LELAKI SENJA (Bagian Kedua) oleh Gary Gulaiman (2012-2016)



Kau duduk sendirian di halte di senja yang lembab dan dingin itu, menunggu bis yang akan melintas, yang akan membawamu ke tempat di mana kau hendak pulang dalam keadaan lelah. Kau pandangi ricik gerimis yang menyirami kaca-kaca gedung-gedung bertingkat, mengguyur pohon-pohon di trotoar, hujan kecil yang sesekali turun deras kembali yang menyirami jalan, memandangi orang-orang yang berteduh, dan ke manapun matamu terarah saat kau merasakan cuaca lembab dingin yang merasuk benang-benang baju,celana, dan sepasang sepatumu yang basah itu.

Tanpa kau duga, beberapa saat, sekira dua puluh menit lebih di saat kau duduk sendirian di halte itu, seseorang dari masa silammu melangkah ke arah halte di mana kau berada. Ia duduk di sampingmu tanpa harus merasa perlu menyapamu. Untuk beberapa saat kau dan dia saling diam saja, seperti sepasang patung yang diletakkan di halte di salah satu trotoar jalan yang tak jauh dari perempatan kawasan Halte Busway Bank Indonesia.

Lalu terpikir olehmu untuk menyapanya dan mengajaknya berbincang sekedar untuk menghilangkan rasa sepi dan bosanmu di saat duduk dan menunggu sembari menahan cuaca dingin senja yang basah dan lembab. Saat itu kota Jakarta terasa beku dalam benak dan pikiranmu. Dan kau pun merasa terkejut dan seakan tak percaya bahwa perempuan yang kau ajak berbincang di halte itu adalah seseorang yang mestinya telah kau lupakan, yang tak kau duga malah hadir begitu saja.

Kau tampak kikuk dan malu karena ulahmu yang berusaha untuk sedikit menggodanya ketika kau menyangka bahwa perempuan yang hendak kau goda itu adalah seseorang yang belum pernah kau kenal sebelumnya. Tapi sebaliknya, ia justru merasa sedikit gembira dan segera menyapamu dengan intim, seakan ia mengulang pertemuan pertamanya denganmu. Kau tak bisa menghindari keramahannya, rasa akrabnya yang muncul tiba-tiba, meski kau berusaha mengelak.

Tapi akhirnya kau tetap saja tak mampu menolak ajakannya untuk singgah di sebuah cafe kecil di sudut kota Jakarta yang tengah dirundung cuaca lembab dan dingin itu. Kau memesan secangkir kopi hitam Nescafe kesukaanmu, dan ia memesan secangkir coklat panas kesukaannya. Tanpa kau sangka, kau dengannya kembali intim dan akrab seperti saat pertama kali kau dengannya berjumpa di kampusnya, bertahun-tahun sebelumnya, sebelum pertemuan tiba-tiba di halte tempatmu duduk dan menunggu itu.

Sebenarnya saat itu kau tahu bahwa ia tampak lebih cantik dengan baju seragam kerja dan rain coat yang dikenakannya. Rambut hitamnya yang rapi dan tertib kini lebih panjang, melewati punggungnya dan sepasang matanya masih tetap berbinar bercahaya seperti ketika kau pertama kali bertemu dengannya bertahun-tahun silam sebelumnya. Saat kau dan ia kembali berbincang akrab di cafe kecil itu, sesekali ia tersenyum sembari memperhatikan wajah dan matamu dengan seksama, sembari sesekali berusaha menyelidik, adakah dalam dirimu yang telah berubah atau masih tetap sama seperti saat ia pertama kali bertemu denganmu.

Kau masih saja tampak canggung dan kikuk sekedar untuk menjawab beberapa pertanyaannya, meski bagimu barangkali ia hanya bersikap basa-basi saja, atau sekedar mencari bahan dan mula perbincangan dan obrolan denganmu setelah kau dan ia tak bertemu sekira sepuluh tahun. Kau memang seorang lelaki bodoh yang berpura-pura bahwa ia masih tampak cantik dan kau enggan untuk mengakuinya, mungkin saat itu kau kehilangan keberanian sebagai seorang lelaki.

“Tak usah merasa malu dan canggung, Yahya!” ujarnya padamu sembari tersipu dan tersenyum seakan ia hendak meledek dan mencandaimu yang tampak kikuk dan canggung.

“Kita kan pernah saling menyukai,” lanjutnya, “dan karena itu apa salahnya kita sedikit mengenang keakraban kita, meski kita tak bertemu selama bertahun-tahun.”

“Aku hanya merasa tak percaya saja,” ucapmu demi mengimbangi perbincangan, “bahwa aku akan bertemu lagi dengan kamu dengan cara yang seperti ini.”

Dan lagi-lagi ia tersenyum mendengar ucapanmu.

“Yah anggap saja ini pertemuan kebetulan kita yang baik, Yahya! Tidak salah kan?”

“Tak ada yang salah.....hanya saja, statusku dan kondisi dirimu saat ini tak lagi sama,” katamu kepadanya, “apalagi kau telah bersuami dan punya anak satu.”

“Tapi kita kan masih bisa tetap berteman dan bersahabat?”

“Yah.....tentu saja!”

Ia hampir saja tertawa mendengar sikap pasrahmu yang kau ungkapkan dengan kata-katamu itu, dan lagi-lagi kau merasa tersudutkan dengan sikapnya dan reaksinya atas perkataan yang kau ucapkan kepadanya. Itu karena kau sendiri yang telah menempatkan diri sejak semula pertemuan itu dalam keadaan malu dan canggung, bodoh dan kikuk, hingga memancing sikapnya untuk meledek dan mencandaimu.

“Sudah lama di Jakarta?” tanyanya kepadamu.

“Baru tiga bulan!” jawabmu.

“Kau bekerja? Dan kerja apa?”

“Aku magang di sebuah media.”

“Di mana kantormu?”

“Di kawasan perkantoran MNC Group.”

“Oh….di Kebon Sirih….”

“Yah….”

“Kalau begitu kantormu dan kantorku tidak jauh….”


Pelan-pelan, seiring dengan proses pertemuan kebetulanmu dengannya di halte saat kau duduk kesepian dalam keadaan lelah dan bosan itu, dan seiring berjalannya perbincangan yang akhirnya jadi akrab dan intim itu, kau pun tak lagi merasa canggung dan kikuk. Memang ia yang lebih banyak bicara dan kau hanya mendengarkan saja, dan kau hanya akan menggerakkan lidahmu dan membuka mulutmu hanya jika kau merasa perlu menjawab sejumlah pertanyaan yang ia tanyakan kepadamu. Sementara, lampu-lampu di gedung-gedung bertingkat dan di trotoar-trotoar jalan mulai menyala. Kau dan ia bersepakat untuk melakukan pertemuan di setiap Sabtu sore, sebelum akhirnya kau dan ia menyudahi perbincangan di café kecil itu. 


Tidak ada komentar: