“Sri….di dua matamu yang sendu
itu, kukenang Juni kelabu. Di ujung Sabtu itu aku datang ke kotamu bersama gerimis
biru yang mericik di hatiku…..” (Yahya Hasan).
Di sebuah keriuhan malam di kota itu kau pernah begitu
akrab dengan cahaya lampu-lampu jalan, cahaya lampu-lampu yang telah kautinggalkan
di antara pepohonan jalan dan trotoar. Kini kau hanya bisa menghadirkan kembali
keberadaan mereka dalam benakmu dengan jalan mengembarakan pikiranmu ke
tempat-tempat yang pernah kau kunjungi, kau lewati, dan kau diami bersamanya.
Bersama detik-detik dan menit-menit yang tak terasa
ketika itu, kau dan ia tak peduli pada cuaca dingin yang menyusup ke sela-sela
benang baju –ke pori-pori kulit tubuhmu. Sebab kau dan ia hanya tahu bahwa kalian
sama-sama ingin bertemu untuk sebuah alasan yang anehnya kalian rahasiakan
dalam diri kalian masing-masing. Sebuah pengkhianatan –di saat kau tak memiliki
alasan yang meyakinkan untuk marah, hingga kau hanya bisa menerimanya dan
memang tak menemukan alasan untuk membantahnya.
Saat itu kau dan dirinya memutuskan untuk berjalan kaki
saja –karena menurut kalian dengan apa yang kalian putuskan itu kalian bisa
saling mengenal kembali setelah selama satu tahun kalian tak bertemu –selepas
pertemuan dan perkenalan pertama kau dan ia di kampusnya, yang begitu akrab dan
tanpa beban, meski pertemuan dan perbincangan itu memang bersifat kebetulan
saja di sela-sela acara diskusi yang diselenggarakan oleh kampusnya dan kampusmu.
Kau dan ia pun akhirnya bisa kembali untuk saling menerka
dan memahami diri kalian masing-masing selama berjalan kaki bersama itu –sebab
hubungan kalian sebelumnya hanya melalui pertukaran kata-kata yang saling kalian
tuliskan di lembar-lembar kertas. Kadang-kadang kau dan ia saling bertukar
puisi –meski hanya sekali dua kali. Dan menurut pengakuannya sendiri, ia pun
sesekali menuliskan apa yang dirasakan dan dialaminya menjadi sebuah puisi.
Sebenarnya kau tak menyangka bahwa ia sangat menyukai
puisi yang kau tulis dan kau kirim untuknya selama kalian hanya bisa
berhubungan lewat pertukaran kata-kata di lembar-lembar kertas.
Kau dan ia berjalan kaki pelan saja dan memang kembali
mendapatkan keakraban seperti saat pertama kali kalian berkenalan dan
berbincang di salah satu sudut taman kampusnya. Entah atas alasan dan dorongan
apa, kau dan ia bersepakat untuk berkunjung ke rumahnya –dan meneruskan
perbincangan kalian di rumahnya hingga menjelang magrib. Bahkan kau sempat
berkenalan dengan ibunya dan adik perempuannya.
Cuaca yang agak mendung dan menyembunyikan matahari di
hari itu sangat mendukung apa yang kalian lakukan. Apalagi ia mengenakan kemeja
dan kerudung biru yang tentu saja menambah keindahan suasana selama kau dan ia
berjalan dan berbincang menuju jalan umum untuk menaiki angkutan umum yang akan
membawa kau dan ia ke Dago –di mana kau dan ia telah bersepakat untuk menghabiskan
waktu kalian demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kembali akrab di hari Minggu
itu.
Ia memaksamu untuk turun bersamanya dari angkutan sebelum
sampai di tempat yang hendak kalian tuju. Ketika kau tanya kenapa mesti turun
di saat tempat yang akan kalian tuju masih jauh sekitar ratusan meter lagi, ia
hanya menjawab bahwa ia merasa tak nyaman berada di dalam angkutan umum dan
lebih baik berjalan kaki lagi saja agar bisa lebih santai dan bisa berbincang-bincang
seperti pada saat kau dan ia berangkat dari rumahnya.
Ia menggandeng dan menggenggam tanganmu ketika kau dan ia
akhirnya berjalan kaki lagi sesuai dengan keputusan dan kehendaknya. Dan memang
kau sendiri merasa lebih nyaman dengan berjalan kaki lagi daripada merasakan
kegerahan akibat cuaca mendung yang malah membuat tubuh kalian merasa panas
karena keringat orang-orang yang duduk bersama di dalam angkutan yang
berdesakan-desakan.
Selama kau dan ia berjalan kaki untuk yang kedua kalinya
itu, lampu-lampu jalan kota mulai menyala. Sepanjang trotoar dan pepohonan itu
kau rasa adalah pengalamanmu yang paling akrab dengan seorang perempuan yang
usianya lebih muda satu tahun dari usiamu, hingga kau dan ia lebih merasa
sebagai sepasang bocah berlainan jenis kelamin yang asik bercanda tanpa
canggung dan merasakan kebebasan yang sebenarnya.
Kejadian-kejadian yang telah berlalu bertahun-tahun itu
tiba-tiba menemukan kembali detil-detilnya di dalam benak dan kepalamu saat kau
tak menemukan tema dan isu lain untuk menulis. Kau dan ia sempat duduk berdua
dan saling bertukar kata yang keluar dari mulut kalian di trotoar itu untuk
beberapa menit sembari memandangi lalulalang dan laju lalulintas sebelum kau
dan ia berjalan kaki lagi.
Kalian menyandarkan punggung kalian masing-masing di
sebaris pagar taman –di bawah lampu-lampu yang menyala dengan terang. Kau dan
ia melakukan itu karena menurutnya bioskop yang hendak kalian datangi baru akan
dibuka sekitar satu jam lagi, yang karenanya kalian merasa tak perlu
terburu-buru.
Kau masih ingat, kau dan ia akhirnya tak sempat menonton
sebuah film yang kalian rencanakan itu. Kau dan ia malah lebih asik bercanda di
sebuah cafe yang terletak agak ke sudut di pusat hiburan itu setelah kau dan ia
berkeliling di antara rak-rak sebuah toko buku. Ia membeli sebuah novel Sampek
Engtay, sementara kau sendiri membeli Aeneid-nya Publius Virgilius Maro
terbitan Everyman Books.
Di meja yang agak menyudut ke arah dinding itu ia terus
saja berbicara dengan riang, sementara kau sendiri hanya bisa mendengarkan
setiap kata yang meluncur dari mulut dan kedua bibirnya yang tipis dan indah.
Sebenarnya kau tak sepenuhnya hanya mendengarkan setiap
kata yang diucapkannya –kau lebih terpesona dengan kelembutan sepasang matanya
yang agak sendu. Seakan-akan kau tengah membaca larik-larik sebuah puisi yang
memberikan kedamaian dan ketentraman bathin saat kau terus memandangi
sepasangan matanya sambil berusaha menyimak apa yang dikatakannya dari satu
tema ke tema lainnya saat itu.
Di sela-sela perkataannya –mungkin agar kau tak merasa
diacuhkan, ia memintamu untuk membacakan sebuah puisi yang mungkin masih kau hapal,
meski permintaannya kau tolak dengan halus dengan mengatakan padanya bahwa tak
ada satu pun puisi yang kau hapal. Tapi ia malah menggodamu untuk membuat puisi
seketika itu juga untuknya. Tentu saja kau hanya bisa mengatakan bahwa puisi
yang ia maksud itu telah ada ada di depanmu –sebuah puisi yang tak lain
sepasang matanya yang indah dan agak sendu, yang memberimu sebuah pandangan
yang menenangkan dan memberimu rasa damai.
Ia hanya tersenyum dan sedikit tertawa gembira ketika
mendengarkan apa yang kau ucapkan itu. Saat itu kau yakin ia merasa istimewa
dengan apa yang kau katakan itu –sebab ia tampak sedikit tersipu akibat ulahmu
itu, hingga ia mencubit lenganmu dengan lembut. Setelah itu ia kembali
menyeruput minumannya melalui sedotan dan kembali bercerita tentang apa saja
yang ia lakukan selama kalian tak bertemu. Dan lagi-lagi kau hanya bisa mendengarkannya
saja –karena memang kau tak memiliki tema yang bisa kau ceritakan padanya,
mungkin karena kau lelah, rasa lelah yang terobati karena kebahagiaan.
Rasa-rasanya momen-momen itu merupakan sebuah peristiwa
paling riang dalam hidupnya sepanjang yang kau ketahui –momen paling ceria
dibanding pertemuan-pertemuan kau dengan ia sebelumnya. Hingga rasa lelahmu
akibat perjalanan dari Jakarta ke Bandung seakan-akan hilang begitu saja,
berubah menjelma rasa senang yang ia hadirkan. Dan sepertinya ia tahu bagaimana
agar kau bisa mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk mengobati keletihanmu
demi bertemu kembali dengannya.
Di cafe itu kau dan ia menghabiskan waktu hampir dua jam
sejak kalian berbincang selepas adzan magrib berkumandang. Ia pun mencegahmu
ketika kau hendak membayar minuman yang kalian pesan, karena ia ingin
mentraktirmu dari uang lomba karya ilmiah yang ia menangkan. Setelah itu kau
dan ia pun beranjak meninggalkan meja tempat kalian bercengkerama dan bercanda
selama dua jam itu, meninggalkannya dan berjalan keluar melewat pintu depan cafe.
Setelah kau dan ia menghabiskan waktu bersama di cafe
itulah ia memintamu untuk duduk barang sejenak di lantai depan cafe demi
mendengarkan apa yang ingin ia katakan kepadamu. Tanpa rasa curiga kau iyakan
dan kau turuti permintaannya. Tapi saat itu setiap perkataannya tiba-tiba
menjadi pelan dan tak lagi riang seperti ketika kalian berbincang di meja cafe
sembari menikmati jajanan kesukaan kalian. Saat itulah timbul pertanyaan dan
rasa penasaran dalam dirimu. Dan kecurigaanmu yang muncul seketika itu ternyata
benar dan tak ia bantah, meski sebelum-sebelumnya kau tak menyangkanya sedikit
pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar