Dari segi fisik, ia bukan
perempuan yang dapat dibilang menawan dan jelita. Apalagi untuk dikatakan
sangat menyihir dan mempesona pada pandangan pertama ketika bertemu dengannya
dalam suatu momen kebetulan. Aku langsung mencandainya ketika pertama kali
bertemu dengannya. Saat itu aku bilang padanya bahwa nama lengkapnya tak sesuai
dengan panggilan dirinya yang digunakan teman-temannya sesama mahasiswi. Ia
langsung mebelalakkan matanya, melotot, tapi sedikit tersenyum karena ulah dan
sikapku padanya yang spontan.
Aku mencandainya di
sela-sela rehat dalam suatu acara pelatihan menulis di mana aku menjadi salah
satu narasumber atau pematerinya.
“Mestinya teman-temanmu
memanggilmu dengan panggilan Icah,” kataku.
“Boleh juga, Om!”
balasnya. “Bagus koq! Bebas koq! Terserah si Om saja deh!”
Aku hanya tertawa setelah
mendengar reaksinya atas ledekanku itu.
“Ya sudah! Kalau begitu
kau kupanggil Icah!”
Dan lagi-lagi ia agak
tersipu sembari sedikit tersenyum pahit, mungkin sebenarnya hanya untuk
menyembunyikan reaksi sinisnya, sembari menyipitkan dua matanya. Atau mungkin
saja alasan yang sebenarnya adalah karena ia sungkan untuk menyatakan
keberatannya atas sikap dan ledekanku dengan terus-terang mengingat
teman-temannya memanggilku dengan panggilan ‘Akang’.
Tapi sejak pertemuan itu,
kami cukup lama juga tidak bertemu lagi dengannya, hingga akhirnya aku dan dia
bertemu lagi ketika aku menghadiri sebuah diskusi yang bertempat di room
theatre yang cukup nyaman dan sejuk di sebuah perpustakaan. Aku dan dia duduk
tak jauh, hanya berjarak beberapa meter, dan aku baru ingat kalau dia adalah
perempuan yang kuledek saat kami pertama kali bertemu setelah aku mencuri-curi
kesempatan untuk memperhatikannya secara seksama. Maklum aku mudah lupa dengan
orang yang baru pertama berjumpa.
“Sepertinya aku kenal
kamu,” ucapku padanya saat diskusi itu usai.
“Aku juga sepertinya
pernah melihatmu, Om!” jawabnya.
“Oh iya!” kataku dengan
spontan, “kamu yah yang aku ledekin saat aku selesai berbicara sebagai
narasumber di acara pelatihan menulis itu?”
“Gak salah koq, Om!”
jawabnya dengan singkat, cepat, dan tak bertele-tele. “Om pelupa yah?” ia
berpura-pura meledekku.
“Semester berapa kamu?”
tanyaku.
“Baru semester empat, Om!”
jawabnya.
“Kamu jurusan bahasa dan
sastra?” aku kembali bertanya.
“Ya, Om! Memang kenapa,
Om?” tanyanya.
“Kamu salah jurusan!”
kataku, yang lagi-lagi hanya sekedar meledek dan mencandainya.
“Memang mestinya aku
kuliah di jurusan apa, Om?” tanyanya sekedar untuk berpura-pura dan mengimbangi
percakapan kami.
“Jurusan desain busana
atau tata rias pengantin!” jawabku dengan dan maksud bercanda seperti
sebelumnya.
“Ih….si Om ada-ada ajah!
Gak lucu tau!” ujarnya sembari mengernyitkan dahi dan agak memelototkan dua
matanya, yang karenanya ia mulai sedikit menyingkap watak dan karakternya
sebagai seorang perempuan.
Sejak saat itu aku sadar
bahwa ia ternyata galak juga, dan aku segera menyudahi obrolan singkat itu
karena memang aku harus menuju tempat lain. Itulah pertemuan keduaku dengannya,
lagi-lagi hanya sekedar sambil-lalu saja, sekedar menyapanya sembari sedikit
mencandainya.
Namun, tanpa kuduga, aku malah
akan sering berjumpa dengannya, sejumlah pertemuan yang sebenarnya tak
terbersit di hati dan pikiranku untuk meniatkannya sebagai sebuah rencana
bertemu dengannya. Barangkali itu semua yang kita namakan peristiwa-peristiwa
kebetulan yang terjadi terus-menerus. Di sisi lain, aku bukan lelaki yang bisa
menyukai perempuan di saat pertemuan pertama, kecuali jika perempuan yang
kujumpai itu benar-benar sosok yang menawan dan mempesonaku sebagai seorang
lelaki yang menyukai dan menggandrungi seni dan keindahan.
Nona A ini, seperti telah
kukatakan, adalah perempuan biasa, apalagi dia masih seorang mahasiswi, sebelum
aku mengetahui bahwa salah-satu daya tariknya bagiku adalah kecerdasan dan
selera seninya yang lumayan bagus, tentu setelah aku mengetahui kecenderungan
dan minatnya pada seni dan sastra, untuk ukuran seorang mahasiswi, yang artinya
ia memiliki citarasa seni dan literer yang sangat berkelas, dan kecerdasannya
sebenarnya sudah terpancar juga ketika aku berbincang dengannya.
“Kamu sudah pernah menulis
puisi?” tanyaku.
“Baru beberapa, Om!”
jawabnya, “dan gak bagus-bagus amat. Beda dengan puisi-puisimu, Om, yang romantis,
lembut, dan mengalir.”
“Nanti aku ingin membaca
puisi-puisi yang kamu tulis yah!” ujarku berusaha membujuk dan meyakinkannya
agar ia berbagi denganku.
“Gak usah, Om!” kilahnya,
sekedar basa-basi tentu saja.
“Kenapa?” tanyaku.
“Hmmmm….yah seperti
kubilang, puisi-puisi yang kutulis kurang bagus.” Ia berusaha bersikap
rendah-hati, yang lagi-lagi sebenarnya sekedar bersikap basa-basi saja.
“Biar aku yang memberi
penilaian, bukan kamu!” ucapku.
“Sudah menulis prosa,
cerpen contohnya?” tanyaku.
“Sudah, Om!” jawabnya.
“Nanti aku ingin baca juga
prosamu!” ujarku demi memperpanjang durasi perbincanganku dengannya.
“Jangan-lah, Om!” ucapnya.
“Santai saja dan gak usah
malu!” aku meyakinkannya.
Begitulah sepotong
perbincangku dengannya saat aku dan dia bertemu untuk ketiga kalinya di acara
pelatihan dan pembelajaran sastra dan menulis yang diadakan di sebuah sekolah
menengah atas. Kebetulan ia salah seorang panitianya, sementara aku adalah
salah seorang pemateri atau narasumbernya, yang diminta untuk memberikan
semacam ceramah pengantar tentang sastra dan menulis. Dan sejak itu pula mulai
timbul rasa hormat dan perasaan untuk menghargai dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar