Di tahun 70-an, muncul
tulisan “Berkeley Mafia and Indonesian Massacre”, –di mana yang dimaksud
pembunuhan massal ini adalah pembantaian ratusan ribuan (bahkan konon jutaan) anggota
PKI (Partai Komunis Indonesia) dan mereka (penduduk sipil) yang dicurigai merupakan
simpatisan PKI.
Dalam tulisan tersebut
juga ada beberapa hal yang diungkapkan oleh David Ransom, yang antara lain “Kronologi
penggulingan Soekarno”, yang tidak lain adalah campur tangan Amerika melalui
jaringan-jaringan terselubungnya (covert action CIA).
Ini berawal saat munculnya pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950, pengakuan tersebut ternyata mensyaratkan
Indonesia untuk menanggung beban utang luar negeri yang dibuat oleh
pemerintahan Hindia Belanda. Alhasil, sejak tahun 1950 bangsa Indonesia
mewarisi utang Hindia Belanda sebesar US$ 4 Milliar.
Dan dengan adanya hutang tersebut, pemerintahan Soekarno tidak bisa
lepas dari tekanan pihak pemberi hutang (baca Amerika). Tekanan
tersebut antara lain adalah adanya intervensi saat periode 1950-1956. Yakni
saat adanya tekanan dari Amerika Serikat bahwa Indonesia harus mengakui
keberadaan pemerintahan Bao Dai di Vietnam.
Klimaksnya adalah saat terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan
Malaysia tahun 1964. Di mana ketika itu Malaysia didukung oleh Inggris.
Pemerintahan Soekarno yang saat itu geram, lantas menasionalisasi seluruh
perusahaan Inggris di Indonesia. Hal tersebut adalah kali kedua pemerintahan
Soekarno melakukan nasionalisasi setelah menasionalisasikan perusahaan milik
Belanda tahun 1956.
Adapun rupanya, Amerika Serikat turut campur dengan masalah tersebut.
Pemerintahan Amerika menuntut bahwa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia harus
segera diakhiri. Hal tersebut yang lantas menyulut kemarahan Soekarno hingga
mengatakan “go to hell with your aid”. Penolakan keras tersebutlah yang
membuatnya harus menyerahkan tangkup kepemimpinan Negara pada Soeharto, tepat
pada tanggal 11 Maret 1966.
Kebijakan politik
Amerika Serikat dengan dalih antikomunisnya telah menjerat bangsa-bangsa dan
negeri-negeri lain untuk masuk ke dalam strategi globalnya (liberalisasi dan
kapitalisasi yang menguntungkan Amerika). Langkah-langkah yang dilakukan oleh
badan intelijen Amerika Serikat (CIA) telah menyusupi hampir semua badan,
lembaga, kekuatan sosial-politik, dan oknum-oknum penting untuk kemudian
diperalat oleh Amerika.
Yayasan-Yayasan yang
menyediakan dana-dana bantuan pendidikan semacam Ford Fondation dan Rockefeller
Foundation, yang disamping sering memberi bantuan-bantuan perlengkapan,
tenaga-tenaga ahli, juga membiayai pengiriman mahasiswa-mahasiswa di luar
negeri adalah merupakan alat, pangkalan (sarang) dan kedok CIA untuk
melancarkan operasi-operasinya ke berbagai penjuru dunia.
Perguruan-perguruan
tinggi semacam Berkeley, Cornell, MIT (Massachusetts
Institute of Technology), Havard dan lain-lain telah dijadikan sarang
dan dapur CIA untuk mencekokkan ilmu-ilmu liberal (ideologi Amerika) dan
meng-amerika-kan para mahasiswa yang datang dari berbagai negeri, serta
menggemblengnya menjadi agen dan kaki tangan Amerika (CIA) yang setia. Kita tahu,
dalam liberalisme, yang telah lebih dulu memiliki modal kuat lah yang menguasai
arena pasar politik dan ekonomi global melalu korporasi dan MNC-MNC mereka yang
mengeruk kekayaan negara lain, contohnya Indonesia.
Bahwa banyak
badan-badan pendidikan dan perikemanusiaan sekedar dijadika kedok semata-mata
untuk kepentingan Amerika. Tulisan itu juga menjelaskan mengapa Soekarno mesti
digulingkan dan nasionalisme yang dibawanya mesti dihancurkan. Juga, bagaimana
kaum Sosialis Kanan/PSI telah berpuluh tahun mengadakan persekongkolan dengan
CIA untuk merebut kekuasaan di Indonesia ini dari tangan Soekarno. Bagaimana
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta telah dijadikan dapur dan
sarang komplotan PSI-CIA dan untuk dari situ melancarkan gerilya politik dan
subversinya kemana-mana.
Bagaimana
bantuan-bantuan ahli dari Amerika seperti Guy Parker, George Kahin, John
Howard, Harris, Glassburner, dan kaum Sosialis Kanan/PSI seperti Soemitro
Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, M. Sadli, Emil Salim, Subroto, Barli
Halim, dan Soedjatmoko yang populer sebagai kaum teknokrat-ekonom dan berhasil
menduduki posisi-posisi penting dalam lembaga-lembaga pemerintahan puncak,
telah lama “mengadakan permainan bersama yang lihai bersama dengan kepentingan
Amerika.
Singkatnya, tulisan
itu memberi informasi tentang bagaimana CIA ikut meng-create (menciptakan)
Rezim Orde Baru Soeharto demi menggusur Soekarno yang menurut Amerika berbahaya
bagi kepentingan (imperialis) Amerika. Dan berikut cuplikan dari tulisan
tersebut:
“Selain mengenal dan menjalin hubungan dengan
para perwira tinggi militer Indonesia, Guy Pauker juga berhasil mengenal
tokoh-tokoh sipil yang memegang peranan penting –segolongan sangat kecil tokoh,
sebenarnya. Tidaklah mengejutkan jika golongan sangat kecil yang dimaksudkannya
tak lain para intelektual PSI, wabilkhusus Soemitro Djojohadikusumo dan para
mahasiswanya.
Soemitro Djojohadikusumo ini sebenarnya sudah
pernah mengikuti kuliah singkat yang diadakan oleh MIT Team di Cambridge, dan
beberapa murid Soemitro Djojohadikusumo juga dikenal oleh MIT Team dan juga
pernah mengikuti seminar tahunan yang dibiayai CIA –yaitu seminar musim panas
di Harvard oleh Henry Kissinger, yang tak lain seorang penasehat dan ahli
strategi politik luar negeri Amerika Presiden Richard Nixon. Salah-seorang dari
mahasiswa itu adalah Dr. M. Sadli, anak seorang santri pedagang yang menjadi
sahabat Guy Pauker.
Di Jakarta, Guy Pauker menggalang persahabatan
dengan keluarga besar PSI dan membentuk kelompok studi politik yang diantara
anggota-anggotanya terdapat kepala biro perencanaan nasional (BAPENAS) Ali
Budiardjo dan istrinya, Miriam Budiardjo, yang adalah juga adiknya Soedjatmoko.
Guy Pauker sendiri adalah seorang kelahiran Rumania
yang telah membentuk kelompok “sekutu-sekutu Amerika” di Bukarest tak lama
setelah perang dunia kedua. Lalu ia pergi ke Universitas Harvard untuk
mendapatkan gelar. Sebenarnya banyak orang Indonesia telah menduga bahwa Guy
Pauker memang bekerja untuk CIA, meski berusaha membantahnya sampai tahun 1958,
setelah dia bergabung dengan RAND Corporation. Di sinilah dia saling bertukar
informasi dengan CIA, Pentagon dan kementerian luar negeri Amerika. Sumber
penting di Washington menyatakan bahwa dia langsung terlibat dalam
keputusan-keputusan penting, sehingga kerahasiaannya sebagai orang CIA tak
teringkari lagi.
Di tahun 1954, Ford Foundation mendanai Proyek
Indonesia Modern dari Cornell dengan dana sebesar 224.000 US Dollar. Dengan
dana tersebut dan dana-dana berikutnya, Goerge Kahin yang adalah ketua program
proyek tersebut dapat membangun bagian ilmu pengetahuan sosial dari Indonesian
Studies yang telah didirikan di Amerika. Bahkan universitas-universitas di
Indonesia harus menggunakan studi-studi berorientasi elit alias elite oriented
studies dari Cornell untuk kuliah politik dan sejarah paska kemerdekaan.
Di antara banyak orang-orang Indonesia yang
dibawa ke Cornell dengan biaya dari Ford Foundation dan Rockefeller Foundation
ini, yang barangkali sangat berpengaruh, adalah ahli sosiologi politik Selo
Sumardjan, tangan kanan Sultan Hamengku Buwono IX, yang adalah juga salah-satu
orang kuat dalam rezim Indonesia baru kala itu. Kelompok Ekonomi George Kahin
bekerjasama dengan Fakultas Ekonominya Soemitro Djojohadikusumo.
“Sebagian besar orang-orang yang masuk
universitas pada dasarnya berasal dari keluarga borjuis (aristokrat) atau
birokrat”, demikian dinyatakan Kahin. “Mereka sedikit sekali pengetahuan
tentang keadaan masyarakat mereka”, lanjut Kahin. Dengan pendekatan yang
menyentuh, George Kahin akhirnya berhasil menggerakkan mereka untuk memahami
masyarakat mereka dengan tinggal di desa selama tiga bulan. Orang-orang
Indonesia yang telah disiapkan sebagai para think-tank itu banyak yang tinggal
di Amerika selama empat tahun.
Bersama-sama dengan Widjojo Nitisastro, salah
seorang anak didik Soemitro Djojohadikusumo, George Kahin mendirikan institute
untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran tentang masalah pedesaan (villages
studies). Hasilnya memang tidak terlalu banyak, namun melalui institut tersebut
para penasehat Amerika dapat membantu Ford Foundation menciptakan penetrasi dan
hubungan ke calon-calon tekhnokrat jika kelak Soekarno tidak berkuasa.
George Kahin dengan jujur menyatakan bahwa
kerjasama antara Ford Foundation dan Cornell merupakan kerjasama yang sangat
baik, dan lebih banyak manfaatnya sebagai samaran politik daripada dana yang
dikucurkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar