Kau duduk sendirian di halte di senja yang lembab dan dingin itu,
menunggu bis yang akan melintas, yang akan membawamu ke tempat di mana kau
hendak pulang dalam keadaan lelah. Kau pandangi ricik gerimis yang menyirami
kaca-kaca gedung-gedung bertingkat, mengguyur pohon-pohon di trotoar, hujan
kecil yang sesekali turun deras kembali yang menyirami jalan, memandangi
orang-orang yang berteduh, dan ke manapun matamu terarah saat kau merasakan cuaca
lembab dingin yang merasuk benang-benang baju,celana, dan sepasang sepatumu
yang basah itu.
Tanpa kau duga, beberapa saat, sekira dua puluh menit lebih di saat kau
duduk sendirian di halte itu, seseorang dari masa silammu melangkah ke arah
halte di mana kau berada. Ia duduk di sampingmu tanpa harus merasa perlu
menyapamu. Untuk beberapa saat kau dan dia saling diam saja, seperti sepasang
patung yang diletakkan di halte di salah satu trotoar jalan yang tak jauh dari
perempatan kawasan Halte Busway Bank Indonesia.
Lalu terpikir olehmu untuk menyapanya dan mengajaknya berbincang sekedar
untuk menghilangkan rasa sepi dan bosanmu di saat duduk dan menunggu sembari
menahan cuaca dingin senja yang basah dan lembab. Saat itu kota Jakarta terasa
beku dalam benak dan pikiranmu. Dan kau pun merasa terkejut dan seakan tak
percaya bahwa perempuan yang kau ajak berbincang di halte itu adalah seseorang
yang mestinya telah kau lupakan, yang tak kau duga malah hadir begitu saja.
Kau tampak kikuk dan malu karena ulahmu yang berusaha untuk sedikit
menggodanya ketika kau menyangka bahwa perempuan yang hendak kau goda itu
adalah seseorang yang belum pernah kau kenal sebelumnya. Tapi sebaliknya, ia
justru merasa sedikit gembira dan segera menyapamu dengan intim, seakan ia
mengulang pertemuan pertamanya denganmu. Kau tak bisa menghindari keramahannya,
rasa akrabnya yang muncul tiba-tiba, meski kau berusaha mengelak.
Tapi akhirnya kau tetap saja tak mampu menolak ajakannya untuk singgah
di sebuah cafe kecil di sudut kota Jakarta yang tengah dirundung cuaca lembab
dan dingin itu. Kau memesan secangkir kopi hitam Nescafe kesukaanmu, dan ia
memesan secangkir coklat panas kesukaannya. Tanpa kau sangka, kau dengannya
kembali intim dan akrab seperti saat pertama kali kau dengannya berjumpa di
kampusnya, bertahun-tahun sebelumnya, sebelum pertemuan tiba-tiba di halte
tempatmu duduk dan menunggu itu.
Sebenarnya saat itu kau tahu bahwa ia tampak lebih cantik dengan baju
seragam kerja dan rain coat yang dikenakannya. Rambut hitamnya yang rapi dan
tertib kini lebih panjang, melewati punggungnya dan sepasang matanya masih
tetap berbinar bercahaya seperti ketika kau pertama kali bertemu dengannya
bertahun-tahun silam sebelumnya. Saat kau dan ia kembali berbincang akrab di cafe
kecil itu, sesekali ia tersenyum sembari memperhatikan wajah dan matamu dengan
seksama, sembari sesekali berusaha menyelidik, adakah dalam dirimu yang telah
berubah atau masih tetap sama seperti saat ia pertama kali bertemu denganmu.
Kau masih saja tampak canggung dan kikuk sekedar untuk menjawab beberapa
pertanyaannya, meski bagimu barangkali ia hanya bersikap basa-basi saja, atau sekedar
mencari bahan dan mula perbincangan dan obrolan denganmu setelah kau dan ia tak
bertemu sekira sepuluh tahun. Kau memang seorang lelaki bodoh yang berpura-pura
bahwa ia masih tampak cantik dan kau enggan untuk mengakuinya, mungkin saat itu
kau kehilangan keberanian sebagai seorang lelaki.
“Tak usah merasa malu dan canggung, Yahya!” ujarnya padamu sembari
tersipu dan tersenyum seakan ia hendak meledek dan mencandaimu yang tampak
kikuk dan canggung.
“Kita kan pernah saling menyukai,” lanjutnya, “dan karena itu apa
salahnya kita sedikit mengenang keakraban kita, meski kita tak bertemu selama
bertahun-tahun.”
“Aku hanya merasa tak percaya saja,” ucapmu demi mengimbangi
perbincangan, “bahwa aku akan bertemu lagi dengan kamu dengan cara yang seperti
ini.”
Dan lagi-lagi ia tersenyum mendengar ucapanmu.
“Yah anggap saja ini pertemuan kebetulan kita yang baik, Yahya! Tidak
salah kan?”
“Tak ada yang salah.....hanya saja, statusku dan kondisi dirimu saat ini
tak lagi sama,” katamu kepadanya, “apalagi kau telah bersuami dan punya anak
satu.”
“Tapi kita kan masih bisa tetap berteman dan bersahabat?”
“Yah.....tentu saja!”
Ia hampir saja tertawa mendengar sikap pasrahmu yang kau ungkapkan
dengan kata-katamu itu, dan lagi-lagi kau merasa tersudutkan dengan sikapnya
dan reaksinya atas perkataan yang kau ucapkan kepadanya. Itu karena kau sendiri
yang telah menempatkan diri sejak semula pertemuan itu dalam keadaan malu dan
canggung, bodoh dan kikuk, hingga memancing sikapnya untuk meledek dan
mencandaimu.
“Sudah lama di Jakarta?” tanyanya kepadamu.
“Baru tiga bulan!” jawabmu.
“Kau bekerja? Dan kerja apa?”
“Aku magang di sebuah media.”
“Di mana kantormu?”
“Di kawasan perkantoran MNC Group.”
“Oh….di Kebon Sirih….”
“Yah….”
“Kalau begitu kantormu dan kantorku tidak jauh….”
Pelan-pelan, seiring dengan proses pertemuan kebetulanmu dengannya di
halte saat kau duduk kesepian dalam keadaan lelah dan bosan itu, dan seiring
berjalannya perbincangan yang akhirnya jadi akrab dan intim itu, kau pun tak
lagi merasa canggung dan kikuk. Memang ia yang lebih banyak bicara dan kau hanya
mendengarkan saja, dan kau hanya akan menggerakkan lidahmu dan membuka mulutmu
hanya jika kau merasa perlu menjawab sejumlah pertanyaan yang ia tanyakan
kepadamu. Sementara, lampu-lampu di gedung-gedung bertingkat dan di
trotoar-trotoar jalan mulai menyala. Kau dan ia bersepakat untuk melakukan
pertemuan di setiap Sabtu sore, sebelum akhirnya kau dan ia menyudahi
perbincangan di café kecil itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar