Suatu ketika, Alain Badiou
duduk diantara peserta di dalam sebuah ruangan dimana saya sedang memberikan
ceramah, ketika ponsel-nya (yang membuat saya semakin malu, ponsel itu adalah
punya saya yang saya pinjamkan ke dia) tiba-tiba berbunyi dengan nyaring. Bukannya mematikan
ponsel itu, dia dengan sopan meminta saya untuk bicara lebih pelan, supaya dia
bisa mendengar suara penelepon itu dengan lebih jelas...Kalau ini bukan bentuk
pertemanan sejati, berarti saya tidak tahu apa itu pertemanan. Maka, buku ini
saya dedikasikan untuk Alain Badiou.
Roma locuta, causa finite –
kata akhir dari pihak yang berwenang yang seharusnya mengakhiri perselisihan,
dalam bentuk apapun, dari mulai “Dewan Gereja
telah memutuskan’ sampai ‘Komite Pusat telah menyetujui sebuah resolusi’ atau
bahkan, kenapa enggak, ‘rakyat sudah memutuskan pilihan di bilik suara’…Namun,
bukankah pelajaran dari psikoanalisa
adalah justru kebalikannya: biarkan Cita-cita [Causes] bicara sendiri (atau,
seperti dikatakan Lacan, “Saya, kebenaran, yang bicara”), dan Imperium (Romawi,
atau kapitalisme global hari ini) akan berantakan? Ablata causa tolluntur effectua:
Ketika tidak ada cita-cita, dampak-nya akan erkembang (Les effets ru se portent
bien qu'en absence de la cause). Bagaimana kalau kita balik pepatah ini? Ketika
cita-citanya ikut campur, maka akibatnya akan dipatahkan…[1]
Namun, Cita-cita yang mana
yang harus bicara? Hari ini, situasi tampaknya tidak terlalu bagus bagi
Cita-cita besar, ketika di masa ‘pascamodern’, meskipun lanskap ideologis sudah
terfragmentasi menjadi banyak posisi yang saling bertarung memperebutkan
hegemoni, tapi ada konsensus yang melandasinya: masa untuk narasi besar sudah
berakhir, kita hanya perlu ‘pemikiran sederhana’ berlawanan dengan semua jenis
fondasionalisme, pemikiran yang peduli dengan tekstur rhizomatis realitas; juga
di bidang politik, kita tidak lagi perlu menyusun sistem yang bisa menjelaskan
semuanya dan melakukan proyek emansipatoris global; pemaksaan oleh solusi besar
selama ini harus digantikan oleh intervensi yang spesifik. Kalau sampai sejauh ini
pembaca hanya merasa sedikit prihatin dengan kerangka diatas, sebaiknya
berhenti membaca dan buang saja buku ini.
Bahkan mereka yang cenderung
untuk menolak teori pasca-modern ‘Prancis’ yang terkenal dengan ‘jargonnya’
sebagai bentuk ‘omong-kosong’ cenderung untuk juga ikut merasa emoh dengan ‘pemikiran dan paparan besar’.
Memang ada banyak omong-kosong hari ini. Tidak heran jika bahkan mereka yang
mempopulerkan istilah ‘omong kosong,’ seperti Harry Frankfurt, tidak terbebas
dari hal ini. Di dalam kerumitan yang tiada akhir di dunia hari ini, dimana
segala hal seringkali tampak sebagai kebalikannya – intoleransi sebagai
toleransi, agama sebagai akal rasional, dan seterusnya – ada godaan besar untuk
memotong dengan sikap keras “Tidak pakai omong-kosong!’ – sikap yang tidak
jarang hanya sekedar passage à l'acte yang tidak bermakna-apa. Keinginan untuk
menarik garis demarkasi yang jelas antara omongan yang jujur dan waras dengan
‘omong-kosong’ mau tidak mau berujung pada omongan yang jujur dari ideologi
dominan itu sendiri. Tidak heran, bagi Frankfurt sendiri, contoh dari politisi
yang ‘tidak pakai omong-kosong’ adalah Harry Truman, Dwight Eisenhower dan hari
ini, John McCain [2] – seolah pose tubuh dan gaya
bicara yang lugas adalah jaminan dari kejujuran.
Ukuran yang masuk akal pada
saat ini mengatur kita – terkait dengan pembedaan lama antara doxa (opini
empiris, kebajikan [Wisdom]) dan Kebenaran, atau lebih radikal lagi,
pengetahuan positif empiris dan keimanan mutlak – untuk membuat batas yang
jelas antara apa yang bisa dipikirkan dan dilakukan hari ini. Pada level akal
sehat, yang paling jauh bisa kita jangkau adalah liberalisme pencerahan
konservatif: jelas saja, tidak ada alternatif yang memadai bagi kapitalisme;
pada saat yang sama, kalau dibiarkan berjalan sendiri, dinamika kapitalisme
justru akan mengancam untuk menggerogoti
fondasinya sendiri. Ini tidak hanya berlaku dalam hal ekonomi (perlunya
aparat negara yang kuat untuk menjaga persaingan pasar itu sendiri, dsb), tapi
terlebih lagi, dinamika ideologico-dinamis. Demokrat konservatif yang terdidik,
mulai Daniel Bell sampai Francis Fukuyama, menyadari bahwa kapitalisme global
hari ini cederung menafikan penopang
ideologisnya sendiri (apa yang dulu pernah disebut oleh Bell sebagai
‘kontradiksi kultural kapitalisme): kapitalisme hanya bisa berkembang dengan
prasyarat stabilitas sosial dasar dan kepercayaan simbolik yang masih utuh,
dimana individu tidak hanya menerima tanggungjawab mereka terkait dengan
nasibnya, tapi juga menggantungkan diri pada ‘keadilan’ dasar dari sistem –
latar ideologis yang harus dijaga lewat aparatus pendidikan dan kultural yang
kuat. Di dalam kerangka seperti ini, jawabannya bukan pada bentuk liberalisme
radikal à la Hayek, ataupun konservatisme lugas yang masih bepegang pada cita-cita
lama negara-kesejahteraan; melainkan masyarakat campuran antara liberalisme
ekonomis dengan semangat otoritarian yang minimal (penekanannya ada pada
stabilitass sosial, ‘nilai, dsb) yang bisa menangkal ekses dari sistem – dengan
kata lain, apa yang coba dikembangkan oleh Jalan-Ketiga dari Sosial-Demokrat
seperti Blair.
Dan inilah batasan dari akal
sehat. Apa yang ada dibaliknya memerlukan ‘Lompatan Keyakinan’, keyakinan
terhadap Cita-cita yang hilang, Cita-cita yang, dari dalam ruang kebajikan yang skeptis, mau tidak mau akan
tampak sebagai hal yang gila. Dan buku ini bicara dalam kondisi Lompatan
Keyakinan ini – tapi kenapa? Masalahnya tentu saja adalah bahwa di saat krisis
dan gejolak, kebajikan empiris yang
skeptis itu sendiri, dibatasi oleh lingkup bentuk akal sehat yang dominan,
tidak bisa menyediakan jawaban, sehingga kita harus mengambil resiko Lompatan
Keyakinan.
Pergeseran ini adalah pergeseran
dari ’Saya bicara kebenaran’ menjadi ’kebenaran bicara sendiri (dalam/melalui
saya)’ (Sebagaimana di dalam matheme Lacan tentang diskursus analis, dimana
agen bicara dari posisi kebenaran), sampai satu titik dimana saya bisa bilang,
seperti Meister Eckhart, ’memang benar, dan kebenaran mengatakannya sendiri.’[3] Pada level pengetahuan positif, tentu saja ini
tidak akan pernah mungkin untuk (yakin bahwa kita sudah) mencapai kebenaran –
kita hanya bisa terus-menerus mendekatinya, karena bahasa pada akhirnya selalu
merujuk-diri sendiri [self-referential], tidak mungkin untuk menarik garis
pemisah yang tegas antara sophism, upaya yang rumit, dan Kebenaran itu sendiri
(problema ini juga dihadapi Plato). Disini, pertaruhan Lacan adalah juga pertaruhan
Pascalean: pertaruhan akan Kebenaran. Tapi bagaimana? Tidak dengan mengejar
kebenaran ’obyektif’, tapi dengan berpegang pada kebenaran dari posisi dari
mana kita bicara.[4]
Masih ada dua teori yang
menerapkan konsepsi kebenaran yang terlibat semacam ini: Marxisme dan
Psikoanalisis. Keduanya adalah teori yang melawan, bukan hanya teori tentang
perlawanan, tapi teori dimana mereka sendiri terlibat di dalam perlawanan:
sejarah mereka tidak terdapat pada akumulasi dari pengetahuan netral, karena
mereka ditandai dengan pengucilan, tudingan bidah dan pengusiran. Inilah kenapa, di dalam keduanya, hubungan antara
teori dan praktis berbentuk dialektis, dengan kata lain, berupa tarik-menarik
yang tak-tereduksi: teori bukan hanya landasan konseptual bagi praktek, tapi
pada saat yang sama dia juga menjelaskan mengapa praktek pada akhirnya bisa
gagal – atau, sebagaimana dikatakan Freud dengan tegas, psikoanalisis hanya
akan sepenuhnya mungkin di dalam masyarakat yang tidak lagi memerlukannya
(psikoanalisa). Dalam bentuknya yang paling radikal, teori adalah teori dari
praktek yang gagal: ”inilah kenapa sesuatu bisa bermasalah...” Kita biasanya
lupa bahwa lima laporan klinik terbesar Freud pada dasarnya didasarkan pada
keberhasilan parsial dan kegagalan yang mutlak; dengan cara yang sama,
pandangan historis Marxist terhebat tentang event revolusioner adalah hasil
dari kegagalan besar (dari Perang Petani Jerman, Jacobins di dalam Revolusi
Prancis, Commune Paris, Revolusi Oktober, Revolusi Kebudayaan China...).
Penilaian terhadap kegagalan semacam ini menghadapkan kita dengan masalah
keteguhan/kesetiaan [fidelity]: bagaimana menebus potensi emansipatoris dari
kegagalan ini dengan cara menghindari jebakan ganda dari keterikatan nostalgia
dengan masa lalu dan akomodasi yang terlalu mudah terhadap ’kondisi baru’.
Masa dari kedua teori ini
kelihatannya sudah lewat. Seperti baru-baru ini dikatakan Todd Dufresne, tidak
ada sosok di dalam sejarah pemikiran manusia yang keliru tentang dasar dari
teorinya lebih dari Freud [5] – dengan pengecualian Marx, beberapa orang mungkin
menambahkan. Dan, memang, dalam kesadaran liberal, keduanya sekarang muncul
sebagai ’pasangan penjahat’ terbesar dari abad 20: bisa diduga, pada 2005, buku
terkenal The Black Book of Communism,
berisi daftar kejahatan Komunis, [6] diikuti oleh The Black Book of Psychoanalysis,
berisi daftar semua kekeliruan teoritis dan penipuan klinis dari psikoanalisis. [7] Dengan cara yang negatif seperti ini, paling
tidak, solidaritas yang kuat antara Marxisme dan psikoanalisis sekarang bisa
dilihat semua orang.
Tapi tetap saja ada tanda-tanda
yang mengganggu kepongahan pasca-modern
ini. Mengomentari semakin luasnya gaung dari pemikiran Alain Badiou, Alain
Finkelkraut baru-baru ini menyebutnya sebagai ’filsafat yang paling brutal,
sebagai gejala negatif [symptom] dari kembalinya radikalitas dan penolakan
terhadap anti-totalitarianisme’ [8] – sebuah pengakuan yang jujur dan mengejutkan bagi
kegagalan dari upaya yang panjang dan gigih
yang dilakukan oleh semua jenis kalangan ‘anti-totalitarian’, pembela hak
asasi manusia, pejuang melawan paradigma Kiri jadul, dari nouveaux philosophes
Prancis sampai pembela ‘modernitas kedua’. Apa yang seharusnya sudah mati,
dikubur, sepenuhnya di-diskreditkan, kini kembali dengan pembalasan dendam
kesumat [return with vengeance]. Kita bisa memahami keterkejutan mereka: bagaimana
bisa, setelah beberapa dekade mencoba menjelaskan tidak hanya melalui karya
ilmiah, tapi juga di media massa, kepada semua orang yang mau mendengar (dan
yang tidak mau) bahaya dari ‘Pemikir-Besar’ totalitarian, filsafat semacam ini
bisa kembali dalam bentuknya yang paling brutal? Apakah orang tidak menyadari
bahwa utopia yang sedemikian berbahaya itu sudah berakhir? Ataukah kita disini
sedang menghadapi semacam kebutaan yang tidak bisa dihilangkan dan aneh, atau
sebuah rumus antropologis ngawur, kecenderungan
untuk terjerembab kepada godaan totalitarian? Usulan saya adalah seharusnya
perspektifnya kita balik: sebagaimana Badiou sendiri mungkin akan katakan di
dalam caranya yang Platonis dan unik: idea yang sejati adalah abadi, dia tidak
bisa dihancurkan, selalu kembali setiap kali dia dinyatakan sudah mati. Cukup
bagi Badiou hanya menyampaikan lagi berbagai ide ini dengan jelas, dan
pemikiran anti-totalitarian akan terbuka semua kondisinya yang mengenaskan,
bentuk upaya yang rumit namun tidak ada harganya, teorisasi-semu dari ketakutan
dan insting para survivalis oportunis rendahan, cara berpikir yang tidak hanya
reaksioner, tapi juga sangat reaktif dalam konteks istilah Nietzschean.
Terkait dengan hal ini adalah
pertarungan yang menarik yang sudah berlangsung baru-baru ini (tidak hanya)
antara Lacanian (dan tidak hanya) di Prancis. Pertarungan ini terkait dengan
status dari yang ‘Satu’ [the one] sebagai nama dari subyektivitas politis,
pertarungan yang menyebabkan perpecahan banyak hubungan pertemanan pribadi
(misalnya, antara Badiou dengan Jean-Claude Milner). Ironinya adalah bahwa
pertarungan ini terjadi diantara para intelektual eks-Maois (Basiou, Milner,
Levy, Miller, Regnault, Finkelkraut), dan antara ‘Yahudi’ dan ‘non-Yahudi’.
Pertanyaannya adalah: apakah nama yang Satu adalah hasil dari pertarungan
politis yang kontinjen [sementara], ataukah ternyata ini berakar di dalam
identitas tertentu yang lebih fundamental? Pendapat dari kalangan ‘Maois
Yahudi’ adalah bahwa ‘Yahudi’ merupakan nama yang mewakili dari apa yang
menolak tren global hari ini untuk mengatasi semua batasan, termasuk
keterbatasan dari kondisi manusia
itu sendiri, di dalam keterpecahan wilayah [deterritorialization] dan
pencair-an [fluidization] dari kapitalis radikal (tren yang mencapai puncak-nya
di dalam mimpi gnostik-digital untuk mentransformasi manusia itu sendiri
kedalam software virtual yang bisa me-reload dirinya dari satu hardware ke
hardware yang lain). Sehingga, nama ‘Yahudi’ mewakili keteguhan dasar terhadap
dirinya. Sejalan dengan pemikiran ini, Francois Regnault mengklaim bahwa
kaum-Kiri kontemporer menuntut Yahudi (jauh melebihi dari kelompok etnis lain)
bahwa mereka ‘tunduk dengan namanya’[9] – rujukan terhadap maxim etis
Lacan ‘jangan tunduk terkait dengan hasrat-mu’… Kita disini perlu mengingat
bahwa pergeseran yang sama dari politik emansipatoris radikal kepada keteguhan
terhadap nama Yahudi, sudah terlihat didalam nasib dari Mahzab Frankfurt,
khususnya teks terakhir dari Horkheimer. Yahudi disini adalah pengecualian: di
dalam perspektif multikulturalis liberal, semua kelompok bisa menerima
identitas mereka – kecuali Yahudi, yang penerimaan diri-nya sendiri [self-assertion]
sama dengan rasisme Zionis… Berlawanan dengan pendekatan ini, Badiou dan yang
lain meyakini keteguhan dari yang Satu yang muncul dan terbentuk melalui
perjuangan politik untuk penamaan itu sendiri dan, dengan demikian, tidak bisa
didasarkan pada konten baku tertentu (misalnya akar etnis atau agama). Dari
sudut pandang ini, keteguhan terhadap nama ‘Yahudi’ adalah kebalikan (pengakuan diam-diam) dari kekalahan
perjuangan emansipatoris otentik. Tidak heran bahwa mereka yang menuntut
kesetiaan nama ‘Yahudi’ adalah juga mereka yang mengingatkan kita akan bahaya
‘totalitarian’ dari gerakan emansipatoris radikal apapun. Politik mereka
meliputi menerima kefanaan dan batasan fundamental dari situasi kita, dan Hukum
Yahudi adalah bukti mutlak dari kefanaan
ini, yang karena itulah bagi mereka, semua upaya untuk mengatasi Hukum dan
kecenderungan terhadap Cinta yang merangkul-semua (dari Kristianitas sampai
Jacobin Prancis atau Stalinisme) pasti akan berujung pada teror totalitarian.
Dengan kata lain, solusi satu-satunya yang benar dari ‘pertanyaan Yahudi’
adalah ‘solusi final’ (musnahkan mereka),
karena qua objet a Yahudi adalah batasan terbesar dari ‘solusi final’ dari
Sejarah itu sendiri, untuk mengatasi semua perbedaan di dalam Kesatuan dan
fleksibilitas yang meliputi-semua.
Tapi bukankah ini lebih pada
kasus bahwa, di dalam sejarah Eropa modern, mereka yang membela dan mendambakan universalitas justru para Yahudi
Atheis dari mulai Spinoza sampai Marx dan Freud? Ironinya adalah bahwa di dalam
sejarah anti-semitisme, Yahudi mewakili kedua kutub ini: kadang-kadang mereka
mewakili keterikatan erat terhadap bentuk-kehidupan tertentu yang mencegah
mereka untuk menjadi warga negara penuh dari negara yang mereka tinggali,
kadang mereka juga mewakili kosmopolitanisme universal yang tanpa-rumah dan
tanpa-akar yang cuek terhadap semua
bentuk identitas etnis tertentu. Hal pertama yang perlu kita ingat kembali
adalah bahwa pertarungan ini (juga) inheren didalam identitas Yahudi. Dan
mungkin, perjuangan Yahudi ini adalah pertarungan sentral kita hari ini:
pertarungan antara keteguhan terhadap dorongan Messianis dan ‘politik ketakutan’
yang reaktif (persis dalam konteks arti Nietzschean) yang berfokus untuk
menjaga identitas tertentu kita.
Peran istimewa dari Yahudi
dalam pembentukan ruang ‘penalaran publik’ melekat terhadap substraksi mereka dari setiap bentuk kekuasaan negara –
posisi ini adalah ‘bagian dari bukan-bagian) dari setiap komunitas
negara-bangsa yang organik, bukan sifat abstrak-universal dari monoteisme
mereka, yang membuat mereka sebagai perwujudan langsung dari universalitas.
Karena itu tidak heran bahwa, dengan pembentukan negara-bangsa Yahudi,
muncullah sosok Yahudi baru: Yahudi yang menolak identifikasi dengan Negara
Israel, menolak untuk menganggap Negara Israel sebagai rumah mereka yang
sebenarnya, Yahudi yang ‘menjaga jarak’
dirinya sendiri dari negara ini, dan yang melihat Negara Israel sebagai bagian
dari negara yang mereka mengambil jarak, hidup di dalam rajutan-nya – dan
Yahudi yang aneh inilah yang menjadi obyek dari apa yang mau tidak mau kita
harus sebut sebagai ‘anti-Semitisme Zionis’, ekses asing yang mengganggu
komunitas negara-bangsa. Yahudi ini, “Yahudi dari para Yahudi itu sendiri’
penerus penting dari Spinoza, hari ini adalah satu-satunya Yahudi yang etrus
berkeras terhadap ’Penalaran Publik,’ menolak untuk menyerahkan penalaran
mereka kepada domain ‘privat’ dari negara-bangsa.
Buku ini tidak malu untuk
mengambil sudut pandang ‘Messianis’ dari perjuangan akan emansipasi universal.
Sehingga tidak heran, bahwa bagi pendukung
doxa ‘pasca-modern’, daftar dari Cita-cita yang kalah yang dibela di sini
pasti tampak sebagai perwujudan dari pertunjukan horor dari mimpi-buruk mereka
yang paling mengerikan, wujud dari
hantu masa lalu yang mereka sudah habis-habisan coba untuk di sembuhkan dari
kesurupannya; politik Heidegger sebagai contoh ekstrim dari filosof yang
tergoda oleh politik totalitarian; teror revolusioner dari Robespierre sampai
Mao; Stalinisme; kediktatoran proletariat… Dalam tiap kasus, ideologi dominan
tidak hanya menolak Cita-cita itu, tapi memberi pengganti, versinya yang ‘lebih
lunak’: bukan keterlibatan intelektual totalitarian, tapi intelektual yang
meneliti masalah dari globalisasi dan berjuang di ruang publik bagi hak asasi
manusia dan toleransi, melawan rasisme dan sexisme; bukan teror negara
revolusioner, tapi multitude yang ter-desentralisasi dan swa-kelola [self-organized];
bukan kediktatoran proletariat, tapi kolaborasi diantara berbagai agen
(inisiatif masyarakat-sipil, uang swasta, regulasi negara…). Tujuan sebenarnya
dari ‘pembelaan Cita-cita yang kalah’ bukan untuk membela teror Stalinis, atau
semacamnya, tapi mempermasalahkan alternatif ‘demoratik-liberal-yang-
terlalu-mudah [all-too-easy-liberal-democratic]. Komitmen politik Foucault dan,
terutama, Heidegger, meskipun motivasi dasarnya bisa diterima, jelas merupakan
‘langkah yang tepat menuju arah yang salah’; kesialan dari nasib teror
revolusioner menghadapkan kita dengan perlunya – bukan untuk menolak teror in
toto, tapi – untuk merevisi; krisis ekologis yang mengancam tampaknya
menawarkan kesempatan yang langka untuk menerima versi revisi dari kediktatoran
proletariat. Karena itu, argumennya disini adalah, meskipun fenomena ini,
dengan caranya masing-masing, adalah kegagalan dan kebengisan [monstrosity] sejarah (Stalinisme
adalah mimpi-buruk yang mungkin menyebabkan lebih banyak penderitaan manusia
dibanding fasisme; upaya untuk menegakkan ‘kediktatoran proletariat’
menghasilkan penjelmaan yang
menggelikan dari rejim dimana justru proletariat direduksi untuk dibungkam,
dsb), ini tidak sepenuhnya benar; di masing-masing tetap ada momen penebusan
yang hilang dalam penolakan demokratik-liberal – dan penting untuk memperjelas
momen ini. Kita harus hati-hati untuk tidak melempar bayi ke dalam air yang
kotor – meskipun kita tergoda untuk membalik metafora ini, dan menganggap bahwa
kritik demokratik-liberal yang ingin melakukan ini (misalnya, melempar air
kotor teror, sementara menjaga kemurnian si bayi dari sosialis demokrasi yang
otentik), melupakan bahwa airnya sebelumnya adalah jernih, bahwa semua kotoran
di situ adalah justru dari bayinya. Apa yang harus kita lakukan justru adalah,
untuk melempar keluar bayi itu sebelum mengotori kejernihan air dengan
kotorannya, sehingga, untuk mem-parafrase Mallarme, rien que l’eau n’aura eu
lieu dans le bain de l’histoire.
Pembelaan kita terhadap
Cita-cita yang kalah karena itu tidak terlibat di dalam bentuk permainan
dekonstruktif apapun dengan gaya ‘setiap Cita-cita pertama harus kalah agar
menegaskan efisiensinya sebagai sebuah Cita-cita’. Sebaliknya, tujuannya adalah
berupaya sekuatnya untuk meninggalkan, apa yang secara berseloroh disebut Lacan
dengan ‘narsisisme dari Cita-cita yang kalah,’ dan dengan berani menerima
aktualisasi sepenuhnya dari Cita-cita ini, termasuk resiko yang tek-terhindar
dari bencana yang dahsyat. Badiou tepat ketika merujuk pada disintegrasi rejim Komunis, dia mengusulkan maxim: mieux vent un
desastre qu’un desetre. Lebih baik bencana keteguhan terhadap Event daripada
tidak-acuh terhadap Event. Untuk mem-parafrase kalimat Beckett yang terkenal,
dimana aku nanti akan kembali lagi berkali-kali, setelah kita gagal, kita bisa
melanjutkan dan gagal dengan lebih baik, sementara keacuhan menenggelamkan kita semakin lama semakin dalam di dalam ceruk dari Makluk yang tolol.
Beberapa tahun yang lalu,
majalah Premiere melaporkan sebuah liputan yang menarik tentang bagaimana
sejumlah ending film Hollywood yang paling terkenal diterjemahkan ke sejumlah
bahasa non-Inggris utama. Di Jepang, kalimat Clark Gable kepada Vivien Liegh
dalam Gone With the Wind, ‘Terus terang, sayangku, aku tidak peduli!’ diganti
menjadi ‘Aku takut, sayangku, ada sedikit kesalahpahaman diantara kita berdua’
– bukti atas pepatah dari etiqet dan kesantunan orang Jepang. Sebaliknya, di
China kalimat, ‘Ini adalah awal dari pertemanan yang Indah!’ dari Casablanca
dirubah menjadi, ‘Kita berdua akan membentuk sel baru perjuangan anti-fasis!’ –
perjuangan melawan musuh tetap menjadi prioritas utama, melebihi hubungan
pribadi.
Meskipun buku ini mungkin
tampak dipenuhi pernyataan konfrontatif dan ’provokatif’ yang eksesif (apa yang
hari ini bisa lebih ‘provokatif’ daripada menunjukkan bahkan hanya sekedar
simpati yang minimal untuk memahami teror revolusioner?), tapi sebenarnya lebih
pada upaya untuk menerapkan penggantian sesuai dengan contoh yang dikutip di Premiere:
dimana sebenarnya saya tidak peduli dengan lawan saya, saya katakan bahwa ada
sedikit kesalahpahaman dimana apa yang dipertaruhkan adalah berbagi medan
pertarungan politis-ideologis yang baru, mungkin akan tampak bahwa saya sedang
bicara tentang pertemanan dan aliansi akademik…Sehingga, terserah pembaca untuk
membongkar petunjuk yang ada
didepannya.
[1] Pembalikan ini mengikuti logika
yang sama dengan tanggapan yang tepat dari kelompok Kiri-Tercerahkan terhadap
diktum terkenal Joseph Goebbel, “Kalau dengar kata budaya, saya langsung ambil
senjata”: “Ketika dengar suara senjata, saya langsung ambil budaya saya.”
[2] Lihat wawancaranya, “Demokratie
befordert Bullshit,” Cicero, March
2007, pp.38-41
[3] Dari khotbah “Jesus Entered,”
diterjemahkan dalam Reiner Schuermann, Wandering
Joy, Great Barrington, MA: Lindisfarne Books 2001, p.7
[4] Lantas, apa makna Lompatan
Keyakinan ini terkait dengan berpihak pada isu politik tertentu? Apakah kita
tidak lantas tereduksi mendukung sikap standar Liberal-Kiri, dengan ungkapan
bahwa ‘ini masih belum Yang Sebenarnya,’ bahwa Langkah Besarnya masih ada di
depan? Disinilah letak poin kuncinya: tidak, bukan seperti itu. Bahkan kalau
tampaknya tidak ada ruang, dalam konstelasi yang ada sekarang, bagi aksi
emansipatoris radikal, Lompatan Keyakinan ini membebaskan kita bagi sebuah
perilaku yang sepenuhnya terbuka dan tegas terhadap semua kemungkinan aliansi
strategis: ini memungkinkan kita untuk memutus lingkaran setan dan pemerasan
Kiri-Liberal (‘kalau kalian tidak memilih kita, pihak Kanan akan membatasi
aborsi, menerapkan legislasi rasis…’), dan mengambil untung dari wawasan jadul
Marx tentang bagaimana kaum konservatif yang cerdas kerap melihat lebih jauh
(dan lebih sadar akan antagonisme dari tatanan yang ada) daripada kalangan
progresif liberal.
[5] Lihat Todd Dufresne, Killing Freud: 20th Century
Culture & the Death of Psychoanalysis, London: Continuum 2004
[6] Le
Livre noir du communisme, Paris: Robert Laffont 2000
[7] Le
Livre noir dela psychoanalyse; vivre, penser et aller mienze sans Freud,
Paris: Editions Les Arenes 2005
[8] Dikutip dari Eric Aeschimann, “Mao
en chair,” Liberatisa, January 10,
2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar