirian itu, sesekali ia pandangi angsa-angsa dan para itik yang
bermain-main dan menancapkan paruh-paruh mereka di air –di sebuah situ atau
kubangan air di bawah rimbun bambu tempatnya duduk dan berteduh demi mengawasi
para burung yang menunggu ia lengah untuk mencuri biji-biji padi yang telah
menguning itu.
Di saat-saat itu pula,
kadang-kadang ia mengembarakan pandangan kedua matanya ke arah langit, sekedar
memandangi gumpalan-gumpalan awan yang menurutnya mirip lukisan dan figur-figur
tertentu, atau sekedar mengagumi hijrahnya para burung yang terbang rapi
beriringan, seperti sepasukan bala tentara menuju medan pertempuran.
Barangkali, dapatlah
dikatakan, rasa bosan, kesunyian, dan kesendiriannya itulah yang telah
membentuknya sebagai seorang pembaca dan perenung, seperti yang telah
disinggung.
Tapi kini ia telah
menjadi lelaki dewasa, dan entah dorongan apa yang membuatnya tiba-tiba begitu
khusuk memandangi pematang setapak dan sawah-sawah di belakang rumahnya itu.
Pematang sawah di mana bertahun-tahun yang silam seorang bocah lelaki, yah
dirinya yang kini telah menjadi lelaki dewasa itu, bersedih ketika benang
layang-layangnya putus, dan layang-layang itu kemudian terbang bebas sebebas
burung-burung yang sedang hijrah melintasi bentangan cakrawala demi mencari
musim yang lain.
Peristiwa itu terjadi
di sebuah senja selepas kumandang adzan asar. Sejak kejadian itu, si bocah
lelaki itu tak lagi bermain layang-layang karena ia tak ingin membuat Ibunya
kecewa. Mungkin juga alasan yang sebenarnya adalah karena ia tak memiliki
keberanian untuk minta dibelikan layang-layang lagi kepada Ibunya.
Bocah lelaki itu hanya
bisa terdiam, berdiri terkesima, di saat teman-temannya tertawa memandangi
layang-layangnya yang terbang bersama burung-burung yang hijrah ke musim yang
lain selepas kumandang adzan asar itu.
Barangkali itulah kali
pertama apa yang ia anggap sebagai miliknya ternyata tak sepenuhnya bisa ia
miliki. Anehnya, tak satu kata pun dilontarkan Ibunya sekedar untuk menanyakan
perihal layang-layangnya yang pergi dengan bebas dan tak lagi terikat dengan
benang yang biasa ia genggam dan ia pegang erat-erat dengan kedua tangannya
itu.
Sikap diam Ibunya itu
barangkali ia pahami sebagai pertanda bahwa Ibunya tahu apa yang ia alami dan
berusaha berpura-pura untuk tidak peduli. Dan keesokan harinya ia mencoba untuk
membuat sendiri layang-layang, meski tak pernah rampung dan tak pernah ia
selesaikan. Sementara, sikap diam Ibunya dengan kejadian itu tetap tak bisa ia
pahami.
Tapi kini, si bocah itu
telah menjadi seorang lelaki dewasa, dan ibunya pun telah tiada, dan pematang
setapak dan bentang dan hamparan sawah-sawah tempatnya dulu bermain
layang-layang tak lagi serindang dan selebat dulu.
Namun ia masih ingat,
selepas layang-layangnya putus dari benangnya dan telah pergi jauh bersama
burung-burung yang hijrah ke musim yang lain itu, ia terus memikirkannya di
saat ia belajar dan mengerjakan tugas sekolah di meja belajarnya bertemankan
selampu minyak yang setia mengepulkan asap hitamnya hingga menghitamkan
bilah-bilah bambu penyangga genting-genting rumah.
Sebenarnya sempat juga
terbersit dalam khayalannya bahwa yang telah mencuri dan membawa pergi
layang-layangnya itu tak lain adalah seorang peri yang hanya ingin bercanda dan
bermain-main. Katakanlah seorang peri yang sekadar ingin usil ketika ia tengah
jenuh dan bosan, lalu mendapatkan ide ketika ia melihat sejumlah layang-layang
yang ia dan kawan-kawannya terbangkan sekaligus ia dan kawan-kawannya
kendalikan dengan seutas benang yang ternyata memang rapuh dan bisa putus kapan
saja ketika ia dan kawan-kawannya sadar bahwa salah satu layang-layang mereka
akhirnya memilih untuk bebas lepas dari benang yang mengendalikannya, pergi
sebebas burung-burung terbang yang ingin mereka tiru dengan jalan membuat
layang-layang.
Hanya saja, kini,
bagaimana pun, layang-layangnya itu telah menjelma sekedar ingatan, atau
katakanlah ingatannya sendiri memang tak ubahnya seperti layang-layang miliknya
yang akhirnya memilih untuk bebas dari kendalinya sebagai seorang kanak-kanak
yang hanya ingin bermain dan bergembira bersama burung-burung yang hijrah dengan
beriringan dan bersamaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar