Oleh
George Musser (Sumber: Scientific American, Special Issue – Beyond
Einstein, September 2004,
hal. 88-91)
Tak seperti rekan-rekan sezamannya, Albert Einstein berpikir mekanika
quantum akan menyerah pada teori klasik. Sebagian periset kini cenderung
setuju. Apakah mekanika quantum hanyalah muka?
Einstein percaya, di balik hasil-hasil ganjil yang kita saksikan, alam semesta
pada dasarnya bekerja menurut prinsip-prinsip intuitif fisika klasik.
Einstein telah menjadi ikon suci. Menyebut dia
salah akan dianggap melanggar kesusilaan. Bahkan “blunder terbesar”-nya justru
memperkuat aura kemutlakannya: kekeliruannya ternyata menjelaskan
observasi-observasi astronomi dengan baik [lihat “Teka-teki Kosmik”, tulisan
Lawrence M. Krauss dan Michael S. Turner]. Tapi jika kesusilaan orang awam
dilanggar oleh klaim-klaim kekeliruan Einstein, kebanyakan fisikawan teoritis
akan jauh lebih kaget jika dia benar.
Walaupun tak ada yang meragukan kehebatan
orang ini, fisikawan penasaran apa yang terjadi padanya selama revolusi quantum
1920-an dan 1930-an. Buku-buku teks dan biografi melukiskannya sebagai ayah
quantum yang kehabisan tenaga. Pada 1905 dia membantu menghadirkan konsep
dasarnya kepada dunia, tapi seiring mekanika quantum menjadi dewasa, yang dia
lakukan cuma mengibas-ngibaskan jarinya. Dia melakukan sedikit upaya untuk
membangun teori dan banyak upaya untuk meruntuhkannya. Mistikisme
reaksioner—terkandung dalam pernyataannya yang masyhur, “Saya tak percaya Tuhan
bertaruh dengan dunia”—rupanya memudarkan rasionalitas ilmiahnya.
Terasing dari arus-utama quantum, Einstein
menghabiskan dekade-dekade terakhir hidupnya dalam romansa pencarian teori
fisika terpadu. Para teoris string dan lainnya yang kemudian terlibat dalam
pencarian tersebut bersumpah takkan menempuh jalan yang sama. Asumsi mereka,
ketika teori relativitas umum (yang menggambarkan gravitasi) bertemu mekanika
quantum (yang mengurusi semuanya selain gravitasi), relativitaslah yang harus
mengalah. Mahakarya Einstein, meski tidak “salah”, pada akhirnya akan
terbongkar sebagai penaksiran semata.
Teori-teori yang Runtuh
Tapi pada tahun-tahun belakangan fisikawan
telah menggandakan upaya mereka untuk memahami teori quantum, dan semakin
banyak yang akhirnya mengagumi pendirian Einstein. “Orang ini melibat lebih
dalam dan lebih cepat ke isu-isu pokok mekanika quantum daripada yang
disangkakan banyak orang,” kata Christopher Fuchs dari Bell Labs. Sebagian
bahkan setuju dengan Einstein bahwa quantum pada akhirnya harus mengalah pada
teori yang lebih fundamental. “Kita tak boleh beranggapan mekanika quantum akan
berlalu tanpa perubahan,” kata Raphael Bousso dari Universitas California di
Berkeley.
Ini perkataan yang keras, sebab mekanika quantum
merupakan kerangka teoritis tersukses dalam sejarah sains. Ia menggantikan
semua teori klasik pendahulunya, kecuali relativitas umum, dan kebanyakan
fisikawan menduga kemenangan totalnya cuma soal waktu. Biar bagaimanapun,
relativitas dipenuhi lubang—lubang hitam. Ia memprediksi bintang-bintang dapat
kolaps ke titik infinitesimal tapi gagal menjelaskan apa yang terjadi kemudian.
Jelas, teori ini tidak lengkap. Cara alami untuk mengatasi batasan ini adalah
memasukkannya ke dalam teori gravitasi quantum, semisal teori string.
Tapi tetap saja, di ranah quantum pun ada yang
busuk. Einstein termasuk orang yang pertama kali menyadari mekanika quantum
juga tidak lengkap. Teori ini tidak menyodorkan alasan kenapa
peristiwa-peristiwa fisik terjadi, tak menyediakan cara untuk menjelaskan
atribut intrinsik objek, dan tak memiliki fondasi konseptual kokoh. Lebih jauh,
teori quantum mengembalikan kita ke konsepsi ruang dan waktu pra-Einstein.
Contoh, ia menyatakan sebuah ember 8-liter bisa menampung delapan kali ember
1-liter. Ini benar dalam kehidupan sehari-hari, tapi relativitas memperingatkan
bahwa ember 8-liter pada dasarnya hanya mampu menampung empat kali ember
1-liter—dengan kata lain, kapasitas ember-ember yang sesungguhnya naik
sebanding dengan luas permukaan mereka, bukan volume mereka. Pembatasan ini
dikenal sebagai batas holografis. Ketika isi ember-ember cukup padat,
pelampauan batas memicu kekolapsan menjadi black hole. Dengan demikian black hole
mengisyaratkan runtuhnya teori quantum (belum lagi ember), bukan hanya teori
relativitas.
Respon nyata terhadap teori tak lengkap adalah
berusaha melengkapinya. Sejak 1920-an, beberapa periset mengusulkan pembulatan
mekanika quantum dengan “variabel tersembunyi”. Idenya, mekanika quantum
sebetulnya berasal dari mekanika klasik dan bukan sebaliknya. Partikel-partikel
memiliki posisi dan kecepatan definitif dan mematuhi hukum Newton (atau
ekstensi relativistiknya). Mereka berperilaku secara quantum karena kita tidak,
atau tidak bisa, melihat tatanan dasar ini. “Dalam model ini, keacakan mekanika
quantum mirip dengan lemparan koin,” kata Carsten van de Bruck dari Universitas
Sheffield di Inggris. “Tampak acak, padahal tidak. Anda bisa menuliskan
persamaan deterministik.”
Gesekan Kreatif
Analoginya adalah gerak Brownian (Brownian
motion). Goncangan partikel debu tampak acak, tapi sebagaimana
Einstein pertontonkan, itu disebabkan oleh molekul tak terlihat yang menuruti
hukum klasik. Bahkan, analogi ini amat ketat. Persamaan-persamaan mekanika
quantum memiliki keserupaan luar biasa dengan persamaan teori kinetik molekul
dan, lebih umum, mekanika statistik. Dalam beberapa rumusan, konstanta Planck,
parameter dasar teori quantum, memainkan peran matematis sebagai temperatur.
Seakan-akan mekanika quantum melukiskan suatu jenis gas atau ansambel
“molekul”—sup entitas-entitas lebih primitif yang balau.
Ketika dihadapkan dengan ide spekulatif
semacam ini, jauh sebelum fisikawan cukup tahu untuk mengujinya secara empiris,
mereka dipandu oleh kriteria pragmatis: apa ide ini subur secara intelektual?
Teori string, contohnya, telah menelurkan prinsip-prinsip fisika baru dan
disiplin-disiplin matematika, sehingga sekalipun gagal secara eksperimen, ia
takkan menjadi sampah. Menerapkan kriteria ini, sebagian besar fisikawan sudah
lama menolak konsep variabel tersembunyi. Teori-teori yang memasukkan variabel
tersembunyi tidak memprediksi fenomena baru, tidak menjelaskan prinsip-prinsip
kuat, dan tidak mampu mereproduksi mekanika quantum tanpa lari pada
omong-kosong yang semestinya mereka hindari, contohnya “tindakan di kejauhan”.
Einstein sendiri mencoba-coba variabel tersembunyi sebelum menyimpulkannya
“murahan”. Dia berkesimpulan, teori quantum tak boleh dilengkapi dengan
mencangkok unsur-unsur klasiknya; ia harus muncul dari pemikiran ulang fisika
fundamental yang seksama.
Tapi selama lima tahun belakangan ini
variabel-variabel tersembunyi telah bangkit dari kematian, sebagian besar
berkat Gerard ‘t Hooft dari Universitas Utrecht di Belanda, matematikawan
quantum peraih Nobel yang dikenal karena bermain-main dengan hipotesis radikal.
Dia berargumen, perbedaan mencolok antara mekanika quantum dan mekanika klasik
adalah hilangnya informasi. Sistem klasik mengandung lebih banyak informasi
daripada sistem quantum, sebab variabel-variabel klasik bisa memuat harga
berapapun, sementara variabel quantum [bersifat] diskret. Jadi, agar sistem
klasik melahirkan sistem quantum, ia harus kehilangan informasi. Dan itu bisa
terjadi karena gesekan atau gaya-gaya lesap (dissipative force) lain.
Jika Anda melempar dua koin péni dari Empire
State Building dengan kecepatan berbeda, gesekan udara membuat mereka mendekati
kecepatan akhir yang sama. Seseorang yang berdiri di trotoar bawah hampir tidak
bisa menyebut kecepatan persis pelemparan koin-koin Anda; informasi tersebut
merupakan variabel tersembunyi. Dalam situasi ini dan banyak lainnya, banyak
kondisi pemulai membawa pada perilaku jangka panjang yang sama, dikenal sebagai
atraktor (attractor).
Atraktor bersifat diskret—seperti halnya status quantum. Hukum yang mereka
patuhi berasal dari, tapi berbeda dari, hukum Newton. Bahkan, tegas ‘t Hooft,
hukum turunan tersebut tak lain adalah mekanika quantum. Oleh karenanya, alam
boleh jadi [bersifat] klasik pada level paling detil tapi tampak mekanis
quantum gara-gara lesapan tadi. “Anda akan mendapatkan mekanika quantum sebagai
batas energi rendah suatu teori fundamental,” kata Massimo Blasone dari
Universitas Salerno di Italia.
Gesekan dan hilangnya informasi menyodorkan
penjelasan untuk mekanika quantum dalam pengertian klasik. Gara-gara gesekan
udara, bola-bola yang jatuh dari gedung pencakar langit mencapai kecepatan
akhir yang sama. Bagi pengamat di bawah, selisih kecepatan awal semua bola
hilang. Demikian halnya, jika alam semesta dipengaruhi oleh suatu tipe gesekan
tak dikenal, mekanika quantum mungkin mencerminkan fakta bahwa hasil
peristiwa-peristiwa kolaps ke harga diskret/tersendiri ketimbang mengisi
rentang kemungkinan.
Memperluas ide ini, Blasone dan koleganya
menunjukkan bahwa osilator harmonik linier quantum, pendulum sederhana versi
quantisasi, bisa muncul dari sepasang osilator klasik yang dilanda gesekan.
Masing-masing osilator terus mematuhi hukum klasik, tapi perilaku gabungan
mereka jadi mengikuti aturan quantum. Berndt Müller dari Universitas Duke dan
rekan-rekannya memperlihatkan sistem klasik yang beroperasi di lima dimensi
dapat berubah menjadi sistem quantum ketika diamati di empat dimensi saja.
Keanehan quantum mencerminkan kayanya jaringan interkoneksi yang diperkenankan
dimensi tambahan (variabel tersembunyi). Adapun sumber gesekan yang mengubah
sistem klasik menjadi sistem quantum, van de Bruck berpikir itu ada kaitannya
dengan gravitasi.
Jahitan Waktu
Satu pendekatan berbeda terhadap variabel
tersembunyi juga bersandar pada permainan dimensi—tapi dalam hal ini terjadi di
[dimensi] waktu. Berbagai fisikawan dan filsuf merenung, mekanika quantum
terasa ganjil karena kita berasumsi bahwa cuma masa lalu yang mempengaruhi masa
kini. Bagaimana jika masa depan juga? Dengan demikian sifat probabilistik teori
quantum hanya mencerminkan ketidaktahuan kita atas apa yang akan datang.
Gagasan ini diasah selama satu dekade terakhir oleh Mark Hadley dari
Universitas Warwick di Inggris. Dia menguraikan, dalam relativitas umum, masa
depan eksis sepasti masa lalu, jadi wajar keduanya mempengaruhi masa kini.
“Pengamatan yang akan dilakukan di masa depan merupakan salah satu variabel
tersembunyi,” ujar Hadley.
Beranjak lebih jauh, dia mengklaim logika
dasar mekanika quantum sudah sewajarnya mengalir dari teori Einstein. Dia juga
membangkitkan ide yang Einstein kerjakan pada 1930-an: partikel-partikel unsur
bukanlah objek yang bercokol di ruangwaktu melainkan bagian dari ruangwaktu,
bukanlah tiras yang melekat pada kain melainkan simpul kecil pada kain. Ide ini
tidak disukai karena, di antaranya, tidak mampu menjelaskan kesimetrian
rotasional istimewa partikel-partikel quantum, tapi Hadley mengklaim sudah
mengatasi masalah ini.
Jadi apa yang kita pahami dari pendekatan ‘t
Hooft dan Hadley? Mereka mempunyai dua keunggulan atas upaya-upaya masa lampau
berkenaan dengan variabel tersembunyi. Pertama, koneksi antara realitas quantum
teramati dan realitas klasik yang lebih dalam ternyata sulit divisualisasikan.
Fisikawan suka itu: teori fundamental memang mesti sulit. Konsepnya mesti cukup
elegan untuk ditulis pada kaos tapi cukup halus hingga tak ada yang mengklaim
memahami implikasinya secara penuh. Kedua, kedua pendekatan memprediksi
fenomena baru yang bisa dicari oleh para pelaku eksperimen. Contoh, van de
Bruck menyatakan mdean-medan gravitasi kuat dapat mengubah hukum mekanika
quantum.
Yang menggairahkan, ide-ide serupa muncul
dalam teori-teori mainstream. Dalam teori string, suatu sistem quantum
bisa ekuivalen secara matematis, atau “dual”, dengan sistem klasik. Sebagian
dualitas ini melibatkan sistem-sistem mekanis statistik yang serupa dengan yang
dipelajari Müller dan koleganya. Segelintir—jika dikatakan ada—teoris string
beranjak lebih jauh dengan menyebut sistem quantum memang betul-betul sistem
klasik, tapi Brian Greene dari Universitas Columbia menyatakan, penyelidikan
dualitas ini bisa menunjukkan apa yang membedakan keduanya—dan, karenanya,
prinsip apa saja yang mendasari teori quantum. Adapun ide bahwa quantum bisa
muncul dari relativitas, baru-baru ini Bousso memperoleh rumusan mekanika
quantum paling masyhur, prinsip ketidakpastian Heisenberh, dari batas
holografis.
Terlepas dari semua ini, kebanyakan fisikawan
masih menganggap variabel tersembunyi sangat kecil kemungkinannya. Mekanika
quantum adalah hutan-hujan teori, dipenuhi binatang aneh tak terlukiskan dan
air bendung tanpa ujung yang bisa dijelajahi. Upaya pereduksiannya menjadi
fisika klasik sama dengan berusaha menumbuhkan Amazon dari taman batu.
Alih-alih merekonstruksi teori tersebut dari nol, kenapa tidak membongkarnya
dan mencaritahu apa yang membuatnya berdetak? Itulah pendekatan Fuchs dan
lainnya dalam arus-utama studi fondasi mekanika quantum.
Simpul-simpul ruangwaktu, juga dikenal sebagai
wormhole,
menawarkan jalan lain untuk memperoleh mekanika quantum dari teori klasik.
Partikel-partikel bermuatan listrik, alih-alih sebagai objek materil di mana
garis medan elektromagnetik bermula [atas], boleh jadi hanyalah ilusi yang ditimbulkan wormhole
[bawah].
Mereka menemukan,
sebagian besar dari teori ini bersifat subjektif: ia tidak mendeskripsikan
atribut objektif sistem fisik melainkan status kebertahuan pengamat yang
menyelidikinya. Einstein menggapai kesimpulan yang sama ketika mengkritik
konsep keterjeratan quantum—koneksi “menyeramkan” antara dua partikel yang
terhempas jauh. Koneksi fisikal sebetulnya merupakan jalinan kebertahuan
pengamat tentang kedua partikel. Bagaimanapun, jika memang ada koneksi, para
teknisi semestinya mampu memanfaatkannya untuk mengirim sinyal-sinyal lebih
cepat dari cahaya, tapi nyatanya tidak. Demikian halnya, fisikawan sudah lama
berasumsi bahwa pengukuran sistem quantum membuatnya “kolaps” dari sederet
kemungkinan menjadi satu aktualitas. Fuchs berargumen, hanya ketidakpastian
kita tentang sistemlah yang kolaps.
Triknya adalah,
melucuti aspek-aspek subjektif teori guna menyingkap realitas objektif.
Ketidakpastian tentang sistem quantum sangat berbeda dari ketidakpastian
tentang sistem klasik, dan perbedaan ini menjadi petunjuk atas apa yang sedang
berlangsung. Pertimbangkan kucing terkenal Schrödinger. Secara klasik, kucing itu
hidup atau mati; ketidakpastian berarti Anda tidak tahu sampai Anda melihat.
Secara mekanis quantum, kucing itu tidak hidup tidak mati; begitu Anda melihat,
Anda memaksanya [berada] dalam salah satu kondisi, dengan peluang 50:50.
Einstein menganggapnya sembarang. Variabel tersembunyi akan mengeliminir
kesembarangan tersebut.
Benarkah? Alam semesta
klasik tidak kurang sembarang dari alam semesta quantum. Bedanya adalah di mana
masuknya kesembarangan. Dalam fisika klasik, ia berawal sejak permulaan waktu;
sekali alam semesta tercipta, ia berperan sebagai sebuah sekuens. Dalam
mekanika quantum, alam semesta menyusun segalanya sambil lalu, sebagian melalui
intervensi pengamat. Fuchs menyebut ide ini “interpretasi seksual mekanika
quantum”. Dia menulis: “Tak mungkin ada dunia sebab dunia masih diciptakan,
masih ditempa.” Hal yang sama berlaku pada pemahaman kita akan realitas
quantum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar