Kota-kota atau pun ibukota kerajaan-kerajaan
di Jawa pada abad ke-16, demikian dinyatakan T. Roesmantoro, diperkirakan
mencontoh tata-kota dari ibukota Kerajaan Majapahit. Bahkan beberapa bagian
gedung di Majapahit secara sengaja dipindah dan dipasangkan sebagai elemen
bangunan baru di Kerajaan Demak dan Kudus. Tiang-tiang bangunan dari kayu pada
bagian serambi Masjid Demak, misalnya, dan pintu Majapahit sebagai peninggalan
kuno di Kudus telah cukup memperkuat pendapat tersebut. Begitulah diceritakan,
seorang ahli bangunan di Majapahit yang menjadi tawanan perang di Kerajaan
Demak, yang bernama Ki Sepet atau Raden Sepat atau Raden Sapet dipercaya
sebagai perencana kota dan arsitek Kerajaan Demak. Kemudian, atas perintah
Sunan Gunung Djati, Sultan Demak mengirimkan Raden Sepat sang arsitek tersebut
ke Cirebon. Seperti telah diketahui oleh para penulis historiografi dan
sejarawan, sebelum bermukim di Cirebon, Sunan Gunung Djati adalah penyebar
Islam di Banten.
Ketika itu Sunan Gunung Djati memerintahkan
putranya, Hasanuddin atau Maulana Judah, membangun kota Kerajaan Banten. Dalam
melaksanakan pembangunan ibukota Kerajaan Banten tersebut, penentuan letak
bangunan-bangunan dan bagian-bagian penting dari kota kerajaan berdasarkan
petunjuk Sunan Gunung Djati, hingga tak diragukan lagi, tata-kota Kerajaan
Banten sangat dimungkinkan memiliki kesamaan dengan tata-kota Kerajaan Islam
Demak, meski karya desain dan bangunan Raden Sepat sang arsitek Majapahit itu
di Cirebon adalah kompleks pemakaman untuk wali. Selanjutnya, para pendatang
pertama asal Portugis dan Belanda menuturkan bahwa kebanyakan kota pelabuhan di
Jawa pada abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 diperkuat dengan kubu pertahanan
atau benteng, pagar bertiang (atau pagaruyung) atau tembok. Kota pelabuhan yang
dimaksud adalah Demak, Jepara, Cirebon, Banten, Pati, Tuban, Sidayu, Gresik,
Surabaya, Aros Baya, Wirasaba, dan Pasuruan.
Kota Banten, yang kemudian dikenal sebagai
kota terbesar yang pernah ada dalam sejarah Kerajaan-kerajaan di Nusantara itu,
memang sengaja dibangun di Tepi Teluk Banten, yang memang rupa-rupanya telah memilih
visi maritim. Sementara itu, penemuan perkakas batu, keramik Cina dari Dinasti
Tang dan Sung abad ke-9 dan 10 di kampung Odel di tepi Sungai Cibanten
menunjukan bahwa daerah aliran sungai Cibanten sudah lama dijadikan tempat
hunian jauh sebelum masa Kerajaan Islam berdiri dan didirikan di Banten, yang
belakangan setelah dilakukan kajian dan penelitian arkeologis selama
bertahun-tahun sejak tahun 1988 sampai tahun 1992, merupakan Ibukota Kerjaan
Banten Girang, yang sempat disinggahi, bahkan dijadikan tempat berdiam oleh
Sunan Gunung Djati dan Maulana Hasanuddin dalam waktu cukup lama, sebelum
mendirikan atau memindahkan Ibukota Kerajaan ke tempat yang kelak menjadi
Ibukota Kerajaan Islam Banten.
Pendapat yang sama juga ditulis Claude
Guillot, ketika dalam artikel panjangnya yang berjudul Banten 1678 itu,
mengatakan bahwa Ibukota Banten pada fase awal pendiriannya menerapkan konsep kerajaan
dan ruang yang mendasari tata-kota Jawa kuno. Bahkan dengan berani Claude
Guillot menulis bahwa cara berpikir agama Islam yang dianut para Sultan Banten,
rupa-rupanya tidak memberikan perubahan yang berarti dalam pembangunan ibukota
Kesultanan. Tak hanya itu, secara orientasi, Guillot juga berani melakukan
hipotesis bahwa pembangunan dan pendirian ibukota Kesultanan Banten juga
bercirikan sebuah kota yang menerapkan konsep Kota Mandala, di mana pusat Kota
dari Ibukota Kerajaan Islam Banten adalah sebuah lapangan yang dinamakan
Paseban, yang dalam versi teks Sajarah Banten disebut sebagai Darparagi, yang
kira-kira laiknya alun-alun di kota-kota masa kini.
Hal itu juga tercermin dari struktur ruang dan
tempat dalam Istana Sultan Banten atau di sekitar istana, baik secara eksterior
maupun interior. Misalnya, di sebelah selatan lapangan istana, setidak-tidaknya
sejak Sultan Abul Mafakhir, terdapat bangunan Sri Manganti yang diperuntukkan
bagi para tamu raja atau tamu sultan ketika mereka datang, masuk, dan menunggu
sebelum diterima oleh Sultan Banten. Kemudian, ketika memasuki kompleks istana
yang sesungguhnya, masih menurut paparan Guillot, terdapat sejumlah pelataran
dan bangunan yang dinamakan dengan nama Made, sebuah kampung yang diberi nama
Candi Raras, kantor bendahara pribadi Sultan, Mesjid Sultan yang memiliki
menara, Meriam Ki Jimat, kandang kuda, serta tempat penjagaan yang terdapat di
setiap tempat tersebut.
Seperti halnya alun-alun di kota-kota masa
kini, lapangan Sultan yang bernama Darparagi atau Paseban itu, berfungsi
sebagai tempat tampilnya Sultan di hadapan rakyatnya dalam situasi-situasi dan
moment-moment sosial-politik penting. Darparagi atau Paseban itu, terletak di
tengah-tengah jalur antara pasar, tempat rakyat saling bertemu, dan istana atau
kediaman Sultan. Darparagi atau Paseban, yang tak lain adalah alun-alun di
kota-kota masa kini, terletak di utara istana dan memanjang hingga ke sungai,
yang tak ayal lagi, telah membuatnya menjadi “pusat politik”. Di lapangan yang
bernama Darparagi atau Paseban inilah, setiap hari Sabtu, lanjut Claude
Guillot, rakyat Banten dapat menyaksikan Sultan dan para pembesar Kesultanan
Banten dengan gagah-berani dan riang berlomba dalam permainan kekuatan dan
ketangkasan dengan menggunakan senjata sembari mengendarai kuda masing-masing,
sebuah ajang adu ketangkasan dan kekuatan yang diberi-nama Sasapton, dan Sultan
Banten yang paling menggemari olahraga ketangkasan dan kekuatan ini adalah
Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan kata lain, konsep dan orientasi
pendirian dan pembangunan Ibukota Kesultanan Banten adalah penjelmaan wawasan
dan kosmologi “Negara Konsentris Jawa”, meski secara ekonomi bervisi sebagai
“Negeri Niaga Maritim” yang memadukan potensi dan kekayaan agraris, yang
semakin menguatkan hipotesis bahwa Banten sepanjang sejarahnya sejak jaman
Kerajaan Hindu Banten Girang hingga Kerajaan Islam Banten, merupakan negeri yang
memadukan wawasan dan kosmologi “Dunia Jawa” dan “Dunia Melayu”.
Pilihan ekonomi yang diambil Kerajaan Islam
Banten untuk menjadi “Negeri Niaga Maritim”, meski secara politik bersifat
Jawa, seperti dipaparkan Guillot serta sejarawan yang lain, dan meski sedikit
menggeser orientasi Ibukota Kesultanan yang menerapkan ciri “Negara Konsentris
Jawa” tersebut, tidak sepenuhnya mampu menggusur “Kekuasaan politis berciri
Jawa” yang menyebabkan para Sultan berlaku tak ubahnya penerima hasil yang
pasif dari niaga maritim tersebut ketimbang sebagai pelaku yang aktif, ketika
perkampungan dan kompleks-kompleks para pendatang dan orang asing dibangun dan
ditempatkan di luar istana atau di luar keraton. Sebutlah, misalnya,
perkampungan atau kompleks orang-orang Tionghoa, yang meski beberapa di antara
mereka merupakan para syahbandar dan orang-orang kepercayaan terdekat Sultan,
ditempatkan di luar benteng keraton. Hal yang sama juga diberlakukan bagi
kompleks orang-orang dari Eropa, dari Benggala, Tamil, India, Persia dan dari
Nusantara, seperti dari Bali, Bugis, Cirebon, dari Palembang, dan yang lainnya.
Selain kampung-kampung dari ragam negara asing
dan ragam etnis dari Nusantara tersebut, di sekitar, atau tak jauh dari
Keraton, juga terdapat kampung-kampung yang diawasi dan dipimpin oleh para
bangsawan yang dipilih langsung oleh para Sultan Banten. Hanya saja, kelemahan
konstruksi dan bangunan tradisional rumah-rumah yang dibangun dari pohon-pohon
dan kayu-kayu di kampung-kampung tersebut adalah sifatnya yang mudah terpantik
api, telah membuatnya rentan pada insiden kebakaran, yang karena belajar dari
hal itu, Sultan Ageng Tirtayasa mulai serius memikirkan untuk memerintahkan
rakyat Banten agar mulai membangun rumah dengan menggunakan bahan-bahan dari
batubata dan bahan-bahan lain yang tidak mudah terbakar. Sementara itu,
kediaman-kediaman yang lain, semisal Kampung Kefakihan atau Kasunyatan, lebih
merupakan hunian khusus, yang meski serupa, tapi tidak sama dengan
perkampungan-perkampungan umumnya di lingkungan Kesultanan Banten.
Dengan penempatan dan struktur yang demikian
itulah, Istana Sultan atau Keraton Kesultanan Banten, tak diragukan lagi telah
menjadi sebuah pusat yang berada di tengah-tengah hunian dan perkampungan, yang
bila dikiaskan dengan perumpamaan manusia dan masyarakat, mirip seorang Raja
yang dikelilingi rakyatnya. Hingga, tak diragukan lagi, fakta dan keadaan yang
demikian itulah, di mata para sejarawan dan arkeolog Barat, Keraton Kesultanan
Banten menerapakan pembangunan dan pendirian Ibukota dan kota yang berciri dan
bersifat “konsentris” laiknya ibukota-ibukota atau kota-kota Kerajaan di Jawa,
sejak masa Hindu sampai di Era Islam Nusantara. Anehnya, dan ini yang sempat
mencengangkan para penulis Barat, pelan-pelan Sultan Ageng Tirtayasa sering
melakukan rapat rahasia dengan sedikit pembesarnya di “istana” Kerajaan Banten
Girang, selain di istana barunya di Tirtayasa, terutama dalam situasi-situasi
konflik dan perang.
Hanya saja, demikian yang dipaparkan para
arkeolog dan sejarawan Barat itu, kebiasaan baru Sultan Ageng Tirtayasa
tersebut juga justru telah menjadi ciri dan penanda ketidakstabilan
Ibukota-ibukota Kerajaan di Jawa, semisal di Mataram dan Yogyakarta yang
beberapa kali mengalami perpindahan, yang pada kasus Sultan Ageng Tirtayasa
ketidakstabilan itu datang dan terjadi dari keluarganya sendiri, sang putra
mahkota yang lebih dikenal dengan Sultan Haji, yang dengan terang-terangan
berusaha mengkudeta dirinya, dan yang kemudian memang berhasil karena bersekutu
dan berkongsi dengan kekuatan yang bukan dari luar dan juga bukan dari dalam.
Ibukota Kesultanan Banten, sebagaimana ibukota-ibukota berbenteng lainnya di
Nusantara, yang di satu sisi menghendaki dirinya menjadi sebuah kerajaan
maritim dan di saat yang sama tak mau melepaskan ciri konsentris Jawa-nya,
seperti dipaparkan para arkeolog dan sejarawan, telah menandakan sebuah watak
dan wawasan kerajaan-kerajaan di Jawa yang hendak “membuka diri” bagi yang
asing, tapi pada saat yang sama berusaha “melindungi” dan membentengi dari
orang-orang yang bukan pemegang tahta politik.
Selain Ibukota Kerajaan Islam Banten, fenomena
Kota atau Ibukota berbenteng di Nusantara itu sendiri, seperti yang dikemukakan
Daniel Perret dalam artikelnya yang berjudul Kota Raja dalam Kesusasteraan
Melayu Lama, dengan merujuk hasil kerja arkeologis di Situs Banten Girang, baru
ada di antara abad ke-9 dan ke-10, di mana Kota atau Ibukota Pertama Berbenteng
di Nusantara adalah Banten Girang. Rupa-rupanya, visi Kota atau Ibukota
berbenteng Kerajaan Islam Banten memang masih memiliki kesinambungan dengan
Ibukota-ibukota Kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara, dan utamanya di Jawa. Di
mana dengan fakta dan fenomena tersebut, lanjut Daniel Perret, telah
menunjukkan bahwa setelah kedatangan Islam, wawasan dan kebudayaan pra-Islam tetap
memainkan peranan penting dalam pendirian dan pembangunan kotaraja atau ibukota
Kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa khususnya, dan di Nusantara umumnya.
Secara umum, masih menurut Daniel Perret,
fenomena parit yang mengelilingi istana atau keraton, rupa-rupanya memang
dibangun atas kebutuhan dalam situasi perang dan usaha untuk melindungi diri
dari serangan musuh dan kekuatan yang sewaktu-waktu menyerang. Dan hal yang
sama inilah, sebagaimana dikatakan Claude Guillot tentang Kerajaan Islam
Banten, turut mendasari pembangunan benteng yang melindungi dan membentengi
istana atau keraton Sultan Banten, yang terbukti berguna sebagai kekuatan
tersendiri dalam situasi konflik bersenjata atau perang. Hanya saja, celakanya,
dalam kasus Banten, penyerang dan perang itu sendiri datang dari dalam keraton
dan istana Kerajaan Islam Banten itu sendiri, seperti dalam kasus perang antara
Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Tua) dan anaknya sendiri, Sultan Haji (Sultan
Anom) di masa-masa akhir kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam artikel panjangnya yang berjudul Banten
1678 itu, fenomena benteng Kerajaan Islam Banten bahkan dibahas secara khusus
oleh Claude Guillot, di mana Sultan Banten yang paling sungguh-sungguh
menerapkan perlengkapan senjata modern dari Eropa untuk melindungi “pusat
politik” keraton itu tak lain Sultan Ageng Tirtayasa yang telah cukup sering
memesan dan membeli senjata dari Ingris, Denmark, dan Perancis. Sultan Ageng
Tirtayasa pula, meski pembangunan benteng telah dimulai dengan gigih sejak
Sultan Maulana Yusuf, yang memperkokohnya dengan menambahkan konstruksi bahan
bangunan dari karang dengan mempekerjakan orang-orang hukuman untuk mencari dan
mengangkut karang dari laut.
Dapat dikatakan, demikian lanjut Claude
Guillot, benteng Kerajaan Islam Banten merupakan benteng yang paling canggih
dan yang paling kokoh sepanjang sejarah pendirian dan pembangunan Ibukota
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, terutama di era Sultan Maulana Yusuf dan
Sultan Ageng Tirtayasa. Sampai-sampai orang Belanda yang datang ke Banten, yang
meski mungkin saja lebih bersifat alegoris, menyamakan Kota Banten layaknya
kota Amsterdam yang megah dan terususun secara apik. Namun bangunan benteng
ternyata bukan hanya dibangun dan ditemukan di lingkungan atau di sekeliling
istanan Sultan Banten yang merupakan “pusat politik”, tapi juga di linkungan
atau kawasan kompleks Pecinan dan kawasan pinggiran kota bagian timur.
Dan belakangan, para sejarawan semakin yakin,
bahwa perancang kota berbenteng dengan lebih kokoh itu tak lain adalah orang
Tionghoa yang paling dipercaya Sultan: Kaytsu alias Kyai Ngabehi Cakradana,
yang mengingatkan dan membuat kita berhipotesis bahwa mungkin saja arsitek
pembangunan benteng di ibukota Kerajaan Hindu Banten Girang, adalah juga
orang-orang Cina. Dengan temuan-temuan arkeologis itulah, para sejarawan dan
arkeolog mutakhir, berani menyimpulkan, bahwa sepanjang sejarahnya, sejak era
Kerajaan Hindu Banten Girang hingga Kerajaan Islam Banten, para pendatang atau
orang asing terlibat secara aktif atau pun sebagai perencana dan arsitek dalam
usaha pendirian dan pembangunan Ibukota-ibukota Kerajaan di Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar