Oleh Haroon Akram-Lodhi
Reforma agraria yang
dipandu oleh pasar (Market-Led Agrarian Reform = MLAR) didasarkan pada dua
asumsi: bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi; dan pasar merupakan insititusi
dimana partisipan yang terlibat di dalamnya adalah setara. Asumsi ini terbukti
gagal, karena mengabaikan adanya karakter yang melekat secara sosial (socially
embedded character) pada tanah dan pasar.
Tanah dan
Pasar: Asumsi-asumsi yang salah
Versi awal MLAR
dimulai sejak tahun 1970an dan 1980an. Pada tahun 1990an, MLAR dilaksanakan di
bawah bimbingan World Bank, di negara-negara seperti Brazil, Kolumbia, Afrika
Selatan dan Filippina. Mengikuti dalil-dalil hak milik pribadi, MLAR yang
bergaya text-book dilakukan dengan cara: membeli tanah milik para tuan tanah
untuk dijual secara sukarela pada para petani kecil dan petani tak bertanah.
Para pembeli biasanya dibebani biaya penuh untuk pengalihan hak milik tanah
itu, dalam bentuk hutang kepada institusi keuangan pedesaan atau kepada negara,
yang harus dibayarkan kembali sepanjang waktu. Namun, dalam beberapa versi MLAR
yang ‘non-textbook’, seperti di Afrika Selatan, biaya pengalihan kepemilikan
tanah ini mengambil bentuk “one-off non-repayable grant”. Pendeknya, dalam dua
kasus tersebut, MLAR berupaya untuk menggantikan pola reforma tanah dan agraria
sebelumnya, yaitu yang dipandu oleh negara (state-led land and agrarian reform)
dengan model ‘kesukarelaan pembeli, kesukarelaan penjual’ dimana hal itu
dijalankan berdasar pada transaksi yang difasilitasi pasar (market-facilitated)
dan dimediasi oleh harga (price-mediated) untuk mendorong efisiensi ekonomi dan
kesejahteraan sosial.
MLAR merupakan bagian
dari seperangkat kebijakan yang lebih luas yang berupaya untuk meliberalisasi
perdagangan internasional dalam hal pangan dan produk-produk pertanian;
melakukan deregulasi operasi pertanian domestik; memprivatisasi industri
pedesaan, dan memformalisasi kepemilikan dan kontrol hak milik yang bersifat privat
namun monopolistik. Jadi, MLAR merupakan salah satu elemen dalam proyek yang
lebih luas yang memfasilitasi restrukturisasi neoliberal dalam bidang agraria.
Proyek ini pertamakali diberlakukan dalam bentuk program penyesuaian struktural
(structural adjustment programmes) dan terus berlanjut dalam bentuk Strategi
Pengentasan Kemiskinan (Poverty Reduction Strategy Papers). Dalam konteks
restrukturisasi agaria neoliberal, apa yang membuat MLAR berbeda adalah program
penyesuaian struktural tidak memiliki program tentang distribusi tanah secara
lebih adil. MLAR kemudian diperkenalkan di negara-negara yang memiliki
imperatif politik yang kuat untuk melakukan redistribusi tanah kepada petani
kecil dan tuna tanah. Dorongan itu bisa ditopang dari bawah, oleh gerakan
sosial pedesaan, atau dari atas, oleh elit-elit dominan yang berupaya untuk
membangun pasar. Lalu, MLAR merupakan suatu upaya neoliberalisme untuk
merekayasa suatu redistribusi aset dalam konteks reforma yang berorientasi
pasar.
Restrukturisasi agraria
neoliberal didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa tanah
merupakan suatu sumberdaya ekonomi yang dapat dialokasikan untuk memaksimalkan
keuntungan bertambah dari kepemilikan dan kontrol atas tanah.
Hal ini tentu berbeda
dengan pemahaman alternatif dari para antropolog yang biasanya lebih dekat
dengan gerakan sosial pedesaan yang mendefinisikan tanah sebagai ‘landscape’.
Landscape terdiri dari empat elemen yang berbeda: elemen fisik yang terdiri
dari bentuk tanah yang aktual; elemen-elemen hidup, termasuk flora, fauna dan
aspek alam yang lain; elemen-elemen abstrak, seperti sinar dan cuaca; elemen
manusia. Elemen-elemen ini bertinteraksi dalam berbagai bentuk, yang membentuk
seperangkat relasi sosial di mana bentuk-bentuk kebudayaan akhirnya terbangun.
Jadi dalam landscapes tertanam sekian relasi sosial.
Dan salah satu aspek
kunci dalam pembangunan kapitalis adalah merubah karakter yang melekat secara
sosial dari tanah itu untuk hanya menjadi sekedar komoditas.
Asumsi kedua dalam restrukturisasi
agraria neoliberal adalah bahwa di dalam pasar yang berfungsi dengan baik,
orang-orang bertemu secara sukarela dan setara untuk saling bertukar komoditi,
dan melakukan pertukaran yang didasarkan pada keunggulan komparatif dan
spesialisasi.
Dalam paradigma
neoklasik dikatakan bahwa pasar merupakan suatu mekanisme untuk mengatur secara
setara margin keuntungan yang akan diperoleh baik oleh produsen maupun
konsumen. Pasar memiliki semacam ‘invisible hand’ yang mengatur mekanisme harga
untuk menolak intervensi dari negara maupun monopoli ekonomi.
Tetapi argumen yang
mendasarkan diri pada pandangan Adam Smith itu memiliki kelemahan. Di antaranya
adalah pasar tak bisa meregulasi dirinya sendiri. Ia selalu membutuhkan
institusi non-pasar untuk mengatur alokasi dan kontrol sumberdaya. Jadi pasar,
sebagaimana halnya tanah, terikat pada proses dan relasi sosial yang lebih
luas.
Pandangan di atas
memiliki implikasi bagi MLAR dan tempatnya dalam restrukturisasi agraria
neoliberal. MLAR membutuhkan seperangkat intervensi pemerintah yang berkaitan
dengan reforma pemerintahan yang menjadi bagian dari restrukturisasi
neoliberal. MLAR karenanya dibangun di atas institusi non-pasar untuk mengatur
alokasi dan kontrol sumberdaya.
Argumen bahwa pasar
terikat pada relasi sosial merupakan aspek yang penting dalam perspektif
ekonomi-politik. Hal ini diungkapkan oleh Marx, ketika ia mendiskusikan
pembelian dan penjualan tenaga kerja, yang mengatakan bahwa adanya kesetaraan
antara dua anggota kelas yang berbeda pada pasar tenaga kerja dalam modus
produksi kapitalisme adalah ilusi.
Ada empat faktor yang
bisa dipakai untuk menganalisa bahwa asumsi semacam itu bersifat ilusif.
Pertama, adalah menganalisa proses memasuki pasar. Bernstein mengatakan bahwa
kelas-kelas yang dominan mengontrol secara tidak proporsional sebagian besar
alat-alat produksi, yang memungkinkannya untuk memasuki pasar dari sebuah
posisi dimana mereka dapat meregulasi operasi pasar untuk keuntungan mereka.
Ketika pasar didominasi oleh kelas-kelas dominan, kelas yang subordinat
memasuki pasar dengan alat-alat produksi yang terbatas maka ia akan diatur oleh
keuntungan-keuntungan material dari kelas dominan. Kedua, menganalisa bagaimana
kepemilikan alat-alat produksi yang tidak berjalan secara proporsional itu akan
berpengaruh pada kondisi-kondisi dimana pasar bekerja. Ketiga, memahami
bagaimana peranan sentral yang dimainkan oleh para kapitalis di dalam pasar.
Keempat, menganalisa kondisi-kondisi di mana pengaturan
koordinasi-berbasis-pasar diperlengkapi dan digantikan oleh tindakan langsung
dari institusi-institusi non pasar seperti perusahaan besar atau negara.
Ekonomi
Politik Agraria dan Enclosure
Politik ekonomi
agraria berfokus pada pemahaman tentang hukum-hukum pergerakan kapitalisme kontemporer
dan hubungannya dengan pedesaan. Sebagaimana dijelaskan oleh Kautsky, ekonomi
politik agraria berkaitan dengan bagaimana ‘kapital’ mengambil alih pertanian,
merevolusinya, menghancurkan bentuk-bentuk produksi lama untuk menetapkan
bentuk produksi yang baru.
Dalam konteks ekonomi
politik agraria, maka yang harus dipertanyakan dalam agenda MLAR adalah
‘pertanyaan soal tanah”: siapa yang mengontrolnya; bagaimana tanah dikontrol; dan
bagaimana tujuan-tujuan dimana ketika tanah dikontrol akan menentukan dan
mencerminkan distribusi kekuasaan, hak milik, dan privelese di wilayah
pedesaan.
Istilah enclosure
dalam literatur ekonomi-politik biasanya dianggap sebagai kondisi bagi terciptanya
pembangunan kapitalisme. Pentingnya pemagaran akses tanah pada struktur relasi
sosial pedesaan telah disoroti oleh Karl Marx. Menurutnya, perubahan ke arah
kapitalisme dimulai dari hancurnya pertanian pedesaan dengan mencerabut petani
dari alat subsistensinya, yaitu tanah, dan akibatnya menjadikan petani untuk
secara terpaksa menjual tenaga kerjanya, dan seketika berubah dari produsen
menjadi proletar. Di Inggris-lah fenomena semacam ini terjadi.
Meskipun istilah
penutupan/pemagaran akses tanah itu dekat dengan gagasan tentang privatisasi
tanah, atau apa yang disebut oleh David Harvey sebagai akumulasi aset publik
dengan perampasan (‘accumulation by dispossession’), tetapi konsep enclosure
yang digunakan disini berbeda. Enclosure bukan hanya tentang privatisasi asset,
dalam bentuk fisik atau geografisnya—meskipun dimensi ini juga penting untuk
dimaksudkan; tetapi enclosure juga bukan soal hasil-hasil perubahan dalam
industri pertanian; enclosure juga bukan merupakan konsekuensi dari lahirnya
kapitalisme industri. Namun, sebagaimana ditekankan oleh Wood, enclosure
berfokus pada bagaimana munculnya kapitalisme berakar dari perubahan dalam isi
dan makna dari relasi kepemilikan sosial. Dalam makna ini maka kapitalisme
dimaknai sebagai sebuah relasi sosial, dan lahirnya kapitalisme melalui proses
enclosure mencerminkan suatu proses yang lebih dalam. Ia tidak sesederhana
pengalihan kepemilikan pribadi dalam aset material dalam kurun sejarah waktu
tertentu. Jadi, enclosure bukan melulu soal tanah.
Pendapat semacam ini
juga sangat ditekankan oleh Massimo De Angelis. De Angelis berpendapat bahwa
‘pemisahan produsen dan alat produksinya merupakan kategori sentral dalam
kritik ekonomi-politik Marx’, pemisahan itu bukan hanya soal ‘proses-proses
sejarah pemisahan antara produsen dengan alat produksinya, yang disebut oleh
Marx sebagai ‘akumulasi pimitif’, melainkan ‘ketika kapitalisme eksis, modus
produksi kapitalis berupaya sekuat mungkin untuk menjaga dan mereproduksi
pemisahan itu dalam skala yang terus bertambah secara konstan. Dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa ‘enclosures merupakan karakteristik yang
berkelanjutan (continuous characteristic) dari kapitalisme dan bukan hanya
feonemena historis dalam kurun waktu tertentu. Jika kapitalisme adalah sebuah relasi
sosial, maka akumulasi kapital adalah ‘akumulasi relasi sosial’; ‘proses relasi
ekonomi itu berjalan berdasarkan pada dominasi kapitalis terhadap kelas pekerja
dan secara beriringan dan berkelanjutan sejalan dengan adanya kekuatan
ekstra-ekonomi (direct extra-economic force).
Dalam modus produksi
kapitalis saat ini maka enclosure adalah ‘perebutan secara paksa akses-akses
untuk kesejahteraan sosial yang dimiliki oleh rakyat yang tidak semata-mata
dilakukan dengan dimediasi oleh pasar yang kompetitif atau uang sebagai
kapital’. Ada dua modus dimana perebutan secara paksa itu dilakukan: yaitu yang
terjadi karena adanya kekuatan ekstra-ekonomi; dan yang terjadi sebagai suatu
hasil dari proses akumulasi.
Restrukturisasi
agraria neoliberal, termasuk di dalamnya MLAR, menunjukkan dua aspek
pengambilalihan secara paksa seperti dijelaskan di atas. Jadi pasar dapat
membangkitkan enclosure, yaitu perebutan akses tanah yang berdasar pada
akumulasi atau perebutan tanah yang dipandu pasar oleh kelas-kelas dominan, dan
pada saat yang sama pencurian/perebutan tanah itu dapat dibantu atau digantikan
oleh tindakan langsung dari negara atau kelas dominan yang berupaya untuk
mengatur alokasi sumberdaya melalui reformasi ekonomi dan pemerintahan yang
mendukung komodifikasi tanah.
Pemagaran Aset
(Enclosure) Model Neoliberal
Pemagaran aset
(enclosure) melalui kekuatan ekstra-ekonomi dan akumulasi kapital terus
berlanjut hingga masa globalisasi neoliberal. Globalisasi neoliberal telah
menyebabkan perebutan akses pada kehidupan masyarakat pedesaan di negara-negara
Selatan sejak tahun 1980an. Araghi bahkan menjulukinya sebagai “perebutan akses
yang terbesar di masa kini”. Klas-klas dominan di Selatan bekerjasama dengan
kelompok dominan neokonservatif di Utara, menggunakan kebijakan program
penyesuaian struktural, (structural adjustment programmes) untuk menekan
negara, dan meningkatkan peranan pasar dalam kehidupan sosial dan budaya, dan
memperluas serta memperdalam peranan kapital dan modus produksi kapitalis di
negara-negara Selatan.
Globalisasi
neoliberal, karenanya, berakibat pada perubahan karakter ekonomi pedesaan di
Selatan. Perubahan ini dimulai dari perubahan dalam kebijakan legislatif yang
berupaya menghentikan berbagai reforma agraria yang dipandu negara (state-led
agrarian reforms) yang terjadi selama awal abad 20, sebagaimana terjadi di
negara-negara seperti China dan Vietnam. Model reforma agraria di kedua negara
ini berwatak counter-enclosure, dengan ciri dekolektivisasi pertanian, utamanya
karena kolektivisasi pertanian model Sovyet akhirnya runtuh. Neoliberalisme
juga mengakibatkan perubahan dari model reforma agraria yang dipandu negara
yang membagikan tanah kepada individu petani, sebagaimana terjadi di Bolivia,
Brazil, Chili, Mesir, India, dan yang lainnya.
Pendeknya, globalisasi
neoliberal telah mengakibatkan perubahan yang menyusun-ulang proses produksi
pedesaan, dan mengakibatkan ketidakadilan dalam hal akses kepada tanah, dan
sebagai hasilnya melanjutkan pola akmulasi pedesaan yang hanya menguntungkan
sekelompok minoritas kecil.
Perebutan aset model
neoliberal dapat dibedakan dari pola perebutan aset di masa sebelumnya, di mana
perebutan aset model neoliberal bertujuan untuk memperdalam separangkat relasi
kepemilikan sosial kapitalis yang telah ada sebelumnya dengan memperlemah
kekuasaan petani dan kelas pekerja. Hal ini utamanya dilakukan melalui proses
berbasis pasar yang dilakukan oleh aksi langsung dari negara. Perebutan aset
model neoliberal membutuhkan panduan negara dalam menstrukturkan hak-hak
kepemilikan dalam wilayah yuridis dan legal yang berbentuk monopoli.
Jadi begitulah konteks
lahirnya MLAR: perubahan karakter negara di wilayah yuridis telah memfasilitasi
kapasitas kelas dominan untuk menjalankan perebutan aset model neoliberal, dan
mempromosikan kegunaan rasionalitas ekonomi kapitalis, dan sebagai akibatnya
adalah semakin mendalamnya relasi kepemilikan sosial kapitalis di negara-negara
Selatan sebagai akibat dari neoliberalisme.
Perebutan aset model
neoliberal itu terjadi dalam beberapa pola, misalnya berdasar
geografis-spesifik. Ini terjadi di Santa Cruz Bolivia, Punjab dan Haryana di
India, di wilayah selatan Mozambique, atau Dataran Tinggi Vietnam. Atau bisa
juga berdasar pada komoditas-spesifik, sebagaimana terjadi dalam kasus produksi
buah-buahan di Ekuador dan Tunisia, produksi kopi di Nikaragua dan Vietnam,
atau di Namibia. Juga bisa berdasar produksi pertanian berorientasi-ekspor
sebagaimana kasus di Chile, Iran, Kenya, Philippines dan Uzbekistan. Bisa pula
berdasar kepemilikan-spesifik sebagaimana dalam kasus perusahaan yang dimiliki
negara di Vietnam, perusahaan-agro di Uzbekistan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar