Oleh Jacques Leclerc
Pada tanggal 23 Mei 1920, Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang didirikan di Semarang sepuluh
tahun sebelumnya, berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di India (PKI).
PKI merupakan organisasi pertama di Asia di luar kekaisaran Rusia, menggunakan
kualifikasi “Komunis.” Partai Komunis Cina sendiri baru didirikan setahun
kemudian, yakni pada bulan Juli 1921. Orang yang ditugaskan oleh Internationali
Comuniste untuk membantu Partai baru tersebut adalah Henk Sneevliet, seorang
organisator ISDV Belanda, yang pada tahun 1918 diburu-buru oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda karena kegiatan-kegiatan revolusionernya.
Kata “perserikatan” dalam bahasa Melayu
merupakan terjemahan dari kata Belanda “Partij.” Sedang nama PKI itu sendiri,
menurut dokumen awal dari organisasi tersebut, merupakan kependekan dari bahasa
Melayu “Perserikatan Komunis di India,” yang bila di Belandakan menjadi “Partij
der Kommunisten in Indie.” Pada tahun 1927, kata “perserikatan” digunakan oleh
PNI, sebelum menetapkan namanya menjadi Partai Nasional Indonesia.
Dalam konggres bulan Juni 1924 di Weltevreden
(sekarang Jakarta Pusat), Perserikatan Komunis di India diubah namanya menjadi
Partai Komunis Indonesia, ini merupakan pertama kalinya di Hindia Belanda,
sebuah organisasi memakai kata “Indonesia”. Sebetulnya sejak tahun l922 sudah
terdapat sebuah organisasi politik yang bernama Indonesiche Vereeniging, yang
kemudian diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia. Tapi organisasi tersebut
berada di Nederland, bukan di negeri jajahan.
PKI juga merupakan organisasi politik
Indonesia pertama yang menggunakan konsepsi “Partai” dalam nama resminya, dalam
bahasa Melayu. Pergantian kata “perserikatan” menjadi “Partai,” merupakan
bagian dari konflik terbuka sejak tahun 1922 di dalam tubuh Sarekat Islam,
antara militan pro komunis dan yang menentangnya.
Sarekat Islam, sejak awal tahun 1910 dan di
sepanjang awal tahun 1920, merupakan suatu gerakan sosial politik yang
berpengaruh, suatu gerakan yang pertama kali mengambil corak sosial-politik di
Indonesia, di mana organisasinya tidak lagi membatasi dalam lingkaran tertentu,
baik secara sosiologis maupun geografis, dan berkembang tidak hanya di Pulau
Jawa, melainkan juga di Sumatera dan kawasan lain.
Anggota-anggota ISDV (kemudian PKI) seringkali
merangkap anggota Sarekat Islam. Pada awalnya keanggotaan rangkap tersebut
tidak menimbulkan masalah dan tidak bertentangan dalam hal agama; lagipula
Sarekat Islam tidaklah menjadi lebih atau kurang sekuler pada saat telah
menjadi gerakan massa, tapi pembengkakan pengaruh ide-ide komunis di tengah
gerakan dan munculnya persaingan guna merebut kepemimpinan, telah mendorong
para pimpinan yang ada, yang khawatir akan kedudukannya, mencoba menunjukan
adanya ketidak-sesuaian antara Islam dengan Komunisme, sambil menekankan ciri
keislaman dari Sarekat Islam, dan menganggap hal yang mustahil anggota suatu
organisasi Islam merangkap menjadi anggota organisasi Komunis.
Untuk menegaskan perbedaan tersebut, para
pemimpin Sarekat Islam kemudian mengusulkan agar gerakan SI dianggap sebagai
sebuah Partai—dalam pengertian Belanda “Partij”—dan melarang anggotanya menjadi
anggota partai yang lain pada saat yang bersamaan. Dari sini nampak bahwa kata
“partij” mengandung arti khusus yang tidak dipunyai oleh kata “sarekat”, yang
tidak cukup jelas dalam mencerminkan pengertian “perserikatan”: Organisasi
dengan kata Partai memiliki kelainan, yakni kekhususan bahwa seseorang tidak
dapat menjadi anggota banyak partai pada saat yang sama, padahal ia boleh
menjadi anggota banyak “sarekat” atau anggota suatu “sarekat” dan suatu
“Partai.”
Jadi ketika PKI memilih kata “Partai,” ini
merupakan pernyataan adanya sifat eksklusif dari kelompok tersebut, dimana
berlaku berbagai peraturan ketat organisasi serta disiplin tertentu. Sedangkan
SI sendiri, baru pada tahun l927 menyepakati nama Partai Sarekat Islam; namun
pada saat itu, organisasi tersebut sudah tidak lagi menampilkan gambaran
sebagai sebuah organisasi yang kuat seperti sepuluh tahun sebelumnya.
Setelah terjadi perdebatan tentang konsepsi
“partai” dalam SI, di kalangan PKI kemudian timbul pemikiran tentang peranan
Partai itu sendiri dan bentuk macam apa yang harus diambil supaya peranan
tersebut dijalankan dengan baik. Jadi bukan hanya terbatas berbicara dengan
rakyat, mengucapkan pidato persiapan konggres Juni 1924, atau bukan lagi hanya
meyakinkan mereka, tapi juga menyatukan keyakinan tersebut dalam perbuatan
serta mempersatukan segenap kekuatan perubahan dalam suatu organisasi yang
mendasarkan kekuatannya pada disiplin, yang berbicara hanya dalam satu bahasa
dan bertindak seperti seorang manusia.
Tidak lagi hanya menyemaikan ide-ide tapi
harus dijaga agar ide-ide tersebut bisa menjadi buah, lalu berkembang menjadi
tekad, untuk itu diperlukan sebuah organisasi yang mampu melaksanakan tekad
tersebut, menjadi suatu perubahan politik, yang membangkitkan dan dapat menjadi
pemimpin dari gerakan yang dilahirkan oleh tekad tersebut. Kebutuhan adanya
suatu organisasi yang lebih kokoh, lebih kuat dan lebih disiplin untuk menjamin
keberhasilan peranannya sebagai organisasi pelopor, menyebabkan ditanggalkannya
kata “perserikatan” yang melekat pada awal kelahiran PKI, pada masa kegagapan
dan belajar, menjadi sebuah “Partai”. Partai besar yang bersatu juga diperlukan
agar Partai bisa bertahan dari tekanan pemerintah Hindia Belanda yang semakin
lama, semakin sewenang-wenang. Ruth McVey menulis bahwa seorang pemimpin partai
dijamin akan dipenjarakan selama beberapa bulan dalam setiap tahunnya.
Suatu peristiwa genting pernah terjadi pada
tahun 1923, setelah kegagalan aksi pemogokan yang cukup besar di jawatan kereta
api dan diusirnya Semaun–Sekjen PKI sejak 1920 dan sekjen Sindikat Buruh Kereta
Api–keluar negeri. Di Solo dan Semarang terjadi serangkaian sabotase dengan
“bom”. Orang-orang Komunis segera dituduh sebagai penanggung jawab. Tempat
pertemuan mereka digeledah dan sejumlah pimpinannya ditangkap. Tapi tidak
ditemukan bukti-bukti bahwa partai terlibat dalam peristiwa pem-bom-an
tersebut. Namun dua dari pimpinan yang dipenjarakan itu diusir dan sejumlah
lainnya dipenjarakan selama empat bulan.
Dengan demikian,disamping terdapat hal-hal
yang dilakukan guna memajukan nasib kaum buruh, juga terjadi aksi-aksi yang
membuat partai mundur, ada tindakan yang memperjuangkan kepentingan rakyat dan
ada pula tindakan yang hanya melayani kepentingan polisi. Oleh karena itu harus
dapat dibedakan antara aksi-aksi yang berguna dengan tindakan yang memperkeruh
suasana. Bagi pimpinan partai, perkembangan tersebut berarti harus dibenahinya
pendidikan politik anggota, mereka harus mampu membedakan antara aksi yang
benar dengan aksi yang keliru, terutama kemampuan mereka untuk menghindari
jebakan polisi, yakni yang berupa “provokasi.” Massa juga harus diperingatkan
tentang hal ini. Polisi sangat berkepentingan untuk meyakinkan bahwa “revolusi”
itu sama dengan “peledakan bom,” karena hal tersebut akan membuat golongan
revolusioner terkucil dari massa ‘rakyat’, polisi juga sangat berkepentingan
untuk membuat “provokasi” sabotase dengan “bom,” untuk kemudian menuduh PKI
sebagai dalangnya, agar ada alasan yang baik untuk menindasnya.
Partai, militansi dan kawan-kawan separtai
harus senantiasa waspada, dan tidak ada kewaspadaan tanpa disiplin; sekali
lagi, masalah disiplin ini menjadi tuntutan utama. Dengan demikian tanggung
jawab partai makin besar dan peranan partai dalam perjuangan anti kolonial
semakin meningkat. Akibatnya tekanan dari musuhpun semakin keras.
Di depan konggres partai, Juni 1924, Darsono,
yang pernah menjadi tangan kanan Semaun, menyatakan bahwa, “Partai tanpa
disiplin adalah ibarat tembok tanpa semen, mesin tanpa baut” dan ia juga
memperingatkan tentang bahaya konsepsi “avonturistis” dalam sebuah perubahan
politik atau “revolusi.” Juga harus dipahami adanya hukum perkembangan sejarah,
untuk membantu kemajuannya (partai). Tapi sejarah itu tak bisa dimajukan lebih
cepat dengan memperkosanya. Suatu dokumen berjudul “Manifes Komunis Indonesia”
yang bertanggal di bulan pertama pendirian PKI telah menyatakan:
“Kaum komunis dan partainya tidak bisa bikin
pemberontakan. Komunisme tergantung dari keadaan pergaulan hidup dan ia hanya
bisa bekerja menurut keadaannya. Kewajiban kaum komunis dan partainya yaitu
memimpin pergerakan kaum buruh supaya dalam pertentangannya tidak demikian
banyak ada jiwa manusia yang dikorbankan percuma. Kewajiban kaum komunis yaitu
membawa pergerakan kaum buruh di jalan-jalan yang baik dan mudah. Fihak sana
mendakwa kita hendak membikin revolusi. Kita menjawab bahwa kita tidak membikin
revolusi, tetapi kita yakin-yakin benar, bahwa revolusi dunia itu akan pecah
sendiri (…). Kaum komunis dan partainya hanya bisa memudahkan lahirnya dunia
baru, lain tidak. Partai komunnis yaitu dukun beranak bagi dunia baru yang akan
lahir itu.”
Dengan dipindahkannya kedudukan partai dari
basis awalnya di Semarang ke Jakarta, kongres telah melemgkapkan pengertian
PKI, dalam nama dan peranannya sebagai suatu organisme yang matang, mampu
menantang kekuasaan, bahkan di pusatnya sendiri, di mana kekuasaan itu bercokol
dan menindas, mengawasi dan menghukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar