Setelah kematian Utsman bin Affan akibat pemberontakan sebagian kaum muslim yang terprovokasi Aisyah yang menginginkan Thalhah menjadi khalifah setelah Utsman Bin Affan, Amirul Mukminin Ali as
menghindari dorongan para sahabat Rasulullah saw dan menolak untuk menjadi
khalifah. Ath-Thabari meriwayatkan dari Muhammad Hanafiyah, "Setelah
Utsman terbunuh, sekelompok sahabat mendatangi ayahku (Ali as) dan berkata
kepadanya, 'Kami tidak melihat satu orang pun yang lebih layak darimu untuk
menduduki kursi kekhalifahan ini.' Beliau as menjawab, 'Aku menjadi wazir
(mentri) kalian adalah lebih baik daripada aku menjadi amir (pemimpin).'
Mereka kembali berkata, 'Kami tidak menerima sesuatu selain berbai'at
kepadamu.' Amirul
Mukminin as berkata, 'Bai'at kepadaku tidak boleh berlangsung secara
tersembunyi. Bai'at ini harus berlangsung di masjid.' Ibn Abbas berkata, 'Aku
takut jangan-jangan akan terjadi sesuatu (masalah) di masjid.' Ketika beliau pergi ke masjid, maka Muhajirin dan
Anshar berdatangan ke masjid dan membai'at beliau as."
Diriwayatkan juga dari Abu
Basyir, "Berkali-kali massa mendatangi Ali as setelah terbunuhnya Utsman,
sampai akhirnya mereka berhasil mendesaknya untuk menjadi khalifah. Beliau naik
ke mimbar dan berkata, 'Aku tidak butuh pada khilafah, dan terpaksa aku
menerimanya. Aku akan sudi memerintah umat apabila mereka berjanji untuk
sejalan denganku sepenuhnya.'" Riwayat-riwayat ini
mencatat bahwa Thalhah dan Zubair ikut bersama masyarakat yang lain. Di saat
semua orang berkumpul di masjid, Thalhah adalah orang pertama yang berbai'at
kepada Amirul Mukminin as. Adapun Sa'd Bin Abi Waqqash enggan untuk berbai'at
seraya berkata, "Aku tidak akan berbai'at sampai semua orang berbai'at terlebih
dahulu." Abdullah Bin Umar juga tidak mau berbai'at.
Ada satu riwayat di buku
Tarikh ath-Thabari yang tidak sesuai dengan riwayat-riwayat lain. Riwayat ini
menyebutkan bahwa Thalhah dan Zubair berbai'at karena takut kepada pedangnya
Malik Ashthar. Amirul Mukminin as meminta mereka agar menjadi khalifah, namun
mereka sendiri sadar diri tidak pantas untuk menerimanya. Mereka rela membai'at
Amirul Mukminin as agar dengan demikian mereka bisa meraih posisi tertentu.
Kata-kata Thalhah dan Zubair setelah itu menunjukkan bahwa maksud dari
membai'at secara terpaksa di atas bukan terpaksa karena kekerasan dan pedang,
melainkan mereka tidak melihat seorangpun di Madinah yang bisa mereka bai'at.
Sedangkan Ali as memiliki banyak pendukung. Maka, dengan demikian, mereka
terpaksa membai'at beliau.
Sebelum ini juga pernah
kami singgung dalam pembahasan bai'at bahwa pada dasarnya, Amirul Mukminin as
bukan tipe orang yang mau memaksa seseorang untuk berbai'at kepadanya dengan
kekerasan. Jauh setelah ini terjadi di tragedi perang Jamal. Beliau tidak
meminta bai'at dari Marwan yang berkata kepada beliau, "Kalau dipaksa,
maka aku akan berbai'at."
Segera setelah
berlangsungnya bai'at, mereka meminta Amirul Mukminin as menyerahkan kota
Bashrah dan Kufah kepada mereka. Tapi, beliau tidak mengabulkan permintaan itu.
Muhammad Bin Hanafiah berkata, "Semua kaum Anshar mebai'at Ali as kecuali
berapa gelintir orang. Mereka yang menentang adalah Hassan bin Tsabit, Ka'b bin
Malik, Maslamah bin Mukhallad, Muhammad bin Maslamah dan satu dua orang lagi
yang semuanya tergolong Utsmaniah (kelompok Utsman). Adapun para penentang dari
selain Anshar adalah Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan Usamah bin Zaid
yang mana mereka semua terhitung orang-orang yang telah dianugerahi kenikmatan
khilafah Utsman."
Ath-Thabari berkata,
"Sebatas yang kutahu, tak seorangpun dari Anshar yang keluar dari bai'at
kepada Ali as."
Dari sini bisa dimengerti
bahwa kemungkinan besar sebagian orang yang dicatat sebagai orang yang tidak
membai'at Ali as, maksudnya adalah orang yang nantinya tidak ikut serta dalam
perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, bukan berarti orang yang pada dasarnya
tidak berbai'at kepada Ali as dalam urusan khilafah. Dayyari Bakri meriwayatkan
bahwa semua sahabat Nabi saw yang ikut bersama beliau di perang Badr dan masih
hidup pada masa itu—tanpa terkecuali—berbai'at kepada Ali as. Diriwayatkan dari
Abdurrahman bin Abzi, ia berkata, "Kami berjumlah delapan ratus orang yang
hadir di bai'at Ridhwan, ikut di perang Shiffin dan enam puluh tiga orang dari
kami termasuk juga Ammar Bin Yasir terbunuh di perang tersebut."
Diriwayatkan dari Ibn
A'tsam bahwa pada mulanya Amirul Mukminin as menolak bai'at itu dan berkata,
"Kulihat urusan ini begitu terpecah-belah sehingga hati dan akal setiap
orang tidak akan merasa tenang." Ketika itu beliau mendatangi Thalhah dan
memintanya untuk menjadi khalifah dan dibai'at. Akan tetapi, Thalhah berkata,
"Tidak ada orang lain yang lebih layak darimu untuk urusan khilafah."
Ucapan yang sama juga tercatat dari Zubair. Akhirnya, kedua orang itu berjanji
untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Amirul
Mukminin as.
Ibn A'tsam menceritakan
peran Anshar dalam pembai'atan Ali as dan bagaimana pemuka-pemuka Anshar
berbicara di masjid kepada masyarakat yang di antara mereka terdapat pendatang
Irak dan Mesir. Masyarakat berteriak, "Kalian adalah Ansharullah
(penolong Allah). Maka apapun yang kalian katakan, pasti akan kita
terima." Anshar memperkenalkan Ali as sebagai khalifah. Dan tanpa menunggu
lagi, masyarakat segera mengapresiasi hal itu dengan teriakan-teriakan pertanda
sepakat. Hari itu mereka meninggalkan masjid. Dan keesokan harinya Amirul
Mukminin as datang ke masjid seraya berkata, "Pilihlah khalifah untuk
kalian sendiri dan aku akan sejalan dengan kalian." Tapi, mereka menjawab,
"Kami tetap konsisten dengan keputusan kemarin." Thalhah dengan
tangannya yang cacat menjadi orang pertama yang berbai'at pada Amirul Mukminin
as. Hal itu dikatakan sebagai pertanda yang buruk! Kemudian dilanjutkan dengan
Zubair berbai'at kepada beliau. Begitu pula selanjutnya dengan Muhajirin,
Anshar dan setiap orang Arab, 'ajam dan mawali yang hadir di Madinah.
Mengenai kenapa sejak awal
Amirul Mukminin as tidak menerima bai'at masyarakat, jawaban terbaik adalah ucapan
beliau sendiri. Pertama, Amirul Mukminin as memandang masyarakat pada waktu itu
sudah sampai batas kerusakan (fasâd) yang tidak bisa lagi dipimpin,
sehingga beliau tidak akan mampu menerapkan tolok ukur dan kehendak yang
semestinya.
Di tengah semua fitnah
yang terjadi, Amirul Mukminin as merasa tidak mungkin untuk memimpin masyarakat
kala itu secara utuh. Namun, setelah menyaksikan bahwa mereka tidak melepasnya
begitu saja, di samping mengungkapkan keengganannya, beliau minta mereka untuk
berjanji menuruti beliau secara utuh dan pasrah terhadap apapun yang beliau
kehendaki. Fenomena-fenomena yang
terjadi setelah itu menjadi saksi pandangan Amirul Mukminin as akan sulitnya
bekerja di tengah fitnah besar. Sampai pernah diriwayatkan beliau berkata,
"Kalaupun aku tahu problem ini meningkat begitu tinggi, niscaya sejak awal
aku tidak akan masuk ke dalamnya."
Suatu saat Amirul Mukminin
as melihat seorang bernama Abu Maryam di kota Kufah. Beliau menanyakan alasan
kedatangannya ke Kufah. Abu Maryam menjawab, "Aku datang karena janjiku
padamu. Sebagaimana kau katakan sebelumnya apabila aku yang menjadi pemimpin,
maka aku akan lakukan hal ini dan itu." Amirul Mukminin as menjawab,
"Aku tetap pada janjiku, hanya saja aku dihadapkan dengan masyarakat
terburuk di muka bumi yang mana mereka sama sekali tidak pernah mendengarkan
kata-kataku."
Kesulitan Amirul
Mukminin
Ketika Ali as menjalankan
tugas sebagai khalifah, beliau dihadapkan pada sejuta problema dan
kesulitan. Semua kesulitan yang ditambah juga dengan kondisi politik yang labil
dan kacau balau setelah terjadi pembunuhan Utsman, menggambarkan masa depan
yang hitam dan gelap gulita. Berikut ini sekilas tentang kesulitan beliau
disambung dengan solusi yang ditawarkan. Sebelumnya perlu
ditekankan bahwa semua kesulitan ini dihadapkan pada seorang seperti beliau
yang sangat komitmen terhadap prinsip utama maupun cabang. Di masa sebelum itu,
setiap khalifah membuka jalan secara temporal hanya dengan tujuan memperluas
kawasan dan menaklukkan negara luar. Tapi, sekarang jelas bahwa kebanyakan
jalan yang mereka tempuh adalah keliru sebagaimana terbukti oleh zaman.
Contohnya, Umar menyusun buku (diwan) negara berasaskan prinsip etnis.
Dan setelah lima belas tahun berjalan, dampak-dampak negatifnya mulai dirasakan
secara sosial maupun politik.
Berikut akan kami sebutkan
beberapa kesulitan yang beliau hadapi selama menjalankan tugas
kekhilafahan:
a. Problem pertama yang
dihadapi Amirul Mukminin as terfokus pada menjaga keadilan dan kestabilan
ekonomi. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Umar menyusun diwan atas
dasar masa lalu Islam seseorang dan juga atas dasar etnis. Sahabat yang lebih
dahulu masuk Islam mendapatkan saham yang lebih besar. Hal yang sama juga
berlaku semasa Utsman menjabat sebagai khalifah. Utsman memulai pemberian dan
hadiahnya secara besar-besaran, dan hal ini menambah kesenjangan sosial antara
orang kaya dan miskin. Kekayaan ini berkaitan dengan khumus (seperlima
yang musti dikeluarkan dari) rampasan perang, pajak negara (kharâj), dan
jizyah yang musti dikeluarkan dari tanah yang dimenangkan dan milik
muslimin. Ketika Amirul Mukminin as terpilih sebagai khalifah, beliau membagi
kekayaan itu secara merata. Dan beliau berdalil bahwa Rasulullah saw juga bertindak
demikian.
Pada ceramah pertamanya
setelah menjadi khalifah, Amirul Mukminin as menjelaskan bahwa beliau akan
bertindak sesuai sunah Rasulullah saw (aku akan membawa kalian di atas jalan
Nabi kalian saw). Beliau juga menerangkan politik keuangan negara dan
sesungguhnya keutamaan Muhajir dan Ansar terhadap yang lain adalah keutamaan
spiritual yang senantiasa terjaga di sisi Allah SWT dan mereka akan menerima
pahala dari-Nya. Adapun di dunia, barangsiapa yang menjawab ajakan Allah SWT
dan Rasul-Nya saw, masuk Islam dan shalat ke arah kiblat muslimin, maka dia
berhak mendapatkan semua haknya dan hudud (batasan dan hukuman Islam)
akan berlaku atasnya. Beliau menambahkan, "Kalian adalah hamba-hamba Allah
SWT, dan kekayaan ini adalah harta-Nya yang harus dibagi di antara kalian
secara merata. Tiada seorang pun yang lebih tinggi daripada orang lain.
Orang-orang yang bertakwa akan mendapatkan pahala yang terbaik di sisi Allah
SWT."
Beliau menegaskan
politiknya seraya berkata, "Jangan sampai nanti ada orang yang mangatakan
bahwa Ali Bin Abi Thalib as telah menghalangi hak-hak kita." Di keesokan
harinya, beliau memerintahkan Ubaidullah bin Abi Rafi', "Berilah 3 Dinar
kepada siapapun yang datang." Di situlah Sahl bin Hanif berkata, "Dulu
orang ini adalah budakku dan baru kemarin aku membebaskannya." Amirul
Mukminin as menimpali, "Semuanya tetap medapatkan 3 Dinar dan kita tidak
akan melebihkan satu daripada yang lain." Kelompok elit dari Bani Umaiyah
dan juga Thalhah serta Zubair tidak datang untuk mengambil saham mereka. Sehari
setelah itu, Walid bin Uqbah beserta rombongan datang pada beliau mengungkit
kembali pembunuhan ayahnya oleh beliau di perang Uhud, pembunuhan ayah Said bin
'Ash di perang yang sama, penghinaan terhadap ayah Marwan di depan Utsman dan
hal-hal lain. Dengan itu, mereka meminta beliau untuk minimal tidak menarik
kembali apa yang telah jatuh ke tangan mereka dari kekayaan negara Islam. Di
samping itu juga mereka meminta beliau untuk melakukan qishâsh terhadap
pelaku-pelaku pembunuhan Utsman. Amirul Mukminin as menolak permintaan mereka,
maka mereka menampakkan kemunafikan dan mulai membisikkan perlawanan.
Keseokan harinya, beliau
ceramah lagi, dan karena marah, beliau menjelaskan bahwa asas pembagian harta
negara Islam yang beliau berlakukan adalah kitab suci Allah SWT. Kemudian,
beliau turun dari mimbar, shalat dua raka'at lalu duduk di samping masjid dekat
dengan Thalhah dan Zubair. Inti pembicaraan dua orang tesebut (Thalhah dan
Zubair) adalah pertama, Ali as tidak bermusyawarah dengan mereka dalam
menentukan kinerja sehari-hari, dan kedua, —dan ini adalah yang lebih
penting—adalah beliau menyeleweng dari sunah Umar dalam membagi kekayaan negara
Islam. Hal itu dikarenakan beliau memberikan kepada mereka saham sama seperti
orang lain yang tidak berjerih payah untuk Islam.
Amirul Mukminin as
berkata, "Selama masih ada hukum di kitab Allah SWT, maka di situ bukanlah
tempat bermusyawarah. Tentu, apabila ada sesuatu yang tidak ada di Al-Qur’an
dan sunah Rasulullah saw, maka aku pasti akan bermusyawarah dengan kalian.
Adapun berkenaan dengan pembagian sama rata, kita sama-sama menyaksikan
Rasulullah saw melakukan demikian, sebagaimana Al-Qur’an pun memerintahkan hal
tersebut." Di sana Zubair menggerutu, "Bukankah ini adalah upah kami?
Kami telah melangkah di jalan ini dan berkiprah untuknya sampai akhirnya Utsman
terbunuh. Tapi hari ini dia mengutamakan atas kita orang-orang yang sebelumnya
kita lebih utama dari mereka."
Ibn Abil Hadid melanjutkan
penjelasannya, "Terbiasanya masyarakat pada saat itu dengan cara yang
diberlakukan Umar merupakan faktor utama perlawanan sahabat terhadap Amirul
Mukminin as, padahal Abu Bakar sendiri menjalankan cara seperti yang telah
diberlakukan oleh Rasulullah saw dan tak seorang pun yang menentangnya. Amirul
Mukminin as berkata, 'Apakah sunah Rasulullah saw lebih layak untuk diikuti
atau sunah Umar?'"
Perlawanan terhadap cara
ini semakin serius, sampai akhirnya sebagian dari sahabat dekat Amirul Mukminin
as mendatangi beliau dan mohon agar elit Arab dan Quraisy dilebihkan daripada mawali
dan ''Ajam. Beliau tidak menerima permohonan mereka dan berkata, "Apakah
kalian menyarankan padaku untuk meraih kemenangan dengan kezaliman?"
Jauh setelah itu, Ibn
Abbas pernah menulis surat kepada Imam Hasan al-Mujtaba as, "Masyarakat
meninggalkan ayahmu dan pergi ke Muawiyah lantaran cara yang beliau berlakukan,
yaitu membagi kekayaan negara secara merata di antara mereka, sementara mereka
tidak tahan akan hal itu.
Ada beberapa orang yang
terang-terangan mengatakan bahwa alasan mereka menentang Ali as adalah karena
Ali as membagi harta negara secara merata dan tidak mempedulikan kondisi sosial
mereka.
Yang jelas, salah satu
dari keistimewaan yang terkenal dari Amirul Mukminin as adalah pembagian yang
sama rata tersebut: Dia membagi secara marata dan berlaku adil terhadap rakyat.
b. Salah satu dampak dari
penaklukan negara-negara luar adalah pembauran etnis yang beraneka-ragam,
seperti Arab, Iran, Nabth, Romawi dan Barbari. Banyak sekali dari mereka yang
mengungsi ke berbagai daerah atau dikerahkan ke sana untuk perang. Dan tidak
sedikit dari mereka adalah tawanan perang milik kabilah-kabilah Arab yang
diangkut dari berbagai daerah menuju ke Syam, Irak dan Hijaz. Para tawanan yang
telah dibebaskan dalam bahasa Arab disebut mawali. Itu berarti,
sebelumnya tawanan ini termasuk kabilah Arab tertentu yang pernah merekrutnya,
dan sekarang pun dari sisi tertentu dia dianggap orang kabilah tersebut.
Tentunya, tingkat mawali berada di bawah Arab, dan hak merekapun relatif
lebih sedikit daripada orang Arab asli. Salah satu kesulitan pemerintah Amirul
Mukminin as adalah bagaimana menghadapi tradisi yang sudah mengakar tersebut.
Jelas, merupakan kesepakatan konvensional-sosial pada saat beliau memerintah
bahwa suku Arab adalah lebih utama daripada mawali. Ini adalah problem
besar yang menentang jiwa keadilan Amirul Mukminin as dan dalam kaca mata agama
tidak ada satu pun bukti atas nepotisme tersebut, melainkan sebaliknya terdapat
banyak bukti jelas yang mengharuskan keadilan/persamaan muslimin.
Meskipun Umar berani
mencegah budak-budak untuk mendapatkan harta Baitul Mal, dan dengan
perlakuan ini dia telah menbangun nepotisme antar-etnis, akan tetapi Amirul
Mukminin as sama sekali tidak rela untuk membedakan mereka. Diceritakan ada dua
wanita mendatangi Amirul Mukminin as dan mengatakan dirinya fakir miskin.
Beliau berkata, "Kalau memang ucapan kalian ini benar, maka merupakan
keharusan bagi kami untuk membantu." Beliau mengutus seseorang pergi ke
pasar untuk membeli pakaian dan makanan bagi mereka, dan beliau juga memberikan
100 Dirham kepada masing-masing wanita tersebut. Salah satu dari dua wanita itu
buka mulut dan protes, "Aku adalah orang Arab, sementara dia adalah mawali,
kenapa Anda memperlakukan kami dengan sama?" Amirul Mukminin as menjawab,
"Saya membaca Al-Qur’an dan betul-betul kurenungkan. Saya tidak melihat di
sana kelebihan (keutamaan) anak-anak Isma'il atas keturunan Ishak walau sebesar
sayap nyamuk."
Setiap kali Amirul
Mukminin as hendak membagi harta negara, beliau berkata, "Nabi Adam as
tidak melahirkan seorang budak laki maupun perempuan, semua hamba Allah adalah
merdeka … Sekarang ada harta di tanganku, dan saya tidak akan melihat perbedaan
antara kulit hitam dan putih melainkan akan kubagikan secara merata di antara
mereka." Kaum Arab tidak tahan terhadap sikap persamaan antara ''Ajam dan
Arab. Suatu saat saudari Amirul Mukminin as, Ummu Hani, datang mengambil
jatahnya dari Baitul Mal. Amirul Mukminin as memberinya 20 Dirham. Budak
perempuan Ummu Hani juga datang untuk hal yang sama, dan beliau juga memberinya
20 Dirham. Ketika berita itu sampai kepada Ummu Hani, dia naik pitam dan pergi
protes terhadap beliau. Amirul Mukminin as memberinya jawaban yang simpel bahwa
di dalam Al-Qur’an tidak ada keutamaan bagi Arab terhadap ''Ajam.
Di tempat lain Amirul
Mukminin as mengatakan kepada Muhajirin dan Anshar bahwa beliau tidak akan
memberikan harta kepada seseorang tanpa dalil, dan beliau menyikapi orang
berkulit putih dan orang yang berkulit hitam secara merata. Sikap adil Amirul
Mukminin as terhadap orang Arab dan 'Ajam ini menjadi sasaran protes
orang-orang fanatik semacam Asy'ats bin Qais. Ketika Amirul Mukminin as berada
di atas mimbar, Asy'ats berteriak, "Mawali berkulit putih ini telah
menang terhadap kita dan kamu sendiri menyaksikannya." Amirul Mukminin as
marah dan Ibn Sauhan berkata, "Hari ini akan menjadi jelas di mana harkat
orang Arab." Amirul Mukminin as berkata, "Siapakah yang mencegahku
dari pembalasan terhadap orang-orang gendut yang selalu berbaring di atas ranjang
empuk sampai setengah hati, sementara di sana terdapat sekelompok orang yang
menjauhkan dirinya dari ranjang untuk menghidupkan malam? Kalian ingin aku
mengusir mereka dan menjadi orang zalim? Sumpah demi Dzat yang menumbuhkan
biji-bijian dan menghidupkan binatang, aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
'Demi Allah! Mereka akan memukul kalian (orang-orang Arab) agar kembali pada
agama (Islam) sebagaimana dulu kalian memukul mereka agar masuk agama
(Islam).'"
Mughirah adh-Dhabi
mengatakan, "Ali as mencintai mawali dan sayang terhadap mereka,
sedangkan Umar membenci dan menjauhi mereka." Terdapat sebagian puisi
Amirul Mukminin as berkaitan dengan penafian pembedaan etnis dalam kemuliaan
manusia Ilahi. Maksud puisi tersebut, "Sumpah demi Tuhan! Nilai manusia
tidak lain karena agama; adalah tidak layak bagimu mengacuhkan takwa karena
keturunan atau kedudukan; Islam mengunggulkan Salman al-Farisi; sementar syirik
menghinakan Abu Lahab."
c. Kesulitan besar
berikutnya adalah penyelewengan agama (bid'ah) yang dituduhkan para sahabat
terhadap Utsman. Di sampaing sebagai bid'ah, problema utamanya adalah mayoritas
masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang agama, dan sementara
itu, tidak pernah ada upaya serius untuk mengajarkan tuntunan-tuntunan agama
kepada mereka secara benar.
Berikut ini akan kami
paparkan sebagian dari penyelewengan agama yang telah diperangi oleh Amirul
Mukminin as:
Sebagian dari sahabat dan
khalifah mengeluarkan hukum hanya berlandaskan pada "kemaslahatan",
padahal di sana ada Al-Qur’an dan sunah Nabi saw yang layak untuk dijadikan
pegangan. Mengenai hal ini, Anda bisa saksikan lebih jelas beserta bukti-bukti
yang lebih banyak dan konkrit di dalam buku-buku referensi hadis dan sejarah;
bagaimana mereka telah mengesampingkan sunah Rasulullah saw.
Mungkin ungkapan Abu
Ja'far Naqib termasuk salah satu ungkapan yang terang-terangan dari seorang
penganut mazhab Ahlussunah yang netral dalam hal ini. Dia mennegaskan,
"Sahabat Rasulullah saw secara serempak meninggalkan banyak dari nash-nash
beliau saw, dan perlakuan ini disebabkan oleh maslahat menurut mereka dalam
meninggalkan nash-nash Nabi tersebut, seperti berkenaan dengan saham keturunan
Rasulullah saw (dzawil qurbâ) dan saham orang-orang muallaf (yang
baru masuk Islam dan masih perlu dikasihani untuk memperkuat imannya)."
Di salah satu pidatonya,
Amirul Mukminin as melontarkan kritikan pedas terhadap pandangan semacam ini
dan beliau mengumumkan komitmennya terhadap sunah Rasulullah saw. Dalam sebuah
peristiwa, ketika ingin menyelesaikan satu persoalan, masyarakat dihadapkan
pada beragam pendapat yang berselisih. Lantas mereka datang pada seorang hakim
dan hakim pun membenarkan semua pendapat itu, beliau menentang pendapat
tersebut seraya menegaskan, "Hal ini terjadi padahal Tuhan mereka Esa,
Nabi mereka satu dan kitab suci mereka juga satu. Apakah Allah SWT telah
berfirman kepada mereka untuk menempuh jalan-jalan yang berselisih sehingga
mereka—dengan itu—layak dianggap sebagai orang-orang yang memanuti
tuntunan-Nya? Atau malah sebaliknya, Allah SWT melarang mereka untuk
berpecah-belah, tetapi mereka malah menentang-Nya? Mungkin ada kemungkinan
lain, yaitu apa yang diturunkan Allah SWT adalah kurang, dan Ia meminta
pertolongan dari mereka untuk menyempurnakannya? Atau mereka adalah sekutu
Allah SWT sehingga merekapun berhak untuk berpendapat dan Ia harus menerima
jalan yang mereka tempuh? Atau sebetulnya agama yang Allah SWT turunkan adalah
benar, hanya saja Rasulullah saw telah salah dalam meyampaikannya? Padahal,
Allah SWT berfirman, 'Kami tidak meninggalkan apapun dalam al-Kitab (kecuali
telah Kami jelaskan).'"
Di dalam pidatonya yang
lain, Amirul Mukminin as membongkar kesalahan-kesalahan mereka dengan penuh
heran seraya berkata, "… mereka senang memperhatikan syubhah, padahal
mereka sendiri berjalan di atas syahwah. Ma'ruf di sisi mereka adalah
hal yang mereka kenal dan senangi, adapun munkar menurut mereka adalah hal yang
mereka enggani. Di tengah problema, mereka hanya bersandar pada diri sendiri,
dan dalam memutuskan hal-hal penting, mereka hanya mengandalkan pendapat
pribadi. Seakan-akan masing-masing mereka adalah imam bagi diri mereka sendiri.
Maka, ketika mereka mengeluarkan sebuah hukum, seolah-olah mereka telah
berpegang teguh pada tali yang paling kuat dan seakan-akan mereka telah
menggunakan sarana yang paling hebat."
Yang menarik lagi adalah
kepercayaan khalifah kedua dan khalifah ketiga, bahwa di dalam beberapa hal,
mereka berhak untuk membuat syariat tertentu sambil meninggalkan sunah, seperti
perilaku Utsman yang bertentangan dengan sunah Nabi saw, bahkan dengan sunah
khalifah-khalifah sebelumnya. Ia mengerjakan shalat dengan sempurna, tanpa
qashar di Mina sementara Nabi saw, Abu Bakar dan Umar mengqasharnya, dan
muslimin secara bertahap meyakini tindakan khalifah-khalifah tadi sebagai sunah
dan syariat Islam yang kita dilarang keluar dari jalur tersebut. Umar sendiri
ketika mau mati berkata, “'Tidak menentukan pengganti' adalah sunah (Rasulullah
saw!) dan "menentukan pengganti" adalah juga sunah (Abu Bakar)."
Oleh karena itu, menurut
Umar tindakan Abu Bakar juga terhitung sunah. Setelah Umar meninggal dunia,
Abdurrahman mepersyaratkan agar kekhalifahan diberikan kepada orang yang
beramal sesuai dengan sunah Rasulullah saw dan sunah dua syaikh (Abu Bakar dan
Umar). Satu contoh dari perlawanan Amirul Mukminin as terhadap bid’ah pada
waktu itu adalah beliau menentang shalat Tarawih yang ditegakkan oleh Umar,
padahal ia (Umar) sendiri sadar bahwa itu adalah bid'ah, dan meskipun demikian,
menurutnya. itu adalah bid'ah yang bagus. Ketika Amirul Mukminin as tinggal di
Kufah, pernah ada sekelompok orang mendatangi beliau agar beliau menentukan
seseorang menjadi imam jama'ah shalat Tarawih bagi mereka di bulan Ramadhan.
Amirul Mukminin as melarang mereka untuk menunaikan shalat Tarawih. Tak pelak,
pada malam itu juga terdengar teriakan-teriakan kencang "wâ ramadhânâh!"
(oh Ramadhan telah dilecehkan). Haris al-A'war mendatangi Amirul Mukminin as
dan berkata, "Masyarakat gaduh dan tidak senang terhadap
keputusanmu." Amirul Mukminin as menjawab, "Biarkan mereka berbuat
apapun yang mereka inginkan dan terserah mereka mau pilih siapa yang menjadi
imam jama'ah." Riwayat ini menjelaskan bahwa Amirul Mukminin as pernah
berhadapan dengan golongan macam apa dan sampai di mana mereka mematuhi beliau.
Amirul Mukminin as menulis
surat kepada Malik al-Asytar dan menjelaskan pemilihan orang-orang yang saleh
serta kecenderungan orang-orang beragama terhadap dunia, "… sesungguhnya
agama ini tertawan di tangan orang-orang jahat, diperlakukan sesuka nafsu dan
digunakan untuk merenggut dunia …."
d. Satu lagi dari
penyelewengan penting yang secara prinsipal telah menjadi induk dari beberapa
penyelewengan yang lain adalah larangan menukil dan mencatat hadis. Rasyid
Ridha menegaskan bahwa fenomena ini merupakan pukulan telak yang tidak bisa
ditebus terhadap budaya Islam. Tindakan semacam itu muncul karena
ketidakpedulian mereka terhadap sunah Rasulullah saw sebagaimana. Begitu pula
dengan langkah para khalifah untuk mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer dan
tindakan tidak perduli terhadap Al-Qur’an yang jauh sebelumnya telah
dikumpulkan/disiapkan oleh Amirul Mukminin as besserta tafsir dan asbabun nuzul
ayat-ayat suci Allah SWT itu. Ini adalah bukti lain atas ketidakpedulian mereka
terhadap sabda-sabda Rasulullah saw yang telah dicatat rapi oleh Amirul
Mukminin as.
Menurut Amirul Mukminin
as, faktor utama terjadinya peperangan internal di dalam tubuh muslimin adalah
kesamaran dan kemiringan intelektual yang telah mengakar di antara masyarakat.
"Namun, sekarang kita memerangi saudara seiman kita lantaran kesesatan,
penyelewengan, kesamaran dan takwil yang telah merasuki tubuh Islam." Di
tempat lain beliau berkata, "Mengapa syubhah dinamakan syubhah?
Karena ia menyerupai kebenaran."
e. Kerusakan sosial adalah
kesulitan lain Amirul Mukminin as di masa pemerintahannya. Kecenderungan
masyarakat yang berlebihan terhadap kesejahteraan duniawi menjadi sebab
lemahnya norma-norma agama di tengah masyarakat. Nilai yang diberikan
masyarakat terhadap agama hanya sebatas lahiriahnya saja. Ketika khalifah
ketiga, Utsman, terjerembab ke dalam kecenderungan tersebut di atas, mental
yang sama berkembang di rakyatnya sehingga secara gradual masyarakat bermasalah
dengan agama. Tidak mudah mengantarkan masyarakat yang terjangkit fitnah dan
kerusakan kepada keseimbangan moral. Amirul Mukminin as di salah satu pidatonya
memperkenalkan masyarakatnya seperti masyarakat jahiliah. Beliau berkata,
"Kondisi kalian sekarang kembali seperti kondisi saat Allah SWT mengutus
Rasul-Nya." Di sana, Amirul Mukminin as menjelaskan perubahan norma di
tengah masyarakat yang harus segera diganti/dikembalikan. Masyarakat ini mesti
disaring, mereka yang terlewat harus dikembalikan dan mereka yang teguh dan
tetap harus ditunjang/didukung.
Amirul Mukminin as
berpesan kepada mereka, "Sadarlah bahwa setelah hijrah dan belajar adab
dari syariat, kalian telah kembali pada karakter primitif seperti dulu lagi.
Kalian bercerai berai setelah sebelumnya kalian bersatu padu. Kalian tidak berhubungan
dengan Islam kecuali sekedar nama saja dan kalian tidak berkaitan dengan iman
kecuali sekadar tanda … Ketahuilah bahwa kalian sendiri yang memutus hubungan
kalian dengan Islam. Kalian telah langgar ketentuan-ketentuannya dan kalian
tinggalkan hukum-hukumnya.
Beliau juga mengatakan,
"Sadarlah—semoga Allah merahmati kalian! Kalian hidup pada masa yang mana
pembicara kebenaran adalah sedikit, lidah jadi bisu untuk berkata jujur dan
orang yang komitmen terhadap kebenaran menjadi terhina di tengah masyarakat.
Masyarakat terjerumus ke dalam jurang kemasksiatan … Pemuda-pemudinya berakhlak
buruk dan orang-orang tuanya pendosa, cendekiawannya bermuka dua dan pembaca
Al-Qur'an mereka penjilat, anak-anak kecil tidak lagi menghormati orang tua dan
orang kuat tidak lagi membantu yang lemah."
Munculnya Mu'awiyah
sebagai pelopor kesesatan dan penyelewengan di kancah politik Islam merupakan
fitnah dan kerusakan sosial terbesar pada masa pemerintahan Amirul Mukminin as.
Begitu pula dengan arus Utsmani yang berkembang di Bashrah atau Khawarij yang
berkembang di Kufah. Semua itu bola-bola kerusakan yang kadang bergulir atas
kesadaran penuh akan kebatilannya dan kadang bergulir atas khayalan bahwa
mereka sedang menempuh jalan yang benar. Dengan demikian, mereka telah menutup
jalan kebenaran yang mudah. Amirul Mukminin as menyaksikan fitnah Mu'awiyah
sebegitu rupa dan berkata, "Ketika kusaksikan depan dan belakang perkara
ini, kulihat tidak ada lagi jalan lain kecuali memerangi mereka, atau aku harus
kafir dan mengingkari apa yang disampaikan Muhammad saw. [The Ahlulbayt World Assembly]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar