Berambut pirang berwarna coklat –brunette dalam istilah Bahasa
Ingrisnya, wajahnya sebenarnya lebih mirip perempuan Timur Tengah, meski ia
perempuan Eropa –perempuan yang hadir dalam hidupku secara tiba-tiba dan tak
terduga. Tak lama setelah ia mengenalku, sekira berjalan lima hari sejak
pertemuan pertamaku dengannya yang berlanjut jadi intim dan akrab, ia menyatakan
dengan terus-terang bahwa ia jatuh cinta padaku.
“What do you think about
Indonesia?” tanyaku padanya dengan bahasa Ingris yang pas-pasan.
“Indonesia is beautiful
country!” dia menjawab.
“No…..no….I mean about the
people, not the nation,” ujarku.
“Friendly like you”
jawabnya, dan aku hanya bisa tersenyum.
Itulah perbincangan pertama kami saat
aku datang ke Merlynn Park Hotel atas permintaannya. Saat itu senja baru mulai –senja
di kota Jakarta yang terasa gerah. Aku duduk di salah satu kursi sofa yang
berwarna merah yang ada di kamarnya, sementara ia duduk di tepi ranjang tidur
yang begitu apik dan rapi.
Sebagai tanda keramahanku selaku tuan rumah dan sekedar untuk
menunjukkan penghargaanku karena ia telah datang jauh-jauh dari Eropa demi
menemuiku, kuseduhkan kopi untuknya –kopi spesial yang telah disediakan hotel
tempatnya menginap selama tujuh hari itu.
Berhidung mancung dan berambut pirang keriting berwarna coklat,
ia adalah perempuan yang menunjukkan ciri khas perempuan Latin, yang sebenarnya
agak mirip perempuan Arab –sebagaimana yang telah kukatakan. Ia bercerita padaku
bahwa demi menghemat perjalanan dari Madrid menuju Indonesia, ia ambil tugas
sebagai jurnalis dadakan dari sebuah media.
Agar ia tak merasa jenuh dengan hanya stay di kamarnya di hotel
itu, kuajak dia keluar dari kamar hotelnya sekedar untuk menikmati jajanan khas
warga Jakarta, berjalan kaki menuju ke salah satu penjual bakso di pinggir
jalan yang tak jauh dari gerbang Merlynn Park Hotel.
Para pekerja hotel itu, termasuk yang
perempuan-perempuan, kuperhatikan sesekali mencuri pandang ke arah kami, entah
apa persepsi mereka tentangku ketika aku berjalan akrab dengan seorang
perempuan Eropa. Tapi aku sendiri memang tak peduli.
Sembari makan bakso di pinggir jalan itu, kami berbincang
sebelum kami sudahi ketika adzan magrib berkumandang, dan aku segera menuju
mushola, sementara kukatakan padanya bahwa ia bisa langsung ke kamarnya saja
jika merasa lelah dan ingin istirahat setelah menempuh perjalanan jauh.
Sebenarnya permintaanku agar ia
meninggalkanku di mushola itu agar tak menganggunya jika, misalnya, ia ingin
mandi dan istirahat sejenak, dan aku katakan padanya bahwa aku akan berada di
ruang musholla itu hingga jam tujuh lewat beberapa menit.
Dan benar saja, selesai adzan isya, handphone-ku berdering, dan
ia memintaku untuk naik ke atas. Kami akhirnya bersepakat untuk meneruskan
obrolan dan pertemuan kami di sebuah kafe yang berada di hotel itu, karena aku
takkan bisa merokok dengan bebas jika harus mengobrol dan bertemu di kamarnya.
Seperti biasa aku pesan kopi hitam, kunyalakan batangan rokok
kretekku, sementara ia memesan jus lemon dingin. Aku cukup terkejut juga ketika
ia hanya mengenakan pakaian minim, dan ia berkata bahwa cuaca cukup panas.
Kukatakan “itu tak salah, karena negeri ini beriklim tropis, dan kau datang di
saat musim kemarau”.
Tentu saja ia berbicara cukup lancar, sementara aku terbata-bata
dengan keterbatasan bahasa Ingrisku. Udara malam sesekali berhembus ke arah
kami, dan sembari berbincang itu, mataku sesekali memandangi cahaya yang
memancar dari gedung-gedung bertingkat yang ada di depan mataku.
Sesekali kuberitahu terjemahan bahasa Ingris yang ia ucapkan
dalam bahasa Indonesia, dan tiba-tiba ia malah bertanya, ‘how to say I’m fall in love with you in Indonesian language?’.
Awalnya aku enggan untuk menerjemahkan pertanyaannya itu ke bahasa Indonesia,
tapi akhirnya kukatakan juga bahwa yang ia ucakan itu artinya adalah, ‘aku jatuh cinta padamu’ dalam bahasa
Indonesia.
Pertemuan pertama itu pun kemudian berlanjut ke
pertemuan-pertemuan selanjutnya selama hari-hari berikutnya, dari satu kafe ke
kafe lainnya, mengunjungi kota tua Jakarta, ke Museum Nasional dan
tempat-tempat lain yang ingin ia kunjungi yang telah ia catat di buku
perjalanannya yang ia bawa dari Eropa.
Seringkali ia begitu antusias untuk
menangkap dan mengabadikan objek-objek menarik dengan kamera yang ia bawa bila
kami bepergian dan berjalan bersama-sama demi mendatangi dan mengunjungi
sejumlah tempat itu, semisal ke Cafe Batavia.
Kebetulan malam itu ada bazaar dan panggung musik bertajuk
Saturday Night Festival, dan kuajak keluar perempuan Eropa-ku dari Cafe
Batavia, tempatku dan dia bersantai sembari menikmati kopi kami masing-masing
itu. Kebetulan lainnya adalah aku merasa lapar, dan rasa laparku saat itu tak
cukup terobati hanya dengan menikmati kopi dan jajanan di Cafe Batavia –tak
sebanding dengan harga kopi dan jajanannya yang bagiku sangat mahal, meski yang
bayar adalah perempuan Eropa-ku, dan kukira itulah alasanku yang sebenarnya
ketika aku mengajak keluar perempuan Eropa-ku menuju keramaian yang
hingar-bingar itu.
Kuajak ia ke sebuah warung tenda yang
menjual soto, tetapi ia malah memesan sate, di saat aku tetap pada pilihanku
untuk makan soto, tentu saja pakai nasi, karena sejak keberangkatanku
bersamanya dari Merlynn Park Hotel itu aku belum makan sore.
Ia bertanya, tentu dalam bahasa Ingris, kenapa banyak menu
makanan di Indonesia terasa pedas dan sepertinya orang Indonesia senang dengan
sambal? Kukatakan karena negeri ini kaya dengan rempah-rempah dan orang-orang
Indonesia memiliki seni kuliner yang tak kalah hebat dengan orang-orang Eropa,
negerimu yang jauh itu. Dan dulu orang-orang Eropamu banyak yang datang ke sini
untuk mendapatkan rempah-rempah Indonesia. Sebuah jawaban yang sebenarnya asal
ucap saja, tapi untungnya ia membenarkan apa yang kukatakan itu.
Lalu ia bertanya lagi kenapa aku lebih menyukai rokok kretek
ketimbang rokok filter? Kukatakan itu soal selera masing-masing orang saja, dan
bagiku rokok kretek lebih terasa, dan lebih lama durasi untuk menghisapnya
ketimbang rokok filter, dan kau memang lebih cocok, sebagai perempuan, untuk
menghisap rokok filter yang nikotinnya relatif lebih ringan dan rendah
dibanding rokok krektek Dji Sam Soe yang kuhisap.
Si perempuan penjual soto itu bertanya kepadaku, “Pacar sampeyan, Mas?” “Inggih, mbak yu!” jawabku sembari
tersenyum. “Wah sampeyan koq bisa dapat
pacar wong Eropa tho, Mas….” lanjut si perempuan yang lumayan cantik itu
untuk ukuran perempuan Jawa. “Yah mbothen
nopo-nopo tho mbak….” ujarku.
Si perempuan Eropa-ku, yang kebetulan belum paham betul Bahasa
Indonesia itu, bertanya kepadaku dalam Bahasa Ingris, yang dalam bahasa
Indonesia berbunyi: “apa yang kalian
bicarakan?” “She said to me you are
beautiful…” jawabku. “Don’t lie to
me…!” ujarnya….”No….no….I’m
seriously….” ucapku membantah keraguannya, dan ia pun tersenyum.
“Kenal di mana tho, Mas?”
si perempuan pemilik warung tenda soto itu kembali bertanya. “Yah di Jakarta, mbak!” jawabku. “Sampeyan orang mana, Mas?” tanya si mbak
yu itu. “Orang Serang, Banten…” “Ooooh…..” kata si perempuan pemilik
warung tenda soto itu.
Seusai makan bersama di warung tenda itu, aku dan dia menuju ke
salah satu sudut keramaian itu, duduk dan kembali menyulut rokok kami
masing-masing, sembari mendengarkan vokalis perempuan yang menyanyikan
lagu-lagu jazz romantis, yang ternyata adalah lagu kesukaannya perempuan
Eropa-ku.
Aku tak memikirkan apakah esok aku akan bangun kesiangan atau
tidak, karena memang di hari Minggu aku tak mesti datang ke tempat di mana aku
bekerja sebagai salah seorang peserta magang di lingkungan perkantoran di
kawasan Kebon Sirih itu.
Aku dan dia menghabiskan waktu di
tempat keramaian itu hingga jam tiga pagi, dan pulang dengan menumpang taksi.
Cukup lama kami menunggu taksi yang hendak kami sewa, sekira 15
menit, sebelum akhirnya datang taksi yang menawarkan jasanya ke hadapan kami.
Alasan dia dengan begadang di Kota Tua Jakarta itu tak lain karena ia ingin
menggunakan kesempatan hari terakhir kedatangannya di Jakarta, sebelum di hari
Senin paginya ia akan terbang menuju Madrid, tentu saja dengan melakukan
sejumlah transit di beberapa bandara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar