Benarkah Islam memisahkan
antara urusan spiritual dan pemerintahan? Rasa-rasanya tesis ini perlu
diperiksa ulang alias dikaji kembali.
Islam tak hanya mengajarkan hal-hal
yang bersifat ibadah madhah (ritual keseharian), tetapi juga “mengajarkan”
praktik, khazanah, dan teori ‘amaliah, yang di dalamnya mencakup politik atau
siyasah, termasuk praktik dan ilmu tata-negara dan pemerintahan. Dan seperti
kita maphumi bersama, menyangkut politik dan tata-negara ini, hal yang
terpenting dalam pengelolaan sebuah negara, sejak dulu hingga saat ini,
sesungguhnya tidak jauh berbeda, yaitu bagaimana meningkatkan kondisi
sosial-ekonomi masyarakat tanpa harus membahayakan keamanan dan keselamatan
masyarakat itu sendiri. Beberapa prinsip dasar dalam manajemen dan pengelolaan
negara, bisa disebut antara lain: bagi umat beragama, selain memenuhi
kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan-Nya juga harus melindungi hak setiap
warga tanpa perbedaan-perbedaan status maupun latar belakang etnisnya.
Memperhatikan orang-orang miskin dan tak berdaya, memberi bantuan,
perlindungan, memberlakukan keadilan bagi mereka serta pada akhirnya mewujudkan
kedamaian, kesejahteraan, rasa aman, serta kesempatan untuk menjadi manusia
yang sebaik-baiknya. Dan hikmah Islam menyangkut politik dan tata-negara ini,
salah-satu contohnya adalah dipraktekkan dan diperjuangkan Ali bin Abi Thalib
karramallahu wajhah.
Demikianlah, dulu kala, karena
bermaksud mengecoh pasukan pimpinan Malik Ashtar dalam Perang Siffin, pasukan
Muawwiyah bin Abi Sufyan mengangkat al Qur’an di ujung-ujung tombak, dan mereka
berkata “Baynana wa baynakum al Qur’an” (Di antara kami dan kalian ada al
Qur’an). Namun Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah tidak mau pasukannya
tertipu oleh siasat tersebut, hingga mengingatkan pasukannya: “Kaalimatul haq
yurodu biha bathil” (ucapan mereka benar, tapi maksud mereka adalah bathil).
Pasukan Muawwiyah dan Amr bin Ash itulah contoh-contoh orang-orang yang
membajak (memolitiskan) Islam, alias menjual agama demi kekuasaan mereka yang bahkan
acapkali justru bertentangan dengan spirit dan nilai Islam itu sendiri.
Ilustrasi di atas sekedar ingin
meringkas bahwa dalam isu Islam dan politik, ada tiga jenis manusia dan
golongan (kaum muslim). Pertama, ada orang-orang “yang
memolitiskan Islam” seperti Yazid bin Muawwiyah dan Muawwiyah bin Abu Sufyan
itu sendiri, juga ISIS belakangan ini. Kedua,
ada kelompok yang hanya memiliki dugaan-dugaan politik yang ingin di-Islamkan, yang
contohnya adalah orang-orang yang ngotot mengusung khilafah dan yang
sejenisnya. Dan yang ketiga, adalah
Islam dan politik sebagai “etika” (akhlaq) dan “ruh” Islam yang berasaskan
“keadilan” bagi semua warga yang teladannya adalah Rasulullah dan washi-nya,
yaitu Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah.
Secara umum, kita selama ini menerima
sebuah pandangan yang mengatakan bahwa Islam dan politik adalah dua hal yang
bertentangan. Misalnya bahwa politik itu kotor dan menghalalkan segala cara,
sementara di sisi lain kita harus menjaga kesucian atau kefitrian Islam dari upaya
politisasi tersebut. Namun, sebagaimana ilustrasi tentang perbedaan antara Imam
Ali karramallahu wajhah dan Muawwiyah dalam perang Siffin itu, sebenarnya kita
mendapatkan pemahaman yang integral tentang Islam dan politik, bahkan tentang
Islam dan Negara. Di tangan Imam Ali, contohnya, spirit dan ajaran Islam dan
politik menjadi integral, seumpama saudara kembar, sebagai dua hal yang
esensinya adalah padu.
Integralitas dan kepaduan ini karena
Islam mencakup ajaran dan nilai-nilai yang berkenaan dengan yang individual dan
yang sosial itu sendiri. Sayyid Husein Nasr, misalnya, menyatakan bahwa Islam
adalah agama kesatuan, tauhid, dan segenap fungsinya, entah itu fungsi duniawi
(temporal) atau fungsi spiritual, memadukan otoritas duniawi dan ukhrawi
(spiritual) secara bersamaan dan tak terpisahkan. Sementara itu, terkait dengan
kapasitas dan kejeniusan Imam Ali karramallahu wajhah sebagai pemimpin dan
negarawan, Sayid Husain Muhammad Jafri mengatakan bahwa selain sebagai
washi-nya Rasulullah dan pintu ilmunya Rasulullah, Imam Ali karramallahu wajhah
adalah seorang administrator ulung dan telah berhasil menerapkan administrasi
dan birokrasi yang diisi oleh orang-orang profesional dan tidak korup, tidak
seperti ketika ummat Islam berada dalam kepemimpinan Usman bin Affan yang
banyak menempatkan orang-orang yang korup dan tidak cakap hingga menciptakan
krisis yang akut. Tak cuma itu, sebagaimana Rasulullah, Imam Ali karramallahu
wajhah adalah contoh pemimpin yang turun langsung dan bisa menjadi panglima
perang di saat-saat genting. Di masa-masa kepemimpinannya-lah, demikian
sebagaimana dinyatakan Sayid Husain Muhammad Jafri, Imam Ali karramallahu
wajhah telah menghidupkan kembali sunnah Nabi Muhammad saw dan syari’at Islam
yang sesungguhnya setelah sebelumnya banyak dilanggar di masa para khalifah
sebelumnya. Sementara itu, bagi seluruh kaum yang tak hanya ummat Islam alias
bagi non-muslim, Imam Ali telah berhasil menerapkan prinsip-prinsip
humanitarianisme atau komitmen untuk meningkatkan taraf hidup orang lain,
prinsip egalitarianisme atau memerangi ketidakadilan, serta menerapkan keadilan
sosial dan keadilan ekonomi (Lihat Prof. Dr. Syed Husain Mohammad Jafri, Agama &
Negara dalam Pandangan Imam Ali, hal. 47-57).
Begitu pun, yang berkat didikan
Rasulullah sejak usia 6 tahun, Imam Ali karramallahu wajhah juga dikenal
sebagai pemimpin yang visioner dan berani mengambil resiko. Jika kita baca
tarikh (sejarah), kita akan tahu bahwa Imam Ali karramallahu wajhah senantiasa
tegar dan langsung menjadi panglima ketika harus menghadapi kelompok-kelompok
yang tidak suka gerakan dan politik reformasinya. Sedangkan dari sisi
integritasnya, beliau dikenal sebagai pemimpin yang zuhud dan bersahaja. Beliau
adalah juga seorang pemimpin dan negarawan yang mengetahui benar macam-macam
atau ragam golongan rakyat, sebagaimana tercermin dalam surat beliau yang
ditujukan untuk Gubernurnya yang bernama Malik Ashtar: “Di antara rakyat, tak ada yang lebih sulit dihadapi oleh gubernur
selain kaum elite, karena kaum elite senantiasa meminta keistimewaan”.
Dan di atas semua itu, saran dan
nasihat beliau yang paling berharga kepada Malik Ashtar tersebut adalah soal
orang-orang seperti apa saja dan orang-orang yang bagaimana yang layak untuk
diangkat menjadi pejabat: “Angkatlah
untuk menjadi pejabat-pejabat tinggimu orang-orang yang tak pernah membantu
tiran dan tak pernah membantu orang-orang yang melanggar hukum agama dalam
kezaliman dan dosanya. Orang-orang seperti ini tidak akan merepotkanmu, lebih
memenuhi syarat untuk membantumu, sebagai sahabat lebih perhatian padamu, lebih
berdedikasi padamu. Oleh karena itu, pilihlah orang-orang seperti itu untuk
menjadi sahabatmu, baik sebagai sahabat pribadi maupun sebagai sahabat dalam
mengelola pemerintahan.” Sedangkan tentang bagaimana memimpin, Imam Ali karramallahu
wajhah berpesan kepada Malik Ashtar:
“Jadikan
hatimu sesuatu yang kaya dengan sifat murah hati dan kasih-sayang terhadap
rakyatmu. Jangan-lah kamu seperti binatang buas yang suka menelan mereka. Sebab
rakyatmu ada dua golongan: rakyat yang seiman dan rakyat yang sama sosoknya
denganmu (yaitu sama-sama manusia)”.
Asas-asas itulah yang diterapkan dan diperjuangkan Imam Ali bin Abi Thalib (as)
sebagaimana tercermin dalam surat nasihatnya kepada Malik Ashtar, Gubernur di
bawah kepemimpinannya, pada tahun 655 M, yang menurut sejumlah pakar
tata-negara dan teoritikus politik, merupakan sebuah contoh dokumen yang berisi
prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan dan manajemen pemerintahan yang
justru sangat modern dan melampaui jamannya, dan tetap relevan untuk konteks
saat ini. Surat Imam Ali yang ditujukan kepada Malik Ashtar ini banyak
menginspirasi para ahli dunia –bahkan menjadi banyak acuan bagi para pemimpin,
melintasi ruang dan waktu. Tercatat surat ini mampu melintasi Eropa di
masa Renaissance, hingga seorang Edward Powcock (1604 –1691),
Profesor di Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris untuk
pertama kalinya dan pada tahun 1639 dan disebarluaskan melalui serial kuliahnya
yang disebut “Rethoric” (Prof. A. Korkut Ozal, Komisaris BMI, AKOZ VAKF
Foundation – Turki).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar