Dengan langkah teratur, agak sedikit berlari, sembari menutupi
kepalanya dengan salah satu tangannya, ia datang ke halte di mana aku duduk,
dan tanpa berkata sepatah kata pun sekedar untuk menyapaku, ia duduk di
sebelahku. Tubuhnya tak terlalu tinggi, tapi juga tak terlalu pendek.
Mengenakan rok yang ujungnya menyentuh kedua lututnya. Aku perhatikan rambutnya
sedikit agak basah. Gugusan rambut hitam yang cukup indah dan tertib.
Awalnya aku ragu untuk memulai
menyapanya –sekedar untuk menghilangkan kebosanan dan kejenuhanku dalam keadaan
menunggu selama setengah jam lebih itu, namun akhirnya kuberanikan juga untuk
memulai perbincangan, sebuah percakapan untuk mengusir kesepian dalam cuaca
dingin yang membuat tubuhku menggigil itu.
“Mau pulang ke mana, mbak?”
tanyaku mengawali kebekuan dan kebisuan dalam gerimis itu.
“Ke Pondok Labu…..” ia
menjawab tanpa menolehkan wajahnya ke arahku.
“Kebetulan kita satu
arah….” ujarku.
“Mas pulang ke mana?”
ia akhirnya merasa tertarik untuk melakukan perbincangan.
“Ke Ciputat….”
jawabku.
Namun, ketika ia mulai menolehkan wajahnya ke arah wajahku, aku
dirundung malu yang tak terkira, dan jantungku tiba-tiba berdebar kencang.
“Hei…..kamu kan Yahya
Hasan?” ia berkata dengan agak berteriak.
“Kamu lupa sama aku yah?”
Sungguh aku tak menyangka jika ia
adalah perempuan teman lamaku. Tiba-tiba aku menjadi kikuk, dan diserang gundah
begitu saja. Menjadi seorang lelaki tolol tanpa alasan yang jelas. Rasa kikukku
karena aku hanya seorang lelaki yang tengah magang jurnalistik, sementara dia
bekerja sebagai pegawai bank dengan gaji yang cukup besar.
“Tak usah malu sama aku
seperti ituh donk….Yahya!” Ia malah menggoda, dan kupikir saat itu wajahku
memerah, sehingga ia tersenyum dan hampir menertawaiku karena kecanggunganku
yang terjebak dalam situasi yang lebih mirip kecelakaan yang tak kuinginkan
itu.
Ketika itu ia justru semakin
bertambah cantik, lebih cantik dibanding saat aku mengenalnya untuk pertama
kali di sebuah kampus ketika aku masih seorang mahasiswa, dan kami memang tak
bertemu selama sekira sepuluh tahun, sebelum akhirnya ia datang tanpa kuduga ke
halte di mana aku duduk sendirian dalam keadaan kesepian, bosan, dan menunggu
itu.
“Kamu masih tetap cantik,
dan bahkan semakin cantik dengan pakaian seragam kerjamu yang kau kenakan saat
ini,” ujarku demi menutupi kecanggunganku sebagai lelaki yang tiba-tiba
jadi tolol dan canggung.
“Sudah lama di Jakarta?”
tanyanya kepadaku.
“Tiga bulan lebih…..”
jawabku.
“Aku saat ini bekerja di
Bank Indonesia.”
Bank yang ia sebutkan tempat ia
bekerja itu berada di seberang jalan dari halte tempat kami bertemu secara
kebetulan tersebut. Rambutnya kini lebih panjang, melewati punggungnya,
sementara rain coat yang ia kenakan semakin membuatnya tampak anggun dan
berwibawa.
Aku merasakan malu ketika ia menanyakan apa pekerjaanku, sebab
aku memang hanya seorang pekerja magang di sebuah media di kawasan Kebon Sirih,
tempat yang tak jauh dari tempatnya bekerja di Bank Indonesia itu.
Tak kusangka, saat aku terjebak dalam
hujan di sore itu, aku pun terjebak pada pertemuan dengan seorang perempuan
yang tak kuinginkan untuk bertemu dalam situasi seperti itu, karena hanya akan
menambah luka kenangan bagiku.
Entah perasaan apa yang ada di hati dan benaknya saat itu,
hingga ia mengajakku untuk menikmati senja itu dengan sedikit obrolan.
“Boleh kan aku
mentraktirmu setelah bertahun-tahun kita tak bertemu?” tanyanya kepadaku.
“Hmmmm…..gimana yah, aku
harus sampai di tempat di mana aku ngontrak saat isya…” jawabku demi
menghindari ajakannya dengan halus dan sopan.
“Ayolah…..kita kan sudah
lama tak bertemu….apa salahnya sekali ini saja kita ngobrol,” ia malah
terus mendesakku, “ada beberapa hal yang
ingin kuceritakan padamu setelah sekian lama kita tak bertemu,” lanjutnya.
Aku tak punya cara dan siasat lagi
untuk mengelak ajakannya, dan kami pun akhirnya memilih sebuah warung, tepatnya
kafe kecil, yang tak jauh dari halte di mana kami bertemu tanpa sengaja itu,
sekedar menikmati kopi kesukaanku dan kopi kesukaannya untuk menghangatkan
badan kami yang kedinginan sembari kami berbincang, berbicara secara
bergantian, meski ia yang paling banyak berbicara dan menceritakan ihwal
dirinya selama kami tak bertemu selama bertahun-tahun.
“Saat ini aku sudah
menikah, punya anak dua, dan suamiku untuk saat ini sedang ada proyek di luar
Jakarta sampai beberapa bulan ke depan,” celotehnya.
“Ia seorang insinyur sipil
dan saat ini ia sedang ada tugas di Semarang untuk membangun sebuah Hotel,”
ia terus saja berbicara, sementara aku hanya mendengarkan saja.
“Sejak pertemuan terakhir
kita, aku sebenarnya masih berharap untuk bertemu denganmu dua tahun
setelahnya, dan ternyata harapanku itu sia-sia, sehingga di tahun ketiga sejak
pertemuan terakhir kita itu, aku bertemu dengan lelaki yang kini jadi suamiku.”
Aku hanya patuh mendengarkan
ceritanya, sembari sesekali menyeruput kopi Nescafe hitam kesukaanku dan
menghisap rokok kretek kesukaanku.
“Sebelum kami menikah,
kami sempat pacaran dulu selama enam bulan, dan di bulan ketujuh ia mengajakku
bertunangan, dan ia datang kepada kedua orang tuaku untuk melamarku,“ demikian
kisah yang diceritakannya kepadaku.
“Kamu sendiri gimana?
Apakah kamu masih memikirkanku setelah pertemuan terakhir kita itu?”
tanyanya padaku.
Saat itu aku masih merasa kikuk dan canggung, bahkan untuk
sekedar menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan yang diajukannya.
Obrolan itu berlangsung satu jam saja
sampai kami menyudahinya karena memang pada akhirnya kami harus pulang ke
tujuan kami masing-masing. Aku sempat memandanginya ketika ia memasuki taksi
yang akan membawanya pulang itu.
Sejak obrolan pertama kami setelah sekira sepuluh tahun tak
bertemu itulah, kami sepakat bahwa kami akan melakukan hal yang sama di setiap
hari Sabtu sore di tempat yang sama, dan itu kami lakukan selama tiga bulan
kemudian. Dan di pertemuan terakhir kami di Sabtu sore di tempat yang sama itu,
aku katakan kepadanya bahwa masa magangku di sebuah media yang kantornya berada
di kawasan Kebon Sirih itu telah berakhir, dan karena media tempat kami magang
itu telah dibeli orang lain, maka dengan sendirinya aku tak jadi jurnalis dan
penulis di media di mana aku magang selama enam bulan tersebut seperti yang
kuharapkan sebelumnya, dan karenanya aku akan pulang kembali ke Banten.
Ia agak sedikit kecewa dengan apa yang kukatakan itu, dan
berkata:
“Kalau begitu, aku akan
kehilangan teman ngobrol akhir pekanku donk!? Tapi apa boleh buat,”
ucapnya, “aku tak mungkin mencegahmu
untuk pulang. Dan aku berterimakasih karena selama ini kamu telah menemaniku di
setiap akhir pekanku,” lanjutnya, “sebab
aku butuh teman sekedar untuk sharing saja ketika suamiku sedang bekerja di
luar Jakarta, dan hanya kamu yang aku percaya, karena aku tahu kamu pasti tidak
akan berbuat melampaui batas, meski kau pernah menyukaiku dan aku pun pernah
menyukaimu dan memiliki perasaan terhadapmu.”
Demikian ia menutup pembicaraan di Sabtu sore dalam pertemuan
terakhir kami setelah perjumpaan kebetulanku dengannya di halte itu.
Ilustrasi (bagian atas): sketsa oleh guinevere.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar