Kita tinggalkan sejenak kisah di Negeri Suryan dan apa yang terjadi di
negeri itu, dan sekarang kita perlu juga mengetahui kabar si burung utusan yang
diutus oleh Hagar dan Sophia, si Burung Rukh yang diberinama Hudan itu, yang
ternyata telah sampai ke Negeri Nun, negerinya Misyaila.
“Aku
mengerti apa yang ingin kau sampaikan, Hudan!” Demikian ujar Misyaila kepada si
Burung Hudan yang menjalankan perintah tuan-tuannya itu.
“Tapi
percayalah, untuk saat ini Ilias akan sanggup melakukan tugasnya dengan baik
tanpa bantuanku. Aku akan membantu sahabat-sahabatku di saat mereka memang
sungguh-sungguh membutuhkan bantuanku.” Lanjut Misyaila.
“Sekarang
pulanglah, agar engkau dapat kembali datang padaku dan agar kelak dapat
memberikan kabar kembali di saat-saat genting.”
Dengan
isyarat menganggukkan kepalanya dan menggerakkan sepasang sayapnya, si Burung Hudan
itu pun mematuhi perintah Misyaila, dan langsung melesat terbang meninggalkan
Misyaila dari tempatnya. Ia kembali melanglang-buana sebagaimana ia datang ke Negeri
Nun yang sunyi itu, menuju Negeri Farisa di mana Hagar dan Sophia berada.
Sementara
di Negeri Telaga Kahana nun jauh jaraknya dari Negeri Nun yang misterius di
mana Misyaila berada itu, Siswi Karina mulai akrab dengan Dardan, seekor kuda
putih pemilik satu tanduk mirip Unicorn yang dulu merupakan sahabatnya Pangeran
Ramada dan sahabat suaminya Zipora, setelah Zipora memperkenalkannya kepada
Siswi Karina beberapa hari sebelumnya.
Siswi
Karina mulai mahir menunggangi Dardan yang perkasa dan ajaib itu, dan begitupun
sebaliknya, Dardan mulai memahami setiap keinginan dan perasaan Siswi Karina
dengan kekuatan intuisi dan telepati yang dimilikinya.
Sedangkan
di Negeri Najdor, negeri yang merupakan tempat dan markas pasukan Siis, Rakab
tampak kecewa dengan berita kekalahan garnisun pertama pasukan Siis-nya ketika
hendak menaklukkan kota Ramad di Negeri Suryan itu. Ia tampak marah dan tak
puas setelah mendengar laporan beberapa pasukan yang selamat dan kembali ke Negeri
Najdor tersebut, terlebih kekalahan itu telah membuat gugur sejumlah prajurit
terbaik dan pilihan yang telah dilatihnya sendiri. Rakab bingung bagaimana
menjelaskan kekalahan garnisun pertamanya itu kepada Mayar Rother dari Negeri
Amarik, Jarjus Bushan sang pemimpin idiot Bangsa Amarik, Ziva Kamarin sang
pemimpin Negeri Asrail, Vidad Kamarun sang pemimpin Negeri Angland, dan
Pangeran Wilad Nibtalal sang penguasa Negeri Najdan.
Setelah
berpikir dan merenungkan pilihan apa yang harus dilakukannya, ia memutuskan
untuk mengirimkan garnisun berikutnya dengan jumlah yang lebih besar dan dengan
persenjataan yang lebih canggih. Namun kali ini sasarannya bukan lagi kota
Ramad, tapi ke kota Daraa. Ia pun mengirimkan sepucuk surat yang ditujukan
langsung kepada Mayar Rother agar dikirimkan persenjataan canggih dan sejumlah
biaya ke Negeri Najdor dalam rangka melakukan serangan yang kali ini lebih
besar dan lebih keras, dan karena itu ia membutuhkan banyak orang yang hendak
ia rekrut sebagai para prajurit Siis, di mana biaya yang ia minta itu dalam
rangka membayar mereka yang mau menjadi pasukan Siis.
Setelah
surat yang dikirim oleh Rakab ke Mayar Rother itu diterima oleh Mayar Rother di
Negeri Amarik, Mayar Rother pun segera menyanggupi permintaan Rakab tersebut,
dan keesokan harinya kiriman senjata untuk pasukan Siis pun serempak datang
dari Negeri Amarik, Negeri Asrail, Negeri Najdan, dan Negeri Angland dengan
jenis-jenis senjata dan perlengkapan yang telah dibagi-bagi oleh masing-masing
para penyumbang senjata bagi pasukan Siis berikutnya pimpinan Rakab tersebut.
Rakab
pun tampak puas dan tak menyangka bahwa bantuan yang datang justru jauh lebih
banyak dan lebih besar dari yang ia bayangkan dan yang ia harapkan. Ia pun
segera menjamu para utusan negeri-negeri yang menjadi tuan-tuannya itu dengan
jamuan yang mewah di markas pribadinya di sebuah lembah dekat pegunungan Rasdan
yang sebenarnya tak seberapa jauh dari negeri Lubnan, salah-satu negeri yang
merupakan sekutunya bangsa Farisa, Negeri Suryan, Negeri Yumnan, dan tentu saja
Negeri Telaga Kahana.
Dengan
bantuan yang jauh lebih besar dan lebih banyak yang datang itu, Rakab pun
tampak puas dan timbul dalam dirinya rasa percaya diri, setelah sebelumnya ia
terserang perasaan pesimis setelah kekalahan garnisun pertama yang dikirimnya
ke Negeri Suryan itu.
Setelah
para utusan sejumlah negeri yang membayar dirinya itu pulang dan kembali ke
negeri masing-masing, Rakab pun memanggil sejumlah pemimpin pasukannnya untuk
mematangkan strategi dan rencana serangan berikutnya dengan skala yang jauh
lebih besar dibanding garnisun pertama yang dikirimnya, yang telah mengalami
kekalahan yang memalukan itu.
Tapi, jauh dari Negeri Najdor yang
menjadi markasnya itu, Ilias dan para jenderal di kota Damas di Negeri Suryan
pun tengah melakukan apa yang ia lakukan bersama para pemimpin perangnya itu,
di mana di kota Damas itu turut hadir pula Jenderal Reham yang terkenal jenius,
berkepala dingin, dan senantiasa memiliki perhitungan yang matang dan tepat
dalam berperang dan bertempur di medan peperangan dan pertempuran, di mana
kejeniusan Jenderal Rahem ini setara dengan kecerdasan Ilias setelah dididik
oleh Jenderal Roshtam.
“Sekarang
engkau dan Dardan telah menjadi sahabat satu sama lain,” ujar Zipora kepada
Siswi Karina yang saat itu bersama Dardan berada di hadapan Zipora yang sudah
mulai tampak menua, namun tentu saja yang aneh dan ajaib adalah justru Dardan
itu sendiri yang usianya telah mencapai 300 tahun tapi tetapi kuat, tangkas,
gagah, dan perkasa sebagai seekor kuda perang yang telah melayani lima
generasi.
“Tentu
saja keakraban kami berdua berkat restumu, Zipora,” ujar Siswi Karina.
“Dulu,
sewaktu peperangan pertama terjadi di negeri ini,” demikian kenang Zipora,
“Dardan-lah yang telah menyelamatkan kami, aku, Ilias, Hagar, dan Sophia,
setelah Zacharias gugur. Ketika itu sejumlah prajurit mengepung rumah kami, dan
tanpa kami duga, Dardan menerjang para prajurit tersebut dengan amukannya,
tanpa kami tahu dari arah mana dia datang. Ternyata dia menjalankan perintah
Zacharias yang ia tinggalkan dalam keadaan sekarat sebelum akhirnya ayah
anak-anakku itu menghembuskan nafas terakhirnya. Dan ketika sejumlah prajurit
lain datang dengan maksud membakar rumah kami, pada saat itulah Misyaila datang
dengan pasukan para burungnya dan menghempaskan para prajurit yang hendak
menyerang rumah kami itu dengan menggunakan tongkat ajaib di tangannya.”
Dalam
peristiwa yang diceritakan Zipora kepada Siswi Karina itu, Zacharias berjuang
dan bertempur dengan gigih, sebelum Misyaila dan pasukan para burungnya datang
terlambat untuk membantunya, yang akhirnya Zacharias pun gugur ketika berusaha
menghadang sejumlah pasukan yang berusaha membakar rumah-rumah para penduduk Negeri
Telaga Kahana, hingga sebagian pasukan dari Negeri Amarik itu gugur di
tangannya, sebelum ia sendiri akhirnya gugur namun masih sempat memerintahkan
Dardan untuk segera menolong keluarganya sebelum Zacharias menghembuskan nafas
terakhirnya dalam peperangan yang tak seimbang itu.
Saat
itu Siswi Karina tampak terharu dan tersentuh dengan semua yang diceritakan
Zipora kepadanya. Saat Siswi Karina bertanya kepada Zipora tentang bagaimana
mulanya Misyaila mengenal dirinya, keluarganya, dan Negeri Telaga Kahana,
Zipora pun menceritakan bahwa Misyaila adalah gurunya sekaligus sahabatnya
Pangeran Ramada, ayah Zipora atau kakeknya Ilias, Hagar, dan Sophia. Siswi
Karina agak terkejut ketika mengetahui hal itu, sebab ia sendiri merasa segan
dan sungkan untuk menanyakan langsung hal tersebut kepada Misyaila.
“Kini
kau paham dan mengerti kenapa Misyaila begitu perhatian kepada kami,” ujar
Zipora kepada Siswi Karina.
“Yah,
aku mengerti dan paham, Zipora,” jawab Siswi Karina, “sekarang aku paham bahwa
Misyaila adalah sahabat Pangeran Ramada, yang berarti ia juga bagian dari
keluarga kalian.”
“Betul
sekali!” Jawab Zipora.
Demikianlah
yang terjadi di Negeri Telaga Kahana, dan sekarang kita menuju ke kota Damas,
di mana Ilias dan Jenderal Reham telah menetapkan sejumlah rencana dan strategi
untuk menghadapi serangan susulan pasukan Siis pimpinan Rakab ke Negeri Suryan,
negeri di mana mereka berada.
Dalam
kesepakatan itu, Ilias dan Jenderal Reham telah menetapkan sebuah strategi
bahwa mereka akan memberi perlawanan kecil saja ketika pasukan Siis datang,
yang akan memberi kesan kemenangan palsu kepada pasukan Siis dengan membiarkan
mereka memenangi pertempuran dan dapat menguasai tempat dan kota-kota yang
mereka incar, namun sebelum itu para penduduk kota-kota yang akan diserang
pasukan Siis diharuskan untuk mengungsi. Dan tugas untuk memimpin pengungsian
itu diserahkan kepada Uba Zarila. Barulah setelah itu, setelah pasukan Siis
menguasai kota yang mereka taklukkan, pada saat itulah Ilias dan pasukannya
juga Jenderal Reham dan pasukannya akan menyerang dan menggempur pasukan Siis.
Strategi
itu ditetapkan agar Ilias dan Jenderal Reham dapat mengetahui dengan jelas
tempat dan posisi peperangan dan pertempuran yang akan mereka lakukan.
Strategi
dan rencana yang matang dan dingin itu tentu saja tidak dibaca oleh Rakab yang
terhitung tidak memiliki pengalaman yang matang dalam dunia militer dan kancah
peperangan.
Dan
di Negeri Najdor itu, garnisun pasukan Siis pimpinan Rakab dengan jumlah yang
lebih banyak dan persenjataan yang lebih canggih telah berangkat dan meninggalkan
markas mereka. Konvoi pasukan yang luar biasa besar dan banyak itu membuat
tanah yang mereka injak dan mereka lewati menjadi bergetar, begitu pun
pohon-pohon yang mereka lewati. Dan seperti sebelumnya, mereka pun memilih
jalur laut untuk sampai ke Negeri Suryan, yang mana dengan menggunakan jalur
laut, kapal-kapal raksasa mereka dapat mengangkut mereka semua dan seluruh
persenjataan mereka yang terbilang berat dan super canggih itu.
Hari
itu, cuaca tampak cerah dan matahari bersinar dengan terang, dan kapal-kapal
raksasa yang mengangkut pasukan Siis dan persenjataan mereka itu pun telah
berada di lautan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar